Hello, My Destiny

Hello, My Destiny

Oleh:  Awan Senja  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
13Bab
422Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Kita tidak pernah tahu ke mana takdir akan membawa. Bagaimana hukum alam bekerja. Kadang apa yang kita anggap tidak mungkin bisa saja terjadi jika Tuhan menghendakinya. *** Karena taruhan dengan sahabatnya, takdir membawa Armand Kafeel Pramudya mengenal sosok Miranda. Gadis desa yang bekerja di restoran berwajah pas-pasan. Kesederhanaan gadis itu membuat Armand, yang tidak percaya lagi akan cinta, takluk dengan gadis itu. Tidak peduli seberapa keras dia menyangkal. Mengatakan tidak mungkin. Namun karena perbedaan status sosial mereka yang jauh berbeda, Miranda tidak mudah semerta merta menerima perasaannya. Apalagi setelah mengetahui awal dia mendekati perempuan itu. Butuh usaha keras bagi Armand untuk meyakini Miranda. Bahwa dia tulus mencintai perempuan itu. Lantas bagaimana perjuangan Armand untuk membuat Mirand membuka hati untuknya? Dapatkah takdir menyatuhkan mereka kala perbedaan status sosial mereka yang begitu mencolok? ***

Lihat lebih banyak
Hello, My Destiny Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
13 Bab
Bab 1
Armand Kafeel Pramudya pernah memberikan seluruh hatinya kepada perempuan. Namun sayangnya hatinya dipatahkan oleh sebuah pengkhianatan. Hingga pria itu tidak pernah percaya lagi akan cinta dan perempuan, termaksud ibu kandungnya sendiri. Baginya cinta hanyalah kelemahan. Lalu takdir mempertemuannya dengan gadis bernama Miranda kembali mengantarkan perasaan yang dia benci itu, cinta. Tidak peduli seberapa keras dia menyangkal, dia menginginkan perempuan sederahana itu. *** Namanya hanya Miranda, tanpa nama belakang. Sesederhana namanya, orangnya juga sederhana. Perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu selalu memikirkan bagaimana jodohnya suatu hari. Pria seperti apa yang akan menikahinya. Apakah dia pria yang bertanggung jawab dan pekerja keras? Itulah yang dia pikirkan tentang jodohnya. Dia tidak pernah berpikir jodohnya harus tampan dan kaya. Karena dia cukup sadar diri siapa dirinya. Dia hanyalah gadis biasa saja berparas pas-pasan, atau bisa dikatakan jelek. Baginya kisah klise
Baca selengkapnya
Bab 2
“Ugh lelahnya. Tubuhku rasanya remuk redam. Aku ingin cepat-cepat sampai kosan. Istirahat.” Nia menyeletuk sambil merenggangkan otot-ototnya yang kaku di depan restoran. Hendak pulang kerja. Miranda yang berdiri di samping gadis itu mengangguk. Sependapat. “Kapan, ya, aku punya kekasih seorang CEO? Lalu menikah dengannya. Hidupku pasti menyenangkan sekali. Aku tidak perlu capek-capek kerja lagi. Kerjaanku hanya mengurus suami, anak, dan shopping,” ucap Nia penuh harapan. Mendengar celetukan temannya itu, Miranda menyeringai, “Kamu terlalu banyak baca novel dan nonton drama, Nya. Mimpi kamu terlalu tinggi. Sekekas CEO mana mau dengan gadis miskin seperti kita. Selera mereka pastilah harus selevel dengan mereka.” Nia mengedikan bahu, “Siapa yang tahu, kan? Bisa saja mereka khilaf. Memang kamu tidak mau apa jika memiliki kekasih seorang CEO?” “Terlintas saja tidak di benakku. Aku cukup sadar diri siapa aku. Cantik tidak, kaya jauh. Berharap bisa menikah dengan pria tampan dan ka
Baca selengkapnya
Bab 3
Bruk. Miranda menghempaskan tubuhnya dengan kasar di tempat tidur setiba di kosannya. Tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu seperti yang biasa lakukan. Dia sudah tidak tahan lagi, tubuhnya terlalu penat untuk melakukan hal tersebut. Restoran tempatnya bekerja begitu ramai. Dia ingin merilekskan sejenak tubuhnya. Selagi menyantaikan diri, Miranda menerawang langit kosannya. Mengingat kejadian yang terjadi hari ini. Ingatan Intan terjadi saat dia melayani empat pria tampan tadi di restoran. Masih terngiang jelas dalam ingatan Miranda bagaimana salah satu pria itu menghinanya tadi. Meremehkan dirinya. Miranda rasanya kesal sekali jika mengingat kejadian itu. Memang apa salahnya jika orang jelek sepertinya bekerja di tempat yang elit? Apa orang yang bekerja di tempat yang bagus hanya boleh orang yang cantik dan tampan saja? Orang jelek sepertinya tidak layak. Tidak peduli seberapa bagus kinerjanya. Lantas di manakah tempat yang layak untuk orang jelek sepertinya? Dan apa pekerjaann
Baca selengkapnya
Bab 4
Miranda kembali santai setelah mengatar makanan Armand. Restoran kembali sepi. Perempuan itu berdiri di pantry bersama Nia, yang asik bercerita. Tapi sayangnya, dia tidak mendengarkan sahabatnya itu. Dia diam-diam mengamati Armand yang sedang menyantap makanannya. Entah kenapa dia mempunyai firasat buruk terhadap pria itu. Pasalnya aneh sekali. Padahal seumur hidupnya belum ada pria asing yang mengajaknya berkenalan. Apa lagi pria itu sangat tampan. Tentu Miranda merasa heran. Apa alasan pria itu mengajaknya berkenalan? Biasanya pria asing mengajak perempuan berkenalan itu karena punya ketertarikan. Tapi menengok siapa dirinya, rasanya tidak mungkin jika pria itu tertarik dengannya. Lantas apa alasan pria bernama Revan itu mengajaknya berkenal? Apa benar hanya ingin berteman? “Iya, kan, Mir?” Nia menepuk pundak Miranda. Membuyarkan Intan dari keterpakuannya. Miranda terkesiap, “Apa, Nya. Kamu ngomong apa?” Nia menepuk dahinya, “Kamu dari tadi bengong, Mir. Tidak mendengarkan
Baca selengkapnya
Bab 5
Armand mendesah ketika melihat jam di pergelangannya sudah menunjukkan jam dua belas siang. Waktunya istirahat. Makan siang. Armand lekas menonaktifkan komputernya, beranjak dari kursi kebesarannya. Kalau boleh jujur sebenarnya malas makan siang di luar. Pekerjaannya menumpuk. Dia lebih suka makan siang kantornya sambil memeriksa berkas. Namun demi melancarkan misinya menaklukkan gadis bernama Miranda itu, dia tidak punya pilihan. Apa boleh buat. Dengan berat hati dia menjeda sejenak pekerjaannya. Bahkan Davin – Sekretaris Armand itu juga merasa heran. Tidak biasanya bos mereka meninggalkan meja kerjanya selain pulang. Namun sebagai sekretaris yang baik, tidak ambil pusing. Enggan ikut campur. Dan kebetulan sekali ketika Armand tiba di restoran itu, Miranda berada di pantry. Dengan senyum tampan di wajahnya, dia menyapa pria itu, “Hai.” *** Miranda yang baru kembali ke pantry usai membersihkan meja yang baru ditinggal pengunjung tidak bisa menyembunyikan keterkejutan ket
Baca selengkapnya
Bab 6
Miranda menarik napas panjang, menghempaskan tubuhnya di tempat tidur dengan kasar setiba di kosan. “Kenapa kamu?” Nia – yang baru keluar dari kamar mandi bertanya. Hari ini perempuan itu libur untuk memindahi barang-barangnya ke kosan Miranda. Beberapa hari yang lalu, mereka berdua sudah sepakat tinggal bersama untuk meringkan biaya tempat tinggal. Karena Nia juga anak rantauan. Datang ke kota untuk mengadu nasib sama seperti Miranda. Dan nasib mereka juga tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama anak sulung dari tiga bersaudara dan tidak memiliki figur ayah lagi. Sebab itulah mereka jadi dekat dari dulu sampai sekarang hingga berani memutuskan tinggal bersama. “Capek, ya? Memang restoran hari ini ramai?” tanyanya lagi kala Miranda tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Sambil mengeringkan handuk dengan rambut, dia ikut duduk di samping Miranda yang terbaring. Miranda menggeleng, “Tidak juga.” “So? Apa yang membuat kamu lusuh sekali?” Miranda melirik sang sahabat, beringsut duduk, “K
Baca selengkapnya
Bab 7
Brak. Miranda sedang memasukkan tasnya ke dalam loker ketika Darah menutup pintu lokernya dengar kasar. Membuatnya terlonjak karena kaget. Untung tangannya sudah berada di luar. Jika masih di dalam bisa di pastikan tangannya cacat. Karena aksi tidak sopan Darah, Miranda menatap perempuan itu dengan nanar, penuh amarah, “Kamu apa-apaan, Dar? Apa masalahmu?” “Apa hubunganmu dengan pria itu?” tanya Darah dengan nada sinis miliknya setiap kali berhadapan dengan Miranda. Dahi Miranda berkerut menatap Darah, “Pria siapa maksudmu?” “Pria yang menyapamu hari itu? Siapa dia? Apa hubungan kalian? Kenapa dia mencarimu tadi?” “Maksudmu Armand? Dia datang lagi?” tukas Miranda dengan alis bertaut. Melupakan sejenak kesinisan Darah. Dia tidak menduga jika Armand datang lagi. Untungnya hari ini, dia berniat menukar jadwalnya dengan Nia. Jadi mereka tidak perlu bertemu. “Oh, jadi namanya Armand.” “Oh, jadi namanya Armand?” Darah tersenyum sinis, “Apa hubungan kalian? Bagaimana kamu bisa
Baca selengkapnya
Bab 8
“Apa? Kamu mau mengantarku pulang?” Mata Miranda melebar mendengar penuturan pria itu. Armand mengangguk, “Iya. Kalau begitu, ayo, aku antar kamu pulang.” Alena menggeleng, “Tidak perlu, Armand. Kita tidak sedekat itu hingga kamu mau mengantarku pulang.” “Justru itu. Bukankah bagus jika aku mengantarmu pulang? Dengan begitu kita bisa dekat. Saling mengenal,” sanggah Armand, “Jadi, tunggu apa lagi. Ayo, aku antar kamu pulang.” “Tidak usah Armand. Aku bisa pulang sendiri. Tempat tinggalku tidak jauh dari. Jadi, kamu tidak perlu repot-repot mengantarku pulang,” tolak Miranda. Armand menggeleng, “Tidak masalah. Aku sama sekali tidak merasa direpotkan. Lagi pula bahaya jika seorang perempuan pulang sendiri di malan hari seperti ini. Bahaya.” “Aku sudah biasa. Selama ini tidak terjadi apa pun padaku. Jadi tidak perlu repot mengantarku pulang.” “Tetap saja. Aku tidak tega melihat seorang pulang sendiri malam-malam seperti ini. Jadi, ayo aku antar pulang. Jangan merasa sungkan. S
Baca selengkapnya
Bab 9
Miranda menghampiri Armand dengan malas yang lagi, lagi, dan lagi datang ke restoran. Sesuai ucapan pria itu waktu pamit dengannya semalam. Untung hari ini, dia kembali memutuskan menukar jadwal kerjanya pagi dengan Nia. Rasanya lebih aman menghindari pria itu di siang hari dari pada malam hari.Tadi, sebenarnya Rafi sudah menghampiri Armand lebih dulu. Tapi, pria itu mengotot ingin Miranda yang menghampirinya. Tidak yang lain. Tidak peduli jika Miranda sedang sibuk dengan pengujung lain. Dia tetap ingin Miranda.Tidak ingin ada keributan, Rafi mengalah. Menggantikan Miranda yang sedang melayani pengunjung lain. Menyerahkan Armand kepada perempuan itu.Miranda tidak punya pilihan. Dalam hati dia mengumpati pria itu. Sialan. Armand menyebalkan. Dia yakin sekali setelah ini para karyawan restoran pasti penasaran sekali dengan hubungan mereka. Bertanya-tanya.Maka setiba di hadapan pria itu dengan datar, Miranda bertanya, “Kamu mau pesan apa, Armand?”“Menurut kamu apa yang paling enak d
Baca selengkapnya
Bab 10
Setelah menempuh perjalanan dua puluh menit mereka tiba di tempat tujuan. Langsung memesan tiket. “Filmnya akan di putar sejam lagi. Bagaimana kalau kita keliling dulu?” ujar Armand setelah mereka usai memesan tiket. Miranda mengangguk, sependapat. Mereka berjalan bersisian menelusuri pusat perbelanjaan yang menyediakan gedung bioskop tempat mereka menonton itu. Tapi bukan Pusat Perbelanjaan milik keluarga Armand. Dia tidak mungkin mengajak Miranda menonton di sana. Takutnya ada pengelola Pusat Perbelanjaan milik keluarganya itu mengenalnya. Bisa-bisa dia menjadi bahan gosip di perusahaan kedapatan berjalan berdua dengan perempuan. Armand yang didesak untuk segera menikah oleh keluarganya pasti langsung disidang jika gosipnya jalan berdua bersama perempuan sampai ke telinga keluarganya. Ditanya kapan memperkenalkan perempuan itu kepada mereka. Dan, dia tidak ingin itu terjadi. Miranda hanya bahan taruhan, tidak pernah berniat serius. Apalagi menikah tidak pernah ada dalam kamus pr
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status