Demi menyelamatkan bisnis suaminya, Luna dipaksa meminjam uang pada tetangganya yang kaya raya. Namun, syarat yang diberikan sangat sulit untuk dijalani. Luna harus menjadi sekretaris pribadi sekaligus pelampiasan hasrat sang tetangga, hingga utang itu lunas. Mampukah ia keluar dari masalah rumit ini, atau justru terperangkap semakin dalam?
View MoreLuna menatap pantulan dirinya di cermin. Wajah dan tubuhnya penuh dengan luka lebam. Bahkan sudut bibirnya masih ada darah, meninggalkan garis perih yang menusuk setiap kali ia mencoba mengatupkan mulut. Tubuhnya selalu dijadikan pelampiasan kemarahan sang suami.
Setiap kali pria itu marah entah karena urusan bisnis, masalah pribadi, atau sekadar suasana hati yang buruk, tubuh Luna selalu menjadi sasaran. Baginya, Luna hanyalah wadah untuk menampung segala amarah dan frustrasi. Segala sesuatu tentang Luna selalu tampak buruk di mata Arkana, suaminya. Menikahi pria yang ia kenal sejak kecil, pria yang dulu ia sebut sebagai sahabat kecil, ternyata tidak menjamin kebahagiaan. Luna pernah percaya ia benar-benar mengenal pria itu, percaya bahwa pernikahan yang dijalani akan menjadi pelabuhan setelah badai panjang hidupnya bersama ibu tiri yang jahat. Namun kenyataannya tak seperti yang ia bayangkan. Arkana bukan pelabuhan terakhirnya, melainkan badai baru yang menghantam hidup Luna lebih dahsyat. Pria yang ia pacari selama lima tahun itu ternyata memiliki sisi kelam yang lebih tajam dari sembilu, lebih bengis dari ibu tiri yang ia benci. Belum lagi sang mertua yang seakan terlahir untuk merendahkan harga diri Luna hampir setiap melihatnya. Setiap kata dari bibir sang ibu mertua adalah jarum tajam, menusuk ke dalam jiwa Luna, menyebutnya sebagai perempuan mandul, beban, dan aib keluarga. Dan kini, masalah baru datang lagi. Bisnis Arkana yang bergerak di bidang tempat hiburan malam tengah di ujung kebangkrutan. Satu minggu terakhir, kabar buruk itu menjadi nyanyian yang memekakkan telinga. Orang kepercayaan Arkana kabur, membawa hampir semua uang perusahaan. Dan seperti biasa, pelampiasan kemarahan itu berakhir di tubuh Luna. Tanpa perasaan pria itu menjambak rambut Luna, mencengkeram, menampar, dan menginjak tubuh ringkih istrinya tanpa ampun. Tak ada belas kasihan sedikitpun. Tak pernah ada kata maaf yang terucap dari mulut pria itu karena sudah menyakiti istrinya lahir dan batin. “Lunaaaaaa!” Teriakan dari luar kamar membuyarkan lamunan Luna. Suaranya keras, nyaring, dan penuh perintah bagaikan cambuk yang memaksa Luna mengabaikan nyeri di sekujur tubuhnya. Ia menyeret langkah kakinya, memaksa kakinya untuk taat meski terasa berat seperti dipasangi beban besi. Luna mendekat, Arkana duduk di meja makan dengan tatapan yang dingin seperti baja. Di sebelahnya, Ibu Yuli menyeringai tipis, sorot matanya penuh penghakiman. “Iya, Mas… ada apa?” suara Luna lirih, nyaris tak terdengar. Tenaganya sudah habis, terkuras satu jam lalu saat tubuhnya menjadi samsak hidup bagi amarah suaminya ketika Luna menolak perintah pria itu. “Pokoknya aku nggak mau tahu. Kamu harus berhasil mendapat pinjaman itu dari Devan. Jadilah wanita yang berguna di rumah ini, bukan malah jadi beban keluarga terus-terusan,” ucap Arkana, datar namun jelas kalau dia tidak mau ada penolakan dari istrinya. Tak ada setitik pun penyesalan di matanya. Luka-luka di tubuh Luna bukan beban baginya, itu hanya noda yang tak layak mendapatkan perhatiannya. “Tapi, Mas—” ucapan Luna terpotong. “Dulu Papanya Arkana membiayai pengobatan ayahmu di rumah sakit. Bahkan kami menghabiskan miliaran rupiah untuk mendiang ayahmu. Sekarang sudah saatnya kamu membantu mengatasi masalah yang dialami suamimu. Kamu hanya disuruh meminjam pada tetangga kita yang kaya raya itu. Kalau usaha Arka sudah kembali seperti dulu, uang itu pasti akan dikembalikan utuh, bahkan lebih. Hanya pinjam, Luna,” sambar Ibu Yuli. Bukannya kasihan pada Luna, dia justru semakin memperkeruh keadaan. “Bu… uang dua miliar itu bukan uang yang sedikit. Mana mungkin Pak Devan mau percaya meminjamkan pada Luna? Harusnya Mas Arka yang meminjam, Bu,” jawab Luna, matanya mulai berkaca-kaca. “Lunaaaa!” bentak Arkana, suaranya menggelegar seperti petir di siang bolong. Dia paling benci mendapat penolakan dari istrinya. “Bisa nggak sih sekali saja kamu nurut pada suamimu ini, huh? Aku bilang kamu yang pinjam sama Devan!” Bentakan itu membuat dada Luna sesak seperti diremas tangan tak kasat mata, seolah ia hanyalah noda yang bisa dihapus kapan saja. Ia tahu tak ada ruang untuk membantah. Menentang Arkana berarti mengundang lebih banyak pukulan lagi di tubuhnya. Dengan napas yang berat, ia akhirnya mengangguk. Dia segera bersiap menuju ke kantor milik tetangganya. Luna pun menuju kantor Wijaya Group. Tepat pukul 09.00 pagi, Luna sudah tiba di kantor Wijaya Group milik Devan Wijaya. Setelah menunggu selama 30 menit, akhirnya Devan mau menemui Luna. Sekarang, Luna sedang duduk di depan meja kerja sang tetangga. “Mau pinjam uang berapa?” tanya Devan datar setelah tahu maksud kedatangan tetangganya ini. Devan pikir Luna akan meminta lowongan kerja, tapi ternyata dugaannya salah. “Du–dua miliar, Pak Devan,” jawab Luna terbata. “Dua miliar?” pekik Devan terkejut alisnya menukik tajam. “Sa–saya akan melakukan apa pun agar Bapak mau meminjamkan uang untuk suami saya.” kalimat itu terdengar sedikit memaksa. Devan berdecak, lalu dia kembali bertanya, “Uang 2 miliar itu sangat besar, Luna. Mau bayar pakai apa?” Luna terdiam. Dia menghapus jejak air matanya dengan punggung tangan. “Saya tidak berani meminjamkan suamimu uang sebesar itu,” ucap Devan. “Tolong saya, Pak Devan…” ujar Luna memohon. “Saya janji akan melakukan apapun agar Bapak mau meminjamkan uang pada saya,” sambung Luna. Matanya sudah basah. Hening beberapa saat. Namun mata Devan terus menatap ke arah tetangganya ini. Devan ingat kalau dulu ayahnya Arka pernah membantu perusahaan keluarga Devan. Sayangnya bukan Arka yang datang menemuinya. “Oke, tapi ada dua syarat yang harus kamu penuhi,” kata Devan setelah beberapa saat terdiam. Mendengar ucapan Devan, Luna mendongak menatap pria itu. “Ka–katakan, Pak… apa syaratnya?” Devan menatap Luna dingin. “Yang pertama, kamu harus menjadi sekretaris pribadi saya dan mematuhi semua aturan yang saya buat,” ucap Devan. “Sa–saya mau, Pak!” sambarnya cepat. Kalau hanya untuk menjadi sekretaris, dia siap bekerja sampai sang suami mengembalikan uang tetangganya ini. “Syarat kedua apa, Pak?” tanya Luna penasaran. “Tidur denganku… sampai hutang itu lunas.” Mata Luna melebar penuh, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.“Duduklah, biar saya yang buka,” ucap Devan, menghentikan niat Luna yang hendak melihat siapa yang berada di balik pintu ruang kerja atasannya.Luna hanya bisa mengangguk, meski jantungnya masih berdegup kencang. Rasa cemas membuat tangannya dingin. Ia takut kalau orang yang masuk melihatnya makan di ruang kerja sang atasan, lalu salah paham. Lebih buruk lagi, bisa saja muncul gosip tak enak di kantor.Namun di luar dugaan, suara Devan terdengar tegas dari arah pintu.“Saya hanya menerima laporan dari Luna. Kalau Luna tidak ada di mejanya, datanglah sepuluh menit lagi.”Devan menutup pintu rapat tanpa memberi kesempatan bawahannya menjawab. Setelah itu, ia kembali duduk di kursi kebesarannya, seakan tak ada yang terjadi.Luna buru-buru menyelesaikan sarapannya. Dia tak ingin ada orang yang datang lagi di saat dirinya masih berada di ruang kerja sang atasan. Setelah menyelesaikan suapan terakhir, Luna pun berdiri.“Sa–saya sudah selesai, Pak,” ucap Luna gugup. Padahal Devan tidak perna
“Aaah, Pak,” desah Luna. Ia tak kuasa menahan desahannya kala lidah Devan membelai lembut bagian bawahnya. Devan sudah mulai tak bisa menahan gairahnya. Ia pun melepaskan seluruh bagiannya, lalu melakukan penyatuan. Pria itu menghentak Luna dengan penuh gairah, hingga akhirnya keduanya sampai di puncak surga dunia. Devan ambruk di atas tubuh Luna yang ringkih. Namun wanita itu tak bisa meminta Devan untuk turun dari tubuhnya. Sampai akhirnya setelah beberapa saat, pria itu berguling ke samping Luna. “Terima kasih ya, Lun. Kamu benar-benar memuaskan,” bisik Devan membuat wajah Luna merah seperti buah tomat. Napas keduanya terengah-engah seperti habis melakukan lari maraton. Saat Luna hendak turun dari ranjang, suara Devan menghentikannya.“Jangan turun dulu. Saya belum puas dan kita akan lakukan satu kali lagi. Kali ini kamu yang harus mengambil alih permainan,” bisik pria itu.Luna kembali mengangguk patuh.Setelah melayani hasrat sang atasan sebanyak dua kali, Luna akhirnya pami
“Tapi sebaiknya kita makan dulu saja, ya,” kata Devan lagi sambil menatap Luna sekilas.“Sa–saya sudah makan, Pak,” jawab Luna terbata. Suaranya pelan sekali, nyaris tak terdengar. Demi apapun, jantungnya berdetak tidak karuan di dalam sana. Rasanya seperti ada batu besar yang menghantam dadanya. Andai mereka berdiri sangat dekat, mungkin Devan bisa mendengar jelas detak jantung Luna yang seakan menggedor-gedor keras dari dalam rongganya.“Tapi saya mau makan dulu. Tolong temani saya makan,” sahut Devan. Tanpa menunggu respon sang sekretaris baru, pria itu sudah melangkah santai menuju meja makan. Pelayan di rumahnya rupanya sudah menyiapkan makan malam untuknya.Luna akhirnya ikut menyusul, dia tampak ragu, seperti orang yang tidak yakin harus maju atau mundur. Ia berdiri canggung di samping Devan yang sudah lebih dulu duduk.“Kenapa kamu berdiri di situ? Duduklah. Kita makan malam dulu,” kata Devan sambil meraih sendok, tanpa menoleh sedikitpun ke arah Luna.“Sa–saya…” ucapan Luna
Devan hanya menggeleng pelan. Dia mengeluarkan map lalu menyuruh Arka untuk segera menandatanganinya. Arka sama sekali tidak membaca isinya, di sana tertulis jelas kalau Arkana menjadikan Luna sebagai jaminan atas uang dua miliar yang dipinjamnya. Dan selama uang itu belum dikembalikan, berarti Luna harus selalu ada setiap kali Devan membutuhkannya.“Sudah! Mana ceknya?” desak Arka. Ia langsung menyodorkan map yang sudah ia tanda tangani isinya kepada Devan, sahabat kecilnya itu. Ia harus buru-buru minta cek dua miliar itu pada Devan sebelum pria dihadapannya ini berubah pikiran.Devan meraih map tersebut lalu meneliti lagi, takut ada yang Arka lewati. “Kamu gak baca isi perjanjiannya?” tanya Devan menatap Arka.Dengan cepat Arka menggeleng. “Aku gak ada waktu buat baca isinya. Aku benar-benar butuh uang itu, cepat berikan uangnya,” jawabnya ketus.Devan menghela napas berat. “Artinya semua risiko ke depan akan kamu tanggung karena gak baca isi perjanjian ini?” Devan sekali lagi memas
Luna segera masuk ke kamarnya. Ia menutup pintu rapat-rapat lalu bersandar lemah pada daun pintu. Bahunya bergetar menahan tangis yang sejak tadi tidak juga reda. Air matanya terus jatuh, membasahi pipi yang sudah memerah karena terlalu sering diusap dengan telapak tangan.Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meski dalam benaknya masih terngiang tentang perselingkuhan suaminya yang baru ia ketahui. Bayangan wajah Arkana yang berciuman mesra dengan perempuan lain seolah menempel kuat di benaknya.Perlahan Luna melangkah menuju kamar mandi. Ia menyalakan keran, membiarkan air mengalir deras ke wajahnya. Air itu bercampur dengan sisa air mata, membuat kedua matanya terasa perih. Ia menatap wajahnya di cermin, melihat bayangan dirinya dengan mata sembab dan wajah letih.“Aku harus kuat,” bisiknya lirih, meski hatinya hancur lebur. Luna bergegas membersihkan diri, menghapus semua jejak tangis yang tadi mengotori wajahnya.Setelah merasa sedikit lebih segar, Luna mengenakan p
“Kenapa kamu lakukan ini padaku, Mas? Kalau memang kamu sudah tak mencintaiku lagi, kenapa tidak kamu ceraikan aku lalu kamu nikahi pelacur itu?” teriak Luna pada sang suami. Air matanya mengalir deras tanpa bisa dicegah, dadanya terasa sesak seolah ada benda yang cukup besar menghimpitnya. Ia bahkan hampir sulit bernapas saat menyaksikan dengan mata kepala sendiri suaminya berciuman dengan perempuan lain di hadapannya. Apa ini yang selalu Arkana lakukan di kantor? Apa ini alasannya hingga Arkana tak betah ada di rumah? Namun tak ada satupun dari pertanyaan itu menemukan jawabannya. “Apa katamu? Cerai?” tanya Arkana sinis. Pria itu bangkit, berjalan mendekati Luna dengan tatapan penuh amarah. Tangannya yang besar menjepit rahang kecil istrinya sampai membuat Luna meringis. “Kamu tidak pantas memintaku menceraikanmu. Kamu berhutang budi pada keluargaku, ingat itu, Luna! Siapa yang membiayai pengobatan mendiang Ayahmu, huh? Kalau bukan keluargaku mungkin Ayahmu sudah mati muda. J
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments