Share

Chapter 4

Berita kebakaran ruko kecil begitu tersebar dengan cepat, naasnya menelan 3 korban jiwa dan 2 orang luka-luka parah. Entah untung atau tidak, ruko itu terpisah beberapa langkah dari bangunan sebelahnya jadi apinya tidak merembet kemana-mana.

"Kebocoran gas?"

"Katanya begitu, tapi aku tidak tahu."

Reva dan Gina sedang berbincang di kelas menunggu Ratih datang. Mereka membahas tentang kebakaran tadi, ruko kecil itu tak jauh dari sekolah.

"Ayah bilang ada maling, ya .... Kebakaran itu untuk menghilangkan jejaknya, begitu." Gina menyampaikan apa ayahnya bilang tadi pagi sebelum dirinya berangkat sekolah.

Reva mengangguk paham, "Pintar juga, bisa dicontoh!" ucapnya yang mendapatkan sentilan dari Gina.

"Dasar bodoh."

Terlihat dari tempat mereka duduk Ratih yang berjalan masuk ke bangkunya, gadis itu tampak lesu dan kurang tidur.

"Kau belum sarapan ya?" tanya Gina setelah Ratih sampai.

Ratih hanya menggeleng.

"Astaga!" Gina mengeluarkan jajanan roti dan air mineral, menyodorkannya kepada Ratih, "Ini makanlah, kau seperti zombie! Pucat!"

"Awas digigit, rawr!" sahut Reva berlagak menggigit dengan ke-dua tangannya berpose mencakar.

Ratih menerimanya dan memakan dengan lemah, "Terimakasih Na," ucapnya lemah, sungguh pemandangannya membuat Reva dan Gina prihatin.

"Hei, jika ada apa-apa bilang saja ke kami. Jangan dipendam sendiri, oke?" ungkap Gina.

Ratih mengangguk memaksakan senyumnya, Reva mendekat dan memijat bahu Ratih perlahan.

"Kau ini terlalu mandiri, ayolah kami bukan orang asing!" kesal Reva, baginya Ratih terlalu tertutup sekarang dan menjaga jarak.

Mereka bertiga juga sudah jarang bermain bersama setelah naik kelas 11 saat itu, ya hanya beberapa kali tidak sering.

"Eh tanganmu kenapa?" Reva tidak sengaja melihat tangan Ratih yang terluka, luka itu seperti masih baru.

"Hm, tidak sengaja kena api pagi tadi." jawaban Ratih tidak memuaskan rasa penasaran Reva.

"Hah? Api apa?" tanya Gina.

"Tungku api, masak pagi."

Gina dan Reva mengangguk saja, dilihat-lihat luka itu seperti sulutan rokok.

"Eh, saat kau berangkat tadi lewat ruko yang kebakaran itu kan?" tanya Reva kepada Ratih.

"Ya? Kenapa?"

"Um, tak apa sebenarnya." Ratih mengelak, raut wajah Ratih tak enak di ajak berbincang begitu dingin dan datar mengintimidasi.

Ratih melanjutkan makannya, mereka bertiga sibuk dengan kegiatan masing-masing. Reva membaca sosial media dan Gina yang menyalin beberapa catatan dari teman sebelah.

Jam pertama dimulai, pelajaran sejarah terasa membosankan bila si pengajar tidak memiliki kemampuan bercerita yang enak. Reva sudah meletakkan kepalanya di meja sejak tadi, guru sejarah didepan juga tidak menghiraukan.

"Akhirnya! Bangun, bangun!" Teriakan Gina mengguncang punggung Reva.

"Hah kenapa? Ada apa?" Reva terbangun linglung, ilernya membasahi buku membuat Gina mengernyit jijik.

"Jorok sekali, payah! Cuci muka sana!"

Gina mendorong-dorong Reva dari bangkunya, menjauhkan buku dari area amannya. Ratih hanya diam dibelakang, gadis itu sibuk membaca melalui ponselnya.

Reva kesal dan berlalu dari sana, bagai anak kecil kakinya ia hentakkan setiap melangkah.

"Bocah itu ...," dengus Gina.

Gina menghadap ke belakang, ke arah Ratih sembari mengeluarkan beberapa berkas yang ia bawa.

"Aku menemukan ini di meja ayah, kuharap bisa membantu."

Ratih menerima berkas yang Gina sodorkan, "Departemen kesehatan Katula? Apa hubungannya?" Tanya gadis itu.

"Bacalah, kau akan ternganga setelahnya."

Ratih pun mulai membukanya, tidak ada yang aneh. Hanya informasi bangunan dan deskripsi lainnya.

"Lihat ini," tunjuk Gina saat Ratih membuka lembar berisi beberapa foto.

"Bukankah ini gedung di foto itu? Kau ingat tidak?" Pertanyaan Gina barusan membuat Ratih terdiam.

"Ini sangat membantu, terimakasih banyak!" ucap Ratih setelah menyadarinya.

Ratih dengan teliti membaca kembali, di sana tertulis Katula adalah nama dari departemen kesehatan tadi. Bukan rumah sakit atau puskesmas, ini seperti tempat swasta yang beroperasi di dunia kesehatan. Bangunannya mirip gedung di kota pada umumnya, dengan tingkat 7 dan satu lantai bawah tanah untuk parkir.

Departemen ini sudah beroperasi sejak 2007 hingga sekarang, tidak ada cabangnya hanya di satu tempat saja. Katula namanya, gedung yang digunakan juga bekas dari sebuah kantor yang entah tak tertulis jelas deskripsinya disana.

"Apakah ini asli? Maksudku apa tak apa kau ambil?" Tanya Ratih.

"Tenang, ini hanya fotocopy. Yang asli ku kembalikan setelah meng-copy nya," jelas Gina, semalam setelah ayahnya pergi gadis itu pergi ke ruang kerja sang ayah.

"Hah, baiklah. Maaf mencurigai ayahmu, disini tertulis bila Tuan Herdian Gairelo pemilik gedung ini."

Ada jeda sejenak sebelum Gina menjawab.

"Aku tahu, saat membacanya aku juga terkejut. Aku bingung, harus bagaimana?" Jelas Gina yang dibalas anggukan oleh Ratih.

"Kau yakin ayah mu tidak memasang CCTV di ruangan nya?"

"Em ya, sepertinya tidak. Hanya kita bertiga dirumah, untuk apa? Bibi juga orang kepercayaan ayah sejak aku kecil."

Ratih merenung sejenak, baginya ini sedikit aneh.

"Em baiklah. Tak ada hal yang aneh kutemui di sini, tapi bolehkah ku bawa?" Pinta Ratih.

"Ya, tentu. Aku memang membawanya untukmu, sepertinya masih ada hal lain yang mungkin bisa kubawa kan." Gina menengadah keatas, menatap langit-langit kelas yang indah dengan hiasan bulan dan bintang.

"Ya, terimakasih sekali lagi. Ah, aku ingin menunjukkan sesuatu."

Gina beranjak dan duduk di sebelah Ratih, gadis itu ikut melihat sesuatu yang Ratih tunjukkan.

"Ini adalah gadis yang ku lihat di toilet kemarin, aku mendengar percakapannya dengan seseorang melalui telepon. Mereka membicarakan ku, meski aku tidak terlalu paham."

"Hm, membicarakan mu? Apa?" Gina masih kebingungan.

"Hanya bertanya kenal aku atau tidak, sepertinya gadis itu berniat untuk kenalan."

"Jangan-jangan seorang penggemar?" Tanya Gina.

"Itu tidak mungkin," bantah Ratih.

Reva kembali ke kelas dengan muka yang sudah segar, gadis itu masih terlihat lesu dari cara jalannya.

"Kau pasti akan kecewa," ucap Reva kepada Gina, gadis itu duduk di bangkunya menghadap ke belakang.

"Hah? Kenapa?"

"Aku melihat Zidan bergandengan tangan dengan gadis cantik, hahha. Ya! Sepertinya mereka pacaran!" Ungkap Reva senang.

Gina hanya mendengus malas, berlagak tak peduli meski dalam hatinya sedikit memanas.

"Siapa Zidan?" Ratih bingung tak mengerti apa yang dibicarakan.

"Biasa, gebetannya Gina. Kau tau? Dia berencana ingin menembaknya saat kelulusan!"

Gina murka mendengar Reva membocorkan niatnya, gadis itu berdiri dan menjewer telinga Reva kecil.

"Hei, tidak ya! Jangan bicara sembarangan!"

"Aw, aw! Ratih lihatlah ...., dia galak sekali padahal aku hanya bercanda!" Rengekan Reva terdengar nyaring menggema, telinganya memerah dan ia berusaha kabur menghindar dari Gina.

"Itu tidak lucu!"

Gina mencubit kecil pinggang Reva hingga gadis itu terjatuh ke bawah.

"Rasakan itu ember! Huh!" Gina merajuk dan berlalu dari kelas.

Reva yang dibawah hanya tertawa, mengusili Gina merupakan kesenangan tersendiri. Raut cemberut gadis itu begitu lucu karena pipinya yang tembam.

"Ah, pinggang ku pegal." Reva mengeluh dan dibantu bangun oleh Ratih.

***

Dibawah taman belakang sekolah Gina duduk dengan tenang, gadis itu sedang nyemil jajan yang ia beli di kantin. Suasana taman yang sepi dan asri sangat menenangkan hati, rambutnya berkibar kecil ketika angin berlalu.

"Ah! Tampannya!" Serunya senang, Gina menonton foto sang gebetan yang barusan di unggah.

"Hah? Siapa ini?" Tanyanya sendiri ketika menggeser foto kedua, di sana ada seorang gadis namun tak begitu tampak karena difoto dari belakang.

Gina sedih, Zidan sang gebetan menandai seorang gadis di postingan nya. Rasanya moodnya memburuk seketika, mau melanjutkan mengemil pun sudah tidak nafsu lagi.

"Mana cantik orangnya, huh!"

Gina merasa rendah diri, padahal yang orang lihat dirinya merupakan salah satu gadis tercantik di sekolah ini setara dengan primadona sekolah. Hanya saja Gina tertutup dan tidak terlalu suka menebar pesona di sosial media.

Ting!

"Apa lagi?"

Dengan malas Gina mengecek ponselnya ternyata notifikasi dari teman sendiri.

Tiga Dara Menggoda (1 message)

Revalina : Gina! Kau dimana hei, Yuna mencari mu!

Regina : Di taman? Kenapa?

Revalina : Kau menunggak kas kelas 10 kali! Cepat bayar, Yuna sedang dalam mode galak!

Regina : Astaga! Kau bayarkan dulu lah!

Revalina : Aku tidak punya uang ya!

Weningratih : Kasihan

Revalina : Heh, sesama rakyat jelata jangan begitu.

Regina : Bilang ke Yuna, berapa nomor rekeningnya.

Revalina : Ah merepotkan, cepat kemari!

Revalina : Hei Yuna berlalu ke taman belakang! Lindungi dirimu Gina, sampai jumpa!

Regina : Reva kampret!

Weningratih : Aku yang bilang

Regina : ...

Gina menutup ponselnya dengan kesal dan membereskan jajanannya, gadis itu terburu-buru karena membayangkan Yuna yang biasanya lemah lembut menjadi galak itu sangat menakutkan. Karena itulah Gina bisa menunggak hingga berkali-kali, ini menegangkan.

"REGINA GAIRELA!"

Gina terdiam sejenak mendengar seseorang menyerukan namanya, menoleh ke belakang melihat Yuna di sana membawa buku dan penggaris kayu.

"Oh tidak, bantengnya terlepas," lirih Gina.

Gina berlari kabur dari sana, sungguh meski ia membawa uang untuk membayar tunggakannya ia sangat takut. Yuna mengejar dari belakang dengan tangannya terangkat membawa penggaris.

Aksi kejar-kejaran itu menjadi pusat perhatian, wajah Yuna tampak memerah entah marah atau lelah. Gina masih didepan mencari jalan pintas, ia ingin bersembunyi namun bingung.

Saat ini di lapangan pojok jarang di pakai Gina berada, Yuna tertinggal jauh dibelakang sana. Gina merapat ke gudang terbengkalai, aman tidak ada apapun di sini.

"Huh, huh."

Mengatur napasnya yang memburu, keringat meluruh begitu saja di tubuhnya.

"Gudang apa ini?"

Gudang ini tidak besar hanya sekitar 3×5 m, dengan lemari besar dipojok ruangan dan atap tanpa plafon.

"Eh apa itu?"

Gina menemukan buku tebal berdebu di sudut lemari, gadis itu berjinjit berusaha mengambilnya.

"Uhuk, uhuk."

Bukunya terjatuh menimbulkan kepulan debu beterbangan, tak hanya itu sebuah amplop juga terjatuh disebelahnya.

"Kotor sekali, hm."

Gina berlutut untuk mengambilnya, gadis itu masih batuk-batuk kecil. Di bersihkan nya sampul buku itu dan terlihatlah tulisan di sana.

"Cara memindahkan organ ke tubuh lain?"

Gina bingung membaca judulnya, dibukanya perlahan-lahan buku itu di lembar pertama berisi pengantar.

"Katula?"

Bugh

Buku itu Gina jatuhkan, jantungnya berdegup kencang saat membaca bagian bawah.

"Hah? Tidak mungkin?"

Gina masih sedikit takut, ia keluarkan tas lipat berbahan plastik yang selalu ia bawa dan memasukkan buku itu kesana.

"Ini juga," ungkap Gina mengambil amplop disebelahnya.

"Mungkin ada yang lainnya?"

Gina mencoba mencari-cari di lemari besar itu, hanya ada beberapa peralatan yang sudah berkarat tak terpakai. Tangannya memindai dengan cepat, mungkin ia ketinggalan kelasnya namun tak apa.

Ponselnya berdering sejak tadi.

Gina berhenti sejenak dan memeriksa ponselnya sembari berdiri.

Panggilan tak terjawab (2)

Pesan belum dibaca (7)

---------

Ratih Cantik (3)

Maafkan aku, kau dimana?

Yuna tidak menabokmu kan?

Hei, ku bilang ke guru jika kau di UKS.

Bocah Cerewet (2)

Hei, jangan marah! Aku punya nomor Zidan, jadi maafkan aku, oke?

Bu Maya sudah masuk, Ratih beralibi kau di UKS jadi jangan kemari.

Ayah (2)

Pulang sekolah ikut ayah

Ajak temanmu

----------

"Tumben?"

Gina heran membaca chat terakhir dari sang ayah, tak biasanya begini. Dan juga ia lebih sering ditinggal sendirian di rumah daripada diajak oleh sang ayah.

"Masih satu jam lagi pulang, huh."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status