Share

02 | Lamaran

"Lihat, sayang! Revan itu serius mencintai kamu. Kamu tidak bisa menilai Revan seperti itu." Ibu Jovanka membela Revan. 

Revan cukup senang karena wanita itu mau membantunya keluar dari masalah ini. Akan tetapi, rasa kesalnya pada Jovanka masih belum hilang. Perempuan itu bisa-bisanya membawanya ke dalam situasi merepotkan seperti ini.

Dia pasti sengaja.

"Kamu serius?" tanya Jovanka pada Revan. "Tapi ... kenapa aku melihat kamu seperti terpaksa?" lanjutnya ekspresi polos.

Revan merapatkan bibirnya. Jika tidak ada orang tuanya dan orang tua perempuan itu, Revan pasti sudah menampar Jovanka karena sikap sok polosnya itu. Bagaimana pun juga, Revan tahu perempuan itu memang berniat mempersulit Revan, dan membuat Revan tersudut oleh keadaan.

"Aku tidak terpaksa. Aku serius melamar kamu." Revan tidak mengatakan yang sesungguhnya. Jelas, dia berbohong. Jika dia diijinkan berkata jujur, dia akan berteriak dan mengatakan, 

'Ya, aku terpaksa! Mana sudi aku menikah dengan kamu!'

"Oh. Tapi aku masih tidak mau," jawab Jovanka acuh.

Dia membuat amarah Revan semakin mendidih. Sebenarnya apa mau perempuan ini? Bahkan Revan saja tidak sudi menikah dengannya. dia juga terpaksa. Jika bukan karena desakan orang tuanya, Revan tidak akan datang ke sini.

"Kamu bisa memikirkannnya lebih dulu. Tidak perlu langsung menolak. Kamu mungkin akan menyesal." Revan berusaha bicara dengan tulus. Walau tangannya di bawah meja terkepal kuat, menahan getaran emosi.

Perempuan sialan!

"Tapi, aku berpikir sebaliknya. Justru kalau aku menerima kamu, aku akan menyesal seumur hidup aku," balas Jovanka.

"Cukup." Suara tegas Ayah Jovanka menghentikan perdebatan itu. Semua perhatian seketika terarah pada pria yang duduk di samping Jovanka itu.

"Sampai di sini saja pembicaraan kita tentang ini. Biarkan saya bicara dengan putri saya."

****

Jovanka tidak menyangka, meski dirinya sudah menolak lamaran itu, ayahnya justru mendesaknya untuk menerima. Jovanka sesaat tidak bisa berkata-kata. Dia kecewa karena ayahnya memaksanya menikah dengan Revan. Padahal Jovanka sudah mengatakan jika ia tidak ingin menikah dengan pria itu.

"Ayah."

"Cukup, Jo!" seru ayah Jovanka tegas.

Jovanka sudah mencoba membujuknya. Tapi percuma, Ayah-nya tidak mau mendengarkannya lagi. Padahal tadi dia berkata akan menyerahkan keputusan padanya. Lalu, kenapa sekarang dia justru memaksa kehendaknya?

"Ayah akan menerima pinangan Revan. Dan kamu tetap akan menikah dengan dia." Keputusan Ayah Jovanka sudah bulat. Dia tidak akan merubah keputusannya meski Jovanka merengek semalaman sekalipun.

Kedua mata Jovanka melebar kaget.

"Ayah tidak bisa begitu! Ayah egois!"

Ayah Jovanka berhenti melangkah, dia menghela napas dengan berat. Pria tua itu berbalik dan menatap putrinya dengan teduh. "Ayah hanya ingin yang terbaik untuk kamu."

"Bullshit! Pria seperti Revan bahkan lebih buruk dari pria mana pun," balas Jovanka mencebik.

"Jovanka." Ayah Jovanka tidak menyangka putrinya akan menilai Revan seburuk itu. "Apa kamu lupa jika Revan adalah pria yang kamu kejar selama ini?"

"Aku kemarin terkena virus gila hingga tidak bisa berpikir jernih," kilah Jovanka asal. Dia enggan mengingat memorinya saat mengejar Revan dulu. Dirinya yang dulu sungguh memalukan. 

"Aku pasti sudah tidak waras karena mengejar pria jelek sepertinya."

Gumamannya itu masih bisa ditangkap dengan jelas oleh sang Ayah. 

Ayah Jovanka tampak menatap putrinya aneh. Ini sedikit mencurigakan. Putrinya berubah hanya dalam waktu semalam. Padahal ia masih ingat kemarin Jovanka masih sangat tergila-gila pada pria yang baru datang melamar tadi. Ocehannya hanya berpusat pada Revan dan Revan. Seolah dunianya hanya diisi oleh pria itu.

Tapi, lihatlah sekarang. Jovanka bahkan terlihat jijik saat melihat Revan datang. Dia tidak lagi bersikap manis pada pria yang ia cintai itu. Tidak lagi menjaga senyumnya. Jovanka bahkan menolak saat Revan datang untuk meminangnya sebagai istri.

"Apa yang terjadi padamu, sayang? Apa kamu sakit?" Ayah Jovanka mendekat, dia terlihat khawatir. Pria itu meletakkan punggung tangannya di kening putrinya. Mencoba mencari tahu apa putrinya sedang sakit saat ini. Tapi, suhu tubuh putrinya terasa normal. Tidak ada yang aneh.

Atau mungkin ... kepala putrinya sempat terpentok sesuatu hingga otaknya kini bermasalah?

"Jo, ayo kita ke rumah sakit!"

"Ayah, apa yang ayah lakukan?" Jovanka menahan kakinya untuk tetap di tempat saat Ayahnya mencoba menariknya keluar. 

Ada apa dengan ayahnya itu? Kenapa tiba-tiba mengajaknya ke rumah sakit? Jovanka tidak merasa sakit sama sekali. Dia benar-benar sehat.

"Ayah rasa ada yang salah dengan otakmu." Ayah Jovanka bicara dengan serius. Tapi ada sorot kekhawatiran di kedua matanya. 

Entah Jovanka harus terharu atau menangis mendengar ini. 

"Ayah merasa sikap kamu yang sekarang benar-benar berbeda dari sebelumnya."

"Ayah, apa Ayah berpikir aku sudah gila?"

****

Setelah bicara dengan Ayah-nya, Jovanka memutuskan untuk ke luar, mencari udara segar. Dia tidak bisa marah pada Ayah-nya yang menganggap perubahannya sangat aneh. Pria itu bahkan berpikir ada yang salah dengan otaknya.

Jovanka menghela napas berat. 

Memang sebesar itu pengaruh perubahan dirinya di masa sekarang? Padahal Jovanka hanya ingin memperbaiki masa lalunya. 

"Ternyata kamu di sini."

Suara itu, suara yang sangat tidak ingin didengar oleh Jovanka. Dia menoleh, dan melihat Revan berjalan menghampirinya.

Jovanka cepat-cepat berdiri dari posisinya. Dia juga membersihkan sisa debu yang menempel di bagian belakangnya karena ia duduk di rerumputan sebelumnya.

"Ada apa?" tanya Jovanka pada Revan.

"Apa kamu masih harus bertanya?" Revan mendengus sinis. Dia merasa Jovanka hanya berpura-pura bodoh sekarang. "Tentang lamaran itu, kenapa kamu menolaknya?"

"Ini masih tentang lamaran konyol itu?" Dahi Jovanka mengernyit. 

Kenapa semua orang terus membicarakan perihal lamaran itu? Padahal jelas-jelas Jovanka sudah menegaskan jika dia tidak mau menerimanya.

"Lamaran konyol?" Revan tampak tersinggung. "Jo, dengarkan aku. Aku memang tidak menyukai kamu. Tapi aku di sini dengan niat baik karena kedua orang tuaku. Seharusnya kamu bisa menghargai itu. Tidak seharusnya kamu menolak. Kamu pasti bahagia karena pada akhirnya bisa menjadi istriku, kan?"

Jovanka mengerjap, lalu tawanya pecah seketika. 

Revan yang melihat itu termangu tidak mengerti. Bagian mana dari ucapannya yang dianggap lucu? Dia serius saat mengatakan semua itu.

"Apa kamu memang senarsis itu? Percaya diri sekali jika aku akan bahagia dipinang oleh mu?" Jovanka membalas dengan senyum sinis di wajahnya. Dia bicara tepat setelah tawanya mereda. Kata-kata Revan terlalu menggelitik hingga Jovanka tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.

"Seperti apa yang kamu katakan, kamu itu terpaksa menikahiku. Kamu tidak perlu memaksakan diri. Aku yakin, kedua orang tua kamu akan mengerti saat kamu bilang, kamu tidak menyukai perempuan ini." Jovanka menunjuk dirinya di akhir kalimatnya. Semua akan berjalan lebih mudah jika saja Revan mau diajak bekerja sama untuk menggagalkan pernikahan mereka.

Kedua mata Revan memincing curiga, "Kenapa kamu begitu ngotot untuk menolak lamaranku?"

"Karena kamu tidak pantas."

Revan terbelalak. Apa yang baru saja perempuan itu katakan?

"Pria brengsek sepertimu tidak layak menjadi suamiku."

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status