Share

Bab 2

Author: Awan Senja
last update Last Updated: 2023-03-10 13:46:00

***

Matahari sudah hampir kembali ke perpaduan ketika Miranda keluar dari Pusat Perbelanjaan. Jalan raya dipadati oleh kendaraan. Bunyi klakson bersahutan berebutan paling cepat. Maklum jam pulang kerja.

Miranda mendesah kecewa. Niat hati dia berniat menyeberang jalan raya melanggar aturan lalu lintas yang tidak memiliki tanda pejalan kaki untuk menyeberang untuk pertama kalinya tidak jadi. Terpaksa menaiki jembatan penyeberang. Padahal dia lelah sekali hari ini. Tapi apa boleh buat. Dari pada ke tabrak, dia masih sayang nyawa.

Namun langkah Miranda yang hendak menaiki tangga penyeberangan terhenti. Ketika melihat seorang kakek menyeberangi jalan. Nekat sekali. Dia sendiri saja tidak berani, tapi kakek itu...

Miranda mendesa. Tidak tega melihat kakek itu tampak kesulitan menyeberangi jalan raya, dia akhirnya terpaksa menyeberangi jalan raya. Bergegas menyusul kakek itu, berjalan bersisian. Dia merentangkan tangan, memberi isyarat kepada pengendara kendaraan agar memelankan laju kendaraan mereka.

Walau harus menerima banyak makian dari pengendara karena dia dan kakek itu nekat menyeberangi jalan raya yang ramai, Miranda dan kakek itu sampai dengan selamat.

Kakek itu mengulas senyum pada Miranda, “Terima kasih, ya, Nak.” Walau tanpa tersirat, dia tahu gadis muda itu telah menolongnya menyeberang.

Miranda mengangguk, membalas senyum.

Namun tanpa Miranda sadari salah pengemudi mobil yang melintasi yang mengenalnya tersenyum penuh arti melihatnya. Pria itu terkesan dengan Miranda. Gadis itu tidak hanya berani menantang Gio, tetapi perhatian pada sekitarnya. Dia jadi tertantang mendekati gadis itu. Apakah gadis itu memang punya sisi yang baru saja dia lihat atau hanya topeng belaka

***

Usai makan di restoran dan mengobrol cukup panjang, Armand memilih memisahkan diri dari ketiga temannya. Dia ingin meninjau Pusat Perbelanjaan yang menjadi salah satu anak usaha perusahaan keluarganya - yang letaknya berdampingan dengan restoran tersebut secara mandiri. Sudah lama sekali dia tidak meninjau Pusat Perbelanjaan tersebut. Mumpung dia sedang ada di sana jadi dia ingin mampir.

Setelah hampir dua jam meninjau, Armand memutuskan pulang. Saat mobilnya memasuki jalan raya, Armand tidak sengaja melihat seorang perempuan yang tidak asing menyeberangi jalan raya berjalan bersisian dengan seorang kakek-kakek. Membantu kakek itu menyebrang. Dia cukup terkesan dengan sikap penuh perhatian perempuan itu. Ternyata perempuan itu tidak hanya berani, tetapi juga memiliki sisi penuh perhatian pada sekitarnya. Dia menjadi semakin tertantang menaklukan perempuan itu.

***

Sampai di kosannya yang berukuran 5×5 m², Miranda menghempaskan tubuhnya yang lelah di tempat tidur dengan kasar. Bersama dengan suasana hatinya yang buruk usai bertemu dengan customer  tampan yang sombong tadi yang meragukan integritasnya dalam bekerja hanya karena dia tidak cantik. Memang apa salahnya orang jelek sepertinya bekerja di tempat bagus? Bukankah setiap orang bebas bekerja di mana saja selama mereka tekun?

 

 “Wajah kamu kenapa masam begitu, Mira?” tanya Nia – teman sejak kecil sekaligus temannya sekosannya dari kamar mandi bertanya melihat wajah Miranda yang ditekuk.

 

Miranda menghela napas kasar sebelum berujar, “Aku tadi bertemu dengan customer yang menyebalkan sekali.”

 

“Menyebalkan bagaimana?” Nia mendaratkan pantatnya di tempat tidur, menyalakan televisi.

 

 

Dengan penuh emosi Miranda menceritakan kejadian suasana hatinya buruk itu dengan penuh emosi.

 

 

 “Woah, sombong sekali dia! Mentang-mentang dia orang kaya dan tampan seenaknya menghina fisik dan merendahkan pekerjaan seseorang.” Nia menggeram setelah Miranda menyelesaikan ceritanya. Turut kesal.

 

 

 Miranda menanggapi komentar Nia dengan senyum tipis, “Ya, namanya juga orang kaya. Mereka bebas menggunakan mulut mereka. Tanpa peduli jika perkataan mereka menyakiti perasaan orang lain.”

 

 

 “Tidak bisa begitu, Mira. Meski pun dia orang kaya, derajat kita sama di mata Tuhan. Tidak ada yang namanya si miskin dan si kaya. Si jelek dan si cantik. Jadi, Dia tidak berhak mencela orang.”

 

 

 Miranda mengedikan bahu, “Tapi sayangnya tidak banyak manusia paham dengan apa yang kamu katakan tadi, Nia. Jika semua pikiran manusia di dunia ini sama, orang miskin seperti kita tidak akan pernah diuji kesabarannya.”

 

 

 “Iya, kamu benar.” Nia mengangguk, sependapat,.

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hello, My Destiny   Bab 13

    Miranda mendesa lega setelah melihat mobil Armand melaju meninggalkan halaman kosannya melalu kaca jendela. Rasanya beban di dadanya terangkat setelah mengatakan yang apa yang mengganggu pikirannya akhir-akhir. Dia harap pria itu mendengarkan ucapannya tadi. Tidak menemuinya lagi. Jadi dia tidak perlu merasa waspada lagi. Alasan pria itu menyukainya tidak cukup membuatnya percaya. Tidak begitu kuat. Hanya karena dia mengembalikan uang kembali yang lebih dan membantu seorang kakek menyeberang jalan raya, Armand tertarik padanya? Sungguh? Miranda menggeleng. Itu tidak mungkin. Hal yang dia lakukan itu terlalu kecil untuk membuat pria tampan dan kaya seperti Armand tertarik kepadanya. Sementara dia sering melalukan kebaikan lebih dari itu. Seperti memberi fakir miskin di jalan, memberi donasi kepada orang yang membutuhkan setiap bulannya. Tetapi, tetap tidak membuat mantan kekasihnya dulu jatuh hati kepadanya. Pria itu hanya menganggapnya uang berjalan saja. Bagi Miranda, alasan Arman

  • Hello, My Destiny   Bab 12

    “Hoam!” Miranda menguap lebar setelah mereka dalam perjalanan pulang. Lelah bekerja dan jalan-jalan bersama Armand tadi, ditambah perut kenyang membuatnya mengantuk. Namun dia berusaha tetap terjaga. Takut Armand berbuat macam-macan dengannya. Walau sebenarnya apa yang harus dilihat dari. Dia tidak menarik. Tetapi tidak ada salahnya berjaga-jaga. Armand khilaf. “Tidur saja jika mau tidur. Kalau sudah sampai nanti aku akan membangunkan,” ucap Armand melirik Miranda yang sudah beberapa kali menguap. “Tidak. Aku tidak mengantuk, hanya menguap saja,” elak Miranda. “Begitu, ya?” Armand mengangguk-angguk. Tidak lagi berkomentar. Padahal dia tahu betul Miranda sedang berbohong. Terlihat jelas sekali mata perempuan itu terlihat kuyu sekali. Entah apa alasan perempuan itu menahan kantuknya. Lima menit kemudian, Miranda tidak kuasa lagi menahan kantuknya. Perempuan itu jatuh tertidur. Armand yang melihat itu hanya tersenyum tipis, fokus mengemudi. Dua puluh menit kemudian mereka samp

  • Hello, My Destiny   Bab 11

    “Bagaimana film tadi menurut kamu, Ra? Kamu suka?” tanya Armand saat mereka keluar studio bioskop. Usai menonton dua jam lima belas menit lamanya. “Aku suka. Filmnya bagus. Aku bahkan tidak merasa jika filmnya sudah selesai,” jawab Miranda adanya, tidak berbohong. Selain dia memang suka film bergenre Fantasi dan aksi, film tadi memang menarik. Dari alur cerita, efek gambar, hingga akting dari para pemainnya. Apik sekali. Dia acungi jempol tadi. Armand mengangguk-angguk, “Syukurlah kalau kamu suka. Tadi aku sempat khawatir gendernya tidak sesuai selera kamu.” Miranda tidak berkomentar, melirik jam tangan tiruan di pergelangan tangannya, “Sudah jam delapan lewat. Ayo, kita pulang.” Armand mengangguk, “Tapi sebelum pulang kita makan malam dulu, Ra.” “Tidak usah, Armand. Kita langsung pulang.” Armand menggeleng, “Tidak ada penolakan. Aku sudah mengajak kamu menonton, aku tidak akan memulangkan anak orang dalam keadaan kelaparan.” “Baiklah, terserah kamu saja.” Miranda mengalah. La

