Share

Bab 2

Author: Awan Senja
last update Last Updated: 2023-03-10 13:46:00

“Ugh lelahnya. Tubuhku rasanya remuk redam. Aku ingin cepat-cepat sampai kosan. Istirahat.” Nia menyeletuk sambil merenggangkan otot-ototnya yang kaku di depan restoran. Hendak pulang kerja.

Miranda yang berdiri di samping gadis itu mengangguk. Sependapat.

“Kapan, ya, aku punya kekasih seorang CEO? Lalu menikah dengannya. Hidupku pasti menyenangkan sekali. Aku tidak perlu capek-capek kerja lagi. Kerjaanku hanya mengurus suami, anak, dan shopping,” ucap Nia penuh harapan.

Mendengar celetukan temannya itu, Miranda menyeringai, “Kamu terlalu banyak baca novel dan nonton drama, Nya. Mimpi kamu terlalu tinggi. Sekekas CEO mana mau dengan gadis miskin seperti kita. Selera mereka pastilah harus selevel dengan mereka.”

Nia mengedikan bahu, “Siapa yang tahu, kan? Bisa saja mereka khilaf. Memang kamu tidak mau apa jika memiliki kekasih seorang CEO?”

“Terlintas saja tidak di benakku. Aku cukup sadar diri siapa aku. Cantik tidak, kaya jauh. Berharap bisa menikah dengan pria tampan dan kaya raya?” Miranda menggeleng, “Bagiku kisah klise pangeran tampan dan upik abu buruk rupa hanya ada di novel, dongeng, dan drama semata. Tidak terjadi di dunia nyata.”

“Jangan menyerah dulu, Mir. Kita tidak pernah tahu ke mana takdir membawa. Bagaimana hukum alam bekerja. Kadang apa yang kita anggap tidak mungkin bisa saja terjadi jika Tuhan menghendakinya.”

“Ya, ya, terserah kamu saja, Nya.” Miranda malas menanggapi, “Ngomong-ngomong aku mau ke supermarket dulu. Aku mau beli perlengkapan mandiku yang habis. Soalnya minggu ini aku shift pagi. Tidak sempat ke pasar. Kamu mau ikut tidak?”

Nia menggeleng, “Tidak, ah. Aku mau langsung pulang. Capek soalnya.”

“Ya sudah, kalau begitu aku sendiri saja. Sampai jumpa besok, Nya.” Miranda pamit undur diri, melambai tangan.

Nia mengangguk, “Sampai jumpa besok.”

Dua rekan kerja sekaligus bersahabat itu, yang berbeda arah tempat tinggal berpisah.

Namun Miranda tidak segera pulang seperti Nia. Seperti rencananya tadi, dia ingin ke supermarket yang ada di Pusat Perbelanjaan yang lokasinya tidak jauh dari restoran tempatnya bekerja. Bisa di katakan berdampingan. Masih di kawasan yang sama. Mungkin pemilik tanahnya satu orang.

Miranda berniat membeli perlengkapan mandinya yang habis. Pasalnya minggu ini dia shift pagi. Tidak sempat ke pasar. Sementara beli di warung kadang harganya lebih mahal dari pasar dan supermarket.

Setiba di sana, Miranda langsung menuju tempat benda yang dia cari. Tidak sulit baginya menemukan benda-benda yang dia butuhkan itu. Sering mengunjungi supermarket tersebut membuatnya hafal betul susunan barang-barang di sana.

Setelah mendapatkan semua benda yang dia butuhkan, Miranda lekas melakukan transaksi di kasa pembayaran. Tidak lama. Hanya butuh waktu kurang lebih dua menit. Karena memang belanjaannya tidak banyak. Setelah itu, Miranda mengucapkan terima kasih, mengambil kembalian.

Namun setelah semeter meninggalkan kasa pembayaran, Miranda berhenti ketika menghitung kembalian dari kasir itu lebih dua puluh ribu. Dia kembali lagi ke kasa pembayaran untuk mengembalikan kembalian yang lebih tadi.

Kasir itu sempat terpaku sejenak, berucap, “Terima kasih ya, Mbak.” .

Miranda mengangguk, kali ini benar-benar meninggalkan kasa pembayaran. Dia memang miskin tapi bukan berarti, dia harus mengambil yang bukan haknya.

***

Matahari sudah hampir kembali ke perpaduan ketika Miranda keluar dari Pusat Perbelanjaan. Jalan raya dipadati oleh kendaraan. Bunyi klakson bersahutan berebutan paling cepat. Maklum jam pulang kerja.

Miranda mendesah kecewa. Niat hati dia berniat menyeberang jalan raya melanggar aturan lalu lintas yang tidak memiliki tanda pejalan kaki untuk menyeberang untuk pertama kalinya tidak jadi. Terpaksa menaiki jembatan penyeberang. Padahal dia lelah sekali hari ini. Tapi apa boleh buat. Dari pada ke tabrak, dia masih sayang nyawa.

Namun langkah Miranda yang hendak menaiki tangga penyeberangan terhenti. Ketika melihat seorang kakek menyeberangi jalan. Nekat sekali. Dia sendiri saja tidak berani, tapi kakek itu...

Miranda mendesa. Tidak tega melihat kakek itu tampak kesulitan menyeberangi jalan raya, dia akhirnya terpaksa menyeberangi jalan raya. Bergegas menyusul kakek itu, berjalan bersisian. Dia merentangkan tangan, memberi isyarat kepada pengendara kendaraan agar memelankan laju kendaraan mereka.

Walau harus menerima banyak makian dari pengendara karena dia dan kakek itu nekat menyeberangi jalan raya yang ramai, Miranda dan kakek itu sampai dengan selamat.

Kakek itu mengulas senyum pada Miranda, “Terima kasih, ya, Nak.” Walau tanpa tersirat, dia tahu gadis muda itu telah menolongnya menyeberang.

Miranda mengangguk, membalas senyum.

Namun tanpa Miranda sadari di seberang jalan raya, yang tidak jauh dari halte, seorang pria yang mengikuti perempuan itu sejak di kasa pembayaran tersenyum penuh arti kepada gadis itu. Dia cukup terkesan dengan Miranda. Gadis itu tidak hanya jujur, tapi juga berhati lembut. Ah, dia jadi semakin tertantang mendekati Miranda. Dia penasaran bagaimana kehidupan gadis itu.

***

Setelah hampir tiga jam mereka mengobrol di restoran tempat mereka makan siang, Armand dan teman-temannya meninggalkan restoran tersebut.

Namun ketika teman-temannya memilih nongkrong ke lokasi berikutnya, Armand memilih untuk meninjau Pusat Perbelanjaan yang merupakan salah satu usaha keluarganya secara mandiri. Yang lokasinya tidak jauh dari restoran tersebut. Bisa dikatakan masih sekawasan tanah milik keluarganya.

Setelah hampir satu jam lebih berkeliling, Armand merasa haus. Dia memutuskan untuk membeli air mineral di Supermarket di pusat perbelanjaan tersebut.

Tidak butuh waktu lama, Armand menemukan apa yang dia cari. Dia lekas menuju kasa pembayaran yang penuh oleh pengunjung. Mau tidak mau dia harus mengantre walau pewaris gedung itu. Mengikuti kebijakan aturan supermarket itu. Dahulukan yang lebih.

Setelah beberapa detik menunggu, Armand tertegun sejenak menyadari pengunjung yang sedang melakukan transaksi di hadapannya. Yang tidak lain gadis yang menjadi bahan taruhannya dengan Gio tadi di restoran. Entah kebetulan apa ini? Namun sayangnya gadis itu tidak menyadarinya sampai usai melakukan transaksi.

Saat gilirannya yang hendak melakukan transaksi usai gadis itu, Armand terkejut saat gadis itu kembali lagi. Mengembalikan kembalian yang lebih kepada kasir. Dalam hati dia berdecak kagum dengan kejujuran gadis itu. Biasanya kebanyakan orang pura-pura tidak tahu saja jika kembaliannya lebih. Lain hal jika kembaliannya kurang, mereka protes, meminta.

Karena belanjaannya hanya satu, tidak lama bagi Armand melakukan transaksi. Pria itu bergegas menyusul gadis yang menjadi taruhannya dan Gio itu. Entah dapat dorongan dari mana, dia diam-diam mengikuti gadis itu. Langkahnya barulah berhenti setelah gadis itu hendak menaiki tangga penyeberang.

