Share

Hello, My Destiny
Hello, My Destiny
Author: Awan Senja

Bab 1

Author: Awan Senja
last update Last Updated: 2023-03-10 13:45:15

Sebuah restoran ternama di pusat kota ramai pengunjung. Tidak membiarkan para karyawan bersantai barang sejak. Kecuali saat jam istirahat. Maklum akhir pekan. Apalagi jam makan siang. Pengunjung yang datang dua kali lipat dari biasanya.

Di tengah keramaian itu, empat pria tampan memasuki restoran dengan angkuh. Beberapa gadis yang juga merupakan pengunjung restoran tersebut tampak membenahi penampilan mereka. Menarik perhatian empat pria tampan itu. Tapi, sayangnya empat pria tampan yang merupakan anak konglomerat itu tidak melirik. Berlalu begitu saja, mencari tempat duduk.

Setelah menemukan tempat duduk paling pojok agar tidak terlalu menarik perhatian, salah satu pria tampan itu memanggil karyawan restoran. Dia adalah Prince Kafeel Pramudya - Pewaris World Group. Sang pemeran utama. Wajah tampannya tidak dapat diragukan lagi. Dia memiliki mata elang mengintimidasi, hidung mancung, bibir tipis, serta alis yang tebal, dan rahang kokoh yang di tumbuhi bulu-bulu halus. Jangan lupakan tubuh liatnya yang begitu atletis. Dia bak dewa jelmaan dewa.

Yang menghampiri mereka Adalah Miranda - karyawan yang berwajah pas-pasan, atau bisa digolongkan jelek. Bibir tebal, hidung pesek, kening jenong, dan pipi temben. Berat badan 55 kg dengan tinggi badan 155 CM. Jauh sekali dari kesan menarik.

“Mau pesan apa, Mas?” Miranda bertanya dengan ramah. Memasang senyum terbaiknya.

“Kamu karyawan di sini?” alih-alih memberikan jawaban, Gio – salah satu pria tampan itu – yang merupakan seorang influncer sekaligus putra pejabat tinggi negara itu menatap saksama Miranda dari atas sampai bawah dengan alis bertaut. Perempuan itu tidak cantik seperti pramusaji yang dia pernah temui pada restoran pada umumnya.

Miranda yang diperhatikan begitu intens oleh pria itu merasa riskan. Tapi, dia berusaha tenang mengangguk, “Iya, Mas. Mau pesan apa?”

“Hah? Jelek sekali.” Gio menatap remeh Miranda, “Ganti yang lain. Yang cantik. Kami tidak ingin dilayani oleh kamu. Buruk rupa.”

Mendengar ucapan Gio, Miranda sebenarnya tersinggung. Tapi, karena tidak ingin membuat masalah dia berusaha mengontrol emosinya, berucap, “Tapi, yang lain sedang sibuk, Mas. Mas lihat sendiri, restoran sedang ramai pengunjung.”

“Pokoknya ganti, kami tidak mau kamu yang melayani. Yang cantik. Tapi, bukan kamu yang buruk rupa seperti kamu. Bukannya kenyang, adanya selera makan jadinya hilang. Lagi pula bagaimana bisa restoran sebagus ini memperkerjakan karyawan yang jelek seperti kamu?”

Miranda tidak pernah marah saat orang mengatakan jika dia jelek. Dia sadar kenyataan itu. Tetapi, dia tidak pernah suka orang meremehkan kinerjanya. Dia yang tadi berusaha tenang akhirnya meledak. Dengan penuh emosi dia berucap, “Maaf, jika saya mengecewakan Mas kenapa saya bisa bekerja di sini. Tetapi menurut saya semua orang berhak bekerja di mana pun selama mereka tekun tidak peduli mereka cantik atau pun jelek.”

“Kamu? Berani sekali menggurui saya?” Gio menatap Miranda dengan sengit, tidak terima ucapan perempuan itu, “Kamu mau dipecat? Saya bisa laporkan kamu kepada bos kamu?”

“Silakan saja jika, Mas, mau melaporkan saya. Saya tidak takut dipecat karena saya tidak melakukan kesalahan. Saya hanya mencoba membela diri jika kinerja saya diragukan hanya karena tidak berparas cantik.” Miranda menatap Gio tidak kalah sengit. Menantang. Dia tidak masalah jika harus kehilangan pekerjaannya dari pada direndahkan. Walau pun jelek dia punya harga diri.

Gio tersenyum sinis, “Jadi, kamu menantang saya? Baiklah, kalau begitu – “

Gio hendak berdiri, tapi Armand yang duduk di sebelahnya menahannya. Menggeleng kepala, “Jangan membuat keributan. Kalau kamu tidak ingin makan pergi saja.”

“Tapi, Mand, dia?”

Armand menatap penuh peringatan pada salah satu sahabatnya baiknya itu.

Ditatap begitu tajam oleh Armand, nyali Gio menciut. Tidak ada satupun di antara mereka yang berani jika Armand sudah marah. Maka dengan wajah masam dia kembali duduk.

“Baiklah, Mbak. Aku pesan ini dan ini,” ucap Marcus yang merupakan pewaris perusahaan Produsen food negara mereka – memutus suasana tegang tadi. Menunjuk beberapa gambar pada buku menu. Kemudian menyerahkan kepada yang lain.

Mereka juga melakukan hal yang sama. Pun dengan Gio, menyebutkan pesanannya dengan malas.

Miranda lekas mencatat pesanan mereka di captain order. Setelah itu melafazkan pesanan empat pria tampan itu.

Merasa apa yang dilafazkan Miranda benar semua, Marcus mengangguk.

“Pesanan kalian akan segera kami siapkan.” Sebelum pergi meninggalkan empat pria tampan itu, Miranda membungkuk rendah sebagai sopan santun.

***

“Woah, dia menarik sekali!” Leonel – yang merupakan seorang pengacara berdecak penuh kagum setelah kepergian Miranda.

“Kamu bilang perempuan itu menarik?” Dahi Gio mengernyit mendengar pernyataan sahabatnya itu, “Buta mata kamu, Leon? Gadis jelek seperti itu kamu bilang menarik?”

“Tidakkah dia memang menarik? Aku baru kali ini bertemu perempuan yang berani seperti dia. Melototi kamu. Bukan penuh kekaguman. Seperti perempuan sering kita temui, yang selalu menatap kita malu-malu. Sibuk mencari perhatian.”

Armand berdecih, “Pada dasarnya perempuan itu sama saja, Leon. Mereka itu suka yang uang dan pria yang menawan. Coba saja, Gio dekati perempuan itu besok, aku yakin perempuan itu akan lupa dengan harga dirinya tadi yang dia junjung tinggi. Dia langsung takluk pada Gio.”

“Armand benar,” timpal Gio, "Semua perempuan itu sebenarnya sama. dia tadi hanya sok jual mahal."

“Tapi menurutku dia bukan perempuan seperti itu, Mand. dia sepertinya memang sulit didekati,” timpal Marcus.

Leonel mengangguk, sependapat, “Iya, aku pikir juga begitu.”

“Aku berani bertaruh. Mobil Lamborghini Aventador SVJ Roadster Grigio Telesto boleh menjadi milikmu kalau ucapanku salah, Leon. Minta saja Gio mendekatinya," ucap Armand dengan penuh tantangan.

Leonel dan Marcus melirik Gio.

Gio menggeleng, “Sorry, aku tidak minat untuk mendekati gadis itu. Sekalipun hanya taruhan. Dia terlalu jelek untukku. Bagaimana aku mau mendekatinya jika menatapnya saja aku malas. Setidaknya dia ada manisnya sedikit. Tapi, ini... tidak ada sedikit pun ada yang menarik dari perempuan itu.”

Mendengar jawaban Gio, Leonel mendesah kecewa. Gagal untuk mendapatkan mobil mahal milik Armand

“Baiklah, kalau begitu aku yang mendekatinya,” cetus Armand.

“Kamu serius, Mand?” tanya Leon setengah tidak percaya.

