Share

Perguruan

Author: Omeye
last update Last Updated: 2021-09-14 22:10:25

Hari belum beranjak siang, di Perguruan Mata Angin di pinggir Sendang Saradan, Lintang Abang terlihat sedang menemui gurunya. Tak biasanya Dewa Penjuru Angin memanggilnya untuk berbicara empat mata di ruang khusus latihan Sang Guru.

"Lintang Abang, hari ini engkau kuberi anugerah untuk mempelajari kitab sakti Tapak Liman. Jika Tapak Liman dipadukan secara bersamaan di empat penjuru mata angin, maka kekuatannya akan sangat dahsyat. Empat pasang Tapak Liman akan menghasilkan ajian pamungkas; Bayu Segara Murka," Dewa Penjuru Angin menyerahkan sebuah kitab lusuh kepada Lintang Abang.

Sudah tiga hari sejak kematian Jakaprana, kondisi Begal Barat yang terluka parah belum membaik. Begal Barat yang lemah ditinggalkan begitu saja di rumah seorang tabib di dusun sebelah Wingitan, Dusun Demulur. Demi menyempurnakan ajian pamungkas; Bayu Segara Murka di Perguruan Mata Angin, Lintang Abang ditugaskan untuk mempelajari Tapak Liman. Ia akan menggantikan posisi Begal Barat.

"Maaf beribu maaf, guru, saya merasa belum sanggup menerima tugas ini," ujar Lintang Abang tertunduk.

"Ini bukan tugas, tapi anugerah dariku! Walaupun hatimu lemah, kau punya bakat untuk menjadi murid utama. Pergunakan waktumu sebaik mungkin untuk mempelajarinya. Bulan depan kita bertemu lagi di sini untuk mempraktikkannya," perintah Dewa Penjuru Angin.

Sorot mata tajam Dewa Penjuru Angin yang seakan menembus sampai ke ulu hati sudah tentu tak bisa ditolak Lintang Abang. Ia mengerti jika sudah seperti itu, permintaan apapun dari Sang Guru tak bisa ditentang. Ia menganggukkan kepala dan lalu mohon diri.

Dewa Penjuru Angin menatap nanar kepergian Lintang Abang. Ia ingat beberapa puluh tahun lalu saat masih seusia Lintang Abang, ia tak kalah lugunya dengan muridnya itu. Bahkan kala itu tubuhnya jauh lebih kurus.

Sejak kecil, lelaki dengan nama asli Cukring ini hidup serbakekurangan sebagai anak petani miskin di dusun terpencil. Ayahnya telah lama meninggal saat wabah kelaparan melanda dusun. Ia tinggal dengan ibunya yang renta dan sakit-sakitan. Kemiskinan membuat tak seorang pun memandang keberadaan Cukring dan ibunya. Seperti antara ada dan tiada.

Hingga akhirnya ibu Cukring meninggal dunia pun, sikap warga dusun biasa saja. Warga memang turut mengubur ibu Cukring. Tapi hanya sekadar itu. Warga seakan menganggap kejadian itu seperti angin lalu.

Lantaran tak mau disepelekan terus dan ingin keberadaannya dianggap, tekad Cukring begitu kuat. Ia ingin mengubah nasib. Ia ingin menjadi pendekar pilih tanding dan dikenal banyak orang. Ia ingin orang-orang menghormati keberadaannya. Karena itu ia memberanikan diri melamar menjadi prajurit di Singasari yang kala itu di bawah kekekuasaan Wisnuwardhana.

Ternyata tak hanya Cukring. Ada ratusan pemuda yang mencoba mengubah nasib dengan melamar menjadi prajurit Singasari. Semua dibagi dalam kelompok kecil berisi dua puluh orang. Satu sama saling harus saling berhadapan untuk menunjukkan siapa yang terkuat. Cukring yang hanya punya ambisi namun tak punya ilmu kanuragan jelas saja menjadi bulan-bulanan. Ia sama sekali tak pernah menang setiap diadu dengan calon prajurit lainnya. Ia selalu berada di posisi paling buncit sehingga menjadi bahan tertawaan.

Cukring diperolok dan dihinakan para prajurit Singasari lantaran fisiknya yang kurus, ringkih, dan tak punya ilmu kanuragan.

"Heheh...bocah kurus kering, lemah, nggak bisa pegang senjata apa-apa, mau jadi prajurit, jangan ngimpiii!" sorak sorai para prajurit Singasari mengejek Cukring yang berjalan gontai meninggalkan arena pendederan prajurit.

Cukring pulang kampung dengan membawa kekecewaan mendalam dan dendam. Ia bertekad berlatih keras dan membuktikan diri layak menjadi pendekar hebat. Bertahun-tahun ia berlatih di dusunnya. Ia memperkuat tubuhnya terutama tapak tangannya.

