Revan menghampiri seseorang yang sudah menunggunya di salah satu kursi cafe. Wajah perempuan itu sudah terlihat kesal. Mungkin dia sudah terlalu lama menunggu. Wajar saja, Revan terlambat sepuluh menit dari waktu janjian mereka.
Karena tidak ingin membuatnya semakin kesal, Revan memutuskan untuk mempercepat langkahnya.
"Maaf, sayang. Aku terjebak macet tadi," ucap Revan penuh sesal. Dia sudah berusaha sampai di tempat ini dengan cepat, tapi keadaan benar-benar tidak berpihak padanya. Revan harus menunggu sampai arus lalu lintas kembali lancar.
Perempuan itu tidak menjawab. Raut wajahnya tidak berubah. Tampaknya dia belum bisa meredakan rasa kesalnya pada Revan.
Melihat itu, Revan menghela napas. Dia meraih tangan perempuan itu, menatapnya penuh sayang.
"Savira, aku minta maaf." Tangan Revan terangkat untuk mengusap kepala kekasihnya itu. Tidak satu pun orang yang tahu jika Revan masih berhubungan dengan kekasihnya. Sejak orang tuanya menentang hubungan mereka, Revan tidak lantas memutuskan hubungannya dengan Savira, dia memilih untuk melanjutkan hubungannya tanpa sepengetahuan orang tuanya.
"Kamu kemarin ke mana?" tanya Savira sendu. Kedua manik matanya mulai berkaca-kaca. Dia mendengar desas desus tentang Revan yang melamar perempuan lain. Sebagai kekasih Revan, tentu kabar itu menyakitkan bagi Savira. Dia tidak segera percaya. Savira lebih memilih menanyakannya secara langsung pada Revan.
"Aku ada urusan kemarin."
"Urusan? Melamar perempuan lain maksud kamu?"
Revan tertegun. Dia tidak menyangka berita itu akan sampai di telinga kekasihnya. Pantas saja ekspresi Savira terlihat tidak baik sejak awal. Tampaknya dia harus menjelaskannya pada Savira.
Revan menghembuskan napas berat. Dia yakin, berita yang terdengar itu sangat menyakitkan bagi Savira. Tapi Revan bersyukur, Savira masih mau menemuinya untuk mendengarkan penjelasannya. Setidaknya, Savira tidak langsung menyimpulkan segalanya sendiri.
"Aku terpaksa."
"Apapun itu, tetep tidak bisa merubah fakta kalau kamu akan menikah sama perempuan lain!" sentak Savira. Dia menyentak kedua tangannya hingga pegangan mereka terlepas. Dia merasa sakit hati. Hubungan mereka sudah berjalan hampir empat tahun. Seharusnya mereka sudah mempersiapkan diri untuk menikah. Tapi hal itu tidak bisa dilakukan karena orang tua Revan tidak merestui hubungan mereka. Savira harus menelan bulat-bulat kekecewaannya. Dan kini, ia mendengar kekasihnya telah melamar perempuan lain. Hati Savira semakin hancur.
"Kamu tidak memikirkan perasaan aku? Aku pacar kamu, Van." Suara Savira terdengar tertahan. Dia berusaha keras untuk tidak menangis. Tapi kedua matanya tidak bisa bekerja sama. Air matanya memenuhi kelopak matanya, siap untuk terjun membentuk sungai di wajahnya.
"Kamu malah melamar perempuan lain di saat hubungan kita masih berjalan. Kamu anggap aku apa?!" pekik Savira.
"Sayang, tenang dulu. Aku mohon." Revan berusaha membuat Savira meredakan emosinya. Dia tidak ingin menimbulkan keributan di tempat ini. Mereka hanya akan menjadi tontonan publik jika bertengkar di tempat umum seperti sekarang. "Kita bicarakan baik-baik."
"Tidak!" Savira berusaha menyingkirkan tangan Revan di kedua pundaknya. Tapi Revan tidak mau melepaskannya.
"Aku tidak mau kita jadi tontonan orang." Revan ingin Savira mengerti. Jika mereka tidak berhenti, mereka hanya akan mempermalukan diri sendiri.
Savira akhirnya tersadar. Dia pun memilih duduk kembali di tempatnya. Dia mencoba meredakan amarah yang ia rasakan.
Revan benar, jika dia tidak bisa mengendalikan emosinya, dia hanya akan menimbulkan masalah untuk dirinya sendiri.
"Dengerkan aku." Revan memegang kedua tangan Savifa di atas meja. "Aku tidak punya perasaan apapun pada perempuan itu. Tidak sama sekali." Pria itu mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Tidak ada perempuan lain yang ia cintai selain perempuan di depannya saat ini.
"Lalu, kenapa kamu melamar dia?" tanya Savira sedih. Mendengar kekasihnya melamar perempuan lain, membuat hatinya hancur. Tapi, dia masih harus mendengarkan penjelasan Revan. Dia yakin Revan memiliki alasan.
"Orang tua aku yang memaksa, Savira." Revan menghela napas tidak berdaya. Walau dia sudah menolak dengan tegas, orang tuanya tetap memiliki seribu satu cara untuk memaksanya menikahi perempuan pilihan mereka itu. "Tapi aku berjanji, pernikahan ini tidak akan berlangsung lama. Setelah satu tahun, aku akan menceraikannya."
Savira tersentak kaget.
"Apa kamu yakin?"
Bercerai bukan perkara mudah. Tapi Revan mengatakan itu seolah apa yang ia katakan bukan masalah berarti.
"Ya. Ini demi kamu." Revan mengambil satu tangan Savira, mendaratkan satu kecupan di punggung tangannya. "Aku akan menikahi kamu setelah itu."
"Apa aku juga harus menunggu selama itu?" Savira tersenyum getir. "Satu tahun itu bukan waktu yang singkat, Revan."
"Aku mohon, sayang. Aku mohon, tunggu aku." Revan tidak akan melepaskan Savira begitu saja. Dia masih sangat mencintai perempuan itu. Revan tidak masalah menikahi perempuan yang tidak ia cintai, jika itu demi Savira. Revan akan melakukannya asalkan ia bisa bersama kekasihnya itu.
"Aku tidak yakin." Savira tidak tahu, apakah ia akan bisa sesabar itu menunggu Revan. Dia mungkin bisa menerima segala keadaan Revan. Tapi menyaksikan sendiri perubahan status Revan menjadi seorang pria beristri, apakah Savira masih bisa memandang Revan seperti sebelumnya?
"Percaya padaku." Revan menggenggam kedua tangan Savira dengan erat. Dia berusaha keras meyakinkan kekasihnya itu. "Kalau kamu ragu, aku akan menikahi kamu beberapa bulan setelah pernikahanku bersama perempuan itu."
Kedua mata Savira melebar karena terkejut. Dia tidak menyangka Revan begitu nekat.
"Apa kamu gila?"
"Itu lebih baik dari pada aku harus kehilangan kamu," ucap Revan tanpa ragu. Dengan menikahi Savira, kekasihnya itu tidak akan mungkin melangkah pergi meninggalkannya.
"Lalu, bagaimana dengan orang tua kamu?" tanya Savira bimbang. Apa Revan tidak memikirkan perasaan kedua orang tuanya? Apa yang Revan lakukan mungkin juga akan menimbulkan banyak masalah.
"Akan aku pikirkan nanti. Kamu tidak perlu terlalu khawatir." Revan mengusap kepala kekasihnya itu. Dia tidak ingin Savira terlalu memikirkan masalah pernikahan Revan, yang bahkan ia sendiri tidak menginginkannya. Jika bukan karena ancaman orang tuanya, Revan pasti sudah berontak sekarang. "Yang perlu kamu lakukan sekarang hanya percaya padaku. Dan tunggu aku untuk menikahi kamu."
Sudut bibir Savira tertarik membentuk senyuman tulus. Dia bersyukur memiliki kekasih seperti Revan. Pria itu memiliki visual yang indah. Dia banyak dikagumi para wanita. Salah satunya adalah Savira sendiri. Beruntungnya, di antara banyaknya wanita, Revan memilihnya untuk dijadikan kekasih.
Savira pun merasakan ketulusan Revan. Pria itu benar-benar mencintainya sepenuh hati. Sama seperti perasaan Savira untuk pria itu.
Meski mereka memiliki banyak rintangan dalam hubungan mereka, Revan masih mau berjuang demi dirinya. Revan tidak mau melepaskannya dengan mudah. Perasaan Savira pada Revan semakin menguat. Savira semakin yakin, jika pilihannya tidak pernah salah.
Dia mencintai pria itu. Dan mungkin akan selamanya seperti itu.
****
Jovanka benar-benar tidak berhenti mengatakan sumpah serapah di dalam hatinya. Karena Ayah-nya benar-benar serius saat mengatakan dia akan menerima lamaran Revan. Padahal Jovanka sudah melakukan banyak cara dalam membujuk kedua orang tuanya supaya mereka berpikir ulang untuk menerima lamaran Revan. Jovanka tidak ingin kembali terjebak dalam pernikahan yang sama. Bersama Revan, ia tidak akan pernah bahagia. Pria itu hanya akan membuatnya sengsara seumur hidup.Jovanka benci saat ia melihat Revan tepat di depan rumahnya. Pria itu datang menjemputnya untuk mencari gaun pengantin dan membicarakan segala hal tentang persiapan pernikahan mereka. Ini bukan pernikahan yang Jovanka inginkan, sehingga sulit baginya untuk tersenyum. Bahkan sejak tadi, wajahnya tertekuk tidak senang. Jovanka terpaksa ikut dengan Revan karena desakan orang tuanya. Tidak lupa mereka juga melayangkan ancaman yang membuat Jovanka tidak bisa berkutik.Raut wajah Jovanka sudah masam sejak tadi. Dia masuk ke dalam mobi
Savira berusaha tegar. Dia datang ke pernikahan kekasihnya sendiri. Sejak tadi, senyum di wajahnya terlukis dengan paksa. Dia menunjukkan jika dia baik-baik saja, padahal hatinya hancur melihat pemandangan di depan mata. Teman-temannya yang mengetahui suasana hati Savira yang sebenarnya, berusaha menenangkannya. Mereka mengelilinginya, dan memberinya banyak ucapan penyemangat. Mereka tidak ingin Savira bersedih karena ditinggal menikah oleh pria yang masih berstatus sebagai kekasihnya itu."Aku heran, kenapa Revan malah memilih menikah dengan perempuan lain?" tanya Marissa sinis. Dia menatap tak suka ke arah mempelai wanita yang duduk di atas podium tepat di samping Revan.Meski Marissa akui, perempuan itu cantik, tapi paras tidak berarti apa-apa jika dia perebut pacar orang."Lihatlah, mukanya yang busuk. Ah, aku sangat ingin mencakar wajahnya itu." Marissa menghela napas dengan kasar.Satu teman di sampingnya menyenggol bahunya untuk memperingati. "Hati-hati kamu kalo bicara. Jika
"Aku gak mau seranjang sama kamu!" pekik Jovanka.Mereka kini berada di kamar pengantin. Kamar yang sudah dihias sedemikian rupa itu tidak membuat suasana hati sepasang pengantin baru itu berbunga-bunga. Mereka justru malah bersitegang di malam pengantin mereka.Revan melonggarkan dasinya dengan gerakan kasar. Dia cukup lelah, dan kini masih harus menghadapi sikap menyebalkan istrinya."Kamu tidak perlu membuat keributan di malam pengantin kita," ucap Revan geram. Dia sedang tidak ingin bertengkar. Dia hanya ingin beristirahat. "Untuk malam ini saja, tolong jangan mempersulit keadaan. Aku lelah." Revan menghela napas. Dia beranjak ke kamar mandi.Tapi ucapan Jovanka membuat langkahnya berhenti."Kamu tidur di sofa. Dan aku akan tidur di ranjang.""Jovanka!""Aku tidak mau tidur denganmu. Dan aku juga tidak mau jika harus tidur di sofa." Jovanka merebahkan tubuhnya di ranjang, bersiap untuk tidur. Jovanka tidak peduli pada kemarahan Revan saat ini. "Jadi kamu yang harus mengalah."****
Revan keluar dari kamarnya dengan wajah kusut. Kantung hitam dengan jelas menghiasi kedua matanya. Revan berjalan dengan lelah, aura suram mengelilinginya, hingga tidak ada yang berani mendekat atau bahkan menyapanya.Hingga dia tiba di ruang makan. Di mana keluarganya dan keluarga istrinya sudah berkumpul untuk sarapan."Pagi.""Pagi," balas mereka semua. Mereka sama-sama menyimpan tanda tanya karena ekspresi Revan yang tidak biasa."Kakak terlihat lelah," cetus Adik Revan, bernama Venetta. Gadis berusia 17 tahun itu biasa dipanggil dengan sebutan Netta."Semalam aku tidak bisa tidur," jawab Revan. Pria itu menutup mulutnya dengan punggung tangan saat menguap. Dia masih belum cukup tidur, tapi hari ini ia harus mau bangun pagi. Pekerjaannya tidak boleh ditinggalkan. Apalagi Revan sudah memiliki seorang istri sekarang."Begadang, kak?" Netta menaik turunkan alisnya, berniat menggoda Revan. Tapi dia justru malah dihadiahi sentilan di dahinya.Netta mengaduh, dia cemberut pada ayahnya y
Hari ini, sepasang pengantin itu pindahan. Revan menjemput Jovanka di sebuah Caffe, mengajaknya untuk mengurus semua keperluan rumah. "Apa kamu sudah melihat apartemen yang akan kita tempati?" tanya Jovanka. Dia sudah berada di dalam mobil, tepat di samping Revan yang sedang mengemudi. Sebenarnya dia cukup malas bersama pria itu. Tapi, Jovanka terpaksa membiasakan diri. Karena ke depannya, dia pun akan sering terlibat interaksi dengannya. "Ya. Bagiku cukup nyaman," jawab Revan seadanya. Dia sudah mempersiapkan apartemen itu seminggu sebelum pernikahannya. Untuk berjaga-jaga, jika orang tua mereka meminta mereka tinggal bersama. Revan memilih untuk memiliki tempat tinggal sendiri. Jika dia sudah mempersiapkan rumah untuknya dan Jovanka, baik orang tuanya maupun orang tua Jovanka, tidak ada yang bisa memaksa. Revan bebas tinggal bersama Jovanka di rumah mereka sendiri. "Akan lebih bagus jika kamu bisa membereskan tempat itu." "Kenapa aku?" Jovanka tampak keberatan. "Apa kamu semiskin
Savira lekas mendekati Revan saat melihat pria itu datang ke kantor. Sudah cukup lama Savira menunggu, dia akhirnya bisa melihat pria itu."Revan."Savira tertegun. Dia baru bicara, tapi Revan langsung mengangkat tangannya, memberi instruksi pada Savira untuk diam tidak bersuara.Savira mungkin seharusnya berusaha mengerti, karena dia melihat Revan tengah menerima telepon dari seseorang. Tapi entah kenapa, dia tetap merasa sakit. Tujuannya menemui Revan adalah supaya Revan tidak lagi mengabaikannya. Tapi bahkan tindakan sekecil ini pun mampu membuat Savira sakit."Revan." Savira tidak menyerah. Dia menarik ujung pakaian Revan, berharap pria itu mau melihat ke arahnya. Tapi Revan menyingkirkan tangan Savira, dan tetap fokus dengan teleponnya.Savira mengepalkan kedua tangannya. Apa kini dia sudah bukan prioritas utama pria itu lagi? Kenapa Revan bisa-bisanya mengabaikan Savira seperti ini?"Ada apa? Apa kamu tidak lihat aku sedang menerima telepon?" cecar Revan setelah selesai dengan p
"Kamu seharusnya menungguku, bukannya memilih diantar oleh seorang pria asing."Jovanka memegangi pelipisnya. Dia pusing mendengar Revan yang mengikutinya sambil mengoceh. Apa pria itu masih belum puas mengeluarkan kekesalannya? Apa Revan tidak tahu jika Jovanka sama sekali tidak peduli dengan rasa keberatan Revan?"Cerewet!" Jovanka berbalik, menatap Revan dengan tajam. "Yang penting sekarang aku sudah berada di rumah. Untuk apa kamu masih mengomel?""Aku bicara seperti ini supaya kamu tidak mengulangi kesalahanmu itu," ucap Revan.Jovanka tertawa sembari mengibaskan tangannya tidak percaya. "Apa kamu yakin? Apa kamu akan benar-benar menghampiri aku saat aku sedang kesusahan?""Tentu saja. Bagaimana pun juga, kamu itu istriku," jawab Revan mantap."Istri terpaksa." Jovaka bergumam mencibir. Dia tahu Revan tidak pernah sepenuh hati mengakuinya. Bahkan dulu, pria itu tidak sudi menyebut Jovanka sebagai istrinya.Jika dulu Jovanka akan berusaha menjadi istri yang baik supaya Revan bisa
"Kamu masih marah?" Savira tidak menjawab. Dia sibuk memasukkan belanjaannya ke dalam keranjang. Tapi Revan tampaknya tidak menyerah, pria itu masih mengikuti Savira dari belakang. Ini salah Revan. Dia yang melupakan janjinya hingga membuat Savira menunggu selama dua jam di depan kantor dengan sia-sia. Seharusnya jika tidak bisa datang, Revan mengabarinya, bukan membiarkan Savira menunggu. Revan tidak tahu begitu malunya Savira harus berdiri di sana waktu itu, diperhatikan oleh orang yang lalu lalang, dengan pandang bertanya-tanya. Jika bukan karena berpikir Revan akan segera menjemputnya, Savira tidak mungkin bertahan di sana. "Sayang," panggil Revan. Dia menahan tangan Savira supaya tidak lagi menghindarinya. Untungnya Savira lekas berhenti, dan berbalik menatap Revan dengan wajah masam. "Kamu mengecewakan aku, Revan." "Aku minta maaf." Revan mengusap wajah Savira dengan lembut. Dia benar-benar lupa akan janjinya dengan Savira. Karena berurusan dengan Jovanka kemarin, Revan ha