Rayhan berjingkat panik. Apa yang ada di benak gadis yang di hadapannya ini. Tidakkah tingkah lakunya itu sangat membahayakan dirinya. Bagaimana jika diriku khilaf, batin Rayhan gundah. Pandangan tajamnya mengarah tepat ke manik mata Siti, yang menjadi bingung sendiri melihat reaksi Rayhan. Apakah ia sudah melakukan kesalahan? gumamnya ketakutan, melihat reaksi Rayhan yang tidak pernah seperti ini sebelumnya.
"Apakah aku sudah menyakitimu?" tanya Siti tanpa dosa.
Rayhan terkesima mendengar pertanyaan polos Siti. Oh, Lord. Help me, please. Bagaimana bisa gadis ini tidak tahu jika ia sudah mengumpankan dirinya sendiri ke mulut harimau yang sedang kelaparan, teriak Rayhan dalam hati. Kalau begini, aku tidak yakin bisa bertahan lebih lama berada di dekatnya tanpa melakukan sesuatu, keluh Rayhan gemas dengan sikap Siti, yang kini menunduk, bingung sendiri.
"Ya! Kamu sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal!" teriak Rayhan kesal. Kesal pada dirinya sendiri
"Ray..." Rayhan mengangkat wajahnya, dan seketika badannya menjadi dingin. Kehadiran pria yang tidak ia harapkan untuk sekarang ini, membuat dirinya terkejut setengah mati. Tubuhnya yang sedang tidak sehat, membuat pusing kembali menyerang Rayhan. Siti tidak kalah terkejut dengan Rayhan. Tuan Arken?! Mengapa pria itu bisa ada di sini? Arken sendiri sama terkejutnya dengan dua orang yang berada di depannya. Gadis yang selama ini sudah berhasil mengganggu pikiran dan mengusik hatinya, kini ada di hadapannya. Sizuka, gumamnya. Ketiga orang itu tenggelam dalam dunia mereka sendiri. Masing-masing terkejut dan masih asyik berenang dalam kolam keheningan. Suara dehaman Yuda memecah kebisuan di antara mereka bertiga. "Bos! Ada Bos Arken." Lapor Yuda yang jelas sudah basi. Lawong bosnya sendiri sudah melihat si tamu yang sudah masuk ke dalam ruangannya tanpa permisi, dia baru datang
Siti membawa tumpukan map, yang kali ini berwarna biru, ke ruangan Rayhan. Dengan susah payah, gadis itu mengetuk pintu ruangan Rayhan. Tanpa menunggu jawaban dari dalam, Siti langsung saja masuk ke dalam ruangan Rayhan. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, tetapi tidak melihat sosok Rayhan. Dengan perlahan diletakkannya, tumpukan map biru ke atas meja Rayhan. Merasa khawatir, Siti melangkah masuk ke ruang pribadi Rayhan. Ia melihat Rayhan tertidur masih dengan pakaian kerja lengkap tanpa jasnya. Siti kemudian mendekat. Tubuh Rayhan kembali panas. Siti menepuk keningnya. Ia tadi berencana memesankan bubur ayam untuk atasannya itu, akan tetapi, karena kedatangan Arken yang tiba-tiba, Siti lupa untuk menekan tombol order di aplikasi. Dengan cepat, gadis itu mengeluarkan ponselnya kemudian melanjutkan orderan bubur ayam yang sempat tertunda. Dikliknya angka dua untuk bubur ayam spesial. Sembari menunggu datangnya bubur ayam, Siti ke
"Mengapa tidak bisa?" tanya Rayhan penuh rasa ingin tahu. Jika alasannya karena akan bertemu Arken, maka Rayhan tidak akan tinggal diam. Pantang baginya menyerah. Ia harus menyandera Siti. Jangan sampai gadis itu pergi bersama Arken, saingannya. "Karena saya ada urusan yang harus saya selesaikan sepulang dari kantor," jawab Siti tanpa beban. "Memangnya urusan apa? Emak minta dibelikan sesuatu? Atau kau ingin membeli sesuatu di supermarket? Biar aku dan Yuda yang mengantarkanmu berbelanja," tawar Rayhan tanpa pikir panjang. Ia lupa jika dirinya masih belum begitu fit. "Pak, Bapakkan masih sakit, belum sembuh. Jika Bapak mengantar saya berbelanja, terus yang ada Bapak pingsan di tengah jalan, bagaimana? Saya tidak kuat jika harus mengangkat Bapak," jawab Siti. "Aku tidak mengatakan jika aku akan menemanimu tetapi aku dan Yuda akan menemanimu. Jadi, kamu tidak perlu khawatir jika aku pingsan di tengah jalan, masih ada Yuda yang akan
