LOGINKisah janda muda bernama Asti bersama kedua anaknya yang didzalimi oleh saudaranya sendiri. Hanya demi sepetak tanah,atas dasar kebohongan kedua lelaki bernama Bahri dan Bahrul itu berani bersumpah mengatasnamakan Al-Qur'an. Hal yang seharusnya tidak dia lakukan, karena dengan begitu dia sudah mempermainkan sumpah Allah. Tak hanya itu, Asti juga didzalimi dan diperlakukan tidak sepantasnya, dengan tujuan supaya tidak betah dan meninggalkan rumahnya. Dengan begitu, Bahri dan Bahrul bisa merebut rumah Asti juga. Hingga kemudian, lambat laun Bahrul dan Bahri menerima balasannya.
View MorePoV ; Asti ***"Nak, gini. Ibu pengen kalau meninggal nanti, kita bisa sama-sama lagi di surga. Percaya deh, kebersamaan dan kebahagiaan di surga itu jauh lebih segalanya daripada di dunia." "Termasuk hingga saat ini Ibu tidak merenovasi rumah agar lebih besar, itu karena Ayah?" tanyanya menyelidik.Aku mengangguk."Iya. Ibu tidak mau mengubah apapun dari rumah ini. Rumah pertama tempat kita bersama. Setidaknya hanya tampilannya saja, tetapi tidak dengan bentuknya. Biarkan rumah ini menjadi kenangan.""Nia paham itu, Bu. Terima kasih, Ibu sudah setia sama Ayah. Nia juga mengharapkan hal yang sama seperti Ibu." ***Pagi hari, saat aku ke rumah Bu Ramlah, aku merasakan hal yang berbeda. Aku tak dibiarkannya bangkit untuk sekadar mencuci piring, bahkan membuatkan jamu untuknya. Tanganku tak dibiarkan lepas dari genggamannya.Aku membuang firasat buruk jauh-jauh. Meyakinkan diri, bahwa Bu Ramlah baik-baik saja. Ia hampir sembuh dan akan pulih. "Maaf, ya, As." Aku membelalakkan mata me
Sumpah Al-Quran (62) Pov ; Asti *** "Nggak, As. Saya nggak mau. Saya cuma mau mati. Saya ini sudah nggak bisa sembuh. Allah mungkin hanya mau nyiksa saya. Dosa apa yang saya perbuat, As! Kenapa Allah segitu dendamnya sama saya," ucap Bu Ramlah meraung. "Istighfar, Bu. Allah bukan dzat yang pendendam. Allah memberi Ibu kesempatan untuk hidup, berbuat baik. Tidakkah Ibu tahu, bahwa setiap rasa sakit, bisa mengurangi nafsu makan, nafsu minum, bahkan dosa kita juga berkurang, Bu. Tapi, atas kebaikan Allah, ketika kita sembuh, Allah kembalikan nafsu makan dan minum itu. Tapi Allah tidak mengembalikan dosa-dosa kita. Dosa-dosa kita akan berkurang setiap rasa sakit yang kita rasakan." Aku mencoba memberi Bu Ramlah pengertian dengan panjang. Entah Bu Ramlah paham dan mendengarkan atau tidak, yang penting aku berusaha mengingatkannya. Agar tidak lagi-lagi berprasangka buruk pada Allah. Walau pada akhirnya juga tetap sama. Ucapanku seolah mental, lagi-lagi Bu Ramlah menyudutkan Allah setia
Sumpah Al-Quran (61)PoV ; Asti"Kalau sekarang, tidur di lantai pun Nia nggak ngeluh. Lantainya halus, nggak kasar nggak bikin sakit," celetuk Nia. Ia tampak begitu girang. Berguling di lantai dengan tawa lebar.Lalu, ia beralih ke kasur. Mengempaskan tubuhnya dengan kasar. Tertawa riang dengan sang adik. Kebahagiaan yang rasanya sudah lama tak kurasakan. Gema tawa yang sudah lama tak kudengar. Ini suasana yang kutunggu, yang kuimpikan sejak dulu.Terima kasih, Ya, Allah ....Terima kasih. Atas kemurahanMu, Kau permudah segalanya. Ini kebahagian yang sesungguhnya, yang kucari sejak dulu.***Tak ada setiap detik yang terlewat tanpa adanya cerita. Dari rangkaian minggu yang berganti bulan, lalu berguling menjadi tahun, tak ada masa yang terlewat tanpa adanya kenangan dan sebuah pengajaran.Pelajaran hidup. Ica gadis kecilku, kini ia sudah kanak-kanak. Ia bukan lagi anak kecil yang merengek ketika kutinggal. Yang harus kuberikan mainan agar bisa terdiam, ketika aku disibukkan dengan
Sumpah Al-Qur'an (60)PoV; Asti***Aku bergeming sesaat, mengatur napas. Jika kubersihkan sekarang, waktunya mepet. Lagipun, ini sudah malam. Bukan waktunya beberes. Biarlah esok hari saja aku ke mari. Aku menghela napas panjang. Tak berpikir untuk menyalahkan Bu Ramlah juga atas kondisi rumah yang teramat kotor ini. Aku paham di posisinya.Yang tak habis pikir kenapa Pak Bahri bisa demikian tak peduli pada Bu Ramlah. Siapa istri keduanya, hingga membuat Pak Bahri tergila-gila?Ah, biarlah. Ini menjadi urusan keluarga Pak Bahri. Aku orang luar, tidak ada hak untuk itu. Aku kembali ke ruang tengah. Mata Bu Ramlah tarkatup rapat. Aku memperhatikannya dengan seksama. Betapa malangnya hidup Bu Ramlah kini. Wajahnya mulai kusam, tanpa bedak dan lipstik. Kurus."Dari mana, As?" Aku mengerjap saat Bu Ramlah tiba-tiba membuka matanya. Kupikir ia sudah lelap."Da-dari dapur, Bu," sahutku, "Kupikir Ibu sudah tidur.""Ngapain? Udah di sini aja. Saya hanya butuh teman.""Bu, makan, ya. Dikit
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviewsMore