LOGINCERITA DEWASA 21+. Bijaklah dalam memilih bacaan. Aryo (33) menghadapi kenyataan pahit dalam rumah tangganya bersama Dinda (30). Tiga tahun pernikahan tanpa anak yang terasa sempurna seketika hancur setelah rekan kerjanya, Andri, secara tak sengaja menunjukkan foto Dinda bersama pria lain. Kecurigaan Aryo makin menjadi saat Dinda tak dapat dihubungi seharian, dan ia menemukan bukti-bukti tak terbantahkan: tiga helai rambut keriting asing dan bekas cairan aneh di celana dalam istrinya. Akankah Aryo mengungkap kebenaran di balik senyum dan cinta palsu Dinda?
View MoreSiang itu, suasana kantor terasa lebih menyengat dari biasanya. AC gedung perkantoran bertingkat dua puluh itu seakan tak mampu menghalau gerah Jakarta di penghujung Oktober.
Namaku Aryo. Saat ini aku tengah berkutat dengan tumpukan laporan triwulan yang harus selesai sebelum deadline besok pagi. Angka-angka penjualan, grafik performa tim, dan proyeksi kuartal depan berhamburan di meja kerjaku yang sempit. Sebagai assistant manager di divisi marketing, tugas seperti ini sudah menjadi rutinitas yang tak bisa kutolak.
Di bilik sebelah, Andri, rekan kerjaku yang sudah empat tahun berbagi keluh kesah soal target penjualan, tiba-tiba berdiri dari kursinya. Wajahnya tampak gelisah, matanya melirik ke arah ruang manajer kami, Pak Hartono, yang sedang khusyuk dengan laptop dan secangkir kopi dingin di mejanya.
"Bro, lihat ini deh," bisik Andri sambil menyenggol lenganku pelan. Ponsel terbarunya ia sodorkan dengan jari yang sedikit bergetar. "Kiriman dari Wulan yang sedang belanja di mall... itu bini lo bukan?"
Wulan adalah rekan kerja kami yang saat ini sedang tugas lapangan. Mungkin tadi dia mampir ke mall untuk makan siang atau entahlah. Wanita itu cukup thengil menurutku. Sikapnya itu ambigu. Entah kenapa, selama ini, aku merasa dia cukup sering menggodaku. Maka dari itulah, aku menjaga jarak darinya.
Aku mengernyit, merasakan firasat aneh yang mulai menggelayut di dadaku. Tanganku meraih ponsel Andri dengan gerakan hati-hati, seolah benda itu adalah granat yang siap meledak kapan saja. Seketika, pandanganku terpaku pada sehelai foto yang terpampang jelas di layar W******p. Jantungku berdesir aneh, detakannya mendadak tak beraturan.
Di sana, di tengah keramaian mall yang sangat kukenal, tampaklah Dinda; istriku yang cantik dengan senyum merekah yang biasa ia simpan hanya untukku. Rambutnya yang panjang bergelombang tertata rapi dalam gaya half-up bun yang elegan. Ia mengenakan blazer cream yang kuberikan untuknya bulan lalu, dipadukan dengan celana panjang hitam yang memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Tas kulit cokelat muda, hadiah anniversary kami yang kedua, tergantung manis di bahunya.
Tapi yang membuatku tercekat hingga napas terasa sesak, Dinda tidak sendiri. Di sampingnya berdiri seorang lelaki paruh baya dengan tinggi sekitar 175 cm, berpostur tegap dan berisi. Rambutnya yang hitam legam sudah dihiasi uban perak di area pelipis, memberikan kesan matang dan berwibawa. Ia mengenakan setelan jas abu-abu gelap dengan potongan yang sangat rapi; jelas bukan sembarang jas yang bisa dibeli di mall biasa. Kemeja putih di baliknya tampak premium, begitu pula dengan dasi mengkilap bermotif garis tipis yang melingkari lehernya.
Yang paling mengganggu adalah tangan pria itu yang terlihat merangkul lembut punggung Dinda, dengan gestur yang terlampau akrab untuk sekadar hubungan profesional. Jari-jarinya yang panjang dan terawat tampak menyentuh pinggang Dinda dengan cara yang... terlalu familiar. Sementara Dinda, dengan senyum yang kurnal begitu manis dan hangat, tampak sangat nyaman dengan kedekatan itu.
Pikiranku langsung kalut bagai badai. Aku mengenal betul setiap lekuk senyum Dinda, cara ia menaikkan sudut bibirnya saat sedang benar-benar bahagia, tatapan matanya yang selalu memancarkan kehangatan seperti sinar matahari pagi, dan bagaimana ia selalu berpenampilan rapi bahkan hanya untuk sekadar ke pasar tradisional dekat rumah kami.
Dinda Maharani, istriku yang berusia tiga puluh tahun itu memang sosok wanita yang luar biasa. Tubuhnya yang tinggi semampai, sekitar 165 cm, dengan lekuk yang proporsional selalu membuatnya terlihat menawan dalam balutan apapun.
Kulitnya yang putih bersih dengan semburat merona alami di kedua pipi membuatnya tampak awet muda. Mata besarnya yang berwarna cokelat madu selalu berkilau ceria, dihiasi bulu mata lentik yang alami. Hidungnya mancung dengan ujung yang sedikit pesek, memberikan kesan manis dan tidak angkuh. Bibirnya yang penuh berwarna merah alami selalu tertata rapi dengan lipstik tipis yang ia aplikasikan setiap pagi.
Profesi kami memang sama, pegawai kantoran. Namun ia bekerja di PT Sentosa Makmur, sebuah perusahaan konsultan manajemen yang cukup bergengsi di kawasan Sudirman. Sementara aku di PT Mitra Sejahtera, perusahaan distributor alat elektronik di daerah Kemayoran. Jarak kantor kami memang lumayan jauh, sekitar 45 menit perjalanan dengan kendaraan pribadi.
Kami telah menikah selama tiga tahun, terhitung sejak tanggal 15 Mei 2022. Pernikahan kami digelar sederhana namun meriah di gedung serbaguna kompleks perumahan orangtuaku di Bekasi. Dinda tampak cantik luar biasa dalam gaun pengantin berwarna putih gading dengan detail bordir mutiara di bagian dada dan lengan. Aku masih ingat betapa beruntungnya aku merasa saat itu, mendapatkan wanita secantik dan sebaik Dinda untuk menjadi pendamping hidup.
Namun ada satu hal yang kadang membuat kami berdua terlihat murung: kami belum juga dikaruniai seorang anak.
Kami sudah melakukan berbagai upaya. Dari konsultasi ke dokter kandungan, terapi kesuburan, hingga mengonsumsi berbagai suplemen yang direkomendasikan teman-teman. Hasil pemeriksaan menunjukkan kami berdua sehat dan tidak ada masalah medis yang serius.
"Itu Dinda, kan?" tanya Andri pelan, suaranya nyaris berbisik. Matanya menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca; campuran antara iba dan tidak yakin dengan apa yang dilihatnya.
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran jantungku yang semakin tak keruan. Udara di ruangan terasa semakin pengap, seolah oksigen tiba-tiba berkurang drastis. "Mungkin... mungkin dia lagi ada tugas kantor, terus sekalian mampir ke mall sama atasannya," jawabku dengan suara yang berusaha kudengarkan mantap, meski sebenarnya ada getaran yang tidak bisa kusembunyikan.
Aku mencoba meyakinkan Andri, dan yang lebih penting, berusaha meyakinkan diriku sendiri. Pikiran logisku yang biasa tajam dalam menganalisis data penjualan mengatakan bahwa ini adalah hal yang wajar. Dinda memang sering menceritakan pertemuannya dengan klien atau atasan di luar kantor. Sebagai account executive, ia memang harus fleksibel dengan jadwal dan lokasi meeting.
