Aku memilih untuk mengunci pintu kamar, tak berniat untuk melihat wajah Mas Rafael, apalagi bila harus sekamar dengannya malam ini. Kejadian tadi sungguh sangat membuatku malu bila mengingatnya. Jujur saja, selama mengenalnya, ia belum pernah mengecup bibirku, apalagi berbuat macam-macam padaku.
Menenggelamkan wajah ke kasur dan menutup kepala dengan bantal adalah hal yang kulakukan agar tak terpengaruh oleh perdebatan dan adu mulut mereka berdua di luar yang masih terdengar samar-samar di telingaku. Ku coba menutup mata, berharap bisa tidur nyenyak, meski pikiranku sedang menyusun rencana agar bisa menjebak keduanya. ‘Sepertinya aku harus berpura-pura pulang ke rumah orang tuaku saja,’ pikirku.
Esoknya, kala mentari sudah mulai menampakkan sinar dan kehangatannya, aku gegas mempersiapkan diri dan beberapa keperluan pribadi yang ku butuhkan saja selama pergi seminggu itu yang akan ku bawa. Tak lupa juga aku meletakkan beberapa CCTV yang ku sambung di HP yan
Melihatku mengkerutkan kening sambil menatap layar ponselku, membuat Vika mendekatiku dan turut nimbrung. “Kenapa, Len?” tanyanya sambil melihat ponselku, lalu aku kembali memutar rekaman CCTV yang barusan kulihat tadi. “Halah, dasar ganjen! Cowok mana aja diembat!” lontar Vika padaku. “Kamu kenal cowo ini gak, Vik?” tanyaku penasaran. “Gak,” jawabnya. “Kayaknya kita harus cari tahu siapa lelaki itu,” ucapku. “Oke, mari kita came on!” ajak Vika sambil meraih kunci motor dan helmnya. “Loh, ke mana?” tanyaku bingung. “Lakukan penyamaran!” ujarnya sambil menarik kaca helmnya kebawah. “Penyamaran apa?” “Lah, untuk menyelidiki siapa itu si gondrong!” tukas Vika berlalu menuju motornya. Aku menurut saja. Gegas kumasukkan ponselku dalam saku celana, memakai jaket hoodie pinkku dan menutupi kepala dengan topi jaket tersebut, serta tak lupa memakai masker agar penyamaran ini tak ketahuan. Kusodork
Segera kugeser logo telepon hijau ke atas. “Halo, Vik. Apa sudah dapat informasi?” tanyaku tak sabar.Terdengar suara berisik di seberang sana, tidak jelas apa yang sedang Vika katakan. Hanya suara grasa-grusu dan terdengar suara Vika seperti menjerit meminta pertolongan. Perasaanku tak enak, tiba-tiba sebuah pesan masuk dari nomor Vika yang isinya [SOS! Saya memerlukan bantuan darurat. (Dikirim dari jam saya)], disusul dengan pesan lain yang menunjukkan lokasi keberadaannya.Tak berpikir lama, kunyalakan starter motor vespa bututnya. Tangan kanan di handle gas sambil menjalankan motor, sementara tangan kiri memegang HP membuka alamat di mana dia berada dengan memakai aplikasi google map.Berkali-kali aku mencoba menghubunginya. Namun tidak terhubung. Pikiranku makin kacau, belum selesai masalah yang satu malah masalah lain muncul lagi. Kulajukan vespa butut milik Vika dengan kecepatan tinggi. Ketika hendak membelok di pertigaan jalan, motor ya
Untung saja vespanya tidak rusak. Segera ku naiki motor tersebut dan tancap gas, tanpa menghiraukan suamiku yang berteriak memanggilku. Ku biarkan rasa perih di kakiku, yang ada di pikiranku sekarang adalah menemukan keberadaan Desi. Kembali ku periksa pesan masuk di gawaiku tersebut. Mengecek kembali pesan S.O.S dari Desi, dengan mencari titik lokasi keberadaannya lewat maps. Ku coba menelepon nomornya, tetapi tak juga diangkat. Pikiranku makin galau dibuatnya. Setelah 30 menit mengendarai motor menuju lokasi terakhir tempat Vika berada yang dikirim lewat pesan S.O.S tadi, akhirnya aplikasi peta digital yang sedang ku gunakan juga menunjukkan titik posisi keberadaan Vika yang hanya berjarak 300m lagi. Namun, aku bingung, perasaan sekitar lokasi ini padat rumah dan ramai orangnya. Tak mungkin jika tak ada satu orang pun yang tak bisa menolong atau menyelamatkan Vika jika benar ia dalam bahaya. Mencoba bertanya pada beberapa orang yang lalu lalang di sekitarku, dengan
POV Rafael Pertama sekali aku bertemu Alena ketika mobilnya tiba-tiba berhenti mendadak di depan mobilku. Nyaris saja mobilku menabrak mobilnya dari belakang, beruntung aku mendadak merem mobilku. Aku turun dari mobil dan mengetuk pintu mobilnya, ternyata pengemudinya seorang wanita. Yah, pantas saja tak ada aksinya saat tahu bannya bocor. Dengan tulus, ku tawarkan jasaku dan membantunya mengganti ban yang bocor tersebut dengan ban cadangannya. Beberapa kali aku menangkapnya mencuri pandang padaku. Saat aku meliriknya atau sekedar mengajaknya berbicara, hal itu membuatnya gugup dan salah tingkah padaku. Aku hanya tersenyum lucu melihat reaksinya padaku. Setelah pertemuan pertama dengannya, jujur aku tak ada lagi memikirkan tentang dia. Bagiku, menolong orang saat butuh bantuan adalah hal yang wajar. Sama halnya ketika aku membantu Alena mengganti ban mobilnya, tak ada harapan atau perasaan lebih untuk mengenalnya lebih jauh. Meski ku akui Alena adalah gadis y
“Len ... tuh,” ujar Vika sambil melempar lirikan ke pojokan warung.Aku menoleh ke arah lirikannya. Lalu, memutar bola mata malas.“Cabut, yuk!” ajakku sambil beranjak dari kursi.“Mi ayamnya, gimana?” tanya Vika menggerutu sambil mengerucutkan bibirnya padaku.“Cari warung yang lain aja, buruan!” bentakku padanya.“Iya, iya, bentar tak bayarin dulu. Kasihan Kang baksonya,” ujar Vika sambil mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan.Segera kutarik tangan Vika untuk pergi dari warung tersebut“Alena ... Len! Tunggu!” ujar lelaki yang duduk di pojokan warung tadi sambil mengejar kami.Segera kulajukan vespa milik Vika. “Lena, bukankah itu suami kamu?” tanya Vika saat motor kami sudah agak menjauh dari warung mi ayam tadi.“Iya.”“Kenapa kita langsung pergi buru-buru? Gak kangen apa?”&ldq
Hari ini, aku terpaksa harus kembali ke rumah Mas Rafael. Meski sangat berat untukku kembali ke rumah itu, tapi apa boleh buat? Misiku masih belum selesai. Tak mungkin untuk berterus terang pada Mama mengenai masalah yang kuhadapi. Yang ada nanti masalah makin runyam jika harus melibatkan kedua orang tuaku.Segera kumasukkan kembali barang-barangku ke dalam koper kecil itu. Setelah semuanya beres, aku berpamitan pada sahabatku ini. “Vik, aku pulang, ya. Aku takut nyokap beneran ke sini, jika aku gak pulang-pulang ke rumah Mas Rafael,” ujarku sambil memeluk Vika.“Jaga dirimu baik-baik. Kalau ada apa-apa, telepon aku, ya. Aku siap 24 jam untuk menolong kamu,” ujar Vika sambil mengangkat tangan kanannya membentuk segitiga di sisi kepala kanannya, seolah-olah memberi salam hormat, seperti seorang prajurit yang memberi hormat atau sebagai tanda salam perpisahan kepada komandannya.“Okay,” balasku sambil mencubit pipinya, dan berla
Tak lama setelah deru motor pria gondrong itu menjauh, terdengar suara pintu rumah dibanting. Siapa lagi kalau bukan Desi yang membantingnya.Aku kembali menutup tirai jendela yang kusibakkan tadi dan berjalan menuju ranjang. Tanpa sengaja, mataku tertuju pada gadget milik Mas Rafael yang berada di atas nakas. Aku berpikir, lebih baik untuk memeriksa ponsel tersebut saja, mumpung lelaki yang berstatus suamiku itu sedang mandi.Segera kuraih HP tersebut, mencoba membukanya dengan memasukkan tanggal kelahirannya pada password yang diminta, tetapi salah. Kucoba lagi dengan memasukkan tanggal jadian kami dan tanggal pernikahan, akan tetapi tetap juga salah. Tak berputus asa sampai di situ, kucoba memasukkan beberapa tanggal penting, termasuk tanggal lahir Desi dan Jay, tetap juga passwordnya salah. Saat gadget tersebut memberi satu lagi kesempatan terakhir untuk memasukkan sandi, aku iseng memilih mengetik tanggal lahirku pada angka yang diminta smartphone tersebut,
Segera kupungut gadget yang terjatuh di lantai itu dan secepatnya men-share ke WA-ku rekaman video tersebut. Tak lama berselang, suamiku kembali dengan sekotak Pizza di tangannya.“Suara apa itu tadi, Dek?” tanyanya padaku. Tiba-tiba rona wajahnya berubah saat melihat gadgetnya dalam genggamanku. Lantas, ia meraih HP-nya dan terlihat raut mukanya memerah menahan amarah padaku. “Kamu apakan HP-ku?!” bentaknya.“Jelaskan padaku tentang video itu!!” balasku meminta penjelasannya dengan suara lantang.“Vi–video apa maksudmu?" tanyanya berpura-pura.Kuraih balik HP di tangannya dan memperlihatkan rekaman video tak senonoh antara dia dan Desi yang tersimpan di ponselnya itu.Ia tampak terkejut dan terlihat pucat melihat rekaman video yang kutunjukkan padanya dan tak menyangka bahwa aku bisa membobol password gadgetnya itu.Mas Rafael terdiam sesaat, lalu memejamkan matanya sambil memijit-mijit pelipi