Armand mengangguk mantap, “Jika dalam waktu seminggu aku gagal menjadikan perempuan itu kekasihku, mobilku menjadi milikmu, Leon.”

Tidak ingin menyia-nyiakan memiliki mobil mahal dengan secara Cuma-Cuma, Leon langsung sepakat, “Okey, awas ya kalau kamu ingkar. Kalian saksinya.” Ia melirik Gio dan Marcus.

Armand mendesis, “Kapan aku ingkar. Kamu boleh pegang ucapanku.”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hello, My Destiny   Bab 13

    Miranda mendesa lega setelah melihat mobil Armand melaju meninggalkan halaman kosannya melalu kaca jendela. Rasanya beban di dadanya terangkat setelah mengatakan yang apa yang mengganggu pikirannya akhir-akhir. Dia harap pria itu mendengarkan ucapannya tadi. Tidak menemuinya lagi. Jadi dia tidak perlu merasa waspada lagi. Alasan pria itu menyukainya tidak cukup membuatnya percaya. Tidak begitu kuat. Hanya karena dia mengembalikan uang kembali yang lebih dan membantu seorang kakek menyeberang jalan raya, Armand tertarik padanya? Sungguh? Miranda menggeleng. Itu tidak mungkin. Hal yang dia lakukan itu terlalu kecil untuk membuat pria tampan dan kaya seperti Armand tertarik kepadanya. Sementara dia sering melalukan kebaikan lebih dari itu. Seperti memberi fakir miskin di jalan, memberi donasi kepada orang yang membutuhkan setiap bulannya. Tetapi, tetap tidak membuat mantan kekasihnya dulu jatuh hati kepadanya. Pria itu hanya menganggapnya uang berjalan saja. Bagi Miranda, alasan Arman

  • Hello, My Destiny   Bab 12

    “Hoam!” Miranda menguap lebar setelah mereka dalam perjalanan pulang. Lelah bekerja dan jalan-jalan bersama Armand tadi, ditambah perut kenyang membuatnya mengantuk. Namun dia berusaha tetap terjaga. Takut Armand berbuat macam-macan dengannya. Walau sebenarnya apa yang harus dilihat dari. Dia tidak menarik. Tetapi tidak ada salahnya berjaga-jaga. Armand khilaf. “Tidur saja jika mau tidur. Kalau sudah sampai nanti aku akan membangunkan,” ucap Armand melirik Miranda yang sudah beberapa kali menguap. “Tidak. Aku tidak mengantuk, hanya menguap saja,” elak Miranda. “Begitu, ya?” Armand mengangguk-angguk. Tidak lagi berkomentar. Padahal dia tahu betul Miranda sedang berbohong. Terlihat jelas sekali mata perempuan itu terlihat kuyu sekali. Entah apa alasan perempuan itu menahan kantuknya. Lima menit kemudian, Miranda tidak kuasa lagi menahan kantuknya. Perempuan itu jatuh tertidur. Armand yang melihat itu hanya tersenyum tipis, fokus mengemudi. Dua puluh menit kemudian mereka samp

  • Hello, My Destiny   Bab 11

    “Bagaimana film tadi menurut kamu, Ra? Kamu suka?” tanya Armand saat mereka keluar studio bioskop. Usai menonton dua jam lima belas menit lamanya. “Aku suka. Filmnya bagus. Aku bahkan tidak merasa jika filmnya sudah selesai,” jawab Miranda adanya, tidak berbohong. Selain dia memang suka film bergenre Fantasi dan aksi, film tadi memang menarik. Dari alur cerita, efek gambar, hingga akting dari para pemainnya. Apik sekali. Dia acungi jempol tadi. Armand mengangguk-angguk, “Syukurlah kalau kamu suka. Tadi aku sempat khawatir gendernya tidak sesuai selera kamu.” Miranda tidak berkomentar, melirik jam tangan tiruan di pergelangan tangannya, “Sudah jam delapan lewat. Ayo, kita pulang.” Armand mengangguk, “Tapi sebelum pulang kita makan malam dulu, Ra.” “Tidak usah, Armand. Kita langsung pulang.” Armand menggeleng, “Tidak ada penolakan. Aku sudah mengajak kamu menonton, aku tidak akan memulangkan anak orang dalam keadaan kelaparan.” “Baiklah, terserah kamu saja.” Miranda mengalah. La