Namun ketika melihat gadis itu tidak bergerak selama beberapa detik kaki anak tangga, dahi Armand mengernyit. Kenapa gadis itu diam saja? Pikirnya.

Armand mengikuti arah pandang gadis itu yang menatap jalan raya. Di mana seorang kakek terlihat kesulitan menyeberangi jalan raya.

Tidak lama gadis itu menyusul kakek itu menyeberangi jalan raya, berjalan bersisian.

Armand yang sadar jika gadis itu menyeberangi jalan raya untuk membantu kakek itu menyeberang bergumam, “Benar-benar gadis yang unik. Tidak hanya berani, jujur, tapi dia juga berhati lembut. Aku semakin tertantang menaklukkannya. Penasaran seperti apa dia? Benarkah dia gadis yang susah ditaklukkan? Mari kita lihat, aku atau dia yang kalah.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hello, My Destiny   Bab 13

    Miranda mendesa lega setelah melihat mobil Armand melaju meninggalkan halaman kosannya melalu kaca jendela. Rasanya beban di dadanya terangkat setelah mengatakan yang apa yang mengganggu pikirannya akhir-akhir. Dia harap pria itu mendengarkan ucapannya tadi. Tidak menemuinya lagi. Jadi dia tidak perlu merasa waspada lagi. Alasan pria itu menyukainya tidak cukup membuatnya percaya. Tidak begitu kuat. Hanya karena dia mengembalikan uang kembali yang lebih dan membantu seorang kakek menyeberang jalan raya, Armand tertarik padanya? Sungguh? Miranda menggeleng. Itu tidak mungkin. Hal yang dia lakukan itu terlalu kecil untuk membuat pria tampan dan kaya seperti Armand tertarik kepadanya. Sementara dia sering melalukan kebaikan lebih dari itu. Seperti memberi fakir miskin di jalan, memberi donasi kepada orang yang membutuhkan setiap bulannya. Tetapi, tetap tidak membuat mantan kekasihnya dulu jatuh hati kepadanya. Pria itu hanya menganggapnya uang berjalan saja. Bagi Miranda, alasan Arman

  • Hello, My Destiny   Bab 12

    “Hoam!” Miranda menguap lebar setelah mereka dalam perjalanan pulang. Lelah bekerja dan jalan-jalan bersama Armand tadi, ditambah perut kenyang membuatnya mengantuk. Namun dia berusaha tetap terjaga. Takut Armand berbuat macam-macan dengannya. Walau sebenarnya apa yang harus dilihat dari. Dia tidak menarik. Tetapi tidak ada salahnya berjaga-jaga. Armand khilaf.“Tidur saja jika mau tidur. Kalau sudah sampai nanti aku akan membangunkan,” ucap Armand melirik Miranda yang sudah beberapa kali menguap.“Tidak. Aku tidak mengantuk, hanya menguap saja,” elak Miranda.“Begitu, ya?” Armand mengangguk-angguk. Tidak lagi berkomentar. Padahal dia tahu betul Miranda sedang berbohong. Terlihat jelas sekali mata perempuan itu terlihat kuyu sekali. Entah apa alasan perempuan itu menahan kantuknya.Lima menit kemudian, Miranda tidak kuasa lagi menahan kantuknya. Perempuan itu jatuh tertidur.Armand yang melihat itu hanya tersenyum tipis, fokus mengemudi.Dua puluh menit kemudian mereka sampai. Armand

  • Hello, My Destiny   Bab 11

    “Bagaimana film tadi menurut kamu, Ra? Kamu suka?” tanya Armand saat mereka keluar studio bioskop. Usai menonton dua jam lima belas menit lamanya. “Aku suka. Filmnya bagus. Aku bahkan tidak merasa jika filmnya sudah selesai,” jawab Miranda adanya, tidak berbohong. Selain dia memang suka film bergenre Fantasi dan aksi, film tadi memang menarik. Dari alur cerita, efek gambar, hingga akting dari para pemainnya. Apik sekali. Dia acungi jempol tadi. Armand mengangguk-angguk, “Syukurlah kalau kamu suka. Tadi aku sempat khawatir gendernya tidak sesuai selera kamu.” Miranda tidak berkomentar, melirik jam tangan tiruan di pergelangan tangannya, “Sudah jam delapan lewat. Ayo, kita pulang.” Armand mengangguk, “Tapi sebelum pulang kita makan malam dulu, Ra.” “Tidak usah, Armand. Kita langsung pulang.” Armand menggeleng, “Tidak ada penolakan. Aku sudah mengajak kamu menonton, aku tidak akan memulangkan anak orang dalam keadaan kelaparan.” “Baiklah, terserah kamu saja.” Miranda mengalah. La

  • Hello, My Destiny   Bab 10

    Setelah menempuh perjalanan dua puluh menit mereka tiba di tempat tujuan. Langsung memesan tiket. “Filmnya akan di putar sejam lagi. Bagaimana kalau kita keliling dulu?” ujar Armand setelah mereka usai memesan tiket. Miranda mengangguk, sependapat. Mereka berjalan bersisian menelusuri pusat perbelanjaan yang menyediakan gedung bioskop tempat mereka menonton itu. Tapi bukan Pusat Perbelanjaan milik keluarga Armand. Dia tidak mungkin mengajak Miranda menonton di sana. Takutnya ada pengelola Pusat Perbelanjaan milik keluarganya itu mengenalnya. Bisa-bisa dia menjadi bahan gosip di perusahaan kedapatan berjalan berdua dengan perempuan. Armand yang didesak untuk segera menikah oleh keluarganya pasti langsung disidang jika gosipnya jalan berdua bersama perempuan sampai ke telinga keluarganya. Ditanya kapan memperkenalkan perempuan itu kepada mereka. Dan, dia tidak ingin itu terjadi. Miranda hanya bahan taruhan, tidak pernah berniat serius. Apalagi menikah tidak pernah ada dalam kamus pr

  • Hello, My Destiny   Bab 9

    Miranda menghampiri Armand dengan malas yang lagi, lagi, dan lagi datang ke restoran. Sesuai ucapan pria itu waktu pamit dengannya semalam. Untung hari ini, dia kembali memutuskan menukar jadwal kerjanya pagi dengan Nia. Rasanya lebih aman menghindari pria itu di siang hari dari pada malam hari.Tadi, sebenarnya Rafi sudah menghampiri Armand lebih dulu. Tapi, pria itu mengotot ingin Miranda yang menghampirinya. Tidak yang lain. Tidak peduli jika Miranda sedang sibuk dengan pengujung lain. Dia tetap ingin Miranda.Tidak ingin ada keributan, Rafi mengalah. Menggantikan Miranda yang sedang melayani pengunjung lain. Menyerahkan Armand kepada perempuan itu.Miranda tidak punya pilihan. Dalam hati dia mengumpati pria itu. Sialan. Armand menyebalkan. Dia yakin sekali setelah ini para karyawan restoran pasti penasaran sekali dengan hubungan mereka. Bertanya-tanya.Maka setiba di hadapan pria itu dengan datar, Miranda bertanya, “Kamu mau pesan apa, Armand?”“Menurut kamu apa yang paling enak d

  • Hello, My Destiny   Bab 8

    “Apa? Kamu mau mengantarku pulang?” Mata Miranda melebar mendengar penuturan pria itu. Armand mengangguk, “Iya. Kalau begitu, ayo, aku antar kamu pulang.” Alena menggeleng, “Tidak perlu, Armand. Kita tidak sedekat itu hingga kamu mau mengantarku pulang.” “Justru itu. Bukankah bagus jika aku mengantarmu pulang? Dengan begitu kita bisa dekat. Saling mengenal,” sanggah Armand, “Jadi, tunggu apa lagi. Ayo, aku antar kamu pulang.” “Tidak usah Armand. Aku bisa pulang sendiri. Tempat tinggalku tidak jauh dari. Jadi, kamu tidak perlu repot-repot mengantarku pulang,” tolak Miranda. Armand menggeleng, “Tidak masalah. Aku sama sekali tidak merasa direpotkan. Lagi pula bahaya jika seorang perempuan pulang sendiri di malan hari seperti ini. Bahaya.” “Aku sudah biasa. Selama ini tidak terjadi apa pun padaku. Jadi tidak perlu repot mengantarku pulang.” “Tetap saja. Aku tidak tega melihat seorang pulang sendiri malam-malam seperti ini. Jadi, ayo aku antar pulang. Jangan merasa sungkan. S

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status