Dalam rumah tangga Arka dan Clara yang retak, hadirnya Nia sang pembantu cantik bagai angin segar. Tapi di balik senyumannya tersimpan dendam terselubung terhadap Clara. Ketika godaan dan kesepian mempertemukan Arka dan Nia di ambang pengkhianatan, siapa yang sebenarnya sedang menjebak siapa? Sebuah kisah tentang cinta, balas dendam, dan pilihan-pilihan yang mengubah segalanya. Akankah Nia berhasil menghancurkan rumah tangga mereka, atau justru jatuh cinta pada suami wanita yang ingin dihancurkannya?
View MoreTING TONG. TING TONG.
Suara bel pintu yang nyaring dan berulang memecah konsentrasi Arka. Kepalanya yang sedang pusing menatap layar laptop, dipenuhi baris-baris kode HTML yang tak kunjung membentuk website yang sempurna, terangkat dengan geram.
"Siapa ini?" gumamnya kesal, suaranya parau. Jam di sudut layar menunjukkan pukul 09.10 pagi. Bukan waktu yang biasa untuk tamu.
TING TONG.
Bel itu berbunyi untuk ketiga kalinya, lebih panjang dan lebih nekat, seolah menantangnya untuk tidak membukakan pintu.
Dengan mengeluh, Arka mendorong tubuhnya dari kursi. Dia mengenakan kaos oblong lusuh dan celana training yang sudah pudar, seragamnya selama berbulan-bulan bekerja dari rumah. Ruang kerjanya yang sebenarnya adalah sudut ruang tamu berantakan dengan tumpukan kertas dan cangkir kopi yang sudah kering.
Dia membuka pintu dengan gerakan kasar, siap melontarkan kata-kata tak ramah. Namun, semua kata itu tertahan di kerongkongannya.
Berdiri di balik pintu adalah seorang perempuan muda.
"Selamat pagi, Pak," ucap perempuan itu dengan suara merdu namun penuh hormat, disertai sedikit anggukan kepala.
Arka hanya bisa menatap. Perempuan itu mengenakan seragam sederhana: kemeja putih lengan pendek dan rok hitam polos hingga sedikit di atas lutut. Di tangannya, ada sebuah tas kain sederhana dan sebuah map biru. Rambutnya yang coklat bergelombang diikat rapi ke belakang, menampilkan wajahnya yang oval dengan mata besar berwarna coklat tua. Kulitnya yang eksotis tampak halus dan sehat, diterpa sinar matahari pagi.
Tapi yang membuat Arka terpana bukanlah kerapiannya. Itu adalah keseluruhan fisiknya. Lehernya yang jenjang menjulur dari kerah baju yang rapi. Kemeja putihnya, meski sederhana, tidak bisa menyembunyikan bentuk payudaranya yang bulat dan ranum. Pinggangnya ramping, kontras dengan pinggulnya yang berlekuk seksi, dibalut rok hitam yang pas di badan. Tubuhnya adalah perpaduan sempurna antara keanggunan dan daya tarik fisik yang primitif.
Arka sadar dirinya terdiam terlalu lama. "I-ya. Selamat pagi," balasnya akhirnya, berusaha mengembalikan suaranya yang tiba-tiba serak.
"Maaf mengganggu, Pak. Saya Nia. Dari Yayasan Pekerja ART Tunas Mandiri," ujar perempuan itu, memperkenalkan diri dengan sopan. Matanya yang jernih menatap Arka, tidak berkedip, seakan menilai pria di hadapannya. "Saya dijadwalkan untuk bertemu Ibu Clara dan Bapak hari ini."
Nia. Namanya sederhana, tapi terasa anehnya di telinga Arka. Lalu, seperti tersambar petir, ingatannya kembali. Percakapan singkat dengan Clara seminggu lalu.
"Aku sudah hubungi yayasan ART. Mereka akan kirim calon pembantu minggu depan. Kamu yang terima saja, ya? Aku sibuk."
Cara Clara berbicara, tanpa meminta pendapatnya, masih terngiang menyakitkan. Tapi di depan matanya sekarang adalah jawaban dari "ya"-nya yang setengah hati itu.
"Oh," ucap Arka, setelah mengingat ucapan Clara. Ia mencoba terdengar normal. "Nia. Iya, Ibu Clara bilang. Tapi... dia sudah berangkat kerja."
Ekspresi Nia sedikit berubah, tapi hanya sedetik. "Saya mengerti. Biasanya, wawancara dilakukan bersama calon majikan. Tapi mungkin Ibu sangat sibuk."
Arka merasa sedikit tersindir, entah mengapa. "Dia manager. Waktunya sangat terbatas," jawabnya, dan dia bisa mendengar nada defensif dalam suaranya sendiri.
"Tentu saja, Pak. Saya paham," jawab Nia dengan cepat, seolah menangkap kekakuan itu. "Kalau begitu, mungkin saya bisa kembali lain waktu?"
Arka melihatnya akan pergi, dan sebuah pikiran aneh melintas. Clara akan marah jika urusan pembantu ini molor lagi. Dan... dia tidak ingin perempuan ini pergi. Belum.
"Tidak perlu," ujarnya, mungkin terlalu cepat. Dia membuka pintu lebih lebar. "Silakan masuk. Kita... kita bisa bicara sebentar."
Nia tampak ragu sejenak, matanya mengamati Arka dan ruangan di belakangnya. "Baiklah, Pak. Terima kasih."
Dia melangkah masuk, sepatu flat-nya nyaris tidak bersuara di lantai marmer yang dingin. Aroma sabun mandi yang sederhana dan segar terbawa bersamanya, menciptakan kontras yang mencolok dengan aroma kopi dan kesendirian yang biasa menyelimuti rumah itu.
Arka menutup pintu, tiba-tiba sangat sadar akan kekacauan ruang tamunya. Dia buru-buru merapikan beberapa kertas dan mengambil cangkir kopi dari meja sofa.
"Maaf, keadaan agak... berantakan," ucapnya, merasa perlu berkomentar.
"Tidak apa-apa, Pak. Rumah besar seperti ini memang butuh perhatian ekstra," balas Nia dengan diplomatis. Dia tetap berdiri tegak, tasnya masih erat dipegang.
"Silakan duduk," kata Arka, menunjuk ke sofa.
"Terima kasih, Pak." Nia duduk di tepi sofa, punggungnya lurus, sikapnya sempurna. Dia meletakkan tasnya di lantai dan map biru di pangkuannya. "Ini surat perkenalan dan rekomendasi dari yayasan."
Arka mengambil map itu. Tangannya hampir bersentuhan dengan jari Nia, dan sebuah sensasi listrik singkat menyengatnya. Dia membuka map itu dengan cepat, pura-pura membaca dokumen di dalamnya. Sebenarnya, matanya hanya melayang di atas tulisan, tidak menangkap satu kata pun. Pikirannya dipenuhi oleh siluet tubuh perempuan di depannya.
"Dari dokumen ini, kelihatannya... baik," ujarnya, menutup map itu. Dia duduk di kursi di seberang Nia, merasa perlu menjaga jarak. "Jadi, kamu... Nia. Umur 23 tahun?"
"Betul, Pak. Saya lulusan SMA, dan sudah mengikuti pelatihan dari yayasan."
"Kenapa memilih bekerja sebagai ART?" tanya Arka, mencoba terdengar seperti seorang majikan yang melakukan wawancara.
Nia menundukkan pandangannya sebentar. "Saya harus menghidupi diri sendiri, Pak. Dan ibu saya. Ini adalah pekerjaan yang halal dan terhormat."
Arka mengangguk, tiba-tiba merasa seperti pria brengsek yang menanyai hidupnya. "Tentu. Tentu saja." Ia berdehem. "Ibu Clara yang akan menentukan tugas-tugasmu nanti. Tapi umumnya, semua pekerjaan rumah tangga: membersihkan, mencuci, menyetrika, memasak."
"Saya siap, Pak. Saya cepat belajar."
"Kamu akan tinggal di sini. Ada kamar pembantu di belakang, dekat dapur."
"Saya mengerti."
Diam yang canggung pun jatuh. Arka tidak tahu harus berkata apa lagi. Dia hanya bisa memandangi Nia, mencatat setiap detail. Cara cahaya dari jendela menyentuh pipinya yang halus. Cara bibirnya yang alami terbentuk sempurna. Cara rok hitam itu menekankan pahanya yang ramping.
Nia tampak sadar akan pandangan Arka. Dia sedikit gelisah, merapikan ujung roknya. “Lalu bagaimana, Pak?”
Arka tersentak. Dia berdiri, tiba-tiba merasa ruangan ini terlalu sempit. "Maukah kamu... melihat kamarmu dulu? Sebelum memutuskan."
Itu adalah tawaran aneh. Dia sudah seperti mencoba menjual kamar itu, bukan mewawancarai calon pembantu.
"Tentu, Pak. Terima kasih," jawab Nia, tetap sopan.
Arka memandunya melewati koridor menuju kamar di belakang rumah. Dia membuka pintu kamar kecil itu. Kamarnya bersih, ada tempat tidur tunggal, lemari, dan sebuah jendela kecil.
"Ini kamar mandi dalam," ujarnya, menunjuk ke sebuah pintu.
Nia melangkah masuk, matanya menyapu ruangan. "Bagus sekali, Pak. Lebih dari cukup untuk saya." Dia berbalik dan tersenyum pada Arka untuk pertama kalinya.
Senyuman itu seperti sinar matahari di tengah awan. Itu mengubah seluruh wajahnya, membuatnya semakin memesona. Arka merasa dadanya sesak.
"Baik. Kalau... kalau kamu setuju, kamu bisa kembali lagi nanti sore,” ucap Arka, tergagap.
Awalnya hanya sentuhan lembut, penuh keraguan. Seperti dua kupu-kupu yang saling menyentuh sayap. Tapi kemudian, hasrat yang terlalu lama terpendam meledak menjadi ledakan gairah yang tak terbendung.Napas mereka saling bercampur, hangat dan menggigit. Dunia seakan berhenti berputar. Di ruang makan yang hanya diterangi lampu temaram itu, hanya ada mereka berdua.Arka mendesah dalam, tangannya berganti meraih pinggang Nia. Ciuman itu semakin dalam, semakin penuh gairah. Lidah Arka mulai menjelajah, menemukan respons hangat dari Nia. Dia mendengar desahan kecil dari bibir Nia, sebuah suara yang membuatnya semakin bergairah.Arka mulai menciumi leher Nia yang jenjang. Bibirnya menelusuri setiap inci kulit lembut itu, merasakan denyut nadi Nia yang semakin kencang."Kamu... sangat cantik," bisik Arka di telinga Nia, membuatnya menggelinjang.Nia mendesah lebih keras kali ini. "Arka...hhmmhh…. kita tidak seharusnya...""Tapi kita menginginkannya," balas Arka, terus menelusuri lehernya.Ta
Bukan korek api biasa, tapi korek api bermerek dari sebuah bar terkenal di Bandung. Untuk apa Clara menyimpan korek api? Yang langsung membuatnya terguncang adalah bahwa ia mengetahui bagaimana Clara begitu membenci rokok. Selama ini, dia selalu protes jika ada yang merokok di dekatnya. "Tidak mungkin …," gumam Arka sendiri.Dia memutar-mutar korek api itu di tangannya. Pikirannya mulai berpacu. Mungkin dapat dari rekan kerja? Tapi kenapa disimpan di tas? Clara biasanya langsung membuang benda-benda tidak penting. Dia hanya terduduk di sofa ruang keluarga, menatap kosong ke depan. Sunyi yang tersisa terasa lebih menyiksa daripada pertengkaran tadi. Arka menghela napas panjang, lalu berjalan ke minibar. Botol whiskey yang sama dari dua malam lalu masih ada di sana, separuh isinya sudah habis.Dia menuangkan whiskey ke gelas tanpa es, sama seperti malam sebelumnya. Cairan amber itu terasa membakar kerongkongannya, tapi kali ini dia tidak merasakan apa-apa selain hampa."Saya kira Bap
"Terima kasih. Untuk... sarapan dan kopinya. Dan untuk... pagi ini," Nia tersenyum lebih lebar. "Sama-sama, Pak. Itu tugas saya."Arka kembali memperhatikan Nia yang langsung sibuk melakukan pekerjaan rumah tangga. Ia menelan ludahnya lagi, mungkin entah yang keberapa di pagi itu saja, ketika melihat lekuk tubuh Nia dari balik baju yang dikenakan. Sambil berusaha menghilangkan pikiran macam-macamnya, Arka menghela nafas, kemudian bergegas untuk memulai pekerjaannya. Hari berlalu dan Arka masih belum selesai dibayangi oleh Nia. Arka terbayang bagaimana lembutnya sentuhan tangan Nia yang tak sengaja bersinggungan saat menyuguhkan gelas-gelas kopi, terbayang juga harum yang menyapa hidungnya tiap kali Nia berjalan melaluinya. Arka juga sempat menangkap Nia menggunakan baju tanpa lengan, memperlihatkan sedikit dada dan bahu yang menggoda, membuat Arka harus menyembunyikan wajah kecewa ketika setelah itu Nia berganti kaus yang menutupi lekuk tubuhnya. Memikirkan Nia saja mampu membuat A
"Kenapa? Takut Clara mendengar?" Arka melangkah lebih dekat. "Dia tidak akan peduli. Dia bahkan tidak akan bangun jika kita berteriak di sini."Nia dengan cepat menahan tangan arka dan menatapnya dengan polos. "Iya, Pak, saya takut kalau sampai Ibu Clara tau......"Sebelum Arka bisa berkata apa-apa, Nia melepas genggaman tangan yang berusaha merangkulnya dengan perlahan. Arka terdiam dan sedikit bingung.“Maaf, Pak, saya harus istirahat.”Arka masih diam saat Nia beranjak ke kamarnya. Sebelum pintu ditutup, Arka melihat Nia menoleh lagi. Wanita itu menatap Arka kemudian tersenyum manis. “Selamat malam, Bapak Arka,” ucapnya dengan lembut. Baru kemudian kesadaran Arka kembali. Apa yang baru saja dia lakukan?Matahari pagi sudah tinggi ketika Arka akhirnya membuka mata. Kepalanya berdenyut-denyut, mengingatkannya pada whiskey yang diminumnya semalam. Dia mengerang pelan, membalikkan badan hanya untuk menemukan sisi tempat tidur sebelahnya sudah kosong. Lagi-lagi.Dia melangkah keluar ka
"Tidak sekarang, Arka," kata Clara dengan lembut tapi tegas, sambil berdiri dan menjauh."Kenapa? Kamu sudah memakai..." Arka tidak menyelesaikan kalimatnya, tapi matanya menatap lingerie yang dikenakan Clara."Aku capek, Arka. Sangat capek." Clara berjalan ke lemari dan mengambil gaun tidur sutra, mengenakannya untuk menutupi lingerie transparan itu. "Besok aku harus ke Bandung untuk meeting penting. Perjalanan dari pagi sekali."Arka berdiri di tempat, merasa ditolak dan dipermalukan. "Kamu selalu ada alasan, Clara.""Ini bukan alasan, ini kenyataan!" balas Clara, suaranya mulai tinggi. "Aku bekerja mati-matian untuk keluarga ini, sementara kamu…..""Sementara aku apa?" tantang Arka, tidak bisa menyembunyikan amarahnya lagi.Clara menarik napas dalam. "Lupakan. Aku tidak mau bertengkar. Aku butuh istirahat."Dia berbalik dan masuk ke dalam tempat tidur, membelakangi Arka.Arka berdiri di sana selama beberapa menit, melihat punggung istrinya. Lingerie seksi yang tadi dikenakan Clara
“Baik pak,” ucap Nia sambil mengangguk.“Nanti sore Ibu Clara pulang,kamu bisa interview dengannya,” jelas Arka.Matahari sore mulai merangkak turun ketika Nia kembali ke rumah keluarga Adhiguna, kali ini dengan koper kecil berisi barang-barang pribadinya. Clara yang membukakan pintu, sudah berada di rumah lebih awal dari biasanya."Selamat sore, Bu," sapa Nia dengan hormat, sedikit membungkuk."Selamat sore, Nia. Silakan masuk," balas Clara, suaranya datar dan profesional. Ia mengenakan setelan kerja berwarna navy yang masih rapi, berbeda dengan Nia dalam seragam sederhananya. Clara mempersilakan Nia duduk di ruang tamu yang kini sudah lebih rapi. Ia sendiri duduk di kursi tunggal, menyilangkan kaki dengan elegan."Saya sudah lihat dokumen dari yayasan," mulai Clara, menatap Nia dengan tajam. "Pengalaman kerja sebelumnya hanya dua tahun?""Iya, Bu. Di keluarga sebelumnya, Saya keluar karena keluarga tersebut pindah ke luar negeri.""Kamu bisa memasak?" tanya Clara singkat."Bisa, Bu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments