Beranda / Urban / Tukang Bakso Jadi Miliarder / 45-Pilihan Lain Daripada Yang Lain

Share

45-Pilihan Lain Daripada Yang Lain

last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-28 16:40:07

Sambil tersenyum, mereka berjalan keluar dari kompleks ladang Hovek. Dia juga ikut pergi, karena selain pondok ladangnya tidak aman lagi, dia juga menjadi penunjuk jalan bagi mereka.

Angin pagi berembus lembut, membawa aroma embun dan tanah basah ke serambi pondok Hovek. Di sekelilingnya, hamparan ladang yang tertata rapi tampak subur, dihiasi dengan tanaman padi yang menguning.

Hovek berdiri dengan tangan di pinggang, memandang ladang kecilnya dengan ekspresi sedih karena sebentar lagi merekaa meninggalkannya.

Tadi pagi-pagi sekali Okok Keang dan rombongannya bersama Ghnadie dan Hovek mulai berkemas. Okok Keang mengangkat ranselnya, sementara Desy membantu menyiapkan wadah untuk menyimpan bekal perjalanan. Mereka sudah menghabiskan tiga hari di pondok ini, dan kini tiba waktunya untuk melanjutkan perjalanan.

“Aku masih tidak percaya kau memilih hidup seperti ini, Hovek,” kata Ghenadie, menyandarkan tubuhnya pada salah satu pilar kayu. “Kita semua dulu bercita-cita menjadi sesuatu yan
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   113-Perang Data Amerika vs Rusia

    Mongolia, 03.42 GMT+8 — Dua Hari Setelah Interkoneksi PsionikLangit malam Mongolia masih berselimut salju lembut. Claria berdiri sendiri di tepi bukit, menatap jauh ke arah piramida digital yang kini tidak lagi berpendar biru seperti sebelumnya. Ia menyentuh alat pemindai di pergelangan tangannya.“Jaringan bio-sinaptik stabil,” bisiknya sendiri.Langkah kaki terdengar dari belakang. Ghenadie datang, jaket bulu panjangnya menyapu salju.“Dia belum pernah sehening ini,” katanya, menatap piramida dari kejauhan.Claria mengangguk. “Setelah koneksi psionik itu, sepertinya Nakam lebih memilih diam.”Ghenadie menatapnya. “Kau yakin dia tak akan kembali?”Claria tidak langsung menjawab. Angin dingin meniup helaian rambut hitamnya.“Dia mungkin kembali,” ujarnya akhirnya. “Tapi bukan untuk menyerang. Untuk... berbicara.”Ghenadie menarik napas panjang. “Kalau benar begitu, dunia harus siap.”Markas Koalisi Siber Internasional, Lapisan-4, Pusat Komando DataHaruto mengetik cepat di konsol hol

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   112-Menembus Server Hitam

    Dinda dan Claria duduk berdampingan di ruang bawah tanah yang gelap, hanya diterangi layar hologram biru yang berpendar lembut. Di depan mereka, struktur enkripsi hitam dari server DeepGene, milik cabang riset rahasia Cina, berdenyut perlahan seolah bernapas.“Aku tak percaya kita benar-benar masuk ke sini,” bisik Dinda, keringat menetes dari pelipisnya.“Kita belum masuk,” sahut Claria tenang, jemarinya menari di atas papan sentuh virtual. “Kita baru membuka pintunya.”Dinda menelan ludah. “Kalau kita ketahuan...”“Kita jadi eksperimen berikutnya,” Claria menyelesaikan kalimatnya dengan datar.Sebuah simbol asing berkedip di layar: 知-无-极.Dinda memicingkan mata. “Itu bukan Mandarin biasa...”“Bukan. Itu sandi kuno. Enkripsi kuantum dari proyek ‘Ji-Wu’. Proyek rahasia yang kabarnya sudah ditutup. Tapi lihat ini.” Claria memperbesar fragmen kode. “Ada log aktivitas terbaru. Sangat baru.”Nama ‘Arix’ muncul.Dinda membatu. “Dia... masih aktif?”“Lebih buruk. Dia pernah berkomunikasi den

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   111-Pertemuan di Bawah Cahaya Kabut

    Di ruang bawah tanah Biogenetics yang kini disegel, tim penyelidik khusus dari Koalisi Siber Internasional bekerja diam-diam. Salah satunya, Haruto, adalah mantan analis kriptografi Jepang yang kini bekerja untuk Tim Ghenadie.“Ini... bukan kerja Arix sepenuhnya,” katanya pelan sambil menunjuk jejak digital yang tersisa.Claria mendekat. “Bagaimana bisa kau tahu?”Haruto menunjuk fragmen kode yang tampak menyala di layar.“Lihat ini. Teknik enkripsi digunakan dengan algoritma ‘Tsubaki-7’, sistem eksklusif milik Badan Intelijen Jepang. Tapi di dalamnya... ada celah manipulasi memakai protokol ‘Haedong-2’ milik Korea Selatan.”Dinda menoleh. “Jadi ini... operasi gabungan?”Haruto mengangguk perlahan. “Atau, setidaknya, seseorang ingin kita mengira begitu.”Beberapa jam kemudian, Ghenadie mendapat pesan terenkripsi di perangkat lamanya—model yang hanya digunakan saat Perang Data Timur dulu. Pesan itu hanya berisi satu baris: "Kita tahu siapa yang sebenarnya menciptakan Alpha. Dan kam

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   110-Jejak yang Terhapus

    Langit di atas Libtar masih tampak mendung seperti hari sidang terakhir itu. Tapi di bawah awan-awan kelabu, dunia telah berubah. Tidak lagi sekadar menyoal daging ayam atau genetika, tetapi menyoal apa arti menjadi hidup.Pagi itu, suasana kantor pusat Biogenetics International Corporation di Libtar terasa ganjil. Lorong-lorong yang biasa dipenuhi lalu-lalang ilmuwan dan teknisi kini hening. Ketika Ghenadie sebagai CEO memasuki lobby, langkahnya terhenti.Seseorang berlari dari ruang kontrol, wajahnya pucat pasi.“Pak Ghenadie!” teriaknya. “Para security... mereka... mereka diikat!”Ghenadie bergegas. Di ruang pengawas, lima petugas keamanan tergeletak di lantai, tangan dan kaki mereka terikat dengan kabel serat optik. Salah satu dari mereka masih sadar.“Kami... tak sempat bereaksi. Mereka tahu semua protokol,” gumamnya dengan suara lemah.“Siapa ‘mereka’?” tanya Ghenadie tajam.“Tak tahu... Tapi mereka tahu kode utama... dan masuk langsung ke ruang isolasi unggas.”Detak jantung Gh

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   109-Gallius-Hari Setelah Kemenangan

    Langit di atas Libtar masih tampak mendung seperti hari sidang terakhir itu. Tapi di bawah awan-awan kelabu, dunia telah berubah. Tidak lagi sekadar menyoal daging ayam atau genetika, tetapi menyoal apa arti menjadi hidup.Di sebuah ruangan kaca di tengah hutan yang kini dinamai Sanctuary Gallius, dua sosok berdiri menghadap jendela besar. Yang satu, bersayap, berjubah panjang berwarna abu gelap, matanya menatap lembah hijau yang kini menjadi rumah bagi ratusan ayam mutan.Yang satu lagi, manusia yang dulu menciptakannya, Ghenadie.“Indah, bukan?” kata Gallius, suaranya tenang tapi dalam.“Ya,” jawab Ghenadie lirih. “Lebih indah dari laboratorium mana pun yang pernah kupunya.”Gallius tak menoleh, hanya mengepakkan sayapnya perlahan, “Terkadang, keindahan hanya muncul setelah kehancuran.”Ghenadie menunduk. Ia masih ingat hari-hari terakhir di ruang pengadilan. Betapa rasa bersalah dan kekaguman pada ciptaannya bertempur dalam dadanya.Satu minggu setelah keputusan hakim, suasana duni

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   108-Ghenadie Dituntut Ayam Mutan

    Hari itu langit di atas pusat kota mendung. Gedung Pengadilan Internasional Etika Bioteknologi dipenuhi kamera, wartawan, aktivis, ilmuwan, dan warga sipil dari berbagai negara. Di antara kerumunan itu, seekor ayam setinggi manusia dewasa, berjubah hitam, melangkah masuk ke ruang sidang. Di sebelahnya, pengacara manusia bertubuh kecil dan berkacamata tebal membawa berkas setebal kamus ensiklopedia. Di kursi terdakwa duduk Ghenadie, CEO perusahaan bio-genetika terbesar di Asia Tenggara. Wajahnya tenang, tetapi jantungnya berdebar. Ia tidak menyangka, eksperimen yang dulu dianggap sebagai lompatan teknologi akan menyeretnya ke ruang sidang dengan lawan tak terduga. Ayam mutan itu meluruskan lehernya, menatap para juri dengan mata kuning menyala dan berkata dalam suara serak namun jelas: "Nama saya: Gallius Maximus. Saya di sini untuk menuntut hak saya sebagai makhluk hidup yang sadar, yang lahir bukan karena cinta... tapi karena keserakahan." Segalanya bermula tiga tahun

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   107-Sprei Darah dan Cinta Rakyat

    Langit sore menggantung lembut di atas balai pertemuan Kecamatan Sumberjati—bangunan tua yang biasanya digunakan untuk rapat Pemda dan KPU. Hari itu, tidak ada politik. Tidak ada kampanye. Hanya cinta, dan sebuah pernikahan yang lebih dari sekadar dua hati yang bersatu.Ghenadie berdiri di balik tirai jendela kecil di ruang tunggu. Ia menarik napas dalam-dalam, matanya menyisir halaman yang dijaga ketat oleh petugas berseragam sipil.“Berapa banyak yang kamu kerahkan hari ini?” tanya Panji, yang masuk sambil membawa botol air.“Dua ratus,” jawab Ghenadie. “Mereka menyamar sebagai tukang parkir, kru katering, bahkan pemandu tamu. Semuanya dilatih. Kita tidak bisa ambil risiko.”Panji mengangguk. “Didik tidak akan tinggal diam. Kau benar mengantisipasi ini.”Dinda duduk di ruang rias. Gaun putih sederhana membalut tubuhnya. Tak ada hiasan mewah, hanya bunga melati kecil di sisi kepala.“Sudah siap, Nona Dinda?” tanya Lastri yang hari itu bertugas sebagai pendamping pengantin.Dinda ters

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   106-Tanah Yang Bicara

    Langit pagi menggantung kelabu di atas desa Sumberjati. Embun belum kering, tapi halaman balai desa sudah ramai. Warga berkumpul, sebagian membawa poster buatan tangan, sebagian lagi menggenggam ponsel untuk merekam. Di tengah kerumunan, seorang lelaki paruh baya bernama Pak Wiryo berdiri mematung. Matanya berkaca-kaca, bukan karena sedih, tapi karena harapan yang belum padam."Apa kita benar-benar mau lakukan ini, Pak?" tanya Lastri, guru SD yang jadi penyuluh internet desa.Pak Wiryo mengangguk pelan. "Kalau bukan kita yang bersuara, siapa lagi?"Di tengah lahan luas yang dulunya ladang jagung, kini berdiri tiang-tiang pancang milik proyek Ghenadie. Tapi pembangunan itu baru saja dibekukan oleh pemerintah daerah, akibat sengketa yang diwarnai manipulasi oleh PT. Rekarsa.“Yang saya tahu,” lanjut Pak Wiryo, suaranya mulai lantang, “anak-anak muda kota itu datang bukan untuk menindas, tapi membangun. Dinda, Ghenadie, dan Pak Panji... mereka hormat pada tanah ini. Tapi karena merek

  • Tukang Bakso Jadi Miliarder   105-Tanah, Cinta, dan Pengkhianatan

    Langit senja di atas kota menguning kusam, seolah ikut menyimpan rahasia yang tak sanggup diungkapkan. Ghenadie berdiri di jendela ruang kerjanya, memandangi gedung-gedung tinggi yang bagai benteng menahan badai. Ia baru saja mengambil keputusan besar—mendirikan perusahaan baru, jauh dari hiruk-pikuk pusat kota, tempat di mana ia berharap Dinda bisa memulai segalanya dari awal. Tanpa bayang-bayang masa lalu. Tanpa tekanan.Ia menggenggam ponselnya, menatap layar kosong.“Saatnya kau punya panggungmu sendiri, Dinda,” bisiknya.Di sisi lain kota, Dinda menatap Didik yang kini berdiri di depannya dengan mata merah dan rahang mengeras. Udara di antara mereka terasa sesak, seolah marah bisa meledak kapan saja.“Jadi begitu ya, Din?” Didik mendesis. “Kau pikir kau bisa semudah itu mutusin gue?”Dinda mengangkat dagunya, matanya tidak gentar. “Ini bukan soal mudah atau sulit, Didik. Ini soal sadar. Aku sadar siapa dirimu sebenarnya dan tidak pernah lupa tentang apa yg kamu lakukan.”“Apa? Ka

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status