“Apa yang kau lakukan?” seru Anna lagi sambil menutupi badan Eden dengan jas yang menutupinya tadi. Sontak Anna langsung menyilangkan tangan di dada dan menatap Eden dengan tajam.
Eden menunduk menatap dadanya dengan polos kemudian ikut menyilangkan kedua tangan di dada. “Ini karena kau muntah di bajuku.” Eden membela diri.
“Apa? Muntah? Aku?” Anna menjadi serba salah, tapi dia tak ingat.
Anna melirik Eden sebentar kemudian segera keluar dari mobil. Bagaimanapun permintaan Eden untuk menemui orang tuanya cukup mendadak. Setidaknya dia ingat akan perjanjian tak tertulis mereka semalam.
Sontak Eden menjadi panik. Waktu mereka semakin menipis. Dia hanya punya waktu kurang dari satu jam lagi untuk sampai ke rumah orang tuanya.
Anna berjalan cepat dengan bertelanjang kaki. Eden pun langsung keluar mobil. Mengejar Anna. Tetapi dia berhenti ketika menyadari badannya yang tak pakai apapun.
“Astaga,” gumamnya sambil melirik badan polosnya. “Hei! Kau mau kemana?” Eden kembali ke mobil lalu mengambil jas yang dipakai untuk menutupi Anna semalam. Dia memakai asalan sambil berlari mengejar Anna yang sudah agak jauh. Eden kembali mendesah melihat Anna yang berjalan cepat tanpa alas kaki. Dia balik lagi untuk mengambil sepatu Anna di mobil. “Kau mau kemana dengan kaki tanpa alas seperti itu?”
Eden berhasil mendapatkan Anna dan menahan lengannya. Kemudian meletakkan sepatu Anna tepat di depan kakinya. “Ayo! Kita sudah tak punya waktu.”
“Kenapa aku harus ikut denganmu?” tolak Anna pelan mengalihkan pandangan. Pupil Eden membesar, semakin panik. “Bukankah kau sudah setuju tadi malam?” Eden berusaha menyegarkan kembali pikiran Anna. “Ayo! Kita tak punya banyak waktu,” jelas Eden. Mereka tidak punya waktu untuk berdebat. “Sekarang pakai dulu sepatumu.”
Anna menendang sepatunya, malas untuk mengenakannya. “Hei!” pekik Eden spontan. Sikap Anna benar-benar tidak bisa ditebak.
Eden menarik nafas pelan. “Sekarang katakan padaku, kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran seperti ini? Bukankah kita sudah sepakat semalam?”
Anna tertunduk dengan tangan yang masih dalam genggaman Eden. “Bagaimana aku bisa datang dengan tampilan seperti ini?” kata Anna pelan. Pria itu berhenti sejenak. Memindai penampilan Anna dari atas kepala hingga ujung kaki. Rambut berantakan. Matanya yang menghitam karena maskara luntur. Dress mini dengan pinggang terbuka. Ditambah sekarang kakinya sangat kotor dengan sedikit luka di bagian ibu jari setelah menendang heelsnya beberapa detik yang lalu. “Bagus. Justru bagus kau berpakaian seperti ini,” terang Eden. Dia mulai menarik Anna munuju mobil, namun gadis itu masih menahan diri. “Apa lagi?”
Anna melirik sepatunya. “Aku belum pakai sepatu,” katanya merengek.
“Astaga!” Eden benar-benar sudah kehabisan kata-kata dengan Anna. Dia terus mengecek jam tangannya berulang kali. Memastikan berapa lama lagi waktu yang tersisa. Jangan sampai ibunya menelepon dan membatalkan janjinya begitu saja. Semua perjuangannya membujuk Anna semalam akan sia-sia. Ah, sebaiknya dia tidak memikirkan kemungkinan buruk itu.
Eden mengambil sepatu Anna di lantai dengan sebelah tangan yang bebas, sementara satunya lagi masih memegang tangan Anna. “Tidak usah dipakai, lihatlah jarimu terluka. Ayo! Aku punya sandal di mobil.” Kali ini Anna menurut. Mobil pun melaju sebelum Anna kembali berubah pikiran.
“Aku tau kita sedang buru-buru, tapi setidaknya biarkan aku ke apotek dulu,” pinta Anna ketika mobil berhenti di lampu merah. “Bagaimanapun tidak seharusnya aku datang dengan pakaian seperti ini. Meskipun aku tak kenal denganmu, aku tetap ingin menunjukkan kesan yang baik pada orang tuamu,”
“Buat apa? Tidak usah. Penampilan sekarang adalah yang paling oke,” puji Eden terdengar dipaksakan. Tentu saja berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Dia sengaja mengajak Anna bertemu ibunya dengan berpakaian seperti itu agar ibunya kapok dan menyerah seperti yang di janjikannya kemarin. Penampilan Anna sekarang jelas bertolak belakang dengan menantu idamannya. Tapi dia juga tak mungkin menarik ucapannya kemarin. Meskipun Nyonya Arini orang yang keras kepala, tetapi ia tak pernah mengingkari janji yang pernah dibuatnya. Setidaknya dengan Eden membawa Anna pulang seperti yang di suruh, seharusnya dia sudah bisa bebas.
“Kau punya masalah penglihatan? Baju ini sama sekali tak nyaman.” Anna menarik-narik bagian bawah bajunya hingga menimbulkan bunyi. Bajunya robek. “Astaga,” seru Anna tak percaya. Baru saja dia semakin memperburuk penampilannya. “Ayolah! Setidaknya biarkan aku berganti pakaian.”
Akhirnya Eden melajukan mobilnya dengan kecepatan rendah di sepanjang jalan yang menjejalkan pakaian, searah dengan jalan ke rumahnya. Tetapi keberuntungan tak berpihak pada Anna. Belum ada toko yang buka pada jam sepagi itu. “Kau mau cari baju dimana? Tidak ada yang buka di jam segini,” kata Eden. Sementara Anna terlihat masih berharap menemukan toko yang buka. “Sudah kubilang penampilanmu sekarang adalah yang terbaik,” bujuk Eden sekali lagi. Sesekali ia melirik jam di ponselnya. Setengah jam lagi.
“Pasti ada, coba kau belok sedikit ke jalan yang di sana.” Eden menurut.
Sama saja, belum ada toko pakaian yang buka. Hanya kedai kecil dan truk kopi instan yang sudah menggelar dagangannya sepagi ini. “Tidak ada.” Anna tampak kecewa.
Eden kembali memutar mobil kemudian menepikan mobilnya tepat di depan sebuah apotek dua puluh empat jam. Dia melihat Anna yang masih duduk di sampingnya, tak juga keluar dari mobil.
“Bukankah kau ingin ke apotek? Pergilah,” Eden mengintruksi. Tetapi gadis di sampingnya masih tak bergeming. Anna malah menatapnya dengan penuh manja. “Kau saja yang belikan,” katanya sambil menautkan dua jari telunjuk di bawah dagu. Mencoba bersikap imut. Tetapi Eden balas menatapnya dengan jijik. Ternyata caranya tak mempan. Raut wajah Anna kembali datar. “Bukankah seharusnya kau yang membelikannya untukku? Kan kau yang membutuhkan bantuanku. Semacam take and give?” Jika saja penampilan Anna jauh lebih baik, dia pasti sudah keluar dari tadi tanpa harus bersikap imut untuk meminta bantuan pada Eden.
Pria itu menghela nafas geram. Tapi dia butuh. “Aku cuma perlu beli minuman penghilang pengar saja kan?” katanya terdengar tak tulus.
“Tisu basah sekalian,” tambah Anna. Eden keluar mobil. “Jangan coba lari kemana-mana!” Eden kembali mengingatkan sebelum menutup pintu mobil dari luar.
Dia berjalan masuk ke apotek. Tak lama kemudian. Anna sudah melihatnya lagi dari balik pintu dan masuk ke mobil. Eden menyerahkan sebuah kantong kresek berwarna hitam berisikan satu botol minuman penghilang pengar dan tisu basah. Eden langsung melajukan mobil. Sedangkan Anna meminum minuman itu dalam sekali tenggak. Kemudian dia beralih memakai tisu basah, membersihkan sisa make upnya yang berantakan.
Setibanya mereka di depan gerbang rumah orang tua Eden. Anna kembali berulah. “Apa sebaiknya aku tidak usah datang? Lagi pula aku punya hak untuk menolak.” Eden yang menggenggam tangan Anna semenjak turun dari mobil tadi tak melonggar sedikitpun.
“Apa kau menyukaiku?”
Pertanyaan tiba-tiba dari Eden membuat Anna bungkam seketika bahkan mematung di tempat.
****
Pagi itu matahari bersinar lebih cerah dari biasanya. Seolah mendukung acara suci yang akan diadakan hari itu. Bahkan cuaca sangat bersahabat. Hari yang dinanti-nanti telah tiba. Ruangan yang sebelumnya kosong kini telah dihiasi dengan berbagai interior berwarna putih. Setiap meja telah tersaji minuman dan juga makanan ringan. Tampak beberapa orang waiter muda mondar mandir menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan. Termasuk Nyonya Arini yang sibuk kesana kemarin menyambut tamu undangan. “Kau gugup?” Ibu Anna merapikan slayer putih miliknya yang tengah menghadap kaca besar. Anna mengangguk pelan sebagai jawaban. Ibu Anna tersenyum hangat. Dia mengerti perasaan putrinya walau tidak sepenuhnya. Karena dulu dia juga pernah berada pada posisi Anna sekarang. “Semuanya akan berjalan seperti yang kau rencanakan nak. Rasa gugup, canggung, atau bahkan takut mungkin kau merasakannya sekarang. Tapi percayalah ini semua perjalanan menu
Tiga orang waiters baru saja menyelesaikan sajian makan malam di sebuah ruangan privat hotel bintang lima itu. Akhirnya pertemuan keluarga itu terlaksana. Sesuai perkataan Eden beberapa hari yang lalu. Kedua keluarga saling duduk berhadapan. Anna duduk bersebelahan dengan Eden yang berada di sisi keluarga Anna. Sementara di sisi seberang Eden duduk Nyonya Arini, Tuan Teddy dan juga nenek Eden. Di samping Anna ada ibu, nenek dan juga Ayah Anna. Persamaan kombinasi yang cukup mengejutkan saat mereka pertama kali memasuki ruangan itu. “Terima kasih sudah menjamu kami makan malam Tuan.” Ayah Anna memulai percakapan di meja makan. Dia tampak jauh lebih santai dibanding Ibu Anna dan juga ibu mertuanya. “Ah, tidak usah bilang seperti itu. Anggap saja ini seperti pertemuan keluarga,” sahut Ayah Eden tak kalah ramah. “Mari makan,” tangannya mulai bergerak mengambil mangkuk soto yang tersaji di atas meja. Mereka memang makan di hotel bintang lima, tapi menu m
Anna menarik lengan Eden agar pria itu menghentikan langkahnya. “Eden,” panggilnya. Usaha pertamanya gagal, pria yang dipanggilnya itu terus saja berjalan meninggalkan rumah dengan tangan yang masih berpegangan erat.“Eden!” Akhirnya Anna berhasil melepaskan tangannya dari Eden hingga pria itu membalikkan badan. “Kenapa?” katanya dengan suara yang mulai meninggi. Awalnya Anna sedikit terlonjak kaget. Itu pertama kalinya Eden meninggikan suara padanya. Tapi dia tak boleh teralihkan. Masalah utama mereka sekarang adalah ucapan dari Tuan Teddy beberapa menit yang lalu. “Kau tidak boleh seperti itu. Setidaknya kau harus mendengarkan penjelasan ayahmu dulu!” seru Anna balas berteriak. Eden terlonjak kaget saat Anna berseru marah. Keningnya berkerut mencoba memahami situasi saat ini. Jangan bilang kalau gadis di depannya ini setuju dengan pendapat orang tuanya? “Kau setuju dengan rencana ayah?” “Rencana apa?”
“Selamat pagi semuanya,” seru Eden dari depan pintu. Suaranya terdengar penuh semangat, suasana hatinya cerah, secerah mentari pagi di luar sana. Ya. Hari libur adalah kesempatan Anna dan Eden berkunjung ke rumah orang tuanya. Ada hal penting yang harus segera di lakukan. Terlepas dari acara resmi yang memang harus mereka persiapkan. “Oh kalian sudah tiba?” Ayah Eden, Teddy sudah berada di depan pintu menyambut kedatangan Eden dan Anna. “Ibu mana ayah?” Eden melihat sekeliling rumah namun tidak menemukan orang yang dicarinya itu. “Jangan bilang ibu sudah berada di kantor di hari libur ini dan sepagi ini?” Eden menebak asal mengingat kejadian terakhir kali saat pulang ke rumah. “Selamat datang juga Anna,” sapa Tuan Teddy beralih pada calon menantunya itu sambil merentangkan kedua tangan yang disambut sebuah pelukan hangat oleh Anna. Harus Anna akui bahwa Eden memiliki keluarga yang penuh dengan kehangatan jika kita menghilangkan unsur tra
“Jadi kau bekerja dimana tadi?” sela ayah Anna lagi di tengah perbincangan santai mereka yang berhasil membuat Eden tersedak. “Ayah,” sahut Anna mengingatkan. Ayahnya itu sudah bertanya untuk yang ketiga kali. Entahlah apa karena dia tak yakin setelah melihat penampilan Eden atau mungkin dia hanya butuh validasi demi masa depan putrinya itu. “Dokter ayah,” terang Eden sekali lagi. Setelahnya dia meneguk air putih di gelasnya hingga kosong. “Ah iya, dokter. Hebat sekali.” Dan itu adalah pujian yang ketiga kalinya. “Sudahlah ayah, jangan bahas tentang pekerjaan lagi.” “Baiklah. Ayah mengerti.” Ayahnya tersenyum menyudahi interogasi mini untuk calon menantunya itu. “Ngomong-ngomong kapan kita bisa bertemu dengan keluargamu?” Ayah Anna mengedikkan bahu. “Lebih cepat lebih baik bukan?” “Oh tentu saja ayah. Aku akan menjadwalkan secepatnya.” “Bukankah ayah harus bertemu dengan ibu lebih dulu?” An
“Sepertinya suasana hatinya sedang bagus sekali,” gumam Eden pelan. Eden bersandar pada mobilnya yang terparkir di depan gedung apartemen Anna. Senyumnya merekah saat mendapati seorang gadis memasuki halaman gedung. Anna segera berlari dan memeluk pria yang sudah lebih dulu membentangkan kedua tangannya. “Sudah lama? Kenapa tidak menelfonku, kan jadinya kau menunggu lama di sini.” Gadis itu membenamkan kepalanya pada dada bidang milik Eden. Aroma parfum Eden yang khas begitu menenangkan. “Tak masalah. Aku tidak ingin mengganggu waktumu yang berharga.” Kening Anna terlipat. “Kau tau aku pergi menemui siapa?” “Tentu tidak. Tapi kau bilang kau akan menemui orang penting, jadi ya.. aku tak ingin menganggumu.” Anna tersenyum lalu menggenggam tangan Eden. “Mau jalan-jalan sebentar?” “Kau tidak lelah?” tanya Eden sambil merapikan rambut Anna yang sedikit berantakan. Anna menggeleng. “Ada yang ingin kubilang,”