“Apa? Kamu mau mengantarku pulang?” Mata Miranda melebar mendengar penuturan pria itu. Armand mengangguk, “Iya. Kalau begitu, ayo, aku antar kamu pulang.” Alena menggeleng, “Tidak perlu, Armand. Kita tidak sedekat itu hingga kamu mau mengantarku pulang.” “Justru itu. Bukankah bagus jika aku mengantarmu pulang? Dengan begitu kita bisa dekat. Saling mengenal,” sanggah Armand, “Jadi, tunggu apa lagi. Ayo, aku antar kamu pulang.” “Tidak usah Armand. Aku bisa pulang sendiri. Tempat tinggalku tidak jauh dari. Jadi, kamu tidak perlu repot-repot mengantarku pulang,” tolak Miranda. Armand menggeleng, “Tidak masalah. Aku sama sekali tidak merasa direpotkan. Lagi pula bahaya jika seorang perempuan pulang sendiri di malan hari seperti ini. Bahaya.” “Aku sudah biasa. Selama ini tidak terjadi apa pun padaku. Jadi tidak perlu repot mengantarku pulang.” “Tetap saja. Aku tidak tega melihat seorang pulang sendiri malam-malam seperti ini. Jadi, ayo aku antar pulang. Jangan merasa sungkan. S
Miranda menghampiri Armand dengan malas yang lagi, lagi, dan lagi datang ke restoran. Sesuai ucapan pria itu waktu pamit dengannya semalam. Untung hari ini, dia kembali memutuskan menukar jadwal kerjanya pagi dengan Nia. Rasanya lebih aman menghindari pria itu di siang hari dari pada malam hari.Tadi, sebenarnya Rafi sudah menghampiri Armand lebih dulu. Tapi, pria itu mengotot ingin Miranda yang menghampirinya. Tidak yang lain. Tidak peduli jika Miranda sedang sibuk dengan pengujung lain. Dia tetap ingin Miranda.Tidak ingin ada keributan, Rafi mengalah. Menggantikan Miranda yang sedang melayani pengunjung lain. Menyerahkan Armand kepada perempuan itu.Miranda tidak punya pilihan. Dalam hati dia mengumpati pria itu. Sialan. Armand menyebalkan. Dia yakin sekali setelah ini para karyawan restoran pasti penasaran sekali dengan hubungan mereka. Bertanya-tanya.Maka setiba di hadapan pria itu dengan datar, Miranda bertanya, “Kamu mau pesan apa, Armand?”“Menurut kamu apa yang paling enak d
Setelah menempuh perjalanan dua puluh menit mereka tiba di tempat tujuan. Langsung memesan tiket. “Filmnya akan di putar sejam lagi. Bagaimana kalau kita keliling dulu?” ujar Armand setelah mereka usai memesan tiket. Miranda mengangguk, sependapat. Mereka berjalan bersisian menelusuri pusat perbelanjaan yang menyediakan gedung bioskop tempat mereka menonton itu. Tapi bukan Pusat Perbelanjaan milik keluarga Armand. Dia tidak mungkin mengajak Miranda menonton di sana. Takutnya ada pengelola Pusat Perbelanjaan milik keluarganya itu mengenalnya. Bisa-bisa dia menjadi bahan gosip di perusahaan kedapatan berjalan berdua dengan perempuan. Armand yang didesak untuk segera menikah oleh keluarganya pasti langsung disidang jika gosipnya jalan berdua bersama perempuan sampai ke telinga keluarganya. Ditanya kapan memperkenalkan perempuan itu kepada mereka. Dan, dia tidak ingin itu terjadi. Miranda hanya bahan taruhan, tidak pernah berniat serius. Apalagi menikah tidak pernah ada dalam kamus pr
“Bagaimana film tadi menurut kamu, Ra? Kamu suka?” tanya Armand saat mereka keluar studio bioskop. Usai menonton dua jam lima belas menit lamanya. “Aku suka. Filmnya bagus. Aku bahkan tidak merasa jika filmnya sudah selesai,” jawab Miranda adanya, tidak berbohong. Selain dia memang suka film bergenre Fantasi dan aksi, film tadi memang menarik. Dari alur cerita, efek gambar, hingga akting dari para pemainnya. Apik sekali. Dia acungi jempol tadi. Armand mengangguk-angguk, “Syukurlah kalau kamu suka. Tadi aku sempat khawatir gendernya tidak sesuai selera kamu.” Miranda tidak berkomentar, melirik jam tangan tiruan di pergelangan tangannya, “Sudah jam delapan lewat. Ayo, kita pulang.” Armand mengangguk, “Tapi sebelum pulang kita makan malam dulu, Ra.” “Tidak usah, Armand. Kita langsung pulang.” Armand menggeleng, “Tidak ada penolakan. Aku sudah mengajak kamu menonton, aku tidak akan memulangkan anak orang dalam keadaan kelaparan.” “Baiklah, terserah kamu saja.” Miranda mengalah. La
Armand Kafeel Pramudya pernah memberikan seluruh hatinya kepada perempuan. Namun sayangnya hatinya dipatahkan oleh sebuah pengkhianatan. Hingga pria itu tidak pernah percaya lagi akan cinta dan perempuan, termaksud ibu kandungnya sendiri. Baginya cinta hanyalah kelemahan. Lalu takdir mempertemuannya dengan gadis bernama Miranda kembali mengantarkan perasaan yang dia benci itu, cinta. Tidak peduli seberapa keras dia menyangkal, dia menginginkan perempuan sederahana itu. *** Namanya hanya Miranda, tanpa nama belakang. Sesederhana namanya, orangnya juga sederhana. Perempuan berusia dua puluh tiga tahun itu selalu memikirkan bagaimana jodohnya suatu hari. Pria seperti apa yang akan menikahinya. Apakah dia pria yang bertanggung jawab dan pekerja keras? Itulah yang dia pikirkan tentang jodohnya. Dia tidak pernah berpikir jodohnya harus tampan dan kaya. Karena dia cukup sadar diri siapa dirinya. Dia hanyalah gadis biasa saja berparas pas-pasan, atau bisa dikatakan jelek. Baginya kisah klise
“Ugh lelahnya. Tubuhku rasanya remuk redam. Aku ingin cepat-cepat sampai kosan. Istirahat.” Nia menyeletuk sambil merenggangkan otot-ototnya yang kaku di depan restoran. Hendak pulang kerja. Miranda yang berdiri di samping gadis itu mengangguk. Sependapat. “Kapan, ya, aku punya kekasih seorang CEO? Lalu menikah dengannya. Hidupku pasti menyenangkan sekali. Aku tidak perlu capek-capek kerja lagi. Kerjaanku hanya mengurus suami, anak, dan shopping,” ucap Nia penuh harapan. Mendengar celetukan temannya itu, Miranda menyeringai, “Kamu terlalu banyak baca novel dan nonton drama, Nya. Mimpi kamu terlalu tinggi. Sekekas CEO mana mau dengan gadis miskin seperti kita. Selera mereka pastilah harus selevel dengan mereka.” Nia mengedikan bahu, “Siapa yang tahu, kan? Bisa saja mereka khilaf. Memang kamu tidak mau apa jika memiliki kekasih seorang CEO?” “Terlintas saja tidak di benakku. Aku cukup sadar diri siapa aku. Cantik tidak, kaya jauh. Berharap bisa menikah dengan pria tampan dan ka
Bruk. Miranda menghempaskan tubuhnya dengan kasar di tempat tidur setiba di kosannya. Tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu seperti yang biasa lakukan. Dia sudah tidak tahan lagi, tubuhnya terlalu penat untuk melakukan hal tersebut. Restoran tempatnya bekerja begitu ramai. Dia ingin merilekskan sejenak tubuhnya. Selagi menyantaikan diri, Miranda menerawang langit kosannya. Mengingat kejadian yang terjadi hari ini. Ingatan Intan terjadi saat dia melayani empat pria tampan tadi di restoran. Masih terngiang jelas dalam ingatan Miranda bagaimana salah satu pria itu menghinanya tadi. Meremehkan dirinya. Miranda rasanya kesal sekali jika mengingat kejadian itu. Memang apa salahnya jika orang jelek sepertinya bekerja di tempat yang elit? Apa orang yang bekerja di tempat yang bagus hanya boleh orang yang cantik dan tampan saja? Orang jelek sepertinya tidak layak. Tidak peduli seberapa bagus kinerjanya. Lantas di manakah tempat yang layak untuk orang jelek sepertinya? Dan apa pekerjaann
Miranda kembali santai setelah mengatar makanan Armand. Restoran kembali sepi. Perempuan itu berdiri di pantry bersama Nia, yang asik bercerita. Tapi sayangnya, dia tidak mendengarkan sahabatnya itu. Dia diam-diam mengamati Armand yang sedang menyantap makanannya. Entah kenapa dia mempunyai firasat buruk terhadap pria itu. Pasalnya aneh sekali. Padahal seumur hidupnya belum ada pria asing yang mengajaknya berkenalan. Apa lagi pria itu sangat tampan. Tentu Miranda merasa heran. Apa alasan pria itu mengajaknya berkenalan? Biasanya pria asing mengajak perempuan berkenalan itu karena punya ketertarikan. Tapi menengok siapa dirinya, rasanya tidak mungkin jika pria itu tertarik dengannya. Lantas apa alasan pria bernama Revan itu mengajaknya berkenal? Apa benar hanya ingin berteman? “Iya, kan, Mir?” Nia menepuk pundak Miranda. Membuyarkan Intan dari keterpakuannya. Miranda terkesiap, “Apa, Nya. Kamu ngomong apa?” Nia menepuk dahinya, “Kamu dari tadi bengong, Mir. Tidak mendengarkan