Share

Airin

Tiga alasan mengapa tinggal di Swedia itu menyenangkan.

 

1. Mendapatkan tunjangan pengangguran dari pemerintah.

 

2. Mendapatkan diskon special jika kamu bisa menunjukkan kartu pelajar saat naik transportasi umum dan membeli makanan/minuman di restoran

 

3. Kuliah gratis, air minum gratis, berobat di rumah sakit juga gratis.

 

“Tau nggak sih?”

 

“Enggak!”

 

“Wew, dengerin dulu dong!”, teriakku sewot sambil mendorong punggung Thomas yang berjalan di depanku. 

 

Kami sedang berada di selasar kampus, berkeliling mengamati barang-barang gratisan yang sedang ditumpuk di suatu sudut. Lumayan, aku mendapat satu tempat lilin yang bagus untuk dekorasi apartemenku. Aku memang suka sekali lilin aromaterapi. Apalagi yang beraroma peppermint. 

 

Ini satu hal lagi alasan mengapa tinggal di Swedia ini menyenangkan. Disini gampang sekali menemukan tumpukan barang gratis di depan gedung apartemen, di lobby perpustakaan, bahkan di pinggir jalan, Buat penggemar barang gratisan, ini seperti surga! 

Selain yang gratis-gratis, disini juga banyak toko-toko barang bekas yang dikelola oleh badan amal. Artinya hasil penjualan akan disumbangkan untuk kegiatan amal dan kemanusiaan. Sumber barangnya ya dari yang gratis-gratis tadi. Jadi toko akan menampung barang-barang bekas hasil sumbangan donatur dan menjualnya dengan harga murah. Pembeli senang, penjual dapat amal. Hehehe….

 

“Iya … iya,” Thomas tertawa sambil menoel pipiku yang chubby. “Gitu aja sewot! Lagian siapa suruh ngomongnya sepotong-sepotong.”

“Lah, aku kan belum selesai bicara sudah dipotong!”

 

“Emang kamu tadi mau ngomong apa?”

“Nggak jadi! Udah nggak mood!,” bentakku dengan wajah cemberut.

 

Itulah aku. Si moody yang moodnya suka naik turun seperti komidi putar. Padahal tadinya aku Cuma mau memberitahu Thomas, bahwa dalam bahasa Swedia dan Indonesia kata ‘gratis’ memiliki arti yang sama. Konon, gratis adalah kata serapan dari bahasa Belanda.

 

Hapeku berdering. Lagi-lagi aku mendapatkan panggilan dari nomor telpon berkode 62! Heran, beberapa hari ini sering sekali aku mendapatkan panggilan dari Indonesia. Sejak mendapat telpon dari pengacara Kakek, aku lebih memilih mengabaikan panggilan-panggilan ini. Paling juga pengacara Kakek yang membujukku untuk pulang.

 

“Kenapa tak diangkat?”, tanya Thomas.

 

“Males,” jawabku sambil mencoba sebuah topi yang bertuliskan UCLA, nama sebuah perguruan tinggi ivy league terkenal di Amerika. 

 

“Tapi deringan handphonemu menganggu, tahu!” kata Thomas sambil merampas tasku dan mengeluarkan hapeku dari dalamnya. Aku memang lupa men-silentkan bunyi hapeku. Jadi aku cuek saja saat Thomas memencet layar hapeku, mengira Thomas hanya ingin mensenyapkan deringnya.

 

“Hello?”

 

Aku kaget saat mengetahui Thomas berbuat lancang dengan menjawab panggilan di hapeku.

 

“Dengan siapa?”

 

“….”

 

“ Iya, ini nomor handphonenya Felisya. Saya cowoknya, Thomas”

 

“….”

 

“Oh, baiklah. Dia ada kok disini.”

 

Aku melotot marah pada Thomas yang dengan santainya berbicara di hanpdhoneku. Pakai bilang-bilang dia cowokku lagi. Mestinya kan dia cukup menjawab ‘salah sambung!

 

“Ini!,” ujar Thomas sambil menyerahkan handphoneku. “Jangan dimatiin! Ada yang mau ngomong sama kamu. Tenang, bukan pengacara kakekmu, kok. Tapi cewek cantik!”

 

“Dasar genit! Tahu dari mana kalau yang sedang menelponku cewek cantik?”

 

“Dari suaranya,” jawab Thomas sambil cengengesan.

 

Tak mau lama-lama penasaran, kudekatkan handphone itu ke telingaku. “Halo?”

 

“FELLIII!”, teriak seseorang dari seberang sana. Aku nyaris menjatuhkan handphoneku saking kagetnya.

 

“Ya Allah, kupingku sampai sakit mendengar kamu berteriak!” seruku pada seseorang di seberang sana. Seseorang yang sudah lama tak kujumpai. Seseorang yang sangat aku rindukan.

 

Aku memberi kode pada Thomas bahwa aku akan menerima telpon di luar. Melangkah menuju pintu putar di lobby, dan berdiri dekat selasar kampus yang berangin.

 

“Apa kabar, Airin?” tanyaku dengan tenggokan tercekat. 

 

Ternyata aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Semarah apapun aku pada keluarga Mama di Indonesia, tetap ada kerinduan pada orang-orang yang dekat denganku di masa kecil.

.

.

.

 

“Rambut kamu kok kuning sih? Aku pengen banget punya rambut yang warnanya keemasan seperti rambutmu,” ujar sepupuku Airin sambil mengamati Mbak Nuri-pengasuhku-mengepang rambut pirangku yang panjang.

