Hari saat kemunculan Hugo di rumah Aryadi ….
Saga mendengkus saat matanya mengawasi lalu-lalang kendaraan dari jendela kamarnya. Mulutnya memberengut sementara tangannya bersedekap. Kesebalan tampak memenuhi ekspresi di wajahnya yang imut. Orang tua angkatnya tadi sempat memergoki Saga sedang saling telepon bersama Bara. Hanya menggunakan tatapan mengancam sewajarnya seorang ibu yang marah pada anaknya, ibu Saga memberi isyarat agar ia mengaktifkan mode loud speaker-nya. Begitu Bara mengatakan bahwa orang tuanya akan datang ke Bangka untuk menjelaskan semua hal pada gadis itu, orang tua Saga serentak melotot.
“Kabari aku nanti,” balas Saga cepat-cepat saat Bara akan menutup teleponnya. Saga lekas berdiri dari tempat tidurnya sembari mengantongi handphonenya dan menatap kedua orang tuanya dengan salah satu alis dinaikkan. “Kenapa Mama harus menyuruhku—”
“Seharusnya kau tidak perlu ikut campur urusan orang l
“Pa! Setidaknya kita harus melaporkan hal ini pada INDICENT, bukan?”Sudah seminggu sejak Saga menemukan rumah Mr. Aryadi yang acak-acakan. Namun, saat Saga memberitahukan perihal ini pada orang tua angkatnya, mereka menolak melakukan apa pun dan dengan tegas melarang Saga berkoar-koar tentang itu pada siapa pun.Setiap hari, setiap saat yang bisa Saga lakukan, ia selalu meluangkan waktu untuk datang melihat rumah kakek Bara lagi dan lagi. Saat masih belum ada juga tanda-tanda keberadaan dari para penghuni rumah itu, lagi dan lagi, Saga membiarkan dirinya melesat dan berkelebat ke sana-kemari, mencoba mencari ke mana keluarga itu pergi. Sejak hilangnya keluarga kecil itu, ponsel Bara sama sekali tak bisa dihubungi oleh Saga. Operator seluler selalu menjawab bahwa nomor yang dihubungi sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.Pernah suatu hari Saga sampai harus mendatangi beberapa kota lain yang dekat dengan kota Koba, menanyakan tentang ciri-
Selama berhari-hari berikutnya Saga tak lagi merepotkan diri mencari Bara dan keluarganya lagi, seperti yang sang ibu suruh padanya. Ia tak bisa mengelak saat perasaannya tetap saja khawatir meski ia sudah berusaha berpikir jahat selama detik-detik tertentu dalam benaknya yang tengah melamun. Biar bagaimana pun, Saga sudah menganggap Bara sebagai temannya. Seseorang yang sepatutnya khawatir jika salah satu temannya menghilang, atau yang lebih parah, dikejar oleh pemburu yang lebih parah dari serigala liar.Pada suatu hari, lima belas hari setelah menghilangnya Bara dan keluarga, ia datang ke hutan itu. Hutan yang ia tak berani dekati sebelumnya. Saga tak tahu apakah dia sudah gila atau akan menjadi gila atau dunia itu sendiri yang gila. Sebenarnya, ia sendiri tak yakin siapa siapa yang gila gara-gara siapa.Intinya adalah Saga sudah tak tahan lagi. Berdiam diri sementara ia tahu bahwa temannya sedang dalam bahaya, itu terasa seperti hal yang salah. Vampir dan para shap
Aku tidak tahu bagaimana cara seseorang bisa kerasukan dengan benar. Atau dalam hal ini, dikendalikan secara penuh. Itu terasa mengerikan saat aku diberitahu bahwa aku dikurung di dalam otakku sendiri. Dalam tubuhku sendiri. Aku bertanya-tanya apakah begini yang akan kurasakan jika seandainya aku memiliki kepribadian ganda. Namun, ini sepertinya lebih buruk. Aku tak bisa merasakan segala indra yang ada di fisik nyataku lagi. Aku merasa kosong. Aku merasa buta. Aku seperti orang gila yang tersesat dalam lingkup kegelapan di bawah jurang nan menyesakkan.Yang bisa kulakukan, atau setidaknya begitulah yang kupikir kulakukan, hanya menangis.Suara iblis itu tak lagi menakut-nakutiku, tapi setelah beberapa saat yang terasa seperti jutaan jan bagiku, suara itu tiba-tiba meraung. Aku berjengit, namun tetap tak melakukan apa-apa selain memeluk lutut di suatu tempat di antara luasnya pikiranku. Aku baru mendongak saat kusadari bahwa raungan itu tak kunjung berhenti. Aku tidak t
“Persiapkan apa yang perlu dipersiapkan. Kita butuh melakukan Penjemputan Jiwa secepatnya.”“Baik, sir.”Linda menatap kepergian sang witch yang menjauh dan masuk ke dalam lift itu. Pandangannya beralih pada Rokan Allegro. Sebuah pemikiran mendadak terlintas di benaknya.“Sir, kau bilang cuma para witch yang bisa menggunakan Pemindah Raga,” Linda menyatakan.Rokan Allegro mengerutkan kening. “Lalu?”“Bagaimana mungkin witch itu dan Barbara bisa sampai ke mari secepat ini? Kalau mereka berhasil menyelamatkan Barbara sebelum tengah malam dan tiba di sini pukul lima, bukankah itu waktu yang dibutuhkan untuk para witch saat mereka menggunakan Pemindah Raga?”Rokan Allegro mengambil langkah ke depan, berhenti di pintu Ruang Penyembuhan dan memandang Barbara yang terbaring lemah dari balik kaca. “Barbara adalah jenis immortal lain selain witch yang bisa menggunakan Pemindah Raga.&rd
Linda dan Aryadi berdiri dengan tegang, tak terkecuali Rokan Allegro dan yang lain. Ketiga belas witch hanya berdiri kaku mengelilingi peti mati terbuka yang di dalamnya terbaring tubuh Barbara. Namun, bibir mereka tampak berkomat-kamit tanpa mengeluarkan suara. Kedua tangan para witch itu saling terkait di depan, seakan sedang berdiri santai dan hanya menikmati dinginnya gua yang mereka masuki.Linda mulai tak sabar. Keinginannya untuk menginterupsi begitu besar, tapi ia berusaha untuk menahannya. Seseorang menyentuh bahunya, Linda menoleh dan mendapati Rokan Allegro yang mengangguk pelan, membantunya menguatkan hati untuk bersabar.Para witch itu tampak bergerak setelah kira-kira tiga puluh menit atau lebih. Mereka mulai berjalan perlahan mengitari peti mati seraya mengulurkan tangan ke arah Barbara. Mereka mulai bergumam seirama dengan suara rendah, gema yang d
Seseorang mengejarku.Aku berlari tanpa berhenti hingga seperti orang yang kehabisan napas. Aku tak tahu siapa yang tengah mengejarku, tapi aku jelas merasa ketakutan. Ada perasaan bahwa jika aku sampai tertangkap, maka hidupku akan berakhir dalam cara yang menyedihkan.
Aku tersentak membuka mata dengan keringat dingin membasahi kening. Napasku masih terengah-engah, namun tak ada wajah hancur itu lagi di hadapanku. Langit juga tidak gelap, melainkan terang… putih seperti atap… aku menoleh pelan, baru menyadari bahwa aku tidak lagi berada di hutan gelap itu.Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diri, mencoba meyakinkan diri bahwa tempat terang ini adalah baik untukku, tempat yang aman bagiku. Perlahan-la
Seandainya kisah hidupku dijadikan sebagai novel picisan, kurasa para pembaca akan menjadi cepat bosan. Terlalu banyak narasi yang memenuhi naskah, terlalu sedikit informasi yang diutarakan dalam dialog. Hidupku di bangsal ini tampak seperti hidup seorang pesakitan, namun dalam versi yang sedikit lebih menyenangkan.Aku mencoba keluar dari bangsal keparat ini, tetapi entah bagaimana selalu bertemu dengan orang lain, entah itu perawat, dokter atau orang-