  • Hello, My Destiny   Bab 10

    Setelah menempuh perjalanan dua puluh menit mereka tiba di tempat tujuan. Langsung memesan tiket. “Filmnya akan di putar sejam lagi. Bagaimana kalau kita keliling dulu?” ujar Armand setelah mereka usai memesan tiket. Miranda mengangguk, sependapat. Mereka berjalan bersisian menelusuri pusat perbelanjaan yang menyediakan gedung bioskop tempat mereka menonton itu. Tapi bukan Pusat Perbelanjaan milik keluarga Armand. Dia tidak mungkin mengajak Miranda menonton di sana. Takutnya ada pengelola Pusat Perbelanjaan milik keluarganya itu mengenalnya. Bisa-bisa dia menjadi bahan gosip di perusahaan kedapatan berjalan berdua dengan perempuan. Armand yang didesak untuk segera menikah oleh keluarganya pasti langsung disidang jika gosipnya jalan berdua bersama perempuan sampai ke telinga keluarganya. Ditanya kapan memperkenalkan perempuan itu kepada mereka. Dan, dia tidak ingin itu terjadi. Miranda hanya bahan taruhan, tidak pernah berniat serius. Apalagi menikah tidak pernah ada dalam kamus pr

  • Hello, My Destiny   Bab 9

    Miranda menghampiri Armand dengan malas yang lagi, lagi, dan lagi datang ke restoran. Sesuai ucapan pria itu waktu pamit dengannya semalam. Untung hari ini, dia kembali memutuskan menukar jadwal kerjanya pagi dengan Nia. Rasanya lebih aman menghindari pria itu di siang hari dari pada malam hari.Tadi, sebenarnya Rafi sudah menghampiri Armand lebih dulu. Tapi, pria itu mengotot ingin Miranda yang menghampirinya. Tidak yang lain. Tidak peduli jika Miranda sedang sibuk dengan pengujung lain. Dia tetap ingin Miranda.Tidak ingin ada keributan, Rafi mengalah. Menggantikan Miranda yang sedang melayani pengunjung lain. Menyerahkan Armand kepada perempuan itu.Miranda tidak punya pilihan. Dalam hati dia mengumpati pria itu. Sialan. Armand menyebalkan. Dia yakin sekali setelah ini para karyawan restoran pasti penasaran sekali dengan hubungan mereka. Bertanya-tanya.Maka setiba di hadapan pria itu dengan datar, Miranda bertanya, “Kamu mau pesan apa, Armand?”“Menurut kamu apa yang paling enak d

  • Hello, My Destiny   Bab 8

    “Apa? Kamu mau mengantarku pulang?” Mata Miranda melebar mendengar penuturan pria itu. Armand mengangguk, “Iya. Kalau begitu, ayo, aku antar kamu pulang.” Alena menggeleng, “Tidak perlu, Armand. Kita tidak sedekat itu hingga kamu mau mengantarku pulang.” “Justru itu. Bukankah bagus jika aku mengantarmu pulang? Dengan begitu kita bisa dekat. Saling mengenal,” sanggah Armand, “Jadi, tunggu apa lagi. Ayo, aku antar kamu pulang.” “Tidak usah Armand. Aku bisa pulang sendiri. Tempat tinggalku tidak jauh dari. Jadi, kamu tidak perlu repot-repot mengantarku pulang,” tolak Miranda. Armand menggeleng, “Tidak masalah. Aku sama sekali tidak merasa direpotkan. Lagi pula bahaya jika seorang perempuan pulang sendiri di malan hari seperti ini. Bahaya.” “Aku sudah biasa. Selama ini tidak terjadi apa pun padaku. Jadi tidak perlu repot mengantarku pulang.” “Tetap saja. Aku tidak tega melihat seorang pulang sendiri malam-malam seperti ini. Jadi, ayo aku antar pulang. Jangan merasa sungkan. S

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status