 

“Kalau kamu mau, kita bisa tukeran. Aku juga pengen punya rambut lurus dan hitam mengkilat seperti rambutmu,” jawabku sambil menyentuh rambut Airin yang tergerai indah dihiasi sebuah bando tiara yang cantik. Dimataku, Airin terlihat seperti seorang putri dengan tiara di kepalanya. Wajahnya terlihat mirip dengan seorang ratu yang bernama Cleopatra, yang kulihat gambarnya dalam sebuah buku yang ada di perpustakaan Papa. 

 

“Rambut hitam itu terlalu biasa,” kata Airin sambil mencibir. “Secantik apa pun, orang-orang hanya memandangku sambil lewat. Beda dengan kamu, yang sering jadi pusat perhatian orang-orang.”

 

“Aku benci jadi pusat perhatian,” ujarku lagi. “Aku malah ingin menjadi orang biasa-biasa aja. Diperhatiin malah bikin aku merasa risih dan tidak nyaman.”

 

“Kamu aneh! Kalau aku jadi kamu, aku pasti sangaaaat senang. Aku pengen banget diperhatiin orang-orang. Cita-citaku kan ingin menjadi super model!”

 

“Cita-citaku pengen jadi penulis seperti Papaku.”

“Tak perlu cantik buat jadi penulis,” ujar Airin lagi sambil mencebik. “Kamu mah sama anehnya dengan Papamu. Kalau aku secantik kamu, aku pasti sudah jadi model cilik terkenal.”

 

 

“Ada angin apa nih, seorang super model terkenal menelponku?” tanyaku sambil mengenyahkan kenangan masa kecil yang sempat terlintas di kepala. 

 

Lima belas tahun sudah berlalu sejak percakapan kami di Bogor dulu. Siapa menyangka bahwa Airin sudah meraih apa yang dia cita-citakan semenjak kami masih berumur enam tahun?

 

“Aku menelpon untuk menyapa sepupuku yang jauh di Skandinavia. Sudah jadi penulis terkenal, belum?” tanya Airin terkekeh, terkenang cita-cita saat kami kecil dulu.

 

“Boro-boro,” jawabku cemberut. “Cita-citaku kandas semua. Alih-alih jadi penulis terkenal, sekarang aku malah jadi pengangguran.”

 

“Tapi setidaknya pengangguran di Swedia kan dibayar,” komentar Airin. “Beda dengan aku yang mesti banting tulang untuk mencari uang. Termasuk menghidupi Mamiku yang boros dan Papiku yang manja.”

 

Dipikir-pikir, kata banting tulang memang cocok dengan Airin, secara tubuhnya memang kurus dengan tulang menonjol khas seorang model.

 

 Sejak perusahaan yang dikelola Papinya bangkrut, Airin dan kakaknya-Keanu-memang menjadi tulang punggung keluarga. Karena anehnya walaupun sudah dinyatakan pailit, On Nial dan Tante Tamara tetap mempertahankan gaya hidup mereka yang lama. Tanpa peduli bahwa itu menyusahkan anak-anak mereka.

 

“Tapi sebentar lagi aku mungkin bisa berhenti jadi model. Aku sudah capek. Aku pengen menikmati hidup dan makan apa yang kusuka. Kamu tahu sudah berapa lama aku tak menyentuh yang namanya pizza?”

 

“Weew, pizza kan makanan kegemaranmu dulu, sewaktu kecil,” jawabku. “Dulu  kita pernah sampai berantem gara-gara rebutan pizza.”

 

“Iya, sewaktu umur kita masih enam atau tujuh tahun. Aku terakhir makan pizza tujuh tahun yang lalu, saat aku berusia empat belas tahun.”

 

“Lama juga ya?,” komentarku takjub. “Tapi bukankah jadi model memang cita-citamu sejak kecil? Terus, kenapa sekarang ingin berhenti?”

 

“Entahlah, aku hanya merasa lelah bekerja keras, tapi tidak bisa menikmati hasilnya. Kadang-kadang aku ingin berhenti, tapi dilarang sama Mami dan Papi. Diingatkan terus tentang kewajibanku sebagai anak.”

 

“Ya ampun, umurmu masih dua puluh satu tahun, Airin! Tak ada kewajibanmu untuk bertanggung jawab pada keluarga. Kalau sekedar membantu, it’s oke. Tapi bertanggung jawab penuh? Nej…Nej…Nej. That’s crazy!” seruku marah.

 

Om  Nial dan Tante Tamara memang keterlaluan. Manja, pemalas, dan suka menghambur-hamburkan duit. Pantas saja Kakek Frans menolak menyuntikkan dana untuk kesekian kalinya untuk membantu perusahaan konstruksi milik Om Nial. Selama mereka tidak mau merubah gaya hidup, tetap aja keuangan perusahaan itu akan amburadul.Karena terus menerus digerogoti untuk kepentingan pribadi.

 

“Tapi kenyataannya begitu, sejak Papi pailit dua tahun yang lalu. Aku dan Mas Keanu terpaksa bekerja membanting tulang,” keluh Airin dengan suara tertekan.

 

 “Tapi syukurlah, Kakek Frans sedang sekarat. Siap-siap sebentar lagi akan ada acara bagi-bagi warisan. Kamu pulang, kan Fel? Jangan sampai bagianmu diembat Adrian,” kata Airin lagi sambil tertawa.

 

Aku termangu. Airin kok bersyukur sih mendengar Kakek Frans sekarat? Padahal dulu Airin termasuk cucu kesayangan, yang sering mendapatkan limpahan kasih sayang dan materi dari Kakek.

 

Kalau ada yang patut bersyukur mendengar Kakek sekarat, mestinya orang itu adalah aku, yang paling sering dizalimi sewaktu kecil.

 

Tapi aku tidak senang mendengar Kakek sekarat. Aku lebih merasakan perasaan iba, rindu, marah, dan dendam yang bercampur aduk menjadi satu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status