Marcel juga sadar keadaan Raya yang tak berpakaian "layak.
Dengan tangan gemetar dan keringat dingin, pria itu pun perlahan membuka selimut yang membungkus tubuh gadis itu.Meski tidak ingin melihat, tapi kedua matanya terbelalak lebar saat mendapati banyak bercak merah dan bekas gigitan di sekujur tubuh bagian atas milik wanita itu."Kamu memang bajingan Marcel! Kamu iblis!" desis Marcel memejamkan mata dan mengepalkan kedua tangannya dengan kuat.Ia tidak dapat membayangkan betapa gadis di depannya itu sangat ketakutan saat itu.
Selesai memakaikan baju, Marcel bergegas membopong tubuh Raya keluar dari kamar. Dia tidak ingin membuatnya sampai terlambat membawa gadis itu ke rumah sakit.
"Peter!"Setengah berlari menuruni tangga, Marcel berteriak memanggil nama sang asisten.Seorang pria muda langsung datang dengan tergopoh-gopoh.Menahan rasa terkejutnya melihat sang tuan membopong tubuh seorang gadis Peter pun bertanya, "Ada apa, Tuan?""Cepat siapkan mobil!"Mendengar perintah itu, Peter langsung melesat keluar dan menyiapkan mobil untuk sang tuan yang sedang di landa kecemasan."Mau di bawa ke mana, Tuan?""Kuburan!"Peter nyaris tersedak ludahnya sendiri. Suasana horor tiba-tiba saja begitu terasa di dalam mobil."Tentu saja ke rumah sakit! Ke mana lagi?!" teriak Marcel--nyaris hilang kesabaran.Peter segera menelan ludahnya. Sang tuan terlihat kacau di pagi buta begini, salah sedikit saja Peter yang bakal jadi sasaran empuk kemarahannya."Baik, Tuan. Apa tidak sebaiknya kita bawa saja ke rumah sakit milik Helena, Tuan?" usul Peter hati-hati."Kalau begitu cepatlah!" sentak Marcel. Dia tidak peduli kerabatnya itu akan bertanya macam-macam. Yang jelas, Marcel tidak ingin menjadi pembunuh saat ini. Terlebih, ia melihat Raya yang menggigil sambil terus meracau tidak karuan.
Tanpa banyak berkata, ia pun membetulkan selimut yang menutupi tubuh Raya.
*****Begitu sampai di depan rumah sakit, Marcel langsung menendang pintu mobil menggunakan kaki panjangnya.Pria itu lalu bergegas turun. Setengah berlari, Marcel membopong tubuh Raya masuk ke dalam rumah sakit yang langsung disambut oleh beberapa perawat dan Dokter jaga."Silakan baringkan pasien di sini, Tuan," ucap seorang Dokter jaga.Marcel tidak bergeming. Pria itu masih berdiri kokoh di tempatnya, tanpa mengindahkan permintaan Dokter jaga itu."Tuan!""Aku ingin Dokter Helena yang menanganinya," kekeh Marcel, tanpa mau menurunkan tubuh Raya dari gendongannya."Maaf, Tuan. Dokter Helena sedang mengunjungi pasien kritis dan beliau—""Aku tidak mau tahu!" potong Marcel dengan cepat. Tak lupa, ia menatap tajam Dokter jaga di depannya."Marcel!"Semua langsung menoleh ke arah pintu.Tanpa menunggu, Marcel pun bergegas membaringkan tubuh Raya ke atas brankar, begitu melihat kedatangan Dokter Helena."Cepat tangani dia!" "Apa yang terjadi?" tanya Dokter Helena, tanpa mengalihkan fokusnya pada tubuh pasien di depannya.Marcell terdiam seribu bahasa. Lidahnya begitu terasa kelu untuk menjawab pertanyaan itu.Merasakan keanehan pria di hadapannya, Dokter Helena lantas mendorong tubuh Marcel agar keluar dari ruangan.
"Kau sebaiknya keluar dulu." Tak lama, perempuan cantik itu menutup pintu untuk segera melakukan tindakan.*******
Dengan langkah gontai, Marcel pun menuju kursi tunggu pasien lalu menjatuhkan bobot tubuhnya ke atas kursi tersebut.Tak lama, Peter pun menghampiri tuannya dan ikut duduk di sampingnya."Tuan, sebenarnya apa yang terjadi?" Peter bertanya dengan sangat hati-hati.Marcel hanya menghela nafas panjang. Pria itu masih setia memejamkan matanya sambil bersandar ke belakang.Prang!Marcel langsung menegakkan tubuhnya begitu mendengar suara keributan dan benda pecah dari dalam ruang UGD.Pria itu bergegas masuk tanpa berpikir untuk mengetuk pintu terlebih dahulu.Melihat pemandangan di depannya, tubuh Marcel langsung membeku seketika."Apa yang .... terjadi?" Suara Marcel serak. Ia tidak mampu untuk melanjutkannya lagi."Seharusnya aku yang bertanya kepadamu!" sentak Dokter Helena, menatap tajam ke arah Marcel."Jangan mendekat! Jangan sentuh aku! Jangan sentuh aku!" Raya menjerit histeris. Kedua matanya bergerak liar ke sana kemari seolah melihat hantu di depannya.Di tangannya, terdapat sebuah pisau bedah yang sangat tajam. Perempuan itu seolah siap mengarahkan kepada siapa saja yang mencoba mendekatinya."Marcel! Hati-hati!" pekik Dokter Helena begitu Marcel nekat untuk mendekat."Jangan mendekat!" Raya kembali berteriak dengan tatapan nyalang ke arah Marcel."Ssstt, tenanglah. Aku tidak akan menyakitimu, jangan takut," bujuk Marcel.Pria itu berkata dengan lembut sambil terus mendekat. Hanya sebuah pisau bedah, bahkan butir peluru pun sudah sering Marcel rasakan.Hanya saja, Raya semakin menatap nyalang ke arah Marcel. Aura kebencian dan amarah begitu terpancar jelas di wajahnya yang pucat pasi."Bajingan! Jangan mendekat! Atau aku akan membunuhmu!" ancam Raya."Kau harus sembuh lebih dulu, jika ingin membunuhku," kata Marcel dengan tenang."Jangan mendekat aku bilang! Jangan mendekat!" Raya semakin histeris.Dengan membabi-buta, wanita itu mengayunkan pisau bedah di tangannya ke arah Marcel.Tap!Dengan mudah, Marcel dapat mencekal tangan Raya. Lalu, dengan cepat, pria itu merebut pisau bedah itu lantas membuangnya ke sembarang arah.
Marcel kemudian membawa Raya ke dalam pelukannya dengan gerakan lembut."Lepas! Jangan sentuh aku! Lepaskan aku biadab!" Raya terus meronta di dalam pelukan Marcel.Memukul, menampar bahkan menggigit bahu Marcel.Semua orang begitu ngeri melihat pemandangan itu. Namun, Marcel tetap tenang.Pria itu justru mendekap erat tubuh Raya. "Ssstt, tenanglah. Jangan takut, aku tidak akan menyakitimu," bisik Marcel.Lagi, Marcel kembali melangkah keluar dengan gontai. Pria itu duduk di kursi tunggu dengan wajah kuyu dan pikiran tidak menentu.Siang nanti adalah hari pertunangannya dengan Celina, tapi hari ini dia melihat luka di wajah wanita lain karena perbuatannya."Tuan...."Marcel seketika mendongak, menatap wajah sang asisten pribadi yang berdiri di hadapannya."Ada apa?" tanya Marcel tidak bersemangat."Acara pertunangan Anda akan digelar beberapa jam lagi. Sebaiknya, Tuan segera bersiap," jawab Peter dengan hati-hati.Marcel mengusap wajahnya kasar, sedikit mendongak ke atas sembari menghela nafas panjang dengan kedua mata terpejam.Dari kecil, ia sudah dididik akan sikap tanggung jawab. Tidak mungkin ia akan membiarkan wanita yang sudah di sakiti olehnya begitu saja. Namun, bila membatalkan acara pertunangannya dengan Celina demi wanita lain, itu juga seperti lari dari tanggung jawab!"Kita bisa mengurusnya nanti. Aku akan meminta Helena untuk menanganinya terlebih dahulu. Sekarang yang
Marcel memeluk erat tubuh Raya dari belakang. Terlambat sedikit saja sudah dapat dipastikan jika Marcell akan melihat mayat wanita itu saat ini."Tolong jangan berpikir untuk mengakhiri hidup. Aku bersalah padamu. Kalau kau mengakhiri hidup, maka aku adalah orang yang paling bersalah," ucap Marcel dengan suara bergetar, penuh penyesalan.Raya sontak menangis. Tubuhnya bergetar di dalam pelukan Marcel. Rasa bersalah pria itu semakin terasa, mendengar tangis pilu yang nyaring di telinganya."Maafkan aku. Aku bersalah padamu." Bergetar suara Marcel kembali meminta maaf meski pria itu tahu bahwa berjuta kata maaf pun tidak akan mampu mengobati luka yang begitu perih dan amat membekas di hati wanita itu.Benar saja, rangis pilu itu kembali terdengar, menumpuk rasa bersalah dan penyesalan di hati Marcel.Perlahan Marcel mengurai pelukannya, memutar tubuh saling berhadapan.Terenyuh hatinya menatap wajah rapuh wanita itu. Mengabaikan tatapan membunuh yang sarat akan kebencian dari wanita di
"Tuan, luka Anda mengeluarkan darah."Marcel kembali mengenakan jas hitam yang baru saja dilepasnya, begitu mendengar perkataan Peter."Jangan perdulikan aku. Bergegaslah!" titah Marcel. Ia tidak ingin keadaanya membuat sang asisten terganggu konsentrasinya. "Bantu aku menyiapkan alasan yang tepat untuk Celina nanti.""Baik, Tuan ... Anda tidak perlu kuatir," sahut Peter.Kembali, asisten itu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Hingga tidak lama kemudian, mereka sudah tiba kembali di depan klinik Dokter Helena."Dia terus saja mengamuk minta pulang, aku terpaksa memberinya obat penenang lagi," terang Dokter Helena, begitu melihat Marcel muncul dari balik pintu."Kau sudah melakukan yang terbaik," ucap Marcel. Langkahnya terhenti di sisi ranjang, menatap iba wanita yang sedang terlelap. Wajah pucat dengan mata sembab, sisa air mata bahkan membekas di wajahnya."Sebaiknya, kau membawanya ke Psikiater. Aku kuatir kondisi kejiwaannya semakin buruk." Dokter Helena mencoba memberi
Begitu tiba di apartemen, Peter langsung membukakan pintu untuk tuannya. Bergegas kemudian membuka pintu kamar Marcel, tidak ingin sang tuan berlama-lama menunggu.Dengan gerakan lembut Marcel membaringkan tubuh Raya ke atas tempat tidur besar miliknya. Ia pun lalu ikut membaringkan diri di samping wanita itu.Sungguh melelahkan. Tidak hanya menguras tenaga dan pikiran, bahkan seharian ini waktu Marcel habis terkuras untuk mengurus Raya."Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Marcel.Wajah kuyu itu terlihat pucat, selain karena darah yang terus merembes keluar dari lukanya, sejak pagi Marcel bahkan belum menelan sebutir makanan pun, kecuali beberapa suap makanan di rumah Celina saat acara pertunangannya sore tadi.Merasa ada pergerakan di sampingnya, Marcel langsung memutar lehernya. Pandangan mata mereka bertemu, sesaat. Tidak ingin membuat wanita itu ketakutan dengan kehadirannya, Marcel segera bangkit, lalu berdiri di sisi tempat tidur."Maaf, aku harus membawamu pulang ke ap
"Aku akan menikahimu.""Raya menengadah. Mengurai pelukan Marcel di tubuhnya. Duduk menjauh dari laki-laki itu.Tersenyum miris.Menikah?Raya kembali tergugu dalam tangis."Bahkan aku di culik tepat di hari pernikahanku, sebelum sempat mendengar suara ijab qabul dari calon suamiku."Marcel terhenyak. Mematung di tempatnya, seolah ada sebongkah batu besar yang menghimpit dadanya.Apalagi ini? Dia tidak hanya merenggut sesuatu yang begitu berharga milik wanita itu, tapi dia juga telah menghancurkan hari pernikahannya.Maaf?Marcel sudah tidak mampu lagi untuk mengucap kata maaf kepada wanita malang itu. Tapi setidaknya ia punya niat tulus untuk meminta maaf."Aku sudah menghancurkan hidupmu. Bagaimana aku bisa mengantarmu pulang?" tanya Marcel dengan suara bergetar."Kau hanya perlu mengantarku sampai di batas kota. Setelah itu, kau boleh pergi." jawab Raya, lirih.Wanita itu kemudian bangkit, melangkah seperti mayat hidup ke kamar. Membiarkan setiap langkahnya mengusik pikiran Marcel
Chiiit!Peter menginjak pedal rem secara mendadak, nyaris saja ia menabrak seekor anjing yang tiba-tiba saja melintas di depan mobilnya."Shit!"Peter mengumpat kesal."Tuan. Apakah anda baik-baik saja?" tanya Peter dengan nada cemas.Dari balik kaca spion di depannya, Peter dapat melihat jika Marcel semakin terlihat pucat. Pria itu senantiasa memejamkan matanya dengan menyandarkan kepala ke belakangDan Raya yang terbangun karna mendengar Peter mengumpat. Wanita itu kembali dibuat terkejut begitu menyadari jika dirinya sudah berpindah tempat ke dalam mobil dan berbaring di atas pangkuan Marcel.Wanita itu buru-buru bangkit lantas menggeser tubuhnya menjauh dari Marcel."Nona! Anda sudah bangun? Bisakah aku minta tolong kepadamu?" tanya Peter tanpa mengalihkan fokusnya dalam mengemudi.Raya hanya diam tidak berniat untuk menjawab pertanyaan Peter. Gadis itu lebih memilih untuk menikmati pemandangan ke luar jendela."Nona! Aku mohon! Tuan Marcel sedang tidak sehat. Bisakah kau periksa
Suasana kembali berubah hening. Tidak ada jawaban yang terlontar dari mulut Raya, sedangkan Marcel pria itu jadi merasa sangat bersalah atas apa yang telah diucapkannya barusan."Maaf," lirih Marcel.Namun Raya masih tetap diam, asyik dengan pikirannya sendiri."Apa kau tidak lapar?" tanya Marcel melirik ke arah gadis di sampingnya.Raya tidak menjawab. Gadis itu justru mengalihkan pandangan matanya keluar jendela.Marcel tidak kurang akal, mencari cara agar suasana tetap mencair."Berapa lama perjalanan yang harus kita tempuh untuk sampai ke rumahmu?" Marcel kembali bertanya. "Mungkin memakan waktu sekitar tujuh sampai 8 jam," jawab Raya tanpa mengalihkan pandangannya."Tujuh sampai delapan jam?" gumam Marcel sedikit terkejut.Saat ini waktu sudah menunjukkan jam 11 malam, Marcel berpikir mungkin mereka akan bermalam di jalan nanti.Jika tahu begini mungkin Marcel akan memilih menggunakan helikopter pribadinya daripada harus menggunakan mobil, apalagi kondisinya sedang tidak baik-b
Tangis haru menyelimuti keluarga Hutama menyambut kepulangan Raya pagi itu. Tak terkecuali, Hanum. Ibu tiri yang sangat menyayangi Raya selama ini.Wanita paruh baya itu terlihat sangat sedih melihat penampilan Raya yang terlihat pucat dan kurus, meski baru beberapa hari gadis itu menghilang."Kamu kemana, sayang? Mengapa kamu menghilang di hari pernikahan kamu? Apa yang terjadi, Nak? Apa ada yang menyakitimu?"Berbagai pertanyaan terlontar dari mulut bu Hanum. Wanita itu tidak kuasa melihat Raya yang menangis pilu dalam pelukannya."Sudah, Bu. Sebaiknya bawa Raya ke kamarnya dulu untuk membersihkan diri dan beristirahat. Anak kita butuh waktu untuk menenangkan diri," ujar pak Hutama, mengusap bahu dua perempuan yang sangat di sayanginya itu.Bu Hanum mengangguk, sembari mengusap air mata di wajahnya."Ayo, sayang. Kita ke kamar dulu. Ibu akan siapkan makanan dan teh hangat buat kamu."Wanita paruh baya itu kemudian menuntun Raya untuk ke kamarnya. Menyiapkan air hangat di bathtub unt