Seolah dikirim sebagai penyelamatku, Mike mengalihkan perhatian mereka. Ia mengajak Mas Danu dan Sekar mengobrol dalam Bahasa Inggris yang begitu luwes. Membuatku yang belum sepenuhnya mampu berbahasa Inggris seolah mendengar siaran langsung stasiun TV luar negeri.“My friend is shy, but classy,” terang Mike pada mereka, mencoba membuatku tidak perlu terlibat percakapan yang tak kuinginkan.“Makanlah makananmu, biar aku urus mereka,” bisik Mike di telingaku. Hembusan nafasnya yang begitu dekat, seolah hendak mencumbu, membuatku kaget hingga menjatuhkan sendok.Klunting.Terkejut. Bergegas aku menunduk untuk mengambil sendok itu. Di saat bersamaan Mas Danu ikut membantuku mengambil sendok yang terjatuh. Waktu seolah terhenti, kala tangannya menyentuh tanganku. Mata kami bertemu. Parasnya berubah. Tak lagi menunjukkan ketenangan maupun keceriaan.Sekar mengamati kami yang terkunci dalam pandangan untuk waktu yang cukup lama. “Sayang, ada ma
“Fall one time and stand up two times. Kamu bisa jatuh sekali, cukup sekali dan lalu berdiri dua kali lebih kuat. Cobalah terobos ketakutanmu. Kamu akan mendapatkan kebahagiaan setelah kamu lepaskan ikatan yang menjerat sayapmu untuk terbang,” bujuk Mike perlahan. Tak bermaksud menggurui maupun menghakimi. Ia ingin menemani. Dengan tulus berusaha menasihati.“A promise is a promise. Aku telah berjanji untuk setia padanya. Selalu mencintainya. Bersabar untuk semua kelakuannya.”“Pada siapa kamu berjanji? Padanya yang telah mengkhianatimu? Atau pada mertuamu yang menjodohkan kalian?”“Berjanji pada diriku sendiri.” Kulempar pandangan menembus kaca, mengamati beberapa gelandangan yang menenteng kardus dan mencari tempat berbaring. Aku pernah bergaul dengan orang-orang seperti itu saat anak-anak. Pernah menggelandang juga saat kemalaman pulang dari mencari rongsokan. Kini aku berada di mobil mewah, memakai dress indah, bahkan makeup-ku juga sempurna. Karena si
Bukan cerita Cinderella, tapi peristiwanya nyaris sama. Bedanya, bukan ibu tiri yang menungguku kembali. Tetapi suami. Buru-buru turun untuk berlari agar tidak terlambat pulang ke rumah, sepatuku terlepas. High heels yang dipilih Caca benar-benar menyulitkan. Akhirnya, sebelah sepatu yang masih menempel di kakiku pun sengaja kulepas agar aku bisa berlari dengan bebas menerobos halaman, ruang tamu, ruang keluarga, dan naik ke lantai dua. Kujinjing dress panjang yang membuat gerakku terbatas. Satpam melihatku sambil berteriak. “Nyonya, sepatunya lepas.” Tak kuhiraukan teriakan satpam. Besok masih bisa kuurus, tapi kemarahan Mas Danu, aku khawatir akan semakin membesar jika dalam 10 tak menit aku tak segera tiba di hadapannya. Tak kusangka ia pulang malam ini. Kukira ia akan kembali bersama wanita itu tanpa peduli pada diriku.Mobil Mas Danu telah terparkir, tapi mobil mertuaku tak ada. Siapa yang akan membelaku jika Mas Danu kelewat salah paham?Tiba di lantai dua, nafasku tersenggal
Pertanyaan itu membuatku tak sempat memikirkan harga gaun lain. Tak ada yang lebih berharga selain dia. Jika harus mati tenggelam, aku hanya ingin tenggelam di dalam pelukannya. Melapuk bersama waktu yang bergerak. Berguling bersama sakit yang terukir. Menangis dan tertawa bersama sang pujaan merupakan mimpi terindah bagi pencandu cinta buta. Aku menyadari kelemahanku yang menjadikan kesakitan sebagai kekuatan untuk bertahan. Saat kumenatap cermin besar di sudut ruangan, nampak kekuatan makeup ajaib masih menempel dengan baik. Waterproff, itu yang dipinta Caca. Ia tahu aku akan menangis di pesta itu. Ia tahu ada Mas Danu di sana. Karena hanya Mas Danu yang bisa membuatku meneteskan air mata. Bapak mertuaku pasti juga tahu itu. Semua tahu dan sengaja mengirimku agar aku bisa melihat langsung kemesraan mereka. Itu menyakitkan. Namun jika aku tak muncul di sana tadi malam, mungkinkan Mas Danu kembali hari ini? Kutelusuri wajah diri yang menawan di balik riasan. Tak terl
Pagi berganti malam, mentari berganti bulan, tapi kepribadianku selalu seperti ini, selalu rendah diri. Sampai kapan? Bahkan di rumah ini aku tak pernah merasa menjadi penghuni. Bak tamu yang sewaktu-waktu bisa terdepak jika salah menginjak.Alangkah terperanjatnya diri mendapati wanita tersebut bukan Sekar. Jika bukan Sekar, siapa wanita cantik dan elegan yang datang kemari dengan sorot marah seperti itu? Berapa banyak wanita yang mengelilingi suamiku?“Kamu! Seharusnya kamu tidak menjadi tembok bagi dua insan yang jatuh cinta!” bentaknya begitu tubuhku berada tak jauh dari jangkauan tangan.“Siapa kamu berhak marah padaku? Betapa tak sopannya bertamu dengan perilaku seperti itu!” tegasku merasa tersinggung dengan amukannya.“Aku kakak Sekar! Wanita yang telah dinikahi suamimu diam-diam dan ditinggalkan dalam keadaan mengandung!”Balon udara di paru-paruku mengembang. Jadi bukan wanita lain. Membayangkan Mas Danu memiliki banyak wanita lebih menyakitkan daripada
“Setiap hari selalu terjadi sesuatu padanya sejak kau masuk dalam hidupnya! Mengapa tak bisa kau antisipasi ini? Kenapa kau buat dia hamil, lalu kau asyik-asyikkan di sini bersama wanita rendahan ini?” ucapan wanita itu sungguh luar biasa. Mulutnya tajam berbisa.Mas Danu hanya diam. Sedikitpun tak membantahnya. Ia berjalan melewatiku dan berkata, “aku akan melihat Sekar.”Aku hanya bisa menggeleng-geleng kepala. Berharap ia mau melihatku dan mempertimbangkan kembali keputusannya. “Jangan, tetaplah di sini, Mas! Mas berjanji akan mengajak anak-anak jalan-jalan nanti sore. Tega Mas tinggalkan mereka lagi?” aku berusaha menahan Mas Danu. Menyentuh lengannya dengan sisa-sisa kekuatanku. Akan tetapi wanita bernama Sasha itu tak mau menunggu. Kejam ia tarik tanganku dan menghempasnya lagi.“Tutup mulutmu! Jangan menggunakan anak-anak untuk menghalangi mereka. Danu harus bertanggung jawab pada bayi yang dikandung Sekar. Saat ini adikku menderita karena menanggung beban sendirian,” tepis wan
“Mike, hentikan!” lupa untuk bersopan santun kepada mentor Bahasa Inggris-ku tersebut. Biasa kami memanggilnya Mister. Kini semua itu memudar. Aku benci padanya yang memukul suamiku demikian kerasnya.Tetes darah mengalir dari sudut bibir Mas Danu. Aku langsung menghampirinya, menolongnya. Dengan marah, Mas Danu menepis bantuanku. “Lepas!” bentaknya. Begitu keras ia menepis, hingga sekali lagi aku terpelanting nyaris jatuh. Saat itu, seperti sudah berjaga untuk segala kemungkinan buruk, Mike menangkapku supaya aku tidak terjerambab ke lantai.Seharusnya aku berterima kasih pada pria besar ini karena menangkapku sebelum jatuh untuk kesekian kali. Namun bagaimana aku bisa berterima kasih padanya jika itu membuat suamiku kian murka?“Lepaskan dia!” perintah Mas Danu. Ia menarikku dari pelukan Mike dengan kasar. “Orang luar memang tak punya tata krama. Berani masuk mengacak-acak rumah tangga orang! Siapa yang mengijinkanmu, hah?”Dengan santai Mike menjawab, “apa yang kuacak-acak? Rumah t
“Pergi!” sekali lagi kutegaskan, sebelum hatiku goyah olehnya. “Aku tidak butuh apapun selain keutuhan rumah tangga ini! Jika ingin membantuku, pergilah sekarang juga. Bagiku, kamu tak ubahnya seperti wanita itu, yang menelusup masuk ke dalam rumah tangga orang sebagai duri tajam.”Tentu saja Mike kecewa mendengarnya. Bahkan sorot matanya tak lagi menyimpan simpati melainkan benci. Pastilah ia kini muak padaku, si bodoh yang memilih bertahan pada sekoci kecil yang terombang-ambing di tengah gelombang. Tanpa kata, pria itu memutuskan pergi dengan kakinya sendiri. Biarlah, itu lebih baik daripada aku memberinya harapan palsu. Mike berhak mendapatkan wanita yang jauh lebih berkelas dibanding diriku.Heran, tampak benar kelegaan di paras Mas Danu. Seolah bebannya terangkat sudah. Semenakutkan itukah Mike baginya?Mas Danu mendekatiku, mengamati pipi kananku. “Apa ini perbuatanku?” tanyanya sambil membelai pipi yang mungkin tambah merah karena ia sentuh begitu halus. Perlahan aku menggelen