PoV Ridho"Apa yang kamu ragukan lagi dari Ainun, Fah. Maaf, dia mungkin bukan perawan tapi aku sangat jamin jika ia mampu menjadi istri yang baik. Terlebih ... Bukankah Ainun lah yang datang saat kamu salat Istiharah?""Iya, Dho. Aku tak mempermasalahkan statusnya cuma ... Aku khawatir tentang keputusanku jika secepat ini!" Fahri berkata. Aku tahu apa yang dia maksud adalah tentang calon istriku."Aku takut jika aku melamar Ainun sebelum kalian menikah akan justru membuat Ning Ria ...." kembali Fahri mengantung ucapannya.Aku tahu, sangat tahu jika Ning Ria sebenarnya menginginkan Fahri. Fahri juga sudah mengatakannya jujur padaku. Saat kulihat wajah Ning Ria setelah prosesi lamaran itu. Fahri bercerita banyak saat di dalam mobil."Aku tak akan menganggu hubungan kalian karena aku tak memiliki perasaan apapun pada Ning. Namun yang aku takutkan, Ning Ria yang ...." Fahri mengantung ucapannya."Percayalah, Fah! Jika Ning Ria sudah jadi istriku, pelan-pelan aku akan berusaha merubahnya.
"Ning Ria pingsan!" aku segera lari saat Bang Ridho membawanya masuk kedalam kamar."Cepat panggilkan dokter!" Bang Ridho memerintahku.Segera kumeraih tas dan mengambil benda pipih. Kuhubungi Dokter Andrian yang memang prakterknya tak jauh dari hotel ini."Silahkan, Dok!" aku mempersilahkan Dokter Andrian masuk kekamar di mana Ning Ria direbahkan. Tak lama Umi Ning Ria keluar dengan sedikit isakan."Sabar, Umi. Ning Ria pasti baik-baik saja." aku berusaha menenangkannya."Harusnya aku tak paksakan dia, harusnya kuturuti permintaannya. Dari kemarin dia tak minum dan tak mau makan." Umi berkata dengan masih diiringi isakan."Kenapa, Umi? Dia meminta apa?" tanyaku penasaran. Seketika Umi menatapku, mungki dia tak sadar jika ia bercerita padaku. Pihak lelaki."Se-se-sebenarnya Ria mau pernikahannya dibatalkan." Aku tak terlalu kaget mendengarnya, tapi tetap merasa kecewa dengan tingkah Ning Ria. Kenapa meminta dibatalkan saat semua sudah siap? Kalau tak ingin menikah dengan Bang Ridho
"Bagaimana, Bu?" aku meminta pendapat dengan menutup speaker bawah Hpku agar Ibu Wiyanti tak mendengar. Ibu mengangguk tanda setuju sedangkan Bulik mengeleng dan Bude mengangguk. Setuju dengan Ibu."Ya sudah, Bu. Ainun sedang ada rejeki nanti Ainun tranfer ya!" ucapku menenangkan Bu Wiyanti--bekas Ibu Mertua."Benar, Nun. Maafkan Ibu Mertuamu ini yang masih merepotkan kamu yang sekarang bukan siapa-siapa." Ibu mendekat dan meminta HPku untuk mengobrol dengan Bu Wiyanti."Hallo, Bu Wiyanti. Gimana kabar Ibu?" tanya Ibuku.Aku tak terlalu mendengar jawaban dari Bu Wiyanti."Ya begitulah putriku, ia terlalu baik hati hingga bekas mertuanya saja ia masih peduli. Sayang anak ibu yang tak tau itu. Beruntung sebentar lagi dia akan ada yang meminang. Seratus kali lebih baik dari Wisnu." dengan tegas Ibu berkata, aku sendiri hanya melongo melihat tingkah ibu yang tak biasa."Ini!" Ibu memberikan HP kembali padaku, tentunya setelah di matikan.Aku yang tadinya akan naik, kini memilih kembali d
"Ya sudah, Nduk. Ayo lebih baik kamu kekamar dulu. Cuci muka dan kita obati," ajak Bude menuntunku kembali keatas. Aku tak memperdulikan lagi para tamu yang hadir bahkan Fahri sekalipun."Bagaimana ini, Bude. Aku tak mau pertunangan ini batal!""Siapa bilang batal, Nduk, hanya karena kamu alergi begini." Bude mengambil tissu basah dan memberikannya padaku."Lebih baik cepat hilangkan make-upmu itu!" Aku hanya mengangguk, rasa gatal pada wajahku tak kunjung berkurang, Ibu masuk kekamar dengan wajah panik."Gimana, Nduk. Udah agak mendingan?" tanya Bude kembali. Aku masih terus menghapus make-upku dengan susu pembersih."Mending, Bude. Aku cuci muka dulu. Ibu?""Kamu kenapa, Nun?" tanya Ibu terlihat panik."Ngga tahu, Bu. Tiba-tiba wajahku gatal!" Aku melewati Ibu dan pergi kekamar mandi. Mencuci wajahku hingga rasa gatal sedikit berkurang. Setelahnya aku keluar dengan handuk di leher. Entah sudah seperti apa penampilanku bahkan khimar yang kukenakan saja sudah entah dimana."Bagaimana
PoV WisnuSemenjak perceraianku dengan Ainun selesai, hidupku kini seperti berbalik 180 derajat. Kukira setelah memiliki rumah makan yang di Parahyangan kembali dan mobil yang biasa aku gunakan juga jumplah uang yang Ainun kasih. Mampu membuatku sukses dan lebih sukses dari manta istriku. Nyatanya tidak!Berbagai musibah aku terima, apalagi setelah Lastri tau jika aku juga pernah tidur dengan adiknya satu-satunya--Ayu."Mas Wisnu? Kok pulang kesini ngga ngasih kabar!" Lastri protes saat aku berkunjung tanpa telfon terlebih dahulu. Itu semua kulakukan karena kepalaku pusing, Ainun mulai menaruh curiga padaku."Iya, Dek Lastri. Mas kan kangen sama Istri cantikku ini!" rayuku padanya. Aku paling mampu merayu wanita.Dia cemberut, tak seperti biasanya ia akan dengan senang menyambutku, bahkan tak jarang ia akan langsung mengajakku ke kamar."Aku lagi datang bulan, Mas." Dia berkata sambil memonyongkan bibirnya.Aduh! Aku menepuk keningku sendiri, bisa pusing tujuh keliling kalau begini."
Apa! Mas Wisnu mengidap penyakit kel@min? Gonore atau kencing nanah. Suster tadi mengatakan hal itu padaku. Aku masih tak percaya, apa ini yang di sebut karma?Kasian juga, tapi ... Masa bodoh! Bukankan semua itu karena ulah dia sendiri. Sering bergonta ganti pasangan. Aku cukup bersyukur, tahu kelakuan suamiku itu lebih cepat. Coba kalau sudah kena penyakit seperti itu aku baru tahu? Yang ada aku ketularan lagi! Nauzubillahmindalik."Ibu Ainun!" panggil suster di Apotek."Iya." aku segera berdiri dan mengambilkan obat. Setelah kudapatkan obat berniat memasukan kedalam tas hingga tak fokus pada sekitarnya."Ainun!" panggilan yang sangat kukenal suaranya."Fahmi!" pekikku, "kamu kesini menyusulku?"Ia mengangguk, bagaimana dia bisa tahu aku, padahal aku mengenakan cadar."Kamu tahu dari siapa aku di sini?" "Ibumu yang bilang dan aku bergegas kesini untuk menjemputmu. Takut calon istriku kenapa-kenapa di jalan!""Ah! Apaan si. Kan aku sama sopir.""Memang ngga boleh aku jemput calon is
Bang Ridho menjalani rumah tangga yang tak sehat, mungkin cinta Bang Ridho bertepuk sebelah tangan tapi, harusnya Bang Ridho sebagai laki-laki, pemimpin keluarga harus tegas. Bukan menuruti semua keinginan Ning Ria dengan merendahkan martabat sebagai seorang pemimpin. Sayang boleh, bodoh jangan. Besok aku akan ajak Bang Ridho untuk bertemu. Menasehatinya hingga dia tak terlalu di injak-injak.[Bang, besok bisa ketemu nggak?] Kukirim WA padanya. Masih centang dua berwarna abu-abu.Akhirnya aku putuskan saja untuk pulang, memberitahu ibu jika aku baik-baik saja tentang alergi yang aku derita. Juga sore ini aku mengantar beliau kerumah bekas mertuaku."Bu!" panggilku begitu tiba, ia yang tengah duduk dengan membaca al qur'an kecil menoleh."Sudah pulang, Nduk. Bagaimana?" tanya dia penasaran."Ngga papa, Bu. Ternyata salah satu make-up yang aku gunakan ternyata sudah kadaluarsa.""Kok bisa?"Aku ceritakan saja tentang foundation yang kutemukan dikolong ranjang. Ibu hanya mengangguk-angg
"AINUN!" Bang Ridho berkata membentak, baru kali ini aku melihat kemarahan Bang Ridho. Apa aku salah? Menasehatinya karena melihat rumah tangga mereka yang tak sehat."Lebih baik diam kalau tak tau apa-apa! Jangan ikut campur urusan rumah tanggaku tanpa kuminta. Mengerti!" Bang Ridho menatapku nyalang."Tapi, Bang!""Cukup! Aku tahu apa yang terbaik untuk diriku."Bang Ridho beranjak dari duduk, berniat untuk pergi meninggalkan tempat ini."Bang!" aku masih berusaha memanggil."Urusi saja bakal rumah tanggamu! Jangan ikut campur rumah tanggaku. Percayalah, semua rumah tangga memiliki kadar cobaan sendiri-sendiri. Kamu juga nanti saat dengan Fahri memiliki masalah tersendiri. Semoga kamu kuat!"Deg! Apa maksud dari Bang Ridho, apa Bang Ridho tahu sesuatu dan tak mau mengatakannya padaku.'Ya Allah, aku sudah lelah mengalami cobaan rumah tangga dengan Mas Wisnu. Kuharap badai dalam rumah tanggaku dengan Fahri tak sekencang dulu.' Aku menatap kepergian Bang Ridho. Apa aku memang salah?