Cukring mengamati di dusunnya tumbuh begitu banyak tumbuhan liar di sisi jalan setapak. Tumbuhan itu jenis rumput-rumputan yang muncul sepanjang tahun, berdiri tegak, berdaun hijau-tua. Akar tumbuhan ini besar, kuat, dan menghujam di tanah.

Kekuatan tumbuhan itu menginspirasi Cukring untuk berlatih memperkokoh tapak tangannya dengan membenturkannya ke tanah. Setiap waktu. Setiap saat. Lambat laun jari jemarinya kian kuat. Kekuatan tapak tangannya bahkan sanggup merobohkan pohon beringin raksasa.

Cukring mencatat semua tahapan latihannya dalam lembaran daun lontar kering. Ketika ajiannya telah sempurna, lembaran daun lontar itu pun menjadi kitab. Ia menamakan ajiannya sesuai nama tumbuhan liar yang menjadi inspirasinya, Tapak Liman.

Beberapa tahun kemudian, berbekal latihan amat keras dan ajian Tapak Liman, Cukring kembali melamar menjadi prajurit di Singasari. Di sana ternyata Singasari tak lagi dipimpin Wisnuwardhana. Anak Wisnuwardhana, Kertanegara, kini menjadi raja.

Kali ini tak sulit bagi Cukring untuk menjadi prajurit di sana. Kedigdayaan dan kedahsyatan Tapak Liman menggemparkan seluruh prajurit Singasari. Ia pun tak butuh waktu lama menjadi laskar utama Singasari.

Beberapa bulan setelah menjadi laskar utama Singasari, Cukring kemudian pamit pada Kertanegara untuk mendirikan perguruan kanuragan di tepi Sendang Saradan. Ia tak mau terus aktif di dunia kemiliteran karena ingin memperdalam ilmu kanugaran.

Cukring yang menjuluki dirinya sendiri sebagai Dewa Penjuru Angin ingin menjadi pendekar pilih tanding. Ia berambisi memiliki kekuatan layaknya dewa sehingga tak ada satu orang pun yang menghinanya lagi.

Tapi jika sewaktu-waktu Kertanegara membutuhkan Cukring, ia siap untuk turun gunung. Ia siap melakukan apa saja untuk Kertanegara yang telah membuka tangannya untuk dirinya. Selain itu, ia berambisi tersohor sebagai pendekar yang paling perkasa di tanah Jawa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Titimangsa Parasu   Penutupan Awal

    Malam itu di tengah siraman cahaya rembulan di antara deburan ombak pantai selatan Jawa, dua insan sedang memilin asa. Parasu terdiam. Tubuhnya kaku menegang dalam desiran angin malam yang menyapa. Matanya memerah dialiri sungai kecil. Seolah tak peduli lingkungan sekitar, Parasu mendadak memeluk Kinarsih. Erat. Seakan tiada hari esok. Sejenak keduanya menetralkan gejolak dalam dada. Parasu melepaskan pelukannya. Genggaman erat tangannya, teduh matanya, bahkan air mata yang belum mengering menjelaskan betapa tersiksanya dia menahan rasa. Rasa yang tak pernah ia pahami sebelumnya. Kinarsih yang menjelma wanita cantik, anggun, merekah semerbak bunga, telah menjadi milik orang lain. Seseorang yang selama tujuh tahun selalu setia menjaganya, Kutira. Kinarsih telah menjalin ikatan pernikahan dengan Kutira sejak tahun lalu. Parasu hadir terlambat. Andai ia datang setahun lebih cepat. “Maafkan aku, Rasu, kita tidak ditakdirkan untuk bersama,” ucap li

  • Titimangsa Parasu   Perasaan

    Parasu membuka topeng panji putih yang selama ini selalu dikenakannya. Topeng pemberian Kutira saat prahara di Kediri beberapa tahun silam.Wajahnya lega setelah para prajurit Majapahit meninggalkan air terjun Kepyur. Bukan berarti ia tak berani menghadapi puluhan prajurit. Ia lebih senang tak ada pertumpahan darah di tempat itu. Pertumpahan darah yang sangat tak diinginkannya di depan lima anak kecil itu.Parasu tak ingin kekerasan dan dendam selalu menyelimuti dan mengendap di hati dan pikiran anak-anak itu. Seperti yang pernah ia alami di masa lalu.Parasu menghela napas. Ia lega tak lagi memendam dendam dan amarah seperti dulu. Padahal ia sedari tadi tahu sosok lawannya adalah musuh lamanya, Rodra. Salah seorang penyebab kehancuran keluarganya di masa lalu.Parasu berusaha keras untuk tak melampiaskan dendam. Tujuannya hanya ingin menyelamatkan anak-anak itu tanpa pertumpahan darah. Kini ia bisa memahami pesan mendiang kakeknya, Lintang Abang, unt

  • Titimangsa Parasu   Pembantaian

    Rodra duduk di atas pelana kuda dengan pongahnya. Tancaka dan dua puluh prajurit mengikuti di belakangnya. Rombongan itu telah berada di tepi rimba Semungklung.“Kalian harus bersyukur, berkat aku, kalian semua tak mati sia-sia di tangan pendekar bertopeng itu. Aku melakukan ini agar semua selamat. Hahaha betapa lihainya aku, kita bisa bebas keluar dari hutan ini,” cetus Rodra yang menunggang kuda di posisi paling depan.Tancaka dan para prajurit lainnya hanya membisu mendengar bualan Rodra. Sebagai ksatria dan laskar Majapahit, mereka tampak kecewa lantaran tak mampu menjalankan perintah Sang Raja dan justru memilih kabur. “Kalian tak usah waswas, tak perlu khawatir, nanti di dusun manapun, kita berhenti untuk menculik anak-anak kecil, kita bunuh mereka, kita rusak wajah-wajahnya hingga tak dikenali lagi. Lalu kita persembahkan kepada Sang Raja.Kita pasti dianggap telah menuntaskan misi untuk membunuh cucu

  • Titimangsa Parasu   Persamaan

    Sepengetahuan Rodra, setelah Dewa Penjuru Angin tewas, hanya dia dan Tancaka, dua bekas murid Perguruan Mata Angin tersisa, yang masih menyimpan ajian ini. Sosok yang mampu meredam Tapak Liman pasti sudah lama mengenal dan mempelajari ajian yang melegenda di tanah Jawa.Rodra berpikir keras siapa sosok bertopeng yang kini berdiri gagah di hadapannya. Sosok itu seolah tak terdampak pukulan Tapak Liman milik Rodra dan Tancaka.Tak mungkin sosok itu Dewa Penjuru Angin, Begal Timur, Begal Barat, Begal Selatan, Begal Utara, Arya Kemusuk, atau Lintang Abang. Seingat Rodra, para pendekar penguasa ajian Tapak Liman itu sudah tewas beberapa tahun lalu.Sekilas Rodra terbesit sosok cucu Lintang Abang yang pernah melukai tangannya dalam pertempuran tujuh tahun lalu. Tapi cucu Lintang Abang sudah lama menghilang sejak pertempuran di selatan Kediri. Tak jelas rimbanya. Rasa penasaran kian menyelimutinya.Lantas siapa sosok di hadapannya itu? Peluh

  • Titimangsa Parasu   Penemuan

    1223 Saka. Rodra, Tancaka, dan dua puluh prajurit Majapahit menggerakkan kuda-kudanya memasuki rimba Semungklung.Ada rasa gentar dalam diri Rodra saat rombongannya sudah berada di tengah hutan. Ia waswas dengan sosok misterius yang akan dihadapinya nanti. Tapi tugas dari Raja Jayanegara sudah sangat jelas, ia diharuskan melenyapkan seluruh keturunan para pemberontak.Sempat tebersit untuk kabur dari hutan itu. Tapi kali ini Rodra malu pada Tancaka dan anak buahnya. Ia tak ingin reputasinya yang sempat tercoreng karena pernah kabur dari pertempuran terus membayangi.Semakin memasuki kedalaman hutan, gemuruh suara air terjun terdengar jelas. Suara cekikikan anak-anak kecil juga kian terdengar nyaring. Dada Rodra berdegub kencang. Ia kini harus kembali mengemban tugas untuk menghabisi nyawa anak kecil. Seakan sejarah terulang.Beberapa tahun silam, ia juga mendapat tugas untuk menghabisi seorang anak, meski upaya itu gagal.

  • Titimangsa Parasu   Perantauan

    BLUKKK!!! Parasu kaget sekali.Bukan pukulan amat keras yang diterimanya. Tapi pelukan. Iya, pelukan hangat dan erat sekali.“Kau pasti anak Perisai...” ujar Tan Kim Lian lirih tepat di telinga Parasu. Parasu terperangah. Ia berusaha mengenali sosok yang memeluknya dengan erat itu. Tan Kim Lian lalu membuka pelindung kepalanya.Sosoknya kini terlihat jelas. Wajah berkulit kuning dengan kumis dan cambang putih yang memanjang. Wajah yang sudah mulai dipenuhi keriput. Wajah yang tenang dan teduh seperti kakek Parasu, Lintang Abang. Parasu mencoba mengingat-ingat. Samar-samar ingatan masa kecilnya timbul. Sepertinya wajah lelaki tua di hadapannya pernah menghiasi hari-hari masa kecilnya dulu. “Kaki Gunung Wilis,” Tan Kim Lian seolah menjawab kebimbangan dan kebingungan Parasu terhadap sosoknya.Mendengar kata Gunung Wilis, lamat-lamat ingatan Parasu menguat. Sekonyong-konyong gil

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status