Beranda / Urban / Tukang Bakso Jadi Miliarder / 108-Ghenadie Dituntut Ayam Mutan

Share

108-Ghenadie Dituntut Ayam Mutan

last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-13 05:36:30
Hari itu langit di atas pusat kota mendung. Gedung Pengadilan Internasional Etika Bioteknologi dipenuhi kamera, wartawan, aktivis, ilmuwan, dan warga sipil dari berbagai negara.

Di antara kerumunan itu, seekor ayam setinggi manusia dewasa, berjubah hitam, melangkah masuk ke ruang sidang.

Di sebelahnya, pengacara manusia bertubuh kecil dan berkacamata tebal membawa berkas setebal kamus ensiklopedia.

Di kursi terdakwa duduk Ghenadie, CEO perusahaan bio-genetika terbesar di Asia Tenggara. Wajahnya tenang, tetapi jantungnya berdebar.

Ia tidak menyangka, eksperimen yang dulu dianggap sebagai lompatan teknologi akan menyeretnya ke ruang sidang dengan lawan tak terduga.

Ayam mutan itu meluruskan lehernya, menatap para juri dengan mata kuning menyala dan berkata dalam suara serak namun jelas:

"Nama saya: Gallius Maximus. Saya di sini untuk menuntut hak saya sebagai makhluk hidup yang sadar, yang lahir bukan karena cinta... tapi karena keserakahan."

Segalanya bermula tiga tahun
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   110-Jejak yang Terhapus

    Langit di atas Libtar masih tampak mendung seperti hari sidang terakhir itu. Tapi di bawah awan-awan kelabu, dunia telah berubah. Tidak lagi sekadar menyoal daging ayam atau genetika, tetapi menyoal apa arti menjadi hidup.Pagi itu, suasana kantor pusat Biogenetics International Corporation di Libtar terasa ganjil. Lorong-lorong yang biasa dipenuhi lalu-lalang ilmuwan dan teknisi kini hening. Ketika Ghenadie sebagai CEO memasuki lobby, langkahnya terhenti.Seseorang berlari dari ruang kontrol, wajahnya pucat pasi.“Pak Ghenadie!” teriaknya. “Para security... mereka... mereka diikat!”Ghenadie bergegas. Di ruang pengawas, lima petugas keamanan tergeletak di lantai, tangan dan kaki mereka terikat dengan kabel serat optik. Salah satu dari mereka masih sadar.“Kami... tak sempat bereaksi. Mereka tahu semua protokol,” gumamnya dengan suara lemah.“Siapa ‘mereka’?” tanya Ghenadie tajam.“Tak tahu... Tapi mereka tahu kode utama... dan masuk langsung ke ruang isolasi unggas.”Detak jantung Gh

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   109-Gallius-Hari Setelah Kemenangan

    Langit di atas Libtar masih tampak mendung seperti hari sidang terakhir itu. Tapi di bawah awan-awan kelabu, dunia telah berubah. Tidak lagi sekadar menyoal daging ayam atau genetika, tetapi menyoal apa arti menjadi hidup.Di sebuah ruangan kaca di tengah hutan yang kini dinamai Sanctuary Gallius, dua sosok berdiri menghadap jendela besar. Yang satu, bersayap, berjubah panjang berwarna abu gelap, matanya menatap lembah hijau yang kini menjadi rumah bagi ratusan ayam mutan.Yang satu lagi, manusia yang dulu menciptakannya, Ghenadie.“Indah, bukan?” kata Gallius, suaranya tenang tapi dalam.“Ya,” jawab Ghenadie lirih. “Lebih indah dari laboratorium mana pun yang pernah kupunya.”Gallius tak menoleh, hanya mengepakkan sayapnya perlahan, “Terkadang, keindahan hanya muncul setelah kehancuran.”Ghenadie menunduk. Ia masih ingat hari-hari terakhir di ruang pengadilan. Betapa rasa bersalah dan kekaguman pada ciptaannya bertempur dalam dadanya.Satu minggu setelah keputusan hakim, suasana duni

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   108-Ghenadie Dituntut Ayam Mutan

    Hari itu langit di atas pusat kota mendung. Gedung Pengadilan Internasional Etika Bioteknologi dipenuhi kamera, wartawan, aktivis, ilmuwan, dan warga sipil dari berbagai negara. Di antara kerumunan itu, seekor ayam setinggi manusia dewasa, berjubah hitam, melangkah masuk ke ruang sidang. Di sebelahnya, pengacara manusia bertubuh kecil dan berkacamata tebal membawa berkas setebal kamus ensiklopedia. Di kursi terdakwa duduk Ghenadie, CEO perusahaan bio-genetika terbesar di Asia Tenggara. Wajahnya tenang, tetapi jantungnya berdebar. Ia tidak menyangka, eksperimen yang dulu dianggap sebagai lompatan teknologi akan menyeretnya ke ruang sidang dengan lawan tak terduga. Ayam mutan itu meluruskan lehernya, menatap para juri dengan mata kuning menyala dan berkata dalam suara serak namun jelas: "Nama saya: Gallius Maximus. Saya di sini untuk menuntut hak saya sebagai makhluk hidup yang sadar, yang lahir bukan karena cinta... tapi karena keserakahan." Segalanya bermula tiga tahun

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   107-Sprei Darah dan Cinta Rakyat

    Langit sore menggantung lembut di atas balai pertemuan Kecamatan Sumberjati—bangunan tua yang biasanya digunakan untuk rapat Pemda dan KPU. Hari itu, tidak ada politik. Tidak ada kampanye. Hanya cinta, dan sebuah pernikahan yang lebih dari sekadar dua hati yang bersatu.Ghenadie berdiri di balik tirai jendela kecil di ruang tunggu. Ia menarik napas dalam-dalam, matanya menyisir halaman yang dijaga ketat oleh petugas berseragam sipil.“Berapa banyak yang kamu kerahkan hari ini?” tanya Panji, yang masuk sambil membawa botol air.“Dua ratus,” jawab Ghenadie. “Mereka menyamar sebagai tukang parkir, kru katering, bahkan pemandu tamu. Semuanya dilatih. Kita tidak bisa ambil risiko.”Panji mengangguk. “Didik tidak akan tinggal diam. Kau benar mengantisipasi ini.”Dinda duduk di ruang rias. Gaun putih sederhana membalut tubuhnya. Tak ada hiasan mewah, hanya bunga melati kecil di sisi kepala.“Sudah siap, Nona Dinda?” tanya Lastri yang hari itu bertugas sebagai pendamping pengantin.Dinda ters

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   106-Tanah Yang Bicara

    Langit pagi menggantung kelabu di atas desa Sumberjati. Embun belum kering, tapi halaman balai desa sudah ramai. Warga berkumpul, sebagian membawa poster buatan tangan, sebagian lagi menggenggam ponsel untuk merekam. Di tengah kerumunan, seorang lelaki paruh baya bernama Pak Wiryo berdiri mematung. Matanya berkaca-kaca, bukan karena sedih, tapi karena harapan yang belum padam."Apa kita benar-benar mau lakukan ini, Pak?" tanya Lastri, guru SD yang jadi penyuluh internet desa.Pak Wiryo mengangguk pelan. "Kalau bukan kita yang bersuara, siapa lagi?"Di tengah lahan luas yang dulunya ladang jagung, kini berdiri tiang-tiang pancang milik proyek Ghenadie. Tapi pembangunan itu baru saja dibekukan oleh pemerintah daerah, akibat sengketa yang diwarnai manipulasi oleh PT. Rekarsa.“Yang saya tahu,” lanjut Pak Wiryo, suaranya mulai lantang, “anak-anak muda kota itu datang bukan untuk menindas, tapi membangun. Dinda, Ghenadie, dan Pak Panji... mereka hormat pada tanah ini. Tapi karena merek

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   105-Tanah, Cinta, dan Pengkhianatan

    Langit senja di atas kota menguning kusam, seolah ikut menyimpan rahasia yang tak sanggup diungkapkan. Ghenadie berdiri di jendela ruang kerjanya, memandangi gedung-gedung tinggi yang bagai benteng menahan badai. Ia baru saja mengambil keputusan besar—mendirikan perusahaan baru, jauh dari hiruk-pikuk pusat kota, tempat di mana ia berharap Dinda bisa memulai segalanya dari awal. Tanpa bayang-bayang masa lalu. Tanpa tekanan.Ia menggenggam ponselnya, menatap layar kosong.“Saatnya kau punya panggungmu sendiri, Dinda,” bisiknya.Di sisi lain kota, Dinda menatap Didik yang kini berdiri di depannya dengan mata merah dan rahang mengeras. Udara di antara mereka terasa sesak, seolah marah bisa meledak kapan saja.“Jadi begitu ya, Din?” Didik mendesis. “Kau pikir kau bisa semudah itu mutusin gue?”Dinda mengangkat dagunya, matanya tidak gentar. “Ini bukan soal mudah atau sulit, Didik. Ini soal sadar. Aku sadar siapa dirimu sebenarnya dan tidak pernah lupa tentang apa yg kamu lakukan.”“Apa? Ka

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   104-Perasaan Cinta Tumbuh Perlahan

    Pagi itu, mereka berdua mendatangi kantor polisi. Dinda melaporkan kasusnya dengan suara gemetar tapi mantap. Dokter dari rumah sakit sudah menyerahkan hasil visum, dan Ghenadie mengumpulkan saksi serta bukti rekaman lokasi.Kabar laporan Dinda menyebar cepat. Media mulai menyorot kasus pelecehan yang melibatkan nama keluarga pejabat. Didik mencoba menghubungi Dinda, tapi semua pesannya tak dibalas. Bahkan nomor ponselnya sudah diblokir.Di ruang kerja Pak Santo, suasana memanas."Dia sudah lapor polisi?" bentak Pak Santo.Didik mengangguk. "Dan media mulai mencium. Mereka tulis aku pelaku percobaan pemerkosaan.""Kita harus redam ini! Suruh orang-orang di dewan direksi, cari cara. Jangan sampai hubungan keluarga kita dengan PT Rekarsa kebongkar gara-gara kamu!"Sementara itu, Dinda kembali ke rumah dan mengemasi semua barang-barang yang mengingatkannya pada Didik. Foto, boneka hadiah, surat, semuanya masuk ke dalam kotak besar yang langsung ia buang."Aku nggak percaya pernah mencint

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   103-Aparat Korup

    Pagi itu, Ghenadie belum sempat menyesap kopinya ketika Panji muncul dengan wajah muram."Aku butuh bantuanmu, Nad," katanya lirih. "Tanahku... yang di timur laut taman bermain... ada yang klaim."Ghenadie menyandarkan tubuhnya di kursi. "Klaim bagaimana maksudmu?""Katanya itu sudah dijual. Padahal aku, bahkan ayahku, nggak pernah jual. Aku punya dokumen lengkap, termasuk surat dari tahun 1960. Diketahui kepala kampung dan Wedana."Mata Ghenadie menyipit. "Mereka pakai nama siapa buat klaim itu?""PT Rekarsa."Nama itu lagi.Mata Ghenadie langsung menangkap pola. Perusahaan cangkang itu disebut-sebut dalam laporan Panama. Didaftarkan atas nama samaran, digerakkan oleh bayangan-bayangan di balik politik dan properti."Aku harus lihat sendiri," katanya tegas.Dua jam kemudian, mereka sudah berdiri di depan pagar kawat berduri yang baru dipasang. Di baliknya, bangunan kecil mulai berdiri. Di tanah milik Panji."Siapa yang membangun ini?" tanya Panji pada pria tua yang berjaga."Ini proy

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   102-Taman Bermain yang Mati

    Tiga minggu setelah konferensi pers yang mengguncang media, Ghenadie mulai mencoba menjalani hidup normal. Tapi "normal" adalah ilusi yang rapuh.Pagi itu, ia sedang membaca laporan pemulihan keuangan perusahaan ketika sekretaris barunya mengetuk pintu."Pak, ada tamu bernama Panji. Katanya penting."Ghenadie mengerutkan kening. "Panji... suruh masuk."Seorang pria bertubuh sedang, wajahnya lelah tapi matanya masih tajam, masuk dan menjabat tangannya erat."Maaf datang tiba-tiba, Nad. Tapi aku tidak tahu harus ke siapa lagi.""Silakan duduk. Ada apa sebenarnya?"Panji menarik napas panjang. "Taman bermainku... kamu tahu yang di pinggir kota itu, seluas seratus hektar...""Yang kamu bangun dari nol itu? Apa kabar tempat itu?"Panji tersenyum pahit. "Itu dia masalahnya. Aku nggak sanggup lagi. Biaya operasional gila-gilaan. Investor mundur setelah dengar kasus Hendro. Padahal nggak ada hubungannya."Ghenadie menatapnya dalam. "Dan kamu datang ke sini karena...""Aku ingin menjualnya. Ke

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status