Share

03 | Kekasih Revan

Revan menghampiri seseorang yang sudah menunggunya di salah satu kursi cafe. Wajah perempuan itu sudah terlihat kesal. Mungkin dia sudah terlalu lama menunggu. Wajar saja, Revan terlambat sepuluh menit dari waktu janjian mereka.

Karena tidak ingin membuatnya semakin kesal, Revan memutuskan untuk mempercepat langkahnya.

"Maaf, sayang. Aku terjebak macet tadi," ucap Revan penuh sesal. Dia sudah berusaha sampai di tempat ini dengan cepat, tapi keadaan benar-benar tidak berpihak padanya. Revan harus menunggu sampai arus lalu lintas kembali lancar.

Perempuan itu tidak menjawab. Raut wajahnya tidak berubah. Tampaknya dia belum bisa meredakan rasa kesalnya pada Revan.

Melihat itu, Revan menghela napas. Dia meraih tangan perempuan itu, menatapnya penuh sayang.

"Savira, aku minta maaf." Tangan Revan terangkat untuk mengusap kepala kekasihnya itu. Tidak satu pun orang yang tahu jika Revan masih berhubungan dengan kekasihnya. Sejak orang tuanya menentang hubungan mereka, Revan tidak lantas memutuskan hubungannya dengan Savira, dia memilih untuk melanjutkan hubungannya tanpa sepengetahuan orang tuanya.

"Kamu kemarin ke mana?" tanya Savira sendu. Kedua manik matanya mulai berkaca-kaca. Dia mendengar desas desus tentang Revan yang melamar perempuan lain. Sebagai kekasih Revan, tentu kabar itu menyakitkan bagi Savira. Dia tidak segera percaya. Savira lebih memilih menanyakannya secara langsung pada Revan.

"Aku ada urusan kemarin."

"Urusan? Melamar perempuan lain maksud kamu?"

Revan tertegun. Dia tidak menyangka berita itu akan sampai di telinga kekasihnya. Pantas saja ekspresi Savira terlihat tidak baik sejak awal. Tampaknya dia harus menjelaskannya pada Savira.

Revan menghembuskan napas berat. Dia yakin, berita yang terdengar itu sangat menyakitkan bagi Savira. Tapi Revan bersyukur, Savira masih mau menemuinya untuk mendengarkan penjelasannya. Setidaknya, Savira tidak langsung menyimpulkan segalanya sendiri.

"Aku terpaksa."

"Apapun itu, tetep tidak bisa merubah fakta kalau kamu akan menikah sama perempuan lain!" sentak Savira. Dia menyentak kedua tangannya hingga pegangan mereka terlepas. Dia merasa sakit hati. Hubungan mereka sudah berjalan hampir empat tahun. Seharusnya mereka sudah mempersiapkan diri untuk menikah. Tapi hal itu tidak bisa dilakukan karena orang tua Revan tidak merestui hubungan mereka. Savira harus menelan bulat-bulat kekecewaannya. Dan kini, ia mendengar kekasihnya telah melamar perempuan lain. Hati Savira semakin hancur.

"Kamu tidak memikirkan perasaan aku? Aku pacar kamu, Van." Suara Savira terdengar tertahan. Dia berusaha keras untuk tidak menangis. Tapi kedua matanya tidak bisa bekerja sama. Air matanya memenuhi kelopak matanya, siap untuk terjun membentuk sungai di wajahnya.

"Kamu malah melamar perempuan lain di saat hubungan kita masih berjalan. Kamu anggap aku apa?!" pekik Savira.

"Sayang, tenang dulu. Aku mohon." Revan berusaha membuat Savira meredakan emosinya. Dia tidak ingin menimbulkan keributan di tempat ini. Mereka hanya akan menjadi tontonan publik jika bertengkar di tempat umum seperti sekarang. "Kita bicarakan baik-baik."

"Tidak!" Savira berusaha menyingkirkan tangan Revan di kedua pundaknya. Tapi Revan tidak mau melepaskannya.

"Aku tidak mau kita jadi tontonan orang." Revan ingin Savira mengerti. Jika mereka tidak berhenti, mereka hanya akan mempermalukan diri sendiri.

Savira akhirnya tersadar. Dia pun memilih duduk kembali di tempatnya. Dia mencoba meredakan amarah yang ia rasakan. 

Revan benar, jika dia tidak bisa mengendalikan emosinya, dia hanya akan menimbulkan masalah untuk dirinya sendiri.

"Dengerkan aku." Revan memegang kedua tangan Savifa di atas meja. "Aku tidak punya perasaan apapun pada perempuan itu. Tidak sama sekali." Pria itu mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Tidak ada perempuan lain yang ia cintai selain perempuan di depannya saat ini.

"Lalu, kenapa kamu melamar dia?" tanya Savira sedih. Mendengar kekasihnya melamar perempuan lain, membuat hatinya hancur. Tapi, dia masih harus mendengarkan penjelasan Revan. Dia yakin Revan memiliki alasan.

"Orang tua aku yang memaksa, Savira." Revan menghela napas tidak berdaya. Walau dia sudah menolak dengan tegas, orang tuanya tetap memiliki seribu satu cara untuk memaksanya menikahi perempuan pilihan mereka itu. "Tapi aku berjanji, pernikahan ini tidak akan berlangsung lama. Setelah satu tahun, aku akan menceraikannya."

Savira tersentak kaget. 

"Apa kamu yakin?"

Bercerai bukan perkara mudah. Tapi Revan mengatakan itu seolah apa yang ia katakan bukan masalah berarti.

"Ya. Ini demi kamu." Revan mengambil satu tangan Savira, mendaratkan satu kecupan di punggung tangannya. "Aku akan menikahi kamu setelah itu."

"Apa aku juga harus menunggu selama itu?" Savira tersenyum getir. "Satu tahun itu bukan waktu yang singkat, Revan."

"Aku mohon, sayang. Aku mohon, tunggu aku." Revan tidak akan melepaskan Savira begitu saja. Dia masih sangat mencintai perempuan itu. Revan tidak masalah menikahi perempuan yang tidak ia cintai, jika itu demi Savira. Revan akan melakukannya asalkan ia bisa bersama kekasihnya itu.

"Aku tidak yakin." Savira tidak tahu, apakah ia akan bisa sesabar itu menunggu Revan. Dia mungkin bisa menerima segala keadaan Revan. Tapi menyaksikan sendiri perubahan status Revan menjadi seorang pria beristri, apakah Savira masih bisa memandang Revan seperti sebelumnya?

"Percaya padaku." Revan menggenggam kedua tangan Savira dengan erat. Dia berusaha keras meyakinkan kekasihnya itu. "Kalau kamu ragu, aku akan menikahi kamu beberapa bulan setelah pernikahanku bersama perempuan itu."

Kedua mata Savira melebar karena terkejut. Dia tidak menyangka Revan begitu nekat.

"Apa kamu gila?"

"Itu lebih baik dari pada aku harus kehilangan kamu," ucap Revan tanpa ragu. Dengan menikahi Savira, kekasihnya itu tidak akan mungkin melangkah pergi meninggalkannya.

"Lalu, bagaimana dengan orang tua kamu?" tanya Savira bimbang. Apa Revan tidak memikirkan perasaan kedua orang tuanya? Apa yang Revan lakukan mungkin juga akan menimbulkan banyak masalah.

"Akan aku pikirkan nanti. Kamu tidak perlu terlalu khawatir." Revan mengusap kepala kekasihnya itu. Dia tidak ingin Savira terlalu memikirkan masalah pernikahan Revan, yang bahkan ia sendiri tidak menginginkannya. Jika bukan karena ancaman orang tuanya, Revan pasti sudah berontak sekarang. "Yang perlu kamu lakukan sekarang hanya percaya padaku. Dan tunggu aku untuk menikahi kamu."

Sudut bibir Savira tertarik membentuk senyuman tulus. Dia bersyukur memiliki kekasih seperti Revan. Pria itu memiliki visual yang indah. Dia banyak dikagumi para wanita. Salah satunya adalah Savira sendiri. Beruntungnya, di antara banyaknya wanita, Revan memilihnya untuk dijadikan kekasih.

Savira pun merasakan ketulusan Revan. Pria itu benar-benar mencintainya sepenuh hati. Sama seperti perasaan Savira untuk pria itu.

Meski mereka memiliki banyak rintangan dalam hubungan mereka, Revan masih mau berjuang demi dirinya. Revan tidak mau melepaskannya dengan mudah. Perasaan Savira pada Revan semakin menguat. Savira semakin yakin, jika pilihannya tidak pernah salah.

Dia mencintai pria itu. Dan mungkin akan selamanya seperti itu.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status