MERTUA RASA MADU

MERTUA RASA MADU

last updateLast Updated : 2025-08-14
By:  Ria AbdullahUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel12goodnovel
Not enough ratings
12Chapters
58views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

sebagai menantu aku mencoba menjadi yang terbaik untuk ibu mertua dan berbakti pada suamiku sebagai satu-satunya anak dari ibu mertua. Aku benar-benar menyayangi orang tua suamiku layaknya Ibuku sendiri tapi wanita itu belakangan ini mulai menganggapku sebagai saingan. Dia tidak melihatku sebagai menantu tapi menganggapku sebagai beban anaknya wanita yang akan menguras gaji putranya dan berbahagia di atas penderitaan lelaki itu padahal tidak sama sekali. Mertuaku yang suka berhalusinasi dan lebih mementingkan dirinya sendiri mulai ingin memisahkanku dengan suami

View More

Chapter 1

1. mertua

Dari sekian lama menikah, akhirnya aku tidak mampu memendam lagi semua rasa benci dan penderitaan, lama-lama mental dan kewarasanku tergerus karena selalu menahan sakit hati, sakit hati oleh perbuatan kerabat suamiku.

Mestinya sebagai menantu wanita yang tahu diri, harusnya aku taat, patuh, dan berbakti tanpa perlu bertanya atau interupsi. Dan itu kulakukan selama bertahun-tahun terakhir, namun sekarang, sudah cukup.

"Mas ...."

"Ada apa?"

"Sebaiknya jangan beri aku makan lagi, berikan semua uangmu pada ibumu," ujarku mengembalikan uang belanja yang dia berikan dua hari yang lalu, aku sudah muak dengan cara pembagian yang tidak adil, cenderung pelit.

"Memangnya kenapa?"

"Aku putus asa Mas," jawabku menggeleng pelan.

"Karena apa?"

"Gajimu, sebagian besarnya kau berikan pada ibumu, sebagian lagi untuk kebutuhan pribadimu, sementara aku dan anakku, hanya dapat 800 perbulan," balasku.

"Memangnya kenapa?" tanyanya mengernyit, "bukankah selama ini uang belanjamu hanya segitu?"

"Kalau mau jujur, itu sama sekali tidak cukup! Aku harus membeli beras, sabun dan susu anakmu, lauk hanya telur dan kerupuk, sementara aku harus menahan itu selama sebulan, sedang kau lebih sering makan di rumah ibumu," balasku.

"Ya, wajar dong, Sayang, namanya juga rumah orang tua, kalo aku mampir, ya, sekalian makan, supaya kamu gak repot masak di rumah."

"Lalu bagaimana denganku, tidakkah kau pikir aku juga ingin makan enak?"

"Ya, beli dong Sayang, aku gak larang," jawabnya melengos sambil melanjutkan makan, sikapnya masih santai, seakan aku sedang bercanda..

"Masalahnya aku tidak punya uang," jawabku setengah malu, entah kenapa harus secanggung ini padahal dia adalah suamiku

"Uang yang aku kasih, kamu kemana kan?"

Sepertinya pria ini memang tidak bisa diberi pengertian, apa sulitnya untuk memahami bahwa uang yang diberikannya tidak cukup?

"Kalau begitu mulai sekarang kamu yang beli beras, sembako, kebutuhan rumah, popok dan susu bayi, juga ketika aku ingin membeli sesuatu seperti bedak atau jajan bakso, aku akan minta langsung darimu saja," jawabku dingin.

"Oh, aku paham ini ... kamu iri kan, kalau aku memberikan ibuku uang?" Dia langsung meletakkan sendok di meja makan.

"Tidak, aku hanya menuntut keadilan, aku ingin kau prioritaskan keluarga kecilku, dengan tidak mengesampingkan ibumu. Ada kami yang menunggu untuk dinafkahi dan disejahterakan. Jujur saja uang Rp.800.000 ketika aku masih sendiri dulu, hanya kuhabiskan dalam seminggu."

"Kau boros sekali," desisnya sinis.

"Bukan begitu, aku bekerja, butuh pakaian, makanan, juga kosmetik dan sesekali hiburan, kugunakan semua uangku untuk memenuhi kebutuhan sendiri tapi karena sekarang aku telah bersuami, jadi praktis suamiku yang akan menafkahi istrinya," jawabku.

"Ya, itu kan ... aku sudah memberimu uang," jawabnya mengulang hal tadi.

"Kurang."

"Kalau begitu cari solusi agar bisa lebih."

"Pulanglah kau ke rumah ibumu agar aku mencari pekerjaan sendiri. Berikan semua uang ini padanya dan katakan, lebih baik dia yang mengelola."

"Hah, apaan kamu?" Dia mulai emosi dan terlihat kesal ia berdiri dan siap melayangkan tangan.

"Apa, mau pukul Mas? ayo pukul, kau tidak suka aku mengungkapkan keberatan hatiku 'kan?"

"Kurasa kau terlalu mendramatisir masalah, setahun belakangan semuanya berjalan normal dan kita masih bahagia. Ada apa dengan sekarang?" Dia menggeleng tak habis pikir.

"Perhatikan makanan yang terhidang di meja, itu semua diantar ibumu setiap pagi, kau pikir apa sebabnya? dia protektif, tak percaya pelayananku.

Aku telah membuatkan sarapan, tapi kau tidak pernah memakannya. Aku pikir itu tidak enak sehingga aku membagikannya ke tetangga, tapi menurut mereka masakanku enak, jadi apa yang salah?"

"Tidak ada, aku hanya suka makanan ibuku!"

"Dengan tidak mau makan masakanku itu artinya kau tidak menghargaiku, begitupun pakaianmu, meski aku sudah mencuci dan menyetrikanya dengan rapi kau tetap memakai pakaian yang dipilihkan ibumu. Segala sesuatu harus tentang keputusan dan keinginannya? Lihat segala isi rumah ini, perabotan, warna gorden, pemilihan sofa bahkan aksesoris ruangan, semuanya adalah pilihan ibumu!" Aku mengoceh tanpa koma, meledak bak tabung yang tak mampu lagi menahan tekanan. Aku meledak, menggelegak dan tak terkendali.

"Tidak ada yang salah jika dia menunjukkan kasih sayang kepada anak dan menantunya, memberikan perhatian kepada rumah kita, karena dia merasa perlu melakukan itu." Mas Dirga selalu membelanya.

"Aku paham semua orang mencintai ibunya, mereka akan membela dengan segala argumen yang ada. Tapi satu hal yang aku sesalkan, harusnya dari awal, jika kau hidup mengandalkan ibumu saja, sebaiknya tidak perlu menikah!"

Prang!

Aku terkejut, kaget dan nyaris terjatuh ke belakangku.

Piring beserta makanan yang ada di dalamnya langsung tumpah dilempar Mas Dirga ke lantai.

"Kamu mulai keterlaluan ya," ujarnya sambil menuding wajahku.

Aku mendelik menatap ujung jarinya, sementar anak kami menangis di kereta karena syok, aku langsung meraih untuk menggendong Fais dan berusaha duduk menenangkan tanpa mengatakan apapun. Kebencianku sudah sampai diambang batas.

"Aku akan berangkat kerja sekarang, aku tidak akan memperpanjang perdebatan ini demi menjaga keutuhan rumah tangga kita," balasnya mengambil tas kerja dan pergi begitu saja.

"Iya, berikanlah hasil kerjamu semuanya padanya, jika kau mendapatkan kabar baik atau buruk ceritakan juga padanya jangan padaku, seperti kebiasanmu," gumamku pelan.

"Jangan keterlaluan Mega, cukup katakan saja apa yang kau inginkan!"

"Berikan aku nafkah sesuai dengan kebutuhan yang ada, aku tidak mau berpikir 1000 kali atau gemetar saat meminta sesuatu bahkan untuk membeli pakaian dalamku, aku butuh tanggung jawabmu sebagai suami," tegasku lantang.

"Hah, baru sekarang kau protes Mariana? entah apa yang terjadi pada otakmu hari ini," gumamnya sambil menjauh, membanting pintu dan menyalakan motornya lalu mengebut.

Aku hanya bisa membuang nafas kasar sambil memperhatikan piring yang berserakan di lantai, sementara bayiku masih terus menangis di pelukan. Aku benar-benar bosan berada dalam keadaan seperti ini. Aku tertekan. Aku geram dengan sikap Ibu Lina, seharusnya ibu mertua bersikap selayaknya mertua, saja tidak perlu harus ikut campur sampai ke urusan paling intim dalam rumah tangga anaknya.

Kini, aku sungguh merasa bahwa mertuaku seperti maduku.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
12 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status