Share

Kabar dari Indonesia

"Hej Feli!", seseorang memanggil saat kami memasuki kafe kecil yang menghadap sungai itu.

Kota Boras memang dialiri sungai kecil yang indah. Terkadang malah ada burung-burung yang bermain-main air disana. Di pinggir sungai banyak bertebaran kafe-kafe. Salah satunya adalah kafe kecil yang kami datangi ini.

"Hej Hang!" aku balas melambai dengan heboh. Hang Huang adalah cewek Vietnam bertubuh mungil yang kukenal dari seorang teman Indonesiaku. Kebetulan Hang-lah yang mempromosikan apartemen yang akan kutempati sekarang. 

Di Swedia, untuk mendapatkan apartemen memang susah-susah gampang. Pertama, kita harus mengisi formulir pendaftaran dulu. Kedua, mesti menunggu sampai tipe apartemen yang kita inginkan tersedia. Artinya penghuni harus menunggu dulu penghuni sebelumnya pindah dari apartemen itu. Ketiga, menunggu sampai apartemen itu dibersihkan dan direfasilitisasi. Sehingga pada saat penghuni baru masuk, apartemen itu berada dalam keadaan prima. Sebagus itu memang pelayanan apartemen di negara ini. Tidak jarang pada saat penghuni baru masuk, semua perabotan dan peralatan elektronik sudah diganti dengan yang baru. Tak heran kalau biaya sewa apartemen ini lumayan mahal. Apartemen yang kutempati uang sewanya mencapai lima ribu SEK perbulan. Kalikan dengan rupiah, artinya sekitar delapan juta sebulan. Padahal itu cuma apartemen biasa satu kamar, bukan apartemen untuk keluarga.

"Kapan kamu mau pindah ke Nerby?" tanya Hang sambil menghampiri kami. Nerby adalah nama distrik tempat apartemen itu berada.

Cewek mungil itu melirik Thomas, yang kuanggap sebagai kode untuk minta kenalan. Aku menyikut pinggang Thomas yang terlihat asyik dengan gawainya. Anak itu memang agak lemah daya tangkap radarnya terhadap pesona seorang perempuan.

"Sore ini aku akan pindah. Tadi pagi sudah belanja barang-barang, habis ini mau belanja makanan," jawabku antusias. "Oh iya, kenalkan, ini temanku Thomas!"

" Kalian sudah pesan kopi? Kita bergabung yuk? Aku sendirian saja dari tadi."

"Di luar ya? Thomas biasanya merokok," jawabku sambil melirik cowok tak tahu diri yang bisa-bisanya mengabaikan cewek semanis Hang yang berulang kali mencuri pandang ke arahnya. 

Kami bertiga melangkah  beriringan menuju kursi-kursi yang disusun di luar. Matahari bersinar cerah, tapi cuaca terasa dingin dan berangin. Hang membawa kopinya dengan hati-hati supaya tidak tumpah.

"Sini aku bawain!," ujar Thomas sambil mengambil alih cangkir kopi panas dari tangan Hang. Untunglah, akhirnya cowok itu sadar juga, setelah aku menyikut pinggangnya lagi dengan kejam.

Kami bertiga duduk-duduk di pinggir sungai, memandang bebek yang berenang hilir mudik. Pelayan datang membawakan pesanan kami. Teh cammomil panas untukku, dan ice latte untuk Thomas.

"Aku senang kamu pindah ke Nerby. Aku tak punya banyak teman disana," kata Hang sambil menyesap kopinya. "Sesekali boleh kan aku main ke kamarmu?"

"Tentu saja!" jawabku sambil tersenyum lebar. "Datang aja kapan kamu mau, asal aku sedang ada di kamar."

" O ya? Apa kegiatanmu setelah lulus?"

"Aku ingin keliling dunia, tapi tak punya uang. Jadi kurasa aku akan mencari pekerjaan!"

"Lagaknya tidak punya uang terus, padahal Papanya jutawan," gerutu Thomas sambil mencebik.

Aku menatap Thomas dengan tajam. "Sekali lagi Mister Thomas Ericsson, yang kaya itu Papaku! Bukan aku. Paham?"

Hang tertawa melihat perdebatan kami. "Kalian so sweet banget. Tadinya kukira kalian pasangan, lho?"

"Aku dan dia pasangan?," tanyaku dengan mata membulat. "Nej! Tak akan!"

"Kenapa? Apa aku kurang ganteng?," tanya Thomas tersinggung.

Aku tertawa. "Bukan begitu. Rasanya aneh saja kita dibilang pasangan. Kita kan sudah bersahabat selama sepuluh tahun. Bisa dibilang, hatiku sudah mati rasa sama kamu."

Thomas melipat bibirnya, cemberut. Untunglah saat itu hapeku berdering, sehingga aku bisa mencari alasan untuk menjauh. Sekalian memberi kesempatan buat Hang mendekati Thomas. Tak perlu bilang-bilang, gestur tubuh Hang saja sudah cukup memberitahuku bahwa dia naksir pada Thomas.

"Maaf, aku angkat telpon dulu ya?," kataku sambil berjalan beberapa langkah dari situ, menuju langkan yang agak terlindung di pojok beranda kafe.

"Halo?," sapaku setelah mengecek nomor. Kode negara Indonesia 62 tertera disana, diikuti sederet nomor tak dikenal.

"Dengan Felisya Hanson?" tanya suara di seberang. 

"Ja. Saya Felisya," jawabku. "Ini dengan siapa?"

"Perkenalkan, saya Pak Herman, pengacara Bapak Frans Subrata."

"Kakek? Ada apa dengan Kakek Frans?," tanyaku dengan dada sedikit berdebar.

Sudah bertahun-tahun aku kehilangan kontak dengan Kakek. Bisa dibilang aku tak mau tahu dan tak mau berhubungan lagi dengan keluarga dari pihak Mama. Kecuali satu, dengan sepupuku Airin.

Kurasa juga Kakek tidak memiliki nomor handphoneku, karena dia tak pernah menelponku. Kenapa sekarang pengacaranya tiba-tiba menelpon, setelah sepuluh tahun lamanya aku pergi dari Indonesia? Ada hal penting apa?

Hatiku mendadak merasa gelisah.

"Feli, kakekmu mendapat serangan jantung untuk ketiga kalinya. Kali ini sangat parah, Kakekmu kehilangan fungsi beberapa organ tubuhnya. Lumpuh, dan susah bicara," kata pengacara itu dengan suara 'krasak kresek' khas sambungan internasional. 

Deg!  Ada yang berdetak ribut di dadaku. Nyaris tak percaya dengan apa yang kudengar!

Memoriku tentang Kakek Frans adalah lelaki tua yang sombong, arogan dan suka berbicara dengan suara keras. Kakek yang menentang pernikahan Papa dan mendiang Mama, dengan alasan perbedaan budaya dan agama. Kakek yang mengabaikanku sewaktu kecil, hanya karena aku berbeda dengan cucu-cucunya yang lain. Kakek yang menolak mengakui Mamaku sebagai anaknya, bahkan sampai Mamaku meninggal!

Kesanku terhadap Kakek cuma tiga : Buruk, buruk, dan buruk! 

"Kakekmu ingin bertemu denganmu, Feli. Dia memintamu pulang," kata pengacara Kakek yang bernama Pak Herman itu. 

"Kamu tidak perlu mengkhawatirkan masalah akomodasi. Kami tidak ingin kamu menggunakan uang Papamu untuk pulang ke Indonesia. Sebuah open tiket jurusan Göteborg-Jakarta sudah saya kirimkan ke emailmu. Juga uang sejumlah tiga ratus ribu kronor sudah kami kirimkan ke rekeningmu  di Nordia Bank. Kamu tinggal datang ke bank dan tanda tangan untuk mengklaim uang itu."

'What? Siapa orang ini? Dia kira dia bisa menyogokku dengan uang?'

Mukaku merah padam menahan marah.

"Aku menyesal atas apa yang terjadi pada Kakek. Aku harap Kakek segera sembuh. Tapi untuk pulang? Maaf, aku tidak berminat," jawabku seketus mungkin.

"Jangan secepat itu mengambil keputusan, Feli. Atau kamu yang akan rugi," ujar pengacara itu sambil memutuskan pembicaraan.

Rasanya aku ingin melempar hapeku ke sungai itu. Tapi sayang, harganya mahal!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status