Andri mengangguk pelan, seolah memahami dilema batinku. "Oh iya... bisa jadi begitu," responnya sambil mengambil kembali ponselnya. Mungkin dia juga merasa tidak enak jika harus berdebat denganku tentang hal yang terlalu pribadi seperti ini. Lagipula, Andri adalah tipe orang yang bijak; ia tahu kapan harus bicara dan kapan harus diam.
Namun, meski sudah kucoba merasionalisasi dengan berbagai kemungkinan logis, ada perasaan aneh yang tetap mengganjal di sudut hatiku. Sebuah firasat yang dingin dan tak menyenangkan, seperti kabut tipis yang perlahan menyelimuti kejernihan pikiranku. Aku mengembalikan ponsel Andri dengan gerakan yang kusadari sedikit kaku, berusaha bersikap normal meski aku tahu bahwa ketenangan di siang itu sudah direnggut paksa.
Dinda tidak membuang waktu untuk foreplay yang panjang. Dia hanya menciumku dengan brutal, ciuman yang terasa putus asa dan liar. Bibirnya bergerak cepat di bibirku, lalu turun ke leher dan dadaku. Aku merasakan gairahnya yang membara di setiap sentuhannya.Dia mendorongku hingga aku terlentang sempurna di ranjang. Lalu, Dinda dengan cepat memosisikan dirinya di atasku. Dia menduduki milikku dengan satu gerakan cepat dan kuat, menenggelamkan diriku hingga pangkal dengan bunyi "shlup" yang basah.“Ah! Akhirnya!” erangnya, suaranya mengandung campuran kepuasan dan kemarahan karena tertunda.Dinda memimpin. Dia menggoyangkan pinggulnya dengan ritme yang liar dan tidak teratur, seolah dia sedang mencoba menggoyang lepas segala rasa frustrasi dan gairah yang menumpuk di kantor. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, mencengkeram kepalaku dengan kedua tangan, dan menciumku tanpa henti. Ciumannya kini bukan lagi ciuman istri, tapi ciuman seorang wanita yang mencari pemuas, yang menggunakan tub
Akhirnya Dinda selesai juga membersihkan diri di kamar mandi. Aku mengikutinya ke kamar dan duduk di tepi ranjang. Aku menunggu dia ganti baju. Aku duduk di sana, tidak bergerak, seolah kehadiranku adalah patung batu. Dia risih dan sempat menegurku, "Mas, jangan lihatin begitu dong!" Tapi aku tidak peduli. Aku hanya duduk di tepi ranjang, menunggunya.Dinda melepas handuknya, dan aku meneliti setiap inci kulitnya di bawah cahaya lampu kamar. Aku mencari jejak; noda merah di leher, gigitan samar di bahu. Tak ada. Itu berarti, Pak Rendra mungkin tidak sempat membuat lukisan kepemilikan di kulit istriku dengan kecupan bibirnya. Atau, mungkin Dinda yang menolak. Sebab setahuku, Dinda memang jarang mau aku hisap kulitnya kuat-kuat sampai berwarna merah.Kini Dinda mengenakan pakaian tidur sutra tipis berwarna maroon, hadiah dariku, ironisnya. Dia berbaring di ranjang. Aku juga segera berbaring di sebelahnya. Tapi aku tidak memeluknya. Aku menjaga jarak satu bantal, menciptakan ruang dingin
Pagi hari berjalan seperti biasanya; alarm berbunyi jam setengah enam, suara burung yang mulai berkicau di luar jendela, dan aroma kopi yang mulai menyeruak dari dapur. Kami bangun dengan mata yang masih setengah terpejam, lalu bersiap dengan rutinitas yang sudah hafal di luar kepala.Kami sarapan bersama di meja makan kecil kami sebelum berangkat ke kantor masing-masing.Namun ada yang berbeda pagi ini. Ada ketegangan halus yang menggantung di udara, sebuah antisipasi yang tidak terucap."Sayang, sepertinya hari ini kamu harus lebih agresif..." ucapku memprovokasinya sambil menyesap kopi. Mataku tak lepas dari penampilannya. Hari ini dia mengenakan pakaian kantor yang menurutku cukup seksi; bahkan mungkin terlalu seksi untuk standar kantoran biasa.Blazer hitam yang pas di tubuhnya, dipadukan dengan blus putih yang dikancing agak rendah, memperlihatkan lekukan lehernya yang mulus. Roknya ketat dan cenderung pendek, memperlihatkan sebagian paha mulusnya yang terbalut stocking tipis be
