LOGINAditya, seorang tukang pijat biasa, mewarisi cincin misterius yang memberinya kekuatan super: sentuhan yang membangkitkan gairah wanita dan kekuatan fisik tak tertandingi. Dalam sekejap, ia berubah menjadi pengusaha kaya raya, dikelilingi wanita-wanita yang tergila-gila padanya. Hubungan ambigu dan intrik harem mewarnai kehidupannya yang baru, sementara rahasia cincin itu perlahan terkuak, membawa bahaya yang tak terduga.
View More“Heh! Apa yang kamu lakukan di sini?! Kamu mengintipku, hah?!”
Adit, yang tengah mengepel lantai ruang ganti pelanggan, nyaris menjatuhkan pelnya saat mendengar suara bentakan itu.
Di hadapannya, seorang wanita cantik dengan tubuh menggoda dan hanya mengenakan pakaian dalam berenda, berdiri dengan napas memburu.
Itu Bu Celina, manajer tempatnya bekerja!
Tangan wanita itu menutupi dadanya yang montok, tapi pahanya yang mulus justru terabaikan.
Glek.
Adit menelan ludah. Otaknya berteriak untuk tidak melihat, tapi matanya berkhianat.
Takut? Jelas. Adit hanya trainee rendahan. Terpergok dalam situasi seperti ini bisa membuatnya dipecat seketika.
Namun, senang?
Bagaimana tidak? Bu Celina adalah fantasi hidup para terapis pria di panti pijat ini!
Dengan tubuh berlekuk sempurna, kulit sehalus sutra, dan tatapan tajam menggoda, siapa yang tidak pernah membayangkan wanita itu dalam pelukan mereka?
Dan sekarang… tubuh yang biasanya hanya ada dalam bayangan, terpampang jelas di depannya!
Tapi… ada yang aneh.
Kenapa Bu Celina masih di sini? Bukankah semua orang sudah pulang?
Dan yang lebih aneh lagi… kenapa tangannya basah?
“Apa yang kamu lihat, dasar mesum! Mau saya pecat?!”
Deg!
Adit buru-buru menggeleng. “A—ampun, Bu Celina! Saya enggak tahu kalau Ibu masih di sini…”
Sebagai trainee, posisi Adit di panti pijat ini sangat lemah. Dia adalah sasaran empuk senior-senior yang haus kuasa. Tidak heran sebelum dirinya, banyak trainee yang tidak bertahan lama, entah karena mundur atau dikeluarkan dengan alasan sepele.
Itulah alasannya malam ini dia bisa ada di sini. Karena salah satu seniornya melemparkan tanggung jawab kepadanya.
Namun, siapa yang menyangka hal tersebut membawanya ke situasi seperti ini…
Adit melihat Celina takut-takut. Ekspresi manajernya itu dingin, tapi tatapannya panik. Ditambah wajah cantiknya yang memerah, Adit merasa Bu Celina seperti takut ada rahasia besar yang terbongkar.
“Sudah! Aku enggak mau tahu. Pergi dari sini atau…”
Bu Celina mengomel selagi buru-buru mengenakan celananya.
Namun, karena terlalu panik, kakinya tersangkut di celana dan tubuhnya terhuyung ke depan!
Bruk!
Refleks, Adit segera menangkap tengkuk Bu Celina sebelum kepala wanita itu terbentur lantai.
Deg!
Dan saat itu juga, sesuatu terjadi.
Wajah Bu Celina merah padam hingga ke telinga. Napasnya memburu, matanya bergetar, dan…
"Ah…"
Desahan lirih itu lolos begitu saja.
Adit membeku.
Apa-apaan ini?!
Sadar dengan suara yang baru saja keluar dari mulutnya, Bu Celina langsung bangkit dengan wajah panik!
“Kau, kau apakan aku barusan!?”
Adit ikut berdiri, wajahnya bingung. "Sa-saya nggak ngapa-ngapain, Bu! Saya cuma menangkap Ibu biar nggak jatuh—"
“Tapi---”
Celina ingin mengatakan sesuatu.