"Lagipula apa?" Rayhan mendesak Siti meneruskan perkataannya.Siti menatap lurus Rayhan. Pria ini kenapa sih? Mengapa dirinya tidak boleh peduli pada orang lain? Apa salahnya jika ia membantu Pak Yuda, yang notabene asisten pribadinya juga. Bukankah semakin cepat berkas itu disusun sesuai dengan departemennya, semakin mudah bagi atasannya itu untuk memeriksa laporan per-departemen?"Lagipula, bukannya jika semua berkas sudah tertata rapi pekerjaan Bapak semakin ringkas?" jawab Siti, yang kini memberanikan diri untuk menatap manik tajam pria yang duduk di kursi kebesarannya itu.8Aiih, kenapa jika sedang begini, wajahnya tampan sekali. Siti terlena. Wajah serius Rayhan yang mendengarkan jawaban Siti terlihat begitu sempurna. "Aku tahu aku sangat tampan. Jadi, berhentilah menatapku seolah-olah aku ini semangkuk sup iga yang sangat ingin kau makan." Siti terkejut. "Darimana Bapak tahu kalau makanan f
Siti melangkah masuk ke lift yang akan membawanya ke lantai tempat ruangan pimpinan Ardan Group berada. Ditekannya angka 7 dan tombol close ketika tiba-tiba sesosok pria melesat masuk, bergabung di lift yang sama dengannya, namun luput dari penglihatan Siti. "Apa kau tidak mendengar apa pun saat berjalan menuju gedung ini?" Suara yang sangat dikenalnya terdengar dari arah belakang. Siti terkejut. Sejak kapan ada orang lain selain dirinya di lift ini. "Loh?! Kapan datang? Mengapa tidak naik lift khusus saja? Apa ada urusan di lift yang lain?" Pa Yuda mana?" Siti mencecar Rayhan yang masih tersengal-sengal, dan masih berusaha mengatur pernafasannya kembali. "Aku sudah berteriak-teriak sejak di jalan depan kantor tadi, tapi sepertinya hatimu sedang sangat bahagia hingga tidak mendengar suara-suara di sekelilingmu," jawab Rayhan, sedikit menyindir Siti. Mengapa aku t
Rayhan memijat kedua pelipisnya. Ia tidak mengerti mengapa hari ini dirinya begitu emosional. Perasaan diabaikan oleh Siti tadi pagi, yang sama sekali tidak mendengar dirinya yang sudah berteriak-teriak sejak turun dari mobil mewahnya, membuatnya menceramahi calon istrinya itu, dengan ceramah yang begitu panjang dan akan terus bersambung, jika saja Yuda tidak menyapa dirinya tepat di depan ruang asisten pribadinya itu. Rayhan meraih gagang telpon dan menekan angka 6, meminta OB untuk membelikan segelas Cappucino. Biasanya ia akan menyuruh Siti untuk membelikan Cappucino di kafe sebelah. Namun, khusus hari ini, Rayhan sedang enggan untuk meminta bantuan Siti. Apakah karena kemarin ia sempat melihat seseorang yang persis dengan Siti, sedang berjalan beriringan dengan Arken, memasuki sebuah mall. Maksud hati ingin menanyakan tentang kebenaran penglihatannya, tapi karena Siti yang tampak mengabaikan panggilan dirinya, membuat mood Rayhan mendadak berba
Apakah kau marah padaku? ulang Siti dalam hati. Bukankah seharusnya dirinya yang mengajukan pertanyaan itu? Siti menatap bingung pria yang kini melepaskan dasi dari tempatnya dan membuka kancing di kerahnya. "Bukankah aku yang seharusnya bertanya padamu, apakah kau marah padaku?" Siti balik bertanya pada Rayhan yang kini sedang menyeruput teh hangat di hadapannya. "Aku tidak sedang marah padamu," jawabnya singkat tanpa menolehkan kepalanya menghadap Siti. "Lalu?" Siti menuntut jawaban. Ia terus terang bingung dengan polah Rayhan seharian ini. "Aku hanya sedang kesal padamu." Kesal? Padaku? Siti menunjuk dirinya sendiri, dan melihat Rayhan mengangguk santai. "Menolak tawaranku, mengantarkanmu mencari barang yang kau cari, tetapi justru berjalan-jalan di mall dengan seorang pria yang tidak lebih tampan dariku..." Siti merasa tenggorokannya tiba-tiba kering. Dia melihatku kemarin? Di mana? Mengapa
Siti membisu. Semburat merah jambu mulai memenuhi seluruh wajahnya. Sejujurnya, ia mulai merasa jengah bila terlalu dekat dengan Rayhan. Rasa panas yang tidak ia mengerti tiba-tiba datang menyergapnya, membuat Siti terkadang bingung mengutarakan maksudnya. Melihat bibir pria itu bergerak membuat penglihatannya seakan terbius ingin mendekat ke arahnya. Wangi aroma parfum Rayhan saat pria itu mendekapnya, membuat dirinya seakan terbang di antara wewangian kayu cendana bercampur segarnya air dan aroma jeruk lemon, mendatangkan perasaan hangat dan tenang. "Kau, tidak bisa menjawabnya?" Rayhan kembali menatap Siti dengan tatapan lembut. Ahh. Seberapa pun keras usahanya ingin memberi pelajaran, dan menumpahkan kekesalannya pada gadis di depannya, tetap saja hatinya menolak. Luapan amarah yang sebelumnya terasa menggebu-gebu ingin meledak, seakan hilang di telan angin, begitu melihat gadis itu diam, tak berkutik.