  • Hello, My Destiny   Bab 10

    Setelah menempuh perjalanan dua puluh menit mereka tiba di tempat tujuan. Langsung memesan tiket. “Filmnya akan di putar sejam lagi. Bagaimana kalau kita keliling dulu?” ujar Armand setelah mereka usai memesan tiket. Miranda mengangguk, sependapat. Mereka berjalan bersisian menelusuri pusat perbelanjaan yang menyediakan gedung bioskop tempat mereka menonton itu. Tapi bukan Pusat Perbelanjaan milik keluarga Armand. Dia tidak mungkin mengajak Miranda menonton di sana. Takutnya ada pengelola Pusat Perbelanjaan milik keluarganya itu mengenalnya. Bisa-bisa dia menjadi bahan gosip di perusahaan kedapatan berjalan berdua dengan perempuan. Armand yang didesak untuk segera menikah oleh keluarganya pasti langsung disidang jika gosipnya jalan berdua bersama perempuan sampai ke telinga keluarganya. Ditanya kapan memperkenalkan perempuan itu kepada mereka. Dan, dia tidak ingin itu terjadi. Miranda hanya bahan taruhan, tidak pernah berniat serius. Apalagi menikah tidak pernah ada dalam kamus pr

  • Hello, My Destiny   Bab 9

    Miranda menghampiri Armand dengan malas yang lagi, lagi, dan lagi datang ke restoran. Sesuai ucapan pria itu waktu pamit dengannya semalam. Untung hari ini, dia kembali memutuskan menukar jadwal kerjanya pagi dengan Nia. Rasanya lebih aman menghindari pria itu di siang hari dari pada malam hari.Tadi, sebenarnya Rafi sudah menghampiri Armand lebih dulu. Tapi, pria itu mengotot ingin Miranda yang menghampirinya. Tidak yang lain. Tidak peduli jika Miranda sedang sibuk dengan pengujung lain. Dia tetap ingin Miranda.Tidak ingin ada keributan, Rafi mengalah. Menggantikan Miranda yang sedang melayani pengunjung lain. Menyerahkan Armand kepada perempuan itu.Miranda tidak punya pilihan. Dalam hati dia mengumpati pria itu. Sialan. Armand menyebalkan. Dia yakin sekali setelah ini para karyawan restoran pasti penasaran sekali dengan hubungan mereka. Bertanya-tanya.Maka setiba di hadapan pria itu dengan datar, Miranda bertanya, “Kamu mau pesan apa, Armand?”“Menurut kamu apa yang paling enak d

  • Hello, My Destiny   Bab 8

    “Apa? Kamu mau mengantarku pulang?” Mata Miranda melebar mendengar penuturan pria itu. Armand mengangguk, “Iya. Kalau begitu, ayo, aku antar kamu pulang.” Alena menggeleng, “Tidak perlu, Armand. Kita tidak sedekat itu hingga kamu mau mengantarku pulang.” “Justru itu. Bukankah bagus jika aku mengantarmu pulang? Dengan begitu kita bisa dekat. Saling mengenal,” sanggah Armand, “Jadi, tunggu apa lagi. Ayo, aku antar kamu pulang.” “Tidak usah Armand. Aku bisa pulang sendiri. Tempat tinggalku tidak jauh dari. Jadi, kamu tidak perlu repot-repot mengantarku pulang,” tolak Miranda. Armand menggeleng, “Tidak masalah. Aku sama sekali tidak merasa direpotkan. Lagi pula bahaya jika seorang perempuan pulang sendiri di malan hari seperti ini. Bahaya.” “Aku sudah biasa. Selama ini tidak terjadi apa pun padaku. Jadi tidak perlu repot mengantarku pulang.” “Tetap saja. Aku tidak tega melihat seorang pulang sendiri malam-malam seperti ini. Jadi, ayo aku antar pulang. Jangan merasa sungkan. S

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status