Share

2. Rastri Misteri

Dari balik dinding kaca jernih yang tembus ke lobi, menyeberangi meja-meja dengan monitor menyembul sedikit di bawah garis tatapannya, Sam menangkap kelebat lincah Sonia yang berlari keluar. Hatinya sama sekali tidak membunyikan gaung perasaan apapun. 

Baiklah, mungkin ada. Sedikit. 

Namun ada perasaan menggelitik yang mengusiknya. Perasaan lain yang tak ada hubungannya dengan si cantik-lincah Sonia. Sam merasakan tatapan perempuan—perempuan lain—yang duduk di sudut di dekat jendela kaca yang menghadap halaman depan. Tatapan itu terasa seperti sentuhan jari—lunak tapi mengganggu—yang tak mau henti di punggungnya. 

Ada dua orang yang memperhatikannya lebih daripada orang lain sejak pertama kali bergabung dengan perusahan penerbitan itu. Yang satu Sonia. Terbuka, ramah, dan terkadang agak berlebihan. Pertemuan tadi dengan Sonia merupakan kesempatan pertama ia berbicara agak leluasa seolah ia telah akrab dengannya. 

Aura terbuka gadis itu membuatnya sedikit membuka diri. Dan kenyataannya Sonia menanggapinya dengan menyenangkan. Tatapan mata, lirikan dan mencuri-curi kesempatan untuk berada didekatnya yang Sonia lakukan selama sebulan ini ternyata tak membuktikan janji yang lebih dari sekedar tawaran berteman. Atau itulah yang Sam rasakan. Untunglah Sam belum melakukan sesuatu yang berlebihan pula. 

Sam bernapas lega. 

Tetapi kasusnya berbeda dengan perempuan yang menatapinya diam-diam saat itu. Sam pernah mendengar seseorang rekan koresponden memanggil namanya: Rastri. Sam pernah melihatnya berjalan pulang sendirian dan mengejar bus kota dengan kegesitan yang cukup mengejutkan—mengingat sikapnya yang serba pendiam dan tertutup penuh misteri. 

Berbeda dengan Sonia yang terbuka dan riang, Rastri hanya menatapinya dari jauh, tak berusaha mendekat. Dan ketika Sam berusaha mendekatinya, Rastri secara licin dan tak kentara beringsut pergi. Beberapa kali Sam sempat membenci dirinya sendiri karena terlibat dalam situasi yang canggung tapi membelit ini. 

Ah, apa urusannya dengan Rastri? Ia di sini hanya mau bekerja. Tak lebih dan tak kurang. Ia berhak hidup normal. Senormal yang ia inginkan. Dan andai ada seorang seperti Rastri yang bermisteri dengan sikapnya terhadapnya, Sam yakin akan lebih baik jika ia tak menghiraukannya. Titik.

Sam membuka semua file yang mesti diperiksanya malam itu. Deadline masih cukup lama, tapi Sam tahu lebih cepat ia menyelesaikannya lebih baik. Lagipula ia sering mendapat pekerjaan dadakan dari naskah-naskah penting yang tiba di menit-menit terakhir sebelum masuk bagian lay-out. Ia baru tiga bulan di situ, dan ia ingin memperlihatkan etos kerjanya yang maksimal—seperti manusia lainnya.

Rastri masih menatapinya. Sam bisa merasakan itu. Gelora emosinya memuncak, tetapi dengan tenang ia meredam arus kemarahannya dengan berkonsentrasi pada huruf-huruf yang tampak bersusulan muncul di layar monitornya. Detik menuju menit. Dan menit menjadi jam. Ia tenggelam dalam lautan kata-kata. Otaknya menyisir kalimat demi kalimat. Logikanya bekerja setiap ada makna yang muncul dari kata-kata dan kalimat-kalimat yang dibacanya. 

Tugasnya hanya menyempurnakan bahasa agar mampu menyampaikan maksudnya yang paling jernih dan langsung. Bahasa jurnalisme. Dan ia harus membetulkan ejaan dan penempatan tanda baca yang keliru. Bukan pekerjaan sulit. Apalagi program komputer yang dipakainya sangat membantu. Ketika ia selesai mengerjakan sejumlah naskah yang ada dalam foldernya, rekan kerjanya yang lebih senior datang. 

“Hei, sudah selesai?”

Sam mengangguk. Dan membiarkan Manto meneliti pekerjaannya. Sam membiarkan Manto terpana atas kesempurnaan hasil kerjanya. Sempurna. Bahkan Sam telah menyelesaikan naskah yang seharusnya menjadi bagian Manto. Dan seperti biasa selama tiga bulan ini ia membiarkan Manto terserap oleh obsesinya untuk menemukan kesalahan yang dibuatnya. Sam yakin untuk kesekian kali Manto akan kecewa tak menemukan satu celah pun untuk mencelanya. Sam bangkit dan menoleh ke arah meja Rastri. 

Gadis itu telah menghilang. 

Sam melangkah mendekati jendela kaca yang terbuka. Angin dari luar menerpanya saat ia menyentuh permukaan meja Rastri. Meja yang rapi dan bersih seperti dilap setiap detik. Bahkan layar monitornya tampak lebih bersih dari layar monitor lainnya. Gadis itu mungkin cinta kebersihan melebihi apa pun. Atau ia terlalu cemas dan neurotik dan menjadikan kegiatan mengelap dan mengelap mejanya sebagai bagian dari terapi pribadinya. Segawat itukah?

Lalu, ke mana gadis itu pergi? Apakah ia telah selesai dengan pekerjaannya hari ini? Apakah memata-matainya termasuk pekerjaannya? Tak ada apa-apa di meja Rastri. Bersih. Rapi. Terlalu rapi sehingga tampak janggal. Penuh misteri. Dan saat Sam menatap keluar jendela, ia melihat Rastri yang menatapnya di gerbang depan dekat posko. Sosoknya yang langsing tegap menghadap lalulintas yang padat, tetapi wajahnya menoleh ke arah jendela di mana Sam berada.

Wajah yang tertutup gelap bayangan pepohonan itu menatapnya langsung. Dari sikap tubuhnya Sam menduga ada sesuatu yang bergolak dalam benak gadis itu. Saat menatapnya Rastri tak berusaha berkelit atau pura-pura melengos. 

Naluri Sam lantang memekik: Rastri mengetahui sesuatu tentang dirinya yang tidak diketahuinya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status