Ada sensasi aneh yang menyelinap ke dalam tubuhnya.
Hangat.
Menyusup ke saraf-sarafnya.
Tiba-tiba area yang disentuh Adit tadi terasa lebih peka. Seakan… terbakar dari dalam.
Namun, dia menggeleng cepat, menepis perasaan aneh itu.
Mana mungkin dia mengaku sentuhan tangan Adit di lehernya … membuat sesuatu dalam tubuhnya berdenyut?!
“Ah, sudah! Lupakan saja!”
Bu Celina bergegas mengenakan pakaiannya, lalu sebelum keluar ruangan, dia menoleh tajam.
"Ingat ya, urusan kita belum selesai!"
Adit hanya bisa menatap kepergiannya sambil menelan ludah.
Habis sudah…
Sudah menyinggung bosnya, Adit pasti akan kehilangan pekerjaannya ini dalam waktu dekat.
“Haaah … ya sudahlah, itu urusan nanti …” pikirnya sebelum memutuskan membereskan alat-alat bersihnya dan keluar dari ruangan.
Tanpa dia sadari…
Cincin yang melingkar di jarinya berpendar…
Lalu menghilang…
Dan membentuk lingkaran hitam di jarinya.
**
Keesokan paginya.
“Anak baru nggak berguna! Baru berapa hari jadi trainee sudah berani datang terlambat?!"
Makian itu terlontar dari mulut Rudi, senior Adit yang paling berengsek. Pria yang sama dengan yang melemparkan pekerjaan bersih-bersih kepadanya tadi malam.
"Maaf, Pak Rudi! Saya tidak bermaksud untuk datang terlambat…"
Tadi pagi, Adit sebenarnya ingin berangkat kerja seperti biasa. Namun, di tengah Bersiap-siap, Adit menyadari bahwa cincin peninggalan kakeknya tiba-tiba hilang.
Sebagai satu-satunya kenangan yang Adit punya terhadap sang kakek yang baru meninggal beberapa waktu lalu, benda itu sangat berharga.
Dia pun mencarinya dengan panik, sampai akhirnya lupa waktu dan berakhir datang terlambat ke kantor.
Alhasil, di sinilah dia sekarang, menerima ocehan dan menjadi bahan pelampiasan kemarahan seniornya.
BUK!
Satu pukulan dengan gulungan kertas koran diterima di kepala oleh Adit.
“Nggak bermaksud terlambat? Kamu kira aku peduli kamu bermaksud atau nggak?! Di sini ada aturan, dan kamu sudah melanggarnya!”
BUK!
Pukulan kedua.
“Baru trainee aja udah belagu.”
BUK!
Pukulan ketiga.
“Kalau kamu merasa udah jago, kamu sebaiknya---”
BRAK!
Pintu pegawai terbuka keras!
“RUDI!”
Bu Celina muncul dengan wajah marah, membuat Rudi menoleh kaget. “B-Bu Celina?”
Adit langsung mengangkat kepala. Saat melihat sosok Celina, dia langsung menunduk lagi, jantungnya berdegup kencang.
Dia pikir… Bu Celina akan memecatnya.
Namun, yang terjadi selanjutnya sangat di luar dugaan.
“Kenapa pelanggan ruang 25 belum ada yang melayani?!”
Rudi membeku, panik. "A-anu, Bu… saya—"
Mata Bu Celina menatap ke arah Adit.
Dan saat mereka saling bertatapan…
Celina langsung mengenalinya.
"Kamu…"
Adit menahan napas, takut kejadian tadi malam akan diungkit.
Tapi Celina membuang wajah, berdeham, lalu berkata dengan suara tegas.
“Kamu! Siapa nama kamu!” tanya Celina.
“A—Adit bu…”
“Adit! Sekarang kamu pergi ke ruang 25. Pijat pelanggan yang ada di sana itu!”
Wajah Rudi seketika mengeras, “Ta—tapi Bu… Adit kan masih Trainee, seharusnya saya yang—"
"Kalau mau pelanggan, seharusnya kamu peka sejak tadi! Bukan sibuk menindas bawahan!" Kemudian, Celina menatap Adit. “Selain itu, mulai saat ini dia jadi pegawai tetap! Cepat ke sana!”
“Ba—baik bu!”
Adit yang melihat ini sebagai kesempatannya, segera saja berlari ke ruangan itu, diikuti tatapan kesal dari Rudi yang merasa dipermalukan.
Namun, berbeda dengan Bu Celina. Ia melihatnya dengan tatapan berbeda…
‘Adit … ya?’
Malam itu, pukul 19:30, Adit tiba di gedung Nusantara TV. Ia masuk melalui pintu belakang yang dijaga ketat, dikawal oleh tim keamanan Pak Robert dan manajer humas stasiun. Suasana di balik layar studio terasa dingin dan profesional, jauh berbeda dari suasana di markas Pak Robert.Dea mendampinginya. Sejak Adit mengiyakan tawaran Martha, Dea telah mengambil peran sebagai manajer pribadinya yang tak terpisahkan. Ia yang memilih pakaian Adit, kemeja formal berwarna biru gelap yang memancarkan ketenangan dan ia yang terus-menerus memberikan pengarahan.Di ruang tunggu eksklusif, Adit menatap pantulan dirinya di cermin. Ia terlihat tegang.“Ingat, Dit,” bisik Dea, memegang bahu Adit, tatapannya tajam namun meyakinkan. “Mereka butuh simbol. Kamu adalah simbol itu. Jangan terbawa emosi. Bicara pelan, pandang Dimas, dan jaga body languagemu. Kamu korban yang berani, bukan pembalas dendam.”Adit mengangguk, berusaha menelan kekalutan di perutnya. Ia tahu di balik dukungan Dea, ada tuntutan ha
Melalui telefon, Adit menceritakan soal orang-orang TV itu kepada Pak Robert. Lelaki paruh baya itu mengatakan akan segera sampai di markas. Dia meminta Adit menunggu.Tidak sampai sepuluh menit, Pak Robert akhirnya tiba juga di markas. Ia langsung ke ruang tengah dan di sana Adit sedang menunggu sambil menonton TV.Adit langsung berdiri begitu ia melihat Pak Robert pulang, bersama dengan Dea yang mengikutinya di belakang.“Duduk saja santai, Dit…” kata Pak Robert."Gimana ini, Pak Robert?" tanya Adit langsung, tanpa basa-basi. Ia meletakkan proposal di atas meja, membiarkan Pak Robert membacanya.Pak Robert mengambil proposal itu, membolak-balik beberapa halaman dengan cepat, lalu menatap Adit dengan pandangan yang dalam. Dea pun juga ikut membaca proposal itu."Ini, terserah kamu, Dit," jawab Pak Robert akhirnya, suaranya pelan tapi tegas. "Tapi yang jelas, jika kamu setuju, maka akan ada lebih banyak dukungan yang diberikan padamu. Dukungan bukan hanya dari orang-orang biasa, tapi
Malam itu, sekitar pukul delapan, Adit sedang duduk-duduk di teras belakang, sendirian, mencoba menenangkan pikiran dengan secangkir teh hangat. Pak Robert dan keluarganya sedang tidak ada di markas. Mereka pergi entah kemana dan belum pulang.Seorang penjaga keamanan dari area depan segera bergegas ke belakang, mencari Adit.“Mas Adit, ini, ada orang televisi mau bertemu. Saya tadi juga sudah meminta izin pak Robert dulu. Dan Pak Robert memberi izin…”“Oh, oke pak… mereka ada di mana?”“Teras depan…”“Oke…” kata Adit. Sebenarnya ia sungguh malas. Ingin sendirian saja. Tapi apa boleh buat. Ia bukan pemilik tempat itu, dan juga tidak bisa membuat keputusan.Di teras itu, ada seorang wanita dan dua orang pria, berpakaian rapi khas wartawan televisi. Wanita itu berusia sekitar pertengahan empat puluhan, berjas elegan berwarna abu-abu gelap dengan potongan sempurna, rambutnya disisir rapi ke belakang, dan auranya memancarkan profesionalisme tingkat tinggi. Wanita itu tersenyum tipis saat
Tawaran wawancara live dari luar markas datang bertubi-tubi sejak tadi. Kepala keamanan markas, seorang pria berperawakan tegap dengan latar belakang militer, segera menolak semua permintaan itu tanpa basa-basi. Suaranya tegas nadanya tidak memberi ruang negosiasi. Markas ini bukan panggung terbuka untuk media massa.Namun Pak Robert dan tim strategisnya memahami dengan sangat jernih bahwa dalam pertarungan opini publik, momentum adalah nyawa. Sebuah trending topic bisa menyala terang dalam semalam, lalu padam dalam hitungan hari jika tidak dijaga. Adit harus berbicara, itu sudah pasti. Tapi bukan sembarang bicara. Setiap kata harus diperhitungkan, setiap kalimat harus memiliki bobot, dan seluruh pesan harus dikendalikan sesuai proporsi yang tepat. Terlalu agresif akan memicu serangan balik, terlalu defensif akan kehilangan simpati publik.Setelah rapat kilat yang berlangsung hampir dua jam, keputusan akhirnya diambil. Tawaran wawancara tidak ditolak bulat-bulat, tetapi dirembuk ulang
Hakim Ketua memerintahkan penayangan bukti rekaman CCTV dari ruang kontrol. Ruang sidang menjadi gelap, dan layar besar di depan menyala.Rekaman itu begitu jelas; memperlihatkan peristiwa waktu itu di mana tim polisi berusaha menghapus data, lalu usaha mereka dicegah, dan berikutnya, salah satu dari mereka menodongkan senjata. Dan Adit dibawa.Seluruh ruang sidang terdiam, terpaku.Ketika video beralih ke rekaman yang menunjukkan Adit dibawa keluar oleh para oknum itu, dan ditutup dengan blackout server, Hakim Ketua mengetuk palu dan memerintahkan lampu dinyalakan.Tim kuasa hukum Sandi, yang sedari tadi duduk tegak, kini tampak pucat dan tak berkutik. Taktik mereka untuk mengulur waktu dan menyangkal kini hancur lebur di depan mata publik dan majelis hakim. Ibu Sandi menutup wajahnya dengan saputangan, seolah tidak percaya bahwa power play mereka direkam oleh teknologi.Sandi sendiri, yang selama ini selalu mempertahankan raut arogan, kini menatap Adit dengan mata penuh dendam, dend
Hari demi hari berlalu. Beberapa persidangan telah dilakukan, didominasi oleh perdebatan sengit tentang Eksepsi dan putusan sela yang menolak argumen tim hukum Sandi; sebuah kemenangan kecil bagi faksi Pak Robert. Kini, tibalah saat yang paling ditunggu: agenda pemeriksaan saksi.Pagi itu, Adit memasuki ruang sidang dengan langkah yang lebih tegak dari biasanya, meskipun ia tahu ia berjalan menuju sarang singa. Ia adalah saksi tunggal, satu-satunya orang yang berani bersaksi melawan anak Jenderal. Ruangan sidang penuh sesak; ketegangan terasa begitu padat.Adit duduk di kursi saksi. Di depannya, Majelis Hakim tampak serius, di sampingnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menatapnya dengan campuran harapan dan kekhawatiran. Di seberangnya, Sandi menyeringai, sementara tim kuasa hukumnya siap menerkam.Setelah sumpah diucapkan, Hakim Ketua mempersilakan JPU untuk memulai pemeriksaan.“Saudara saksi Adit,” JPU memulai, suaranya lantang. “Silakan ceritakan kronologi kejadian malam itu, mulai dar
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments