Share

02 | Lamaran

Author: Rish Alra
last update Last Updated: 2022-11-27 20:40:23

"Lihat, sayang! Revan itu serius mencintai kamu. Kamu tidak bisa menilai Revan seperti itu." Ibu Jovanka membela Revan. 

Revan cukup senang karena wanita itu mau membantunya keluar dari masalah ini. Akan tetapi, rasa kesalnya pada Jovanka masih belum hilang. Perempuan itu bisa-bisanya membawanya ke dalam situasi merepotkan seperti ini.

Dia pasti sengaja.

"Kamu serius?" tanya Jovanka pada Revan. "Tapi ... kenapa aku melihat kamu seperti terpaksa?" lanjutnya ekspresi polos.

Revan merapatkan bibirnya. Jika tidak ada orang tuanya dan orang tua perempuan itu, Revan pasti sudah menampar Jovanka karena sikap sok polosnya itu. Bagaimana pun juga, Revan tahu perempuan itu memang berniat mempersulit Revan, dan membuat Revan tersudut oleh keadaan.

"Aku tidak terpaksa. Aku serius melamar kamu." Revan tidak mengatakan yang sesungguhnya. Jelas, dia berbohong. Jika dia diijinkan berkata jujur, dia akan berteriak dan mengatakan, 

'Ya, aku terpaksa! Mana sudi aku menikah dengan kamu!'

"Oh. Tapi aku masih tidak mau," jawab Jovanka acuh.

Dia membuat amarah Revan semakin mendidih. Sebenarnya apa mau perempuan ini? Bahkan Revan saja tidak sudi menikah dengannya. dia juga terpaksa. Jika bukan karena desakan orang tuanya, Revan tidak akan datang ke sini.

"Kamu bisa memikirkannnya lebih dulu. Tidak perlu langsung menolak. Kamu mungkin akan menyesal." Revan berusaha bicara dengan tulus. Walau tangannya di bawah meja terkepal kuat, menahan getaran emosi.

Perempuan sialan!

"Tapi, aku berpikir sebaliknya. Justru kalau aku menerima kamu, aku akan menyesal seumur hidup aku," balas Jovanka.

"Cukup." Suara tegas Ayah Jovanka menghentikan perdebatan itu. Semua perhatian seketika terarah pada pria yang duduk di samping Jovanka itu.

"Sampai di sini saja pembicaraan kita tentang ini. Biarkan saya bicara dengan putri saya."

****

Jovanka tidak menyangka, meski dirinya sudah menolak lamaran itu, ayahnya justru mendesaknya untuk menerima. Jovanka sesaat tidak bisa berkata-kata. Dia kecewa karena ayahnya memaksanya menikah dengan Revan. Padahal Jovanka sudah mengatakan jika ia tidak ingin menikah dengan pria itu.

"Ayah."

"Cukup, Jo!" seru ayah Jovanka tegas.

Jovanka sudah mencoba membujuknya. Tapi percuma, Ayah-nya tidak mau mendengarkannya lagi. Padahal tadi dia berkata akan menyerahkan keputusan padanya. Lalu, kenapa sekarang dia justru memaksa kehendaknya?

"Ayah akan menerima pinangan Revan. Dan kamu tetap akan menikah dengan dia." Keputusan Ayah Jovanka sudah bulat. Dia tidak akan merubah keputusannya meski Jovanka merengek semalaman sekalipun.

Kedua mata Jovanka melebar kaget.

"Ayah tidak bisa begitu! Ayah egois!"

Ayah Jovanka berhenti melangkah, dia menghela napas dengan berat. Pria tua itu berbalik dan menatap putrinya dengan teduh. "Ayah hanya ingin yang terbaik untuk kamu."

"Bullshit! Pria seperti Revan bahkan lebih buruk dari pria mana pun," balas Jovanka mencebik.

"Jovanka." Ayah Jovanka tidak menyangka putrinya akan menilai Revan seburuk itu. "Apa kamu lupa jika Revan adalah pria yang kamu kejar selama ini?"

"Aku kemarin terkena virus gila hingga tidak bisa berpikir jernih," kilah Jovanka asal. Dia enggan mengingat memorinya saat mengejar Revan dulu. Dirinya yang dulu sungguh memalukan. 

"Aku pasti sudah tidak waras karena mengejar pria jelek sepertinya."

Gumamannya itu masih bisa ditangkap dengan jelas oleh sang Ayah. 

Ayah Jovanka tampak menatap putrinya aneh. Ini sedikit mencurigakan. Putrinya berubah hanya dalam waktu semalam. Padahal ia masih ingat kemarin Jovanka masih sangat tergila-gila pada pria yang baru datang melamar tadi. Ocehannya hanya berpusat pada Revan dan Revan. Seolah dunianya hanya diisi oleh pria itu.

Tapi, lihatlah sekarang. Jovanka bahkan terlihat jijik saat melihat Revan datang. Dia tidak lagi bersikap manis pada pria yang ia cintai itu. Tidak lagi menjaga senyumnya. Jovanka bahkan menolak saat Revan datang untuk meminangnya sebagai istri.

"Apa yang terjadi padamu, sayang? Apa kamu sakit?" Ayah Jovanka mendekat, dia terlihat khawatir. Pria itu meletakkan punggung tangannya di kening putrinya. Mencoba mencari tahu apa putrinya sedang sakit saat ini. Tapi, suhu tubuh putrinya terasa normal. Tidak ada yang aneh.

Atau mungkin ... kepala putrinya sempat terpentok sesuatu hingga otaknya kini bermasalah?

"Jo, ayo kita ke rumah sakit!"

"Ayah, apa yang ayah lakukan?" Jovanka menahan kakinya untuk tetap di tempat saat Ayahnya mencoba menariknya keluar. 

Ada apa dengan ayahnya itu? Kenapa tiba-tiba mengajaknya ke rumah sakit? Jovanka tidak merasa sakit sama sekali. Dia benar-benar sehat.

"Ayah rasa ada yang salah dengan otakmu." Ayah Jovanka bicara dengan serius. Tapi ada sorot kekhawatiran di kedua matanya. 

Entah Jovanka harus terharu atau menangis mendengar ini. 

"Ayah merasa sikap kamu yang sekarang benar-benar berbeda dari sebelumnya."

"Ayah, apa Ayah berpikir aku sudah gila?"

****

Setelah bicara dengan Ayah-nya, Jovanka memutuskan untuk ke luar, mencari udara segar. Dia tidak bisa marah pada Ayah-nya yang menganggap perubahannya sangat aneh. Pria itu bahkan berpikir ada yang salah dengan otaknya.

Jovanka menghela napas berat. 

Memang sebesar itu pengaruh perubahan dirinya di masa sekarang? Padahal Jovanka hanya ingin memperbaiki masa lalunya. 

"Ternyata kamu di sini."

Suara itu, suara yang sangat tidak ingin didengar oleh Jovanka. Dia menoleh, dan melihat Revan berjalan menghampirinya.

Jovanka cepat-cepat berdiri dari posisinya. Dia juga membersihkan sisa debu yang menempel di bagian belakangnya karena ia duduk di rerumputan sebelumnya.

"Ada apa?" tanya Jovanka pada Revan.

"Apa kamu masih harus bertanya?" Revan mendengus sinis. Dia merasa Jovanka hanya berpura-pura bodoh sekarang. "Tentang lamaran itu, kenapa kamu menolaknya?"

"Ini masih tentang lamaran konyol itu?" Dahi Jovanka mengernyit. 

Kenapa semua orang terus membicarakan perihal lamaran itu? Padahal jelas-jelas Jovanka sudah menegaskan jika dia tidak mau menerimanya.

"Lamaran konyol?" Revan tampak tersinggung. "Jo, dengarkan aku. Aku memang tidak menyukai kamu. Tapi aku di sini dengan niat baik karena kedua orang tuaku. Seharusnya kamu bisa menghargai itu. Tidak seharusnya kamu menolak. Kamu pasti bahagia karena pada akhirnya bisa menjadi istriku, kan?"

Jovanka mengerjap, lalu tawanya pecah seketika. 

Revan yang melihat itu termangu tidak mengerti. Bagian mana dari ucapannya yang dianggap lucu? Dia serius saat mengatakan semua itu.

"Apa kamu memang senarsis itu? Percaya diri sekali jika aku akan bahagia dipinang oleh mu?" Jovanka membalas dengan senyum sinis di wajahnya. Dia bicara tepat setelah tawanya mereda. Kata-kata Revan terlalu menggelitik hingga Jovanka tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.

"Seperti apa yang kamu katakan, kamu itu terpaksa menikahiku. Kamu tidak perlu memaksakan diri. Aku yakin, kedua orang tua kamu akan mengerti saat kamu bilang, kamu tidak menyukai perempuan ini." Jovanka menunjuk dirinya di akhir kalimatnya. Semua akan berjalan lebih mudah jika saja Revan mau diajak bekerja sama untuk menggagalkan pernikahan mereka.

Kedua mata Revan memincing curiga, "Kenapa kamu begitu ngotot untuk menolak lamaranku?"

"Karena kamu tidak pantas."

Revan terbelalak. Apa yang baru saja perempuan itu katakan?

"Pria brengsek sepertimu tidak layak menjadi suamiku."

****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Wanita yang Kembali ke Masa Lalu   100 | Akhir

    Setelah badai, selalu ada pelangi. Jovanka pikir, kata-kata itu hanya omong kosong belaka. Karena sejak dulu kehidupannya selalu menyedihkan, tanpa ada setitik pun cahaya kebahagiaan di dalamnya. Tapi sekarang, setelah melalui semuanya, Jovanka sadar, memang semua ada saatnya. Ia yang telah lama berkubang dalam luka, berteman dengan rasa sakit, kini memiliki banyak kebahagiaan yang patut untuk disyukuri. Kehidupannya menjadi lebih indah. Di cuaca yang gelap sekali pun, ia selalu merasakan suasana hati yang cerah. Perceraian itu tidak pernah terjadi. Akhirnya setelah berhasil membuktikan kesungguhannya, Revan kembali padanya. Pria itu memperlakukan Jovanka dengan sangat baik. Ia memberikan begitu banyak cinta dan perhatian, hingga Jovanka merasa ia diperlakukan seperti perempuan paling istimewa. Pria itu terlalu sering memeluknya, dan kerap kali mencium keningnya. Revan tidak pernah absen melakukan hal kecil itu setiap hari. Tapi hal itu membuat perasaan Jovanka menghangat. Setiap h

  • Wanita yang Kembali ke Masa Lalu   99 | Kembali

    Sudah tiga jam, tapi pembukaannya sama sekali tidak bertambah. Jovanka masih bertahan dengan rasa sakitnya. Sebisa mungkin ia berusaha menahan, tapi rasanya membuat ia semakin ingin melarikan diri dari rasa sakit ini.“Aku tidak tahan,” ucapnya dengan nada tertahan.“Bersabarlah, Nona. Ini sudah biasa dilalui setiap Ibu hamil. Sebentar lagi Anda akan segera menemui bayi kecil anda.” Seorang perawat yang bersamanya berusaha menghibur dan menenangkan.Meski begitu, Jovanka tidak merasa terbantu. Mereka semua yang berada di sana seolah tidak peduli pada rasa sakitnya. Andaikan saja di sini ada suaminya, Jovanka pasti akan sedikit memiliki kekuatan untuk melalui semua ini.“Sakit,” ringisnya.“Jika terlalu lama, kita terpaksa menyuntikkan obat perangsang supaya pembukaan bergerak dengan cepat. Tapi, rasa sakit yang Anda rasakan akan semakin kuat.” Seorang dokter yang menanganinya bertanya dengan keputusannya.Tapi, Jovanka tidak bisa memberikan jawaban. Ia malah ingin menangis. Ia memang

  • Wanita yang Kembali ke Masa Lalu   98 | Melahirkan (2)

    “Tuan Razka.”Razka menyorot tajam seseorang yang menerobos masuk ke ruang kerjanya tanpa permisi. Ia bahkan tidak mendengar suara ketukan pintu sebelumnya.“Kamu pikir ini rumahmu? Bisa seenaknya saja masuk sembarang.”“Maafkan aku, tuan.” Anak buahnya itu menunduk merasa bersalah. Ia juga takut akan menerima murka tuannya itu. Tapi saat ini ia terlalu panik hingga tidak bisa memikirkan apa yang ia lakukan. Ia berharap tuannya tidak mempermasalahkan kesalahan kecil yang ia lakukan ini. “Aku … membawa kebar penting.”“Kabar apa?” Razka bertanya dengan wajahnya yang masih menunjukkan kekesalan. “Jika tidak benar-benar penting menurutku, maka bersiaplah kehilangan pekerjaanmu.”Keringan dingin langsung bercucuran di wajah pria itu. Ekspresi wajahnya bahkan sudah sangat pucat.“Aku-““Bicaralah sebelum kesabaranku habis!” bentak Razka. Ia sudah sangat kesal dengan sikap anak buahnya itu, dan sekarang ia masih harus diuji kesabaran dengan mendengar nada bicaranya yang mendadak gagu.“No-n

  • Wanita yang Kembali ke Masa Lalu   97 | Melahirkan?

    “Awalnya memang sangat mengecewakan. Aku bahkan sempat berpikir dia tidak akan berhasil. Tapi sedikit demi sedikit dia mulai berubah. Dia mulai mengerti dan mau berusaha. Pekerjaannya menjadi semakin baik.”Danial mendengarkan laporan dari anak buahnya yang ia kirimkan untuk berada di sisi Revan. Dari orang itulah ia bisa mengetahui tentang perkembangan Revan.Bukan hanya membantu dan mengawasi, pria itu juga bertugas mengajari Revan tentang semua hal yang tidak ia ketahui. Dia dituntut untuk membuat Revan berkembang.“Berapa lama waktu yang ia butuhkan?” tanya Danial memastikan. Meski ia terlihat santai, bukan berarti dia tidak memikirkan putrinya. Danial pun mengawasi secara ketat tentang perkembangan Revan di sana. Ia juga ingin pria itu segera menyelesaikan pekerjaannya dan kembali ke sini untuk menemani putrinya.“Sejauh ini, semua sudah ditangani dengan baik, Tuan. Perusahaan sudah berjalan dengan normal seperti semula.”Senyum di wajah Danial terlukis. Ia benar-benar lega mende

  • Wanita yang Kembali ke Masa Lalu   96 | Kapan Dia Kembali

    Razka membuka pintu ruang kerja Ayahnya dengan kasar. Suara yang ia timbulkan bisa membuat orang yang mendengarnya terkejut. Tapi Danial yang berada di dalam tidak terlihat terusik sedikit pun. Ia masih berkutat dengan pekerjaannya.“Ayah.” Razka memanggil. Dia meletakkan kedua tangannya di meja, tepat di depan pria itu. Pandangannya terlihat menahan marah. Sepertinya Razka datang dalam suasana hati yang tidak begitu baik.“Ada apa?” sahut Danial terdengar dingin.“Kenapa Ayah masih bisa santai seperti ini?” tanya Razka geram. Ia mencoba menahan diri untuk tidak melempar semua benda yang ada di meja kerja Ayahnya itu. Namun, entah sampai kapan ia akan kuat menahan emosinya.“Memang aku harus bagaimana?” Danial menyahut dengan santai. Dia melepas kaca mata di wajahnya, dan mengelapnya sebentar. Dia melirik ke arah Razka yang masih tampak sangat marah.Putra sulungnya itu mendengus kasar.“Ini sudah berbulan-bulan, dan Adikku sebentar lagi akan melahirkan. Apa pria brengsek itu masih be

  • Wanita yang Kembali ke Masa Lalu   95 | Masuk Rumah Sakit Lagi

    Jovanka terjaga. Dia melihat tempat ia berada saat ini. Ia berada di rumah sakit. Rasanya tidak mengherankan, karena sejak ia mengandung, tempat ini menjadi lebih sering ia kunjungi.“Bagaimana keadaanmu, nak?”Suara Ayahnya mengejutkannya. Dia melihat pria itu mendekat.“Aku baik-baik saja, Ayah,” jawab Jovanka seadanya.“Ibumu sudah ku beri peringatan.” Danial sedikit menyesal membiarkan Jovanka pergi bersama Mona. Seharusnya ia saja yang menemani putrinya berbelanja. Meski antusias menyambut cucu pertamanya, Danial tidak mungkin sampai melupakan kondisi putrinya sendiri.“Aku tidak apa-apa, Ayah. Jangan marah pada Ibu,” ucap Jovanka menenangkan. Dia tidak ingin hubungan Ayah dan Ibunya memburuk hanya karena dirinya. Jovanka ingin saat anak pertamanya lahir, semua orang bisa menyambutnya dengan gembira. Dia tidak ingin ada masalah yang terjadi sebelum itu semua.Lagi pula ia mengerti, Ibunya hanya terlalu bersemangat menyambut cucu pertamanya.“Dia sudah keterlaluan, Jovanka. Jangan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status