Lingsir Wengi -Tembang jawa

Lingsir Wengi -Tembang jawa

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-09-22
Oleh:  Santi ummu fadhliBaru saja diperbarui
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel4goodnovel
Belum ada penilaian
5Bab
12Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Di sebuah desa Jawa yang masih memegang erat adat dan kepercayaan leluhur, sebuah rumah tua menjadi pusat teror yang tak pernah selesai. Rumah itu dulunya milik seorang sinden yang dikenal memiliki suara indah, namun mati dengan cara tragis saat sedang membawakan tembang "Lingsir Wengi". Arwahnya dipercaya gentayangan, menjerat siapa pun yang berani melantunkan lagu itu di malam hari. Satu per satu orang yang menyepelekannya, ditemukan mati dengan wajah pucat, telinga berdarah, dan tubuh membeku seperti sedang mendengar sesuatu yang tak kasat mata. Dan ketika seorang gadis bernama Ratna pindah ke desa itu, suara tembang "Lingsir Wengi" kembali terdengar dari rumah kosong tersebut setiap malam menjelang jam dua belas. Ratna harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi—atau ia akan menjadi korban berikutnya.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1 Pindahan

Malam itu dinginnya aneh. Angin dari celah jendela rumah kayu tua berhembus pelan, tapi rasanya menusuk kulit, bikin bulu kuduk Ratna berdiri. Ia menarik selimut sampai ke dagu, tapi suara kayu berdecit dari atap tua itu bikin jantungnya berdegup lebih kencang.

Sejak siang tadi, ia sudah mendengar bisikan-bisikan tetangga. Bukan bisikan biasa, tapi semacam peringatan yang sengaja ditahan agar tidak terlalu jelas.

“Kalau malam… jangan buka jendela. Dan jangan pernah… nyanyi lagu itu.”

Ratna waktu itu hanya tersenyum kaku, mengangguk seadanya. Ia pikir orang desa memang suka menakut-nakuti pendatang baru.

Tapi sekarang, tengah malam sudah lewat, dan semuanya jadi masuk akal.

Dari rumah kosong di seberang halaman—rumah yang katanya tidak berpenghuni puluhan tahun—tiba-tiba terdengar suara perempuan. Suara itu lirih, indah, tapi dingin, seperti berasal dari perut bumi.

“Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…”

Ratna sontak duduk di ranjang. Matanya membesar, kulit tengkuknya seolah ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Tidak mungkin ada orang di rumah itu. Tidak mungkin ada yang bernyanyi di tengah malam, kecuali…

Suara itu makin jelas, makin dekat.

Seolah bukan lagi dari seberang halaman, tapi sudah berada tepat di balik jendela kamarnya yang tertutup rapat.

Ratna menegakkan tubuhnya. Selimut yang tadi menutupi sampai dagu kini sudah ia genggam erat-erat, jari-jarinya dingin dan berkeringat. Ruangan itu tiba-tiba saja terasa lebih sempit, lebih sesak, seakan udara berhenti berputar.

Cahaya lampu bohlam kuning pucat yang menggantung di langit-langit berayun pelan, padahal tidak ada angin. Ayunannya menimbulkan bayangan yang bergerak di dinding—bayangan yang semakin membuat Ratna gelisah.

“Lingsir wengi…” suara itu kembali terdengar, lembut tapi menusuk, seperti seseorang yang menyanyi tepat di telinganya.

Ratna menoleh cepat ke arah jendela. Tirai tipis berwarna gading itu bergetar pelan, seperti disentuh dari luar. Dia tahu persis, halaman depan rumahnya kosong, hanya ada rumput liar dan pohon mangga tua yang sudah lama tidak berbuah. Tidak mungkin ada orang berdiri di luar.

Namun kali ini, ia melihatnya dengan jelas: seberkas bayangan hitam, samar tapi nyata, menempel di kaca jendela. Rambutnya panjang, berantakan, menutupi hampir seluruh wajah. Ratna menahan napas. Matanya membesar, tapi lidahnya kelu, suara tertahan di tenggorokannya.

Detik demi detik terasa seperti jam.

Tok… tok… tok…

Suara ketukan pelan itu terdengar dari luar jendela, membuat tubuh Ratna spontan merinding. Jari-jarinya yang menggenggam selimut semakin kaku.

“Astagfirullah…” bisiknya lirih, hampir tak terdengar.

Ia menoleh mencari ponselnya di meja kecil samping ranjang. Layar hitam itu menatapnya kembali, dingin dan memantulkan wajahnya sendiri yang pucat pasi. Baterai habis. Tidak ada cahaya, tidak ada pengalih perhatian.

Hanya ada dia, dan suara itu.

Ratna memejamkan mata erat-erat, berusaha menenangkan diri. Ia mencoba mengingat doa-doa yang biasa dia baca setiap kali merasa takut. Namun lidahnya kelu, pikirannya kacau. Yang terdengar justru suara napasnya sendiri yang berat dan terputus-putus.

Tiba-tiba, suara itu berhenti.

Hening.

Terlalu hening.

Ratna membuka matanya perlahan, berharap semua hanya ilusi. Tapi saat ia menoleh ke arah jendela, tirai tipis itu sudah tak lagi sekadar bergetar. Kini, tirai itu terangkat sedikit, seperti sedang diusap dari bawah oleh sesuatu yang ingin masuk.

Ratna menjerit dalam hati. Tangannya spontan meraih saklar lampu di dinding. Namun sebelum jarinya menyentuh, lampu bohlam di langit-langit padam seketika.

Klik.

Gelap total.

Dan dalam gelap itu, suara perempuan itu kembali terdengar. Lebih dekat, lebih jelas, seolah kini sedang berdiri tepat di dalam kamarnya:

“Sliramu tumeking sirno…”

Ratna membeku. Ia bahkan tak berani bernapas terlalu keras. Hanya suara detak jantungnya yang berdentum kencang di telinga, bercampur dengan lantunan lirih yang terdengar semakin meresap ke dalam kepalanya.

Gelap menelan semuanya. Ia tidak bisa melihat apa pun—tidak kasur, tidak lemari, bahkan tangannya sendiri yang bergetar. Tapi telinganya menangkap sesuatu… langkah kecil, pelan, menyeret, seperti kain basah yang diseret di lantai.

Gesrek… gesrek…

Langkah itu mendekat ke arah ranjangnya. Ratna menutup mulut dengan telapak tangan, takut kalau suaranya bocor keluar. Ia ingin kabur, tapi kakinya terasa berat, seakan ada tali yang mengikat pergelangan.

Bau anyir mulai tercium. Bukan bau tanah basah, tapi bau darah bercampur dengan harum bunga melati yang terlalu menusuk. Ratna hampir muntah menahannya.

Di tengah kegelapan itu, matanya tiba-tiba menangkap sesuatu—sepasang cahaya kecil berwarna merah samar. Bukan lampu. Bukan pantulan cahaya. Itu… mata. Sepasang mata yang menatapnya tajam dari sudut kamar, tepat di samping lemari tua peninggalan kakeknya.

“Ra…tna…” suara lirih itu menyusul, kali ini memanggil namanya. Suara yang sama, tapi lebih berat, serak, seperti berasal dari kerongkongan yang penuh darah.

Ratna sontak menutup telinga, tapi suara itu tidak berhenti. Justru semakin jelas, semakin dekat, hingga ia bisa merasakan hembusan dinginnya di wajah.

Dengan tubuh gemetar, Ratna meraih saklar di samping tempat tidur, menekannya berkali-kali. Klik. Klik. Klik. Tidak ada cahaya. Lampu tetap mati.

Dan saat ia menoleh lagi, tirai tipis di jendela itu perlahan terangkat, walau tidak ada angin. Dari celah bawah tirai, tampak sesuatu yang menjuntai masuk—rambut hitam panjang, basah, meneteskan cairan merah gelap ke lantai.

Tep… tep… suara tetesan itu terdengar jelas di keheningan.

Ratna tak kuasa lagi menahan teriakannya. Suara meluncur begitu saja dari tenggorokannya, parau dan putus-putus.

“Aaaaaaaahhhhhh!!!”

Jeritan itu menggema di seluruh ruangan. Namun anehnya, tak ada satu pun tetangga yang mendengar.

Seakan malam itu, rumah Ratna sudah terputus dari dunia luar.

Ratna menjerit sekuat tenaga, tapi suaranya seperti terhisap oleh kegelapan. Tak ada jawaban, tak ada yang datang menolong. Hanya suara itu… lagu itu… terus berputar di telinganya.

“Lingsir wengi… sliramu tumeking sirno…”

Rambut panjang itu semakin banyak masuk, menjuntai di lantai, terus merayap seperti ular hitam yang hidup. Bau anyir bercampur melati semakin menusuk, membuat Ratna nyaris pingsan karena mual.

Ia mundur ke belakang, tubuhnya terbentur dinding dingin kamar. Tidak ada jalan lagi. Jendela di depannya, lemari di sampingnya, dan dari kegelapan itu, sosok perlahan muncul.

Pertama rambutnya. Lalu pundaknya. Gaun putih kusam, sobek di banyak tempat, dengan noda merah kecokelatan. Wajahnya masih tertutup rambut panjang. Tubuhnya seperti melayang, tak benar-benar menjejak lantai.

Ratna membeku, matanya tak bisa berpaling.

Dan saat rambut itu tersibak sedikit, terlihat seulas senyum lebar yang tidak wajar—terlalu lebar, terlalu dingin.

Dalam bisikan lirih, perempuan itu berucap pelan:

“Sekarang… giliranmu.”

Lampu kamar mendadak menyala sendiri. Tapi saat Ratna berkedip, sosok itu sudah tidak ada. Hanya tirai tipis yang terayun pelan… dan bercak merah gelap di lantai yang membentuk jejak menuju bawah ranjang.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
5 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status