Kami sampai di rumah jam 11 malam lebih. Lelah memang, tapi ada perasaan aneh yang menggantung di dadaku. Acara pesta itu cukup seru; musik jazz yang mengalun lembut, hidangan mewah yang tersaji di meja panjang, dan percakapan bisnis yang terselip di antara tawa para tamu. Dan yang paling penting, aku akhirnya melihat dan disapa langsung oleh bos utama dari perusahaan pusat.Pria itu hadir seperti bayangan yang tiba-tiba mewujud. Meski hanya sebentar, tidak lebih dari lima menit, aku merasa senang, bahkan sedikit bangga. Aku baru melihatnya sekarang secara langsung. Dia belum terlalu tua. Masih 50an tahun usianya, dengan rambut beruban tipis di pelipisnya. Pendiam, tegas, tak banyak bicara. Tatapannya tajam, seolah mampu membaca setiap orang hanya dalam sekejap. Jabat tangannya singkat tapi kuat, meninggalkan kesan yang dalam.Kini aku dan Dinda sudah berganti pakaian tidur. Kamar kami diterangi lampu tidur yang redup, menciptakan suasana hangat yang kontras dengan dinginnya AC. Kami
Dinda tampak gelisah. Atau entah apa. Dan aku kembali menuntut dia segera bercerita. Dengan wajah semakin memerah, dan bahasa tubuh aneh yang keluar dengan sendirinya, yang aku tahu jika saat itu ia merasa sangat gugup, ia akhirnya melanjutkan.“Terus dia menurunkan celana dalamku. Tanganku refleks menutupi ituku dan aku mengatakan jangan. Tapi dengan lembut, dia menyingkirkan tanganku. Aku tidak melawan, hanya memejamkan mata. Tubuhku sangat tegang. Dan dia... mulai mencium bagian itu. Bibirnya menyentuh lembut, menghisap ituku... baru kemudian... dia menjulurkan lidahnya. Entah kenapa, baru sebentar saja, aku... aku sudah sampai. Perasaan takut, penasaran, malu... semuanya bercampur menjadi satu. Tapi di saat yang sama, entah kenapa aku menangis. Aku tak bisa mengendalikan diriku. Pak Rendra merasa bersalah, lalu menyuruhku pulang. Padahal, jika dia mau, aku juga nggak akan menolak...”“Kamu menangis?”“I-iya mas. Aku takut. Aku ingat kamu...” kata Dinda. Aku sama sekali tak melihat
Aku terpaku. Kaki seperti tertanam di lantai keramik. Otak langsung berputar cepat, mencoba memproses apa yang baru saja kudengar.Aku bertanya-tanya seketika; apakah Pak Rendra ada di dalam kamar mandi? Tidak mungkin. Aku baru saja masuk, tidak melihat mobil asing di depan rumah. Tidak ada sepatu lelaki di dekat pintu. Rumah sepi total kecuali suara dari kamar mandi itu.Aku menajamkan pendengaranku, mendekatkan kepala ke pintu yang tertutup rapat. Tidak ada suara percakapan. Tidak ada suara gerakan dua orang. Tidak ada erangan lelaki. Hanya desahan Dinda saja; terputus-putus, lirih, penuh kenikmatan yang dia coba tahan.Realisasi itu memukul kepalaku seperti palu. Dia sedang bermasturbasi. Sendiri. Sambil membayangkan Pak Rendra.Gila. Fantasinya sudah sampai tahap itu? Sejauh ini? Bahkan sendirian di kamar mandi, dia masih terobsesi dengan lelaki itu hingga harus melampiaskannya dengan cara seperti ini?Pertanyaan-pertanyaan baru bermunculan, berdesakan di kepalaku. Apakah itu arti






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments