Share

Hello, My Destiny
Hello, My Destiny
Author: Awan Senja

Bab 1

Armand Kafeel Pramudya pernah memberikan seluruh hatinya kepada perempuan. Namun sayangnya hatinya dipatahkan oleh sebuah pengkhianatan. Hingga pria itu tidak pernah percaya lagi akan cinta dan perempuan, termaksud ibu kandungnya sendiri. Baginya cinta hanyalah kelemahan. Lalu takdir mempertemuannya dengan gadis bernama Miranda kembali mengantarkan perasaan yang dia benci itu, cinta. Tidak peduli seberapa keras dia menyangkal, dia menginginkan perempuan sederahana itu.

***

Namanya hanya Miranda, tanpa nama belakang. Sesederhana namanya, orangnya juga sederhana. Perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu selalu memikirkan bagaimana jodohnya suatu hari. Pria seperti apa yang akan menikahinya. Apakah dia pria yang bertanggung jawab dan pekerja keras? Itulah yang dia pikirkan tentang jodohnya. Dia tidak pernah berpikir jodohnya harus tampan dan kaya. Karena dia cukup sadar diri siapa dirinya. Dia hanyalah gadis biasa saja berparas pas-pasan, atau bisa dikatakan jelek. Baginya kisah klise pangeran tampan dan upik abu buruk hanya ada dalam novel, dongeng, dan drama semata. Tidak pernah terjadi di dunia nyata.

Tapi kita tidak pernah tahu ke mana takdir akan membawa. Bagaimana hukum alam bekerja. Kadang apa yang kita anggap tidak mungkin bisa saja terjadi jika Tuhan menghendakinya.

Karena kesederhanaannya, membuat seorang Armand Kafeel Pramudya, CEO perusahaan besar jatuh hatinya kepadanya. Walau awalnya, pria itu mendekatinya punya niat buruk.

Entah, dia harus merasa senang atau sedih untuk menyambut perasaan pria itu. Senang. Pasti. Siapa yang tidak bahagia ketika dicintai begitu besar oleh seseorang. Sedih, karena orang itu adalah orang tampan dan mapan. Perbedaan mereka terlalu besar. Armand terlalu tinggi untuk dia raih.

Dan ini adalah kisah mereka. Kisah yang diawali dengan pertemuan yang tidak menyenangkan bagi Miranda. Kisah perjuangan mereka dalam meraih takdir untuk bisa bersama.

***

Story begain.

Sebuah restoran ternama di pusat kota ramai pengunjung. Tidak membiarkan para karyawan bersantai barang sejak. Kecuali saat jam istirahat. Maklum akhir pekan. Apalagi jam makan siang. Pengunjung yang datang dua kali lipat dari biasanya.

Di tengah keramaian itu, empat pria tampan memasuki restoran dengan angkuh. Beberapa gadis yang juga merupakan pengunjung restoran tersebut tampak membenahi penampilan mereka. Menarik perhatian empat pria tampan itu. Tapi, sayangnya empat pria tampan yang merupakan anak konglomerat itu tidak melirik. Berlalu begitu saja mencari tempat duduk.

Setelah menemukan tempat duduk paling pojok agar tidak terlalu menarik perhatian, salah satu pria tampan itu memanggil karyawan restoran. Dia adalah Armand Kafeel Pramudya - Pewaris World Group. Sang pemeran utama. Wajah tampannya tidak dapat diragukan lagi. Dia memiliki mata elang mengintimidasi, rahang kokoh, hidung mancung, bibir tipis, serta alis yang tebal. Jangan lupakan tubuh liatnya yang begitu atletis. Dia bak dewa jelmaan dewa.

Yang menghampiri mereka Adalah Miranda - karyawan yang berwajah pas-pasan, atau bisa digolongkan jelek. Bibir tebal, hidung pesek, kening jenong, dan pipi temben. Berat badan 55 kg dengan tinggi badan 155 CM. Jauh sekali dari kesan menarik.

“Mau pesan apa, Mas?” Miranda bertanya dengan ramah. Memasang senyum terbaiknya.

“Kamu karyawan di sini?” Dahi Gio – salah satu pria tampan itu yang putra pejabat tinggi negara mengernyit. Menatap saksama Miranda dari atas sampai bawah. Tidak cantik seperti karyawan restoran pada umumnya yang sering dia temui.

Miranda yang diperhatikan begitu intens oleh pria itu merasa riskan. Tapi, dia berusaha tenang mengangguk, “Iya, Mas. Mau pesan apa?”

“Hah? Jelek sekali.” Gio menatap remeh Intan, “Ganti yang lain. Yang cantik. Kami tidak ingin dilayani oleh kamu. Buruk rupa.”

Mendengar ucapan Gio, Miranda sebenarnya tersinggung. Tapi, karena tidak ingin membuat masalah dia berusaha mengontrol emosinya, berucap, “Tapi, yang lain sedang sibuk, Mas. Mas lihat sendiri, restoran sedang ramai pengunjung.”

“Pokoknya ganti, kami tidak kamu yang melayani. Yang cantik. Tapi, bukan kamu yang buruk rupa seperti kamu. Bukannya kenyang, adanya selera makan jadinya hilang. Lagi pula bagaimana bisa restoran sebagus ini memperkerjakan karyawan yang jelek seperti kau?”

Miranda yang tidak bisa mengontrol emosinya mendengar hinaan Gio, akhirnya meledak. Dengan penuh emosi dia berucap, “Maaf, Mas. Jika saya mengecewakan Mas kenapa saya bisa bekerja di sini. Karena saya dinilai kinerjanya. Untuk apa cantik jelita jika kinerjanya tidak bagus. Jadi, kalau Mas tidak suka saya yang melayani silakan pergi. Mas tidak bisa egois. Kita sedang ramai. Sibuk.”

“Kamu? Berani, ya?” Gio menatap Miranda dengan sengit, “Kamu mau dipecat? Saya bisa laporkan kamu kepada bos kamu?”

“Silakan saja jika Mas mau melaporkan saya. Saya tidak takut dipecat karena saya tidak melakukan kesalahan. Saya hanya mencoba membela diri jika kinerja saya diragukan hanya karena tidak berparas cantik.” Miranda menatap Gio tidak kalah sengit. Menantang.

Gio tersenyum sinis, “Jadi, kamu menantang ya? Baiklah, kalau begitu – “

Gio hendak berdiri, tapi Armand yang duduk di sebelahnya menahannya. Menggeleng kepala, “Jangan membuat keributan. Kalau kamu tidak ingin makan pergi saja.”

“Tapi, Mand, dia?”

Miranda menatap penuh peringatan pada salah satu sahabatnya baiknya itu.

Ditatap begitu tajam oleh Armand, nyali Gio menciut. Tidak ada satupun di antara mereka yanh berani jika Armand sudah marah. Maka dengan wajah masam dia kembali duduk.

“Baiklah, Mbak. Kita pesan rekomendasinya saja,” ucap Marcus yang merupakan pewaris perusahaan Produsen food negara mereka – memutus suasana tegang tadi.

Miranra lekas mencatat pesanan mereka dicaptain order. Setelah itu melafazkan pesanan empat pria tampan itu.

Merasa apa yang dilafazkan Miranda benar semua, Marcus mengangguk.

“Pesanan kalian akan segera kami siapkan.” Sebelum pergi meninggalkan empat pria tampan itu, Intan membungkuk rendah sebagai sopan santun.

***

“Woah, dia menarik sekali!” Leonel – yang merupakan seorang pengacara berdecak penuh kagum setelah kepergian Intan.

“Kamu bilang perempuan itu menarik?” Dahi Gio mengernyit mendengar pernyataan sahabatnya itu, “Buta mata kamu, Leon? Gadis jelek seperti itu kamu bilang menarik?”

“Tidakkah dia memang menarik? Baru kali ini lho ada yang berani menantang kita. Melototi kamu. Biasa para perempuan itu selalu menatap kita malu-malu.”

Armand berdecih, “Pada dasarnya perempuan itu sama saja, Leon. Mereka itu suka yang mewah dan menawan. Coba saja, Gio dekati perempuan itu besok, aku yakin perempuan itu akan lupa dengan harga dirinya tadi yang dia junjung tinggi. Dia langsung takluk pada Gio.”

“Armand benar,” timpal Gio, "Semua perempuan itu sebenarnya sama. dia tadi hanya sok jual mahal."

“Tapi menurutku dia bukan perempuan seperti itu, Mand. dia sepertinya sulit didekati,” timpal Marcus.

Leonel mengangguk, sependapat, “Iya, aku pikir juga begitu.”

“Aku berani bertaruh. Mobil Lamborghini Aventador SVJ Roadster Grigio Telesto boleh menjadi milikmu kalau ucapanku salah, Leon. Minta saja Gio mendekatinya," ucap Armand dengan penuh tantangan.

Leonel dan Marcus melirik Gio.

Gio menggeleng, “Sorry, aku tidak minat untuk mendekati gadis itu. Sekalipun hanya taruhan. Dia terlalu jelek untukku. Bagaimana aku mau mendekatinya jika menatapnya saja aku malas. Setidaknya dia ada manisnya sedikit. Tapi, ini... tidak ada sedikit pun ada yang menarik dari perempuan itu.”

Mendengar jawaban Gio, Leonel mendesah kecewa. Gagal untuk mendapatkan mobil mahal milik Armand

“Baiklah, kalau begitu aku yang mendekatinya,” cetus Armand.

“Kamu serius, Mand?” tanya Leon setengah tidak percaya.

Armand mengangguk mantap, “Jika dalam waktu seminggu aku gagal menjadikan perempuan itu kekasihku, mobilku menjadi milikmu, Leon.”

Tidak ingin menyia-nyiakan memiliki mobil mahal dengan secara Cuma-Cuma, Leon langsung sepakat, “Okey, awas ya kalau kamu ingkar. Kalian saksinya.” Ia melirik Gio dan Marcus.

Armand mendesis, “Kapan aku ingkar. Kamu boleh pegang ucapanku.”

***

“Wajah kamu kenapa masam begitu, Mira?” tanya Nia yang baru kembali ke pantry bertepatan dengan Intan yang juga baru kembali ke pantry untuk melaporkan pesanan empat pria tadi kepada bagian dapur, mendapati wajah sahabatnya itu ditekuk masam.

“Itu....” Miranda melirik empat pria tampan tadi. Menceritakan kejadian yang tidak menyenangkan yang dia alami dengan salah satu empat pria itu.

“Woah, sombong sekali dia! Mentang-mentang dia orang kaya dan tampan seenaknya menghina fisik dan merendahkan pekerjaan seseorang.” Nia menggeram setelah Miranda menyelesaikan ceritanya. Turut kesal.

Miranda menanggapi komentar Nia dengan senyum tipis, “Ya, namanya juga orang kaya. Mereka bebas menggunakan mulut mereka. Tanpa peduli jika perkataan mereka menyakiti perasaan orang lain.”

“Tidak bisa begitu, Mira. Meski pun dia orang kaya, derajat kita sama di mata Tuhan. Tidak ada yang namanya si miskin dan si kaya. Si jelek dan si cantik. Jadi, Dia tidak berhak mencela orang.”

Miranda mengedikan bahu, “Tapi sayangnya tidak banyak manusia paham dengan apa yang kamu katakan tadi, Nia. Jika semua manusia di dunia ini sama, orang miskin seperti kita tidak akan pernah diuji kesabarannya.”

“Iya, kamu benar, Mir.” Nia mengangguk, sependapat.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status