Share

Yes, or No?

“Hmmm…jadi begitu,” komentar Papa manggut-manggut mendengar ceritaku.

 

Kami sedang berada di halaman belakang rumah Mormor yang luas. Saking luasnya, bagian belakang memiliki dermaga pribadi di pinggir danau.  Papa senang sekali memancing. Dulu, setiap kali pulang ke Swedia, Papa sering menghabiskan waktu berjam-jam di demaga ini. Dan aku dengan senang hati membantu Papa membersihkan ikan trout yang didapat, kemudian membakarnya untuk makan siang. Sejak dulu, aku memang selalu menjadi asisten Papa yang paling diandalkan.

 

Papaku dulu seorang penulis, fotografer, dan pemilik sebuah blog travelling yang lumayan terkenal pada jamannya. Sebuah pekerjaan yang dianggap Kakek Frans bukan pekerjaan, sehingga dianggap tidak pantas untuk menjadi menantunya. Kakek Frans memang tidak pernah bertemu dengan Mormor, sehingga menganggap Papa hanyalah seorang turis miskin yang kehabisan duit ketika berada di Indonesia. Memang sih penampilan Papa yang sederhana membuatnya seperti seorang turis gembel yang kehabisan duit. Andai Kakek mengetahui sekaya apa Papa saat ini, mungkin cerita ini akan memiliki alur yang berbeda. 

 

Tapi Papa memang berusaha keras menyembunyikan jati dirinya sebagai anak tunggal seorang pengusaha kaya di Swedia. Papa lebih memilih menonjolkan eksistensi dirinya sendiri, sebagai seorang seniman yang hobby melakukan perjalanan keliling dunia.

Begitu pun dengan Mormor, pada awalnya menyimpan kekecewaan akan profesi yang dipilih Papa. Namun, Mormor memang bersikap lebih terbuka, dan membebaskan Papa memilih sendiri arah hidupnya. 

 

 Sejak dulu Papa memang menjauhkan diri dan tidak tertarik pada dunia bisnis yang dilakoni Mormor, sejak Farfar meninggal dunia. Papa memilih keluar dari rumah mewah ini semenjak remaja, dan tinggal di asrama sekolah. Papa kuliah jurusan seni rupa di Paris, lalu melakukan perjalanan ke Asia untuk mengunjungi museum-museum seni. Pada akhirnya, Papa malah tidak menekuni seni rupa, melainkan beralih menjadi penulis cerita perjalanan.

 

Papa bertemu dengan Mama di Bali ketika liburan, dan sejak saat itu tak terpisahkan. Mereka malah nekad menikah, walau tanpa restu dari Kakek Frans. Itu yang menyebabkan Kakek Frans marah besar dan mencabut semua fasilitas yang diberikannya pada Mama. Kecuali rumah yang di Bogor, hanya itu yang tidak ditarik oleh Kakek.

 

Konon, setiap Nenek melahirkan, Kakek memberikan hadiah sebuah rumah untuk Nenek dan si bayi. Tante Tika, Kakak pertama Mama, diberikan sebuah rumah di Bandung. Om Neil, Kakak kedua Mama, diberikan sebuah rumah di Pondok Indah, Jakarta. Sedangkan Mama, mendapatkan sebuah rumah di Parung, Bogor. Sementara rumah di Tangerang yang ditempati Kakek, adalah haknya Adrian. Lebih tepatnya adalah hak mendiang Tante Mira, anak Nenek dari pernikahan Nenek yang pertama. Artinya Adrian sebenarnya hanyalah seorang cucu tiri yang tidak memiliki pertalian darah apapun dengan Kakek Frans!

 

Namun, biar cuma cucu tiri, justru Adrian yang saat ini yang paling sukses dan kaya raya, dibandingkan anak-anak kandung Kakek. Terlebih sejak Game-Tech, perusahaan aplikasi komputer dan game miliknya mengalami peningkatan omset gila-gilaan di jaman digital, Adrian langsung melesat sebagai salah satu pengusaha muda terkaya di Indonesia. Tak heran jika Adrian menjadi sasaran iri dengki dari Om Neil dan Tante Tika, anak-anak kandung Kakek dan Nenek.

 

“Mungkin Papa juga harus menelpon Kakek Frans. Bagaimana pun beliau pernah menjadi mertua Papa,” ujar Papa seraya melepaskan seekor ikan yang menggelepar di ujung kail. Aku menyambut gembira ikan berukuran sedang itu dan meletakannya di ember.

 

“Tapi Kakek saat ini sudah tidak bisa bicara lancar, semua panca indranya bisa dikatakan lumpuh. Pengacaranya bilang begitu.”

 

“Kalau sekedar membaca atau mendengar pesan bisa kan? Papa akan kirim pesan suara saja melalui pengacaranya itu. Nanti kamu beri Papa nomor handphonenya ya?”

 

Aku cuma mengangguk. Sebenarnya aku tidak terlalu bersemangat untuk berhubungan dengan Kakek Frans atau pun pengacaranya. Lagipula aku tidak terlalu tertarik dengan warisan itu. Aku lebih suka mendapatkan sesuatu dari jerih payahku sendiri.

 

“Kamu mirip sekali dengan Papa sewaktu muda,’ ujar Papa lagi sambil menggulung tali pancingnya. 

 

Sudah cukup banyak ikan yang kami dapat hari ini. Bahkan cukup banyak untuk mengadakan pesta barbeque. 

 

“Gen Papa memang kuat sih,” komentarku, mengira bahwa yang dimaksud Papa adalah rambut pirangku, tubuh jangkungku, atau raut wajahku yang memang mirip Papa. Satu-satunya warisan gen Mama di tubuhku hanyalah kulitku yang kecoklatan khas wanita Asia.

 

“Papa sewaktu muda juga tidak terlalu tertarik dengan uang dan warisan. Sewaktu Farfar masih hidup, Farfar berulang kali menyuruh Papa berhenti dari kuliah seni dan serius menekuni bisnis. Malah Farfar sempat mengancam tidak akan mewariskan sepeserpun jika Papa tetap ingin menjadi seniman. Tapi Papa keras kepala, dan malah memilih kabur ke luar negeri. Disatu sisi, Papa merasa bersalah pada Farfar, karena membuatnya kecewa. Namun disisi lain, jika Papa tidak nekad pergi ke Asia, mungkin Papa tidak akan bertemu Mamamu. Dan tidak ada kamu, min angel, bidadariku.”

 

“Tapi kenyataannya, sekarang Papa meneruskan bisnis Farfar dan Mormor. Jadi kurasa Farfar tidak akan kecewa. Mungkin malah Farfar sekarang sedang mengamati kita dan berkata : Hayooo Jonas, aku bilang juga apa? Kamu tidak akan sukses jadi seniman, seperti pilihanmu dulu.”

 

Aku berkacak pinggang sambil menggerak-gerakkan telunjukku, mencoba meniru tingkah seorang Ayah memarahi anaknya. Padahal aku tidak pernah bertemu Farfar, yang sudah meninggal jauh sebelum aku lahir.

 

 

Papa tertawa sambil mengacak rambutku. Aku kontan mengelak dengan muka merengut.

 

 “Tangan Papa amis, bau ikan, ih!”

 

“Tangan kamu lebih amis, karena kamu yang membersihkan ikannya tadi.”

 

“O iya,” aku tertawa sambil mencium tanganku sendiri. “Gila, amis banget!”

 

“Lumayan juga lho, hasil tangkapan Papa hari ini. Kalau kamu mau, kamu boleh mengundang Thomas untuk pesta barbeque. Papa juga mau menyuruh Linda datang kesini, kamu tidak keberatan kan?”

 

Aku mengangkat bahu. Kuangkat ember berisi ikan itu dan berjalan mendahului Papa yang masih sibuk membereskan peralatan memancingnya.

 

“Fel,” panggil Papa sambil menahan bahuku.

 

Aku menoleh dan berbalik menghadap Papa. Sebelah alisku terangkat dengan  ekspresi bertanya.

 

“Pergilah."

 

Aku menatap Papa bingung. 

 

“Pergilah ke Indonesia, temui Kakekmu. Bukan demi warisan atau apapun itu. Bagaimana pun, Kakek Frans adalah Kakekmu. Lagipula, apa kamu tidak rindu mengunjungi makam Mamamu?”

 

Mendengar Papa menyebut soal  Mama, mendung mendadak pecah menjadi gerimis di hatiku.

Wetryfebrina

Hai semua. Mampir ya baca novel baruku ini. Dijamin seru ala novel-novel terjemahan karena setingannya di luar negeri

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status