"Lihat, sayang! Revan itu serius mencintai kamu. Kamu tidak bisa menilai Revan seperti itu." Ibu Jovanka membela Revan.
Revan cukup senang karena wanita itu mau membantunya keluar dari masalah ini. Akan tetapi, rasa kesalnya pada Jovanka masih belum hilang. Perempuan itu bisa-bisanya membawanya ke dalam situasi merepotkan seperti ini.
Dia pasti sengaja.
"Kamu serius?" tanya Jovanka pada Revan. "Tapi ... kenapa aku melihat kamu seperti terpaksa?" lanjutnya ekspresi polos.
Revan merapatkan bibirnya. Jika tidak ada orang tuanya dan orang tua perempuan itu, Revan pasti sudah menampar Jovanka karena sikap sok polosnya itu. Bagaimana pun juga, Revan tahu perempuan itu memang berniat mempersulit Revan, dan membuat Revan tersudut oleh keadaan.
"Aku tidak terpaksa. Aku serius melamar kamu." Revan tidak mengatakan yang sesungguhnya. Jelas, dia berbohong. Jika dia diijinkan berkata jujur, dia akan berteriak dan mengatakan,
'Ya, aku terpaksa! Mana sudi aku menikah dengan kamu!'
"Oh. Tapi aku masih tidak mau," jawab Jovanka acuh.
Dia membuat amarah Revan semakin mendidih. Sebenarnya apa mau perempuan ini? Bahkan Revan saja tidak sudi menikah dengannya. dia juga terpaksa. Jika bukan karena desakan orang tuanya, Revan tidak akan datang ke sini.
"Kamu bisa memikirkannnya lebih dulu. Tidak perlu langsung menolak. Kamu mungkin akan menyesal." Revan berusaha bicara dengan tulus. Walau tangannya di bawah meja terkepal kuat, menahan getaran emosi.
Perempuan sialan!
"Tapi, aku berpikir sebaliknya. Justru kalau aku menerima kamu, aku akan menyesal seumur hidup aku," balas Jovanka.
"Cukup." Suara tegas Ayah Jovanka menghentikan perdebatan itu. Semua perhatian seketika terarah pada pria yang duduk di samping Jovanka itu.
"Sampai di sini saja pembicaraan kita tentang ini. Biarkan saya bicara dengan putri saya."
****
Jovanka tidak menyangka, meski dirinya sudah menolak lamaran itu, ayahnya justru mendesaknya untuk menerima. Jovanka sesaat tidak bisa berkata-kata. Dia kecewa karena ayahnya memaksanya menikah dengan Revan. Padahal Jovanka sudah mengatakan jika ia tidak ingin menikah dengan pria itu.
"Ayah."
"Cukup, Jo!" seru ayah Jovanka tegas.
Jovanka sudah mencoba membujuknya. Tapi percuma, Ayah-nya tidak mau mendengarkannya lagi. Padahal tadi dia berkata akan menyerahkan keputusan padanya. Lalu, kenapa sekarang dia justru memaksa kehendaknya?
"Ayah akan menerima pinangan Revan. Dan kamu tetap akan menikah dengan dia." Keputusan Ayah Jovanka sudah bulat. Dia tidak akan merubah keputusannya meski Jovanka merengek semalaman sekalipun.
Kedua mata Jovanka melebar kaget.
"Ayah tidak bisa begitu! Ayah egois!"Ayah Jovanka berhenti melangkah, dia menghela napas dengan berat. Pria tua itu berbalik dan menatap putrinya dengan teduh. "Ayah hanya ingin yang terbaik untuk kamu."
"Bullshit! Pria seperti Revan bahkan lebih buruk dari pria mana pun," balas Jovanka mencebik.
"Jovanka." Ayah Jovanka tidak menyangka putrinya akan menilai Revan seburuk itu. "Apa kamu lupa jika Revan adalah pria yang kamu kejar selama ini?"
"Aku kemarin terkena virus gila hingga tidak bisa berpikir jernih," kilah Jovanka asal. Dia enggan mengingat memorinya saat mengejar Revan dulu. Dirinya yang dulu sungguh memalukan.
"Aku pasti sudah tidak waras karena mengejar pria jelek sepertinya."
Gumamannya itu masih bisa ditangkap dengan jelas oleh sang Ayah.
Ayah Jovanka tampak menatap putrinya aneh. Ini sedikit mencurigakan. Putrinya berubah hanya dalam waktu semalam. Padahal ia masih ingat kemarin Jovanka masih sangat tergila-gila pada pria yang baru datang melamar tadi. Ocehannya hanya berpusat pada Revan dan Revan. Seolah dunianya hanya diisi oleh pria itu.
Tapi, lihatlah sekarang. Jovanka bahkan terlihat jijik saat melihat Revan datang. Dia tidak lagi bersikap manis pada pria yang ia cintai itu. Tidak lagi menjaga senyumnya. Jovanka bahkan menolak saat Revan datang untuk meminangnya sebagai istri.
"Apa yang terjadi padamu, sayang? Apa kamu sakit?" Ayah Jovanka mendekat, dia terlihat khawatir. Pria itu meletakkan punggung tangannya di kening putrinya. Mencoba mencari tahu apa putrinya sedang sakit saat ini. Tapi, suhu tubuh putrinya terasa normal. Tidak ada yang aneh.
Atau mungkin ... kepala putrinya sempat terpentok sesuatu hingga otaknya kini bermasalah?
"Jo, ayo kita ke rumah sakit!"
"Ayah, apa yang ayah lakukan?" Jovanka menahan kakinya untuk tetap di tempat saat Ayahnya mencoba menariknya keluar.
Ada apa dengan ayahnya itu? Kenapa tiba-tiba mengajaknya ke rumah sakit? Jovanka tidak merasa sakit sama sekali. Dia benar-benar sehat.
"Ayah rasa ada yang salah dengan otakmu." Ayah Jovanka bicara dengan serius. Tapi ada sorot kekhawatiran di kedua matanya.
Entah Jovanka harus terharu atau menangis mendengar ini.
"Ayah merasa sikap kamu yang sekarang benar-benar berbeda dari sebelumnya."
"Ayah, apa Ayah berpikir aku sudah gila?"
****
Setelah bicara dengan Ayah-nya, Jovanka memutuskan untuk ke luar, mencari udara segar. Dia tidak bisa marah pada Ayah-nya yang menganggap perubahannya sangat aneh. Pria itu bahkan berpikir ada yang salah dengan otaknya.
Jovanka menghela napas berat.
Memang sebesar itu pengaruh perubahan dirinya di masa sekarang? Padahal Jovanka hanya ingin memperbaiki masa lalunya.
"Ternyata kamu di sini."
Suara itu, suara yang sangat tidak ingin didengar oleh Jovanka. Dia menoleh, dan melihat Revan berjalan menghampirinya.
Jovanka cepat-cepat berdiri dari posisinya. Dia juga membersihkan sisa debu yang menempel di bagian belakangnya karena ia duduk di rerumputan sebelumnya.
"Ada apa?" tanya Jovanka pada Revan.
"Apa kamu masih harus bertanya?" Revan mendengus sinis. Dia merasa Jovanka hanya berpura-pura bodoh sekarang. "Tentang lamaran itu, kenapa kamu menolaknya?"
"Ini masih tentang lamaran konyol itu?" Dahi Jovanka mengernyit.
Kenapa semua orang terus membicarakan perihal lamaran itu? Padahal jelas-jelas Jovanka sudah menegaskan jika dia tidak mau menerimanya.
"Lamaran konyol?" Revan tampak tersinggung. "Jo, dengarkan aku. Aku memang tidak menyukai kamu. Tapi aku di sini dengan niat baik karena kedua orang tuaku. Seharusnya kamu bisa menghargai itu. Tidak seharusnya kamu menolak. Kamu pasti bahagia karena pada akhirnya bisa menjadi istriku, kan?"
Jovanka mengerjap, lalu tawanya pecah seketika.
Revan yang melihat itu termangu tidak mengerti. Bagian mana dari ucapannya yang dianggap lucu? Dia serius saat mengatakan semua itu.
"Apa kamu memang senarsis itu? Percaya diri sekali jika aku akan bahagia dipinang oleh mu?" Jovanka membalas dengan senyum sinis di wajahnya. Dia bicara tepat setelah tawanya mereda. Kata-kata Revan terlalu menggelitik hingga Jovanka tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.
"Seperti apa yang kamu katakan, kamu itu terpaksa menikahiku. Kamu tidak perlu memaksakan diri. Aku yakin, kedua orang tua kamu akan mengerti saat kamu bilang, kamu tidak menyukai perempuan ini." Jovanka menunjuk dirinya di akhir kalimatnya. Semua akan berjalan lebih mudah jika saja Revan mau diajak bekerja sama untuk menggagalkan pernikahan mereka.
Kedua mata Revan memincing curiga, "Kenapa kamu begitu ngotot untuk menolak lamaranku?"
"Karena kamu tidak pantas."
Revan terbelalak. Apa yang baru saja perempuan itu katakan?
"Pria brengsek sepertimu tidak layak menjadi suamiku."
****
Revan menghampiri seseorang yang sudah menunggunya di salah satu kursi cafe. Wajah perempuan itu sudah terlihat kesal. Mungkin dia sudah terlalu lama menunggu. Wajar saja, Revan terlambat sepuluh menit dari waktu janjian mereka.Karena tidak ingin membuatnya semakin kesal, Revan memutuskan untuk mempercepat langkahnya."Maaf, sayang. Aku terjebak macet tadi," ucap Revan penuh sesal. Dia sudah berusaha sampai di tempat ini dengan cepat, tapi keadaan benar-benar tidak berpihak padanya. Revan harus menunggu sampai arus lalu lintas kembali lancar.Perempuan itu tidak menjawab. Raut wajahnya tidak berubah. Tampaknya dia belum bisa meredakan rasa kesalnya pada Revan.Melihat itu, Revan menghela napas. Dia meraih tangan perempuan itu, menatapnya penuh sayang."Savira, aku minta maaf." Tangan Revan terangkat untuk mengusap kepala kekasihnya itu. Tidak satu pun orang yang tahu jika Revan masih berhubungan dengan kekasihnya. Sejak orang tuanya menentang hubungan mereka, Revan tidak lantas memut
Jovanka benar-benar tidak berhenti mengatakan sumpah serapah di dalam hatinya. Karena Ayah-nya benar-benar serius saat mengatakan dia akan menerima lamaran Revan. Padahal Jovanka sudah melakukan banyak cara dalam membujuk kedua orang tuanya supaya mereka berpikir ulang untuk menerima lamaran Revan. Jovanka tidak ingin kembali terjebak dalam pernikahan yang sama. Bersama Revan, ia tidak akan pernah bahagia. Pria itu hanya akan membuatnya sengsara seumur hidup.Jovanka benci saat ia melihat Revan tepat di depan rumahnya. Pria itu datang menjemputnya untuk mencari gaun pengantin dan membicarakan segala hal tentang persiapan pernikahan mereka. Ini bukan pernikahan yang Jovanka inginkan, sehingga sulit baginya untuk tersenyum. Bahkan sejak tadi, wajahnya tertekuk tidak senang. Jovanka terpaksa ikut dengan Revan karena desakan orang tuanya. Tidak lupa mereka juga melayangkan ancaman yang membuat Jovanka tidak bisa berkutik.Raut wajah Jovanka sudah masam sejak tadi. Dia masuk ke dalam mobi
Savira berusaha tegar. Dia datang ke pernikahan kekasihnya sendiri. Sejak tadi, senyum di wajahnya terlukis dengan paksa. Dia menunjukkan jika dia baik-baik saja, padahal hatinya hancur melihat pemandangan di depan mata. Teman-temannya yang mengetahui suasana hati Savira yang sebenarnya, berusaha menenangkannya. Mereka mengelilinginya, dan memberinya banyak ucapan penyemangat. Mereka tidak ingin Savira bersedih karena ditinggal menikah oleh pria yang masih berstatus sebagai kekasihnya itu."Aku heran, kenapa Revan malah memilih menikah dengan perempuan lain?" tanya Marissa sinis. Dia menatap tak suka ke arah mempelai wanita yang duduk di atas podium tepat di samping Revan.Meski Marissa akui, perempuan itu cantik, tapi paras tidak berarti apa-apa jika dia perebut pacar orang."Lihatlah, mukanya yang busuk. Ah, aku sangat ingin mencakar wajahnya itu." Marissa menghela napas dengan kasar.Satu teman di sampingnya menyenggol bahunya untuk memperingati. "Hati-hati kamu kalo bicara. Jika
"Aku gak mau seranjang sama kamu!" pekik Jovanka.Mereka kini berada di kamar pengantin. Kamar yang sudah dihias sedemikian rupa itu tidak membuat suasana hati sepasang pengantin baru itu berbunga-bunga. Mereka justru malah bersitegang di malam pengantin mereka.Revan melonggarkan dasinya dengan gerakan kasar. Dia cukup lelah, dan kini masih harus menghadapi sikap menyebalkan istrinya."Kamu tidak perlu membuat keributan di malam pengantin kita," ucap Revan geram. Dia sedang tidak ingin bertengkar. Dia hanya ingin beristirahat. "Untuk malam ini saja, tolong jangan mempersulit keadaan. Aku lelah." Revan menghela napas. Dia beranjak ke kamar mandi.Tapi ucapan Jovanka membuat langkahnya berhenti."Kamu tidur di sofa. Dan aku akan tidur di ranjang.""Jovanka!""Aku tidak mau tidur denganmu. Dan aku juga tidak mau jika harus tidur di sofa." Jovanka merebahkan tubuhnya di ranjang, bersiap untuk tidur. Jovanka tidak peduli pada kemarahan Revan saat ini. "Jadi kamu yang harus mengalah."****
Revan keluar dari kamarnya dengan wajah kusut. Kantung hitam dengan jelas menghiasi kedua matanya. Revan berjalan dengan lelah, aura suram mengelilinginya, hingga tidak ada yang berani mendekat atau bahkan menyapanya.Hingga dia tiba di ruang makan. Di mana keluarganya dan keluarga istrinya sudah berkumpul untuk sarapan."Pagi.""Pagi," balas mereka semua. Mereka sama-sama menyimpan tanda tanya karena ekspresi Revan yang tidak biasa."Kakak terlihat lelah," cetus Adik Revan, bernama Venetta. Gadis berusia 17 tahun itu biasa dipanggil dengan sebutan Netta."Semalam aku tidak bisa tidur," jawab Revan. Pria itu menutup mulutnya dengan punggung tangan saat menguap. Dia masih belum cukup tidur, tapi hari ini ia harus mau bangun pagi. Pekerjaannya tidak boleh ditinggalkan. Apalagi Revan sudah memiliki seorang istri sekarang."Begadang, kak?" Netta menaik turunkan alisnya, berniat menggoda Revan. Tapi dia justru malah dihadiahi sentilan di dahinya.Netta mengaduh, dia cemberut pada ayahnya y
Hari ini, sepasang pengantin itu pindahan. Revan menjemput Jovanka di sebuah Caffe, mengajaknya untuk mengurus semua keperluan rumah. "Apa kamu sudah melihat apartemen yang akan kita tempati?" tanya Jovanka. Dia sudah berada di dalam mobil, tepat di samping Revan yang sedang mengemudi. Sebenarnya dia cukup malas bersama pria itu. Tapi, Jovanka terpaksa membiasakan diri. Karena ke depannya, dia pun akan sering terlibat interaksi dengannya. "Ya. Bagiku cukup nyaman," jawab Revan seadanya. Dia sudah mempersiapkan apartemen itu seminggu sebelum pernikahannya. Untuk berjaga-jaga, jika orang tua mereka meminta mereka tinggal bersama. Revan memilih untuk memiliki tempat tinggal sendiri. Jika dia sudah mempersiapkan rumah untuknya dan Jovanka, baik orang tuanya maupun orang tua Jovanka, tidak ada yang bisa memaksa. Revan bebas tinggal bersama Jovanka di rumah mereka sendiri. "Akan lebih bagus jika kamu bisa membereskan tempat itu." "Kenapa aku?" Jovanka tampak keberatan. "Apa kamu semiskin
Savira lekas mendekati Revan saat melihat pria itu datang ke kantor. Sudah cukup lama Savira menunggu, dia akhirnya bisa melihat pria itu."Revan."Savira tertegun. Dia baru bicara, tapi Revan langsung mengangkat tangannya, memberi instruksi pada Savira untuk diam tidak bersuara.Savira mungkin seharusnya berusaha mengerti, karena dia melihat Revan tengah menerima telepon dari seseorang. Tapi entah kenapa, dia tetap merasa sakit. Tujuannya menemui Revan adalah supaya Revan tidak lagi mengabaikannya. Tapi bahkan tindakan sekecil ini pun mampu membuat Savira sakit."Revan." Savira tidak menyerah. Dia menarik ujung pakaian Revan, berharap pria itu mau melihat ke arahnya. Tapi Revan menyingkirkan tangan Savira, dan tetap fokus dengan teleponnya.Savira mengepalkan kedua tangannya. Apa kini dia sudah bukan prioritas utama pria itu lagi? Kenapa Revan bisa-bisanya mengabaikan Savira seperti ini?"Ada apa? Apa kamu tidak lihat aku sedang menerima telepon?" cecar Revan setelah selesai dengan p
"Kamu seharusnya menungguku, bukannya memilih diantar oleh seorang pria asing."Jovanka memegangi pelipisnya. Dia pusing mendengar Revan yang mengikutinya sambil mengoceh. Apa pria itu masih belum puas mengeluarkan kekesalannya? Apa Revan tidak tahu jika Jovanka sama sekali tidak peduli dengan rasa keberatan Revan?"Cerewet!" Jovanka berbalik, menatap Revan dengan tajam. "Yang penting sekarang aku sudah berada di rumah. Untuk apa kamu masih mengomel?""Aku bicara seperti ini supaya kamu tidak mengulangi kesalahanmu itu," ucap Revan.Jovanka tertawa sembari mengibaskan tangannya tidak percaya. "Apa kamu yakin? Apa kamu akan benar-benar menghampiri aku saat aku sedang kesusahan?""Tentu saja. Bagaimana pun juga, kamu itu istriku," jawab Revan mantap."Istri terpaksa." Jovaka bergumam mencibir. Dia tahu Revan tidak pernah sepenuh hati mengakuinya. Bahkan dulu, pria itu tidak sudi menyebut Jovanka sebagai istrinya.Jika dulu Jovanka akan berusaha menjadi istri yang baik supaya Revan bisa