Share

Chapter 3

last update Last Updated: 2024-04-10 00:48:17

Setelah Gina dan Reva pamit pulang, Ratih pergi ke kantor polisi menemui salah satu pelaku. Dihadapannya ada pria kurus berkulit sawo matang, kantung matanya menghitam berkerut.

"Aku bisa membebaskan mu," tawar Ratih melalui telepon penghubung, meski amarah menguasainya ia tetap berusaha terlihat tenang.

Kaca pembatas menjadi tameng untuk Saiful, si tahanan itu. Ingin sekali Ratih pecahkan kaca pembatas itu dan menyayat kulit Saiful dengan pecahan itu, mencoblos matanya dengan bagian kaca yang tajam, juga menusuk-nusuk kasar batang kemaluannya.

"Tawaran mu tidak menarik," sahut Saiful meremehkan.

Ratih menunduk sejenak, membasahi bibirnya menyeringai kecil. Tangannya mengambil ponsel dan mencari sesuatu yang ingin ia tunjukkan.

"Mata hitam penuh sangat langka, ini akan dihargai sangat tinggi." Ratih berucap senang menunjukkan foto seorang bocah lelaki yang tersenyum manis menatap kamera.

Saiful mengepalkan tangannya, raut wajahnya memerah menahan diri. Itu adalah foto anaknya yang masih berusia 5 tahunan, bagaimana bisa Ratih mengetahui hal itu sedangkan bos nya sendiri tidak tahu apapun.

Ratih menggeser layar, menunjukkan foto seorang wanita cantik tersenyum menatap kamera.

"Dibuat lumpuh atau langsung dibunuh ya?" tanya Ratih ke dirinya sendiri, binar matanya menyorot senang.

Saiful bingung harus bagaimana, tidak ada kabar dari bos-nya untuk pembebasan mereka. Dan juga remaja didepannya ini bukan remaja biasa, sedikit tidak percaya akan melakukan hal itu.

Menaikkan satu alisnya, Ratih beranjak dan mendekati kaca pembatas. Ia menyayat kecil jari telunjuknya dengan silet dan menggunakan darahnya untuk menulis di kaca itu.

Ratih menuliskan angka kode, setelah selesai ia mencecap jarinya yang terluka dengan lidahnya. Manis rasanya, batinnya.

"Ingat itu, ku beri waktu tiga hari untuk menjawabnya." Ratih menegaskan tawarannya, Saiful masih diam dengan muka merah menahan diri.

"Jika tidak ada jawaban berarti dua nyawa melayang," lanjutnya.

Ratih menutup telepon dan berlalu pergi dari sana, meninggalkan Saiful diambang kebingungan.

Dibantingnya telepon itu ke lantai, nafasnya terengah-engah ketakutan. Meraup wajahnya menahan tangisannya, Saiful berbalik keluar dari sana dengan lemas.

Setelah sampai di lapas diantar petugas, Saiful ditanyai oleh rekannya.

"Siapa yang berkunjung?" tanya pria berambut gondrong, Udin namanya.

"Anaknya Wulan ...," lirih Saiful.

Dua orang yang mendengar hal itu terdiam, Udin dan Danu merasakan atmosfer ruangan menjadi lebih dingin dari sebelumnya.

"Ratih?" Ada jeda sejenak sebelum Danu bertanya.

Saiful mengangguk dan meluruh dilantai, bersandar pada dinding mendongak memejamkan mata.

"Dia ...? Bilang apa?" Udin penasaran melihat Saiful yang tampak frustasi.

Saiful hanya menggeleng tidak menjawab membuat Udin dan Danu saling berpandangan penasaran.

***

Seorang bocah cilik yang hanya memakai celananya sedang bermain mobil-mobilan di teras rumah. Celananya kotor terkena tanah, bibirnya bergumam menirukan suara mobil.

"Brumm, brumm ...," gumamnya lucu, giginya ompong dua di depan atas membuatnya terlihat menggemaskan.

"Wiu wiu wiu ..., awas! Supelmen datang, bruak!" Tangan yang satunya memegang boneka plastik superhero terkenal itu, ditabrakkan ke mobil disebelahnya.

"Aa tacian! Supelmen nya kalah, huhu."

Bocil itu berdiri dan berjalan masuk ke rumah, kepala kecilnya celingukan mencari sang ibu.

"Buu ..., Ama mau minum cucu!"

Tidak ada sahutan dari sang ibu, Rama berjalan lagi menuju dapur. Dapur tampak begitu berantakan, alat-alat masak berceceran dan tungku yang masih mengepulkan asap sisa pembakaran.

"Buu!" teriaknya lebih keras.

Bocah itu menangis sesenggukan, ingusnya meluber kemana-mana. Dengan tertatih-tatih berjalan kembali menuju teras, tangisnya semakin kuat kala mendapati sang ibu dibopong seorang lelaki dewasa dalam keadaan pingsan.

"Buu, buu! Huaaa ....!"

Lelaki itu meletakkan sang ibu di ranjang kamarnya, setelahnya berusaha menenangkan Rama yang masih terus menangis.

"Cup cup cup, ibunya Rama cuma kelelahan kok. Udah ya nangisnya," ujar lelaki itu menenangkan, tangannya mengusap lembut pipi gembul Rama.

Dengan cemberut Rama memukul-mukul tangan lelaki itu, tangan kecilnya memberontak saat digenggam menghentikan.

"Aman jahat! Ibu jadi pinsan!" jerit Rama.

Sambil terus memukuli lelaki itu, tangis Rama pecah saat dirinya di gendong paksa. Memberontak minta dilepaskan, dengan nakal Rama itu menggigit hidung lelaki itu.

"Akh, astaga anak ini." Dengan segera Adam menurunkan Rama, lelaki dewasa itu berlalu menuju dapur.

Rama mengekor dengan pandangan curiga, karena tubuhnya yang kecil tidak bisa melihat dari bawah apa yang Adam lakukan. Mendongakkan kepala mungilnya dan berjinjit, Adam tetap fokus membuat minuman hangat di meja.

"Ayo rawat ibumu bocah kecil." Adam menggandeng tangan mungil Rama.

Sarah, ibu Rama terbaring pingsan di ranjang karena kelelahan bekerja memetik buah-buahan. Wajahnya begitu pucat dan dehidrasi, bibirnya pecah-pecah kekeringan.

Adam tidak bisa meninggalkan Sarah sendirian, jadi ia akan kembali melanjutkan pekerjaannya nanti setelah Sarah bangun.

"Buka pintunya!"

Pintu digedor-gedor dengan kuat, suara pukulan dari arah lain juga terdengar, jendela yang diketuk-ketuk dan sabetan pecut yang nyaring menggelegar.

"Bakar saja rumahnya!"

"Ayo! Bakar-bakar, pembawa petaka!"

"Dasar janda penggoda, kumpul kebo sama tetangga!"

Sorak-sorai terdengar begitu nyaring dari luar rumah, Rama yang mendengar nya pun menangis ketakutan dan bingung.

Adam menggendong Rama menenangkan, pria itu keluar dari sana dan dengan berani menemui para warga yang menunjukkan raut murka.

"Oh! Ternyata Adam sang pemuda idaman suka main dibelakang!"

"Dasar! Muka saja tampan, tapi murahan!"

Caci maki Adam dengarkan, Rama yang di gendongan semakin menangis ketakutan. Meski sudah lumayan tenang tetap saja ngeri jika melihat ada yang membawa celurit dan parang.

"Astaga, Pak ..., Buk ..., kalian ini salah paham! Saya—"

"Halah! Mana ada maling mengaku!" Belum sempat Adam menjelaskan sudah di serobot ibu-ibu berdaster kuning cerah dengan baskom di tangannya.

"Sudah bawa saja Pak RT! Mereka harus di hukum sesuai adat yang berlaku!"

"Ayo! Ayo!" sahut para warga.

Belum sempat Adam mengelak dirinya sudah dicekal erat oleh bapak-bapak, Rama di ambil paksa dan ditinggalkan begitu saja di teras dengan tangisannya yang semakin menggila.

"Astaga!" Adam pasrah, dirinya tak bertenaga.

"Bawa Sarah juga! Biar adil!" teriak ibu-ibu tadi.

Beberapa wanita masuk kedalam rumah dan menggeledah, Rama menangis mengikuti kedalam, kaki salah satu dari mereka di peluk erat berusaha menghadang.

"Heh dasar anak haram! Lepaskan kaki ku!" ibu-ibu berkaos merah yang dipegang kakinya itu menyentak dengan keras hingga Rama jatuh terduduk, tangisan bocah itu semakin keras kala dirinya ditendang sedikit kuat.

"Dimana kau Sarah! Jangan bersembunyi!" teriak ibu-ibu tadi sembari mencari satu-persatu ruangan kamar.

"Buk! Sarah di sini, pingsan dia!" teriak lainnya yang menemukan Sarah masih dalam keadaan pingsan.

"Haha, dasar sialan!" dihampirinya Sarah dengan keadaan marah, ibu-ibu berkaos merah bernama Siti itu menuangkan air hangat yang di buat Adam tadi.

"Heh! Bangun!"

Masih tidak bangun juga Siti menggoyang-goyangkan tubuh Sarah, tak lama setelahnya Sarah membuka mata dengan lemah.

"Heh jalang! Ayo ikut aku, cepat!" Sarah diseret paksa dengan keadaan yang masih linglung dari pingsannya, dirinya hampir terjungkal menabrak pintu jika saja tidak di amankan oleh ibu-ibu berdaster kuning, namanya Sri.

Rama yang melihat mereka menyeret ibunya menangis dan menjerit-jerit minta tolong.

"Angan! Kalian ahat! Epasin ibu ...!" teriak Rama dengan berani mengigit tangan Sri.

"Ah, dasar keparat kecil! Argh!" dengan marah Sri menendang bocah itu, Rama mengaduh kesakitan karena tubuhnya menabrak kendi berisi bunga. Belakang lehernya mengeluarkan darah karena terhantam bagian yang lancip, tak lama kemudian bocah itu pingsan.

Sri dan ibu-ibu lainnya melotot ketakutan, dengan cepat mereka kabur dari sana, Sarah diseret dengan paksa meski memberontak. Sarah menangis tidak berdaya melihat anaknya diperlakukan sekejam itu, dengan sisa-sisa kekuatan yang ia punya Sarah meludahi Sri.

"Sialan!" tak terima diludahi oleh Sarah, Sri menamparnya beberapa kali hingga bibirnya sobek.

"Bawa wanita jalang ini, tak sudi aku menyentuhnya!" Sri menghempaskan Sarah ke tanah, lalu tubuh ringkih itu diseret oleh ibu-ibu lainnya.

***

"Ayah?" Gina berbisik lirih saat dirinya melihat sang ayah berbicara di telepon, jam masih menunjukkan pukul 2 dini hari saat Gina kelaparan dan memutuskan turun ke dapur.

Gina berada di tangga terakhir mencoba mendekat dan menguping, gadis itu bersembunyi dibelakang lemari untungnya baju tidurnya hitam jadi tidak terlalu mencolok.

"Ya, dia satu sekolah dengan putri ku. Apa maumu?" Ucapan ayahnya membuat Gina bertanya-tanya, siapa yang dimaksud?

"Tidak, mereka berteman dengan baik."

Suara sahutan dari telepon seberang tidak bisa Gina dengar dengan jelas, hanya gumaman saja.

"Hahaha, tentu saja. Tenang, pasti mau."

"Baiklah, siapkan saja semuanya!"

"Ya," ucap Ayah Gina menutup pembicaraan.

Gina semakin menyembunyikan diri kala sang ayah terlihat akan menaiki tangga, gadis itu menahan napasnya dengan kuat.

"Huft, aku ...," lirih Gina.

"Lapar."

Gina berlalu dari sana setelah keadaan aman, masuk ke dapur dan mencari sesuatu yang bisa dia makan. Gadis itu menyeduh susu dan membuat mie instan, sembari menunggu matang Gina bermain ponselnya.

Tiga Dara Menggoda

Regina : Hei, apa masih ada yang bangun?

Pesannya sudah terkirim, belum ada balasan. Ya mungkin masih pada tidur, ini masih dini hari.

Ting!

Penanda matang di microwave terdengar, Gina menyiapkan mangkuk dan memindah mie nya kesana. Kepulan asap hangat menerpa wajahnya membuat nya terasa hangat, selesai mencampurkan bumbu Gina makan dengan tenang.

Ting!

Notifikasi dari ponsel mengalihkan perhatiannya, ada satu pesan masuk.

Tiga Dara Menggoda (1 Message)

Weningratih : Kau kebangun ya?

Meneguk susu nya sejenak barulah Gina membalas pesan Ratih.

Regina : Haha aku lapar

Regina mengirimkan foto

Regina : Enak! Mau?

Weningratih : Tidak baik makan mie di pagi hari

Regina : Tidak ada makanan lain, aku tidak bisa memasak. Kau tau itu!

Weningratih : Besok belajar memasak

Regina : Ya ya ya! Oh ya aku ingin memberitahu sesuatu!

Weningratih : Apa?

Regina : Tadi aku tidak sengaja menguping pembicaraan ayah dengan seseorang di telepon.

Weningratih : Tidak sopan dasar

Regina : Astaga! Bukan begitu, maksudku itu ayah membicarakan kita.

Weningratih : Apa yang kau dengar?

Regina : Ayah bilang seseorang satu sekolah denganku, dan seseorang itu berteman baik denganku. Siapa menurutmu?

Weningratih : Hm, tidak tahu kan kau yang harusnya lebih tahu?

Regina : Aku merasa hanya berteman baik dengan Reva si cerewet dan kau, selainnya berteman buruk.

Weningratih : Bukan begitu maksudnya, astaga ....

Regina : Ya maksudnya kan tidak berteman, hanya sebatas kenal begitu!

Weningratih : Lalu apa?

Regina : Ayah bilang seseorang itu pasti mau dan meminta lawan bicara menyiapkan segalanya.

Weningratih : Membingungkan, cepat habiskan makananmu dan kembali tidur.

Weningratih offline

Regina : Hei hei, makannya aku juga bingung! Astaga tega sekali di tinggal pergi.

Meletakkan ponselnya di atas meja, Gina melanjutkan makannya yang tertunda. Suasana rumah begitu sepi, Gina hanya tinggal bersama sang ayah dan pembantu. Ibunya sudah meninggal sejak dirinya naik kelas 10 karena penyakit, penyakit apa juga tidak Gina ketahui, sang ayah menyembunyikannya.

Terdengar suara langkah kaki dari tangga membuat Gina menolehkan kepalanya, ayahnya turun dengan jaket dan tas kerja.

"Shift pagi? Sepagi ini kah?" tanyanya pelan.

Ayah Gina sibuk berjalan sambil menatap ponselnya tidak menyadari Gina yang duduk di mini bar. Pria dewasa itu pergi ke garasi, tak lama terdengar dari tempat Gina duduk suara mesin mobil dinyalakan.

"Ayah kemana?"

Gina berlari kecil menuju jendela, netranya mengamati mobil sang ayah yang pergi dari rumah. Mobil sedan hitam itu pergi ke arah kiri, Gina kembali lagi dan membereskan bekas makannya ia sudah kenyang.

***

Ratih sedang bergelut dengan orang asing yang menghadangnya saat ia pulang dari warung, barang belanjaannya jatuh berceceran.

"Ayolah cantik, pasti akan nikmat uh!" Suara yang menjijikkan membuat Ratih murka, ditendangnya aset pria botak itu dengan kuat lalu di tonjok mulut nya hingga berdarah.

Satu pria lainnya marah, ia maju melawan Ratih dengan beringasnya. Tubuhnya kurus namun lebih tinggi dari Ratih, dengan mudah Ratih memelintir tangannya kemudian dibanting.

Diinjak-injak nya dada pria itu dengan kuat, setelah tumbang Ratih meludahinya jijik.

"Cuih, bajingan!"

Ratih kembali menginjak selangkangannya membuat pria itu menjerit keras, belum puas di sana gadis itu menginjak kedua tangannya bergantian.

Ratih kembali melihat si botak yang masih sadarkan diri, di hantam kepalanya dengan bogeman. Belum puas juga setelah darah menggenang disekitar si botak itu, Ratih menginjak dengan kuat pupu dalamnya.

"Akan ku bunuh kalian jika kita bertemu lagi ...," ancam Ratih ke dua pria itu, mereka sudah tergeletak tak berdaya di bawah sana hanya bisa mengangguk kecil.

"A-ampun, maafkan kami, uhuk." Si botak berusaha berucap menahan sakitnya.

"I-iya, maafkan kami, tolong j-jangan lagi," sahut si kurus, penampakannya mengerikan dengan baju robek-robek dan tangan yang terlihat bengkok.

"Hm," gumam Ratih.

Gadis itu membereskan barang-barangnya dan berlalu dari sana meninggalkan dua pria yang sekarat itu di jalanan gelap.

Sampai di rumahnya Ratih membersihkan diri, rasanya jijik saat bersentuhan dengan seorang pria apalagi pria bajingan seperti tadi.

Dengan telaten Ratih mengobati lukanya sendiri, tidak parah hanya lecet sedikit di bagian buku jari.

"Aku tidak bisa seperti ini terus-menerus, hm kapan waktunya yang tepat?" monolognya memperhatikan lukanya sendiri.

Keresek hitam berisi barang-barang yang Ratih beli dibukanya, ada tali tambang, korek api, solar, minyak tanah dan bensin. Tersenyum senang melihatnya, Ratih ingin segera menjalankan rencananya itu.

"Hah, dua hari lagi?"

"Sepertinya akan masuk ke berita, hm. Semakin seru!" serunya senang, Ratih mengambil kertas dan melihat sebuah denah yang sudah ia siapkan.

"Disini ruangannya? Oke, ini akan lebih mudah menyebar!"

Ratih fokus dengan pekerjaannya hingga dini hari, mengatur siasat dengan tepat dan akurat. Sudah pukul 2 saat Ratih mengambil minum dari dapur, dilihatnya ponsel yang menyala tertera notifikasi pesan.

"Anak itu belum tidur juga?" gumamnya saat melihat notifikasi dari Gina.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Weningratih (Balas Dendam Si Putri Tersayang)   Chapter 22

    Saat ini ketiga gadis tengah bergerak sembunyi-sembunyi didekat tempat dapur sekolah. Mereka mendorong Ratih keluar dari tempat persembunyian saat melihat seorang wanita masuk membawa cangkir kosong. Ratih berdalih ingin meminta gula pasir pun diperbolehkan masuk untuk mengambil."Eh Bu, ini untuk siapa kalau boleh tahu?" tanya Ratih menunjuk nampan berisi secangkir kopi yang sedang ibu itu buat."Oh ini untuk siapa tadi namanya, Pak John. Pokoknya yang sedang berkunjung kesini." "Saya minta kopi sekalian boleh?" pinta Ratih beralibi."Oh iya boleh, itu di toples kaca dekat tempat gula."Ratih manggut-manggut saja, ia ambil toples gula dan mengambil beberapa sendok teh. Sambil melirik lirik ke si ibu tadi ia sok sibuk dengan kegiatannya sendiri.Setelah ibu-ibu itu pergi untuk mencari gelas lainnya di ruangan lain, Ratih bergegas menuangkan beberapa tetes cairan di botol yang ia bawa dan mengaduknya cepat."Lekas lah pulang ke neraka pria tua, Lucifer menunggumu di sana." Ratih bergu

  • Weningratih (Balas Dendam Si Putri Tersayang)   Chapter 21

    Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang sedang terjadi, para murid seolah terhipnotis. Diam membisu dan bingung, hanya Ratih yang memperhatikan sekitar dengan penuh curiga.Sesi berdoa sudah selesai, ajaibnya para murid langsung tersadar dan bangun seolah tidak terjadi apa pun. Gina dan Reva juga seperti baru bangun dari tidur, pandangan mereka tampak bingung."Baiklah anak-anak silakan kembali ke kelas masing-masing dan melanjutkan pembelajaran!" Para murid langsung berhamburan keluar dari aula seperti robot menyisakan Ratih yang duduk tenang menunggu hingga sepi. Reva sedari tadi sudah mengeluh dan menggeret lengan Gina untuk keluar."Sabar, tunggu sepi," ucap Gina melepaskan tangan Reva dari lengannya.Reva mendengus lirih, netra gadis itu berkeliaran mencari kiranya kotak Snack yang masih utuh untuk dibawa pulang. Ketemu, di dekat pintu kamar mandi area duduk kelas 11 ada sekitar 5 kotak. Reva berlari ke arah situ yang kemudian di susul oleh Gina."Jangan!" teriak Ratih.Reva la

  • Weningratih (Balas Dendam Si Putri Tersayang)   Chapter 20

    "Rat, nanti kau sibuk?" tanya Safar di perjalanan kembali ke kelas. Upacara baru saja selesai, para murid dibubarkan untuk mengambil buku dan alat tulis kemudian langsung di suruh ke aula sesuai barisan kelasnya.Gina dan Reva yang berjalan di sampingnya saling berbisik lirih untuk pamit duluan ke kelas yang di angguki Ratih."Ya, setelah mengembalikan motor mu aku akan bekerja."Safar mengulum senyumnya, "bekerja ya? Sampai jam berapa?" lanjutnya bertanya."Entah, ada apa memangnya?" "Hehe, aku hanya ingin meminta tolong untuk mengajariku. Aku tidak mau guru les yang ayah pilihkan, jadi aku mencarinya sendiri."Ratih menaikkan alisnya menatap heran Safar, mereka sudah hampir masuk kelas."Hm, guru les ya?" Safar mengangguk senang."Berapa bayarannya?""Berapapun yang kau minta," jawab Safar.Ratih menyeringai kecil, "haha satu juta setiap pertemuan?" guraunya membuat Safar mendelik."Kau sengaja membuatku bangkrut ya?" Ratih terkekeh geli. "Bercanda. Atur saja, aku bisa hanya hari

  • Weningratih (Balas Dendam Si Putri Tersayang)   Chapter 19

    "Jika kau sudah masuk maka sulit untuk keluar, ini bukan bisnis biasa."Dean dan Ratih berada di ruangan pria itu, tadi Ratih sudah diberikan gambaran tentang pekerjaan yang akan ia lakoni. Terlihat kejam dan mengerikan, namun tetap Ratih iyakan. Apa yang dirinya dan Arthur tadi lakukan hanyalah contoh kecil."Ya, tentu aku paham mengenai hal itu." Dean tersenyum mendengarnya, ia serahkan sebuah pisau bercorak ular di gagangnya ke Ratih."Kau gesit untuk melawan dari jarak dekat, gunakan ini sebagai senjata." Ratih hanya menatap tanpa minat."Aku mempunyai senjata ku sendiri, simpan saja." Gadis itu menolak, menggeser kembali pisau yang Dean serahkan."Aku tau, simpan ini. Suatu saat akan berguna, ringan namun tajam. Kau bisa melihat kilatan itu bukan."Ratih tatap pisau itu dan mengambilnya, sebelum memasukkannya ke saku ia pasang dulu penutupnya. "Ya terimakasih, ada hal lain lagi?" tanya Ratih membuat Dean menyeringai."Kau harus belajar menggoda untuk mengelabuhi para pria nanti

  • Weningratih (Balas Dendam Si Putri Tersayang)   Chapter 18

    Di sebuah ruangan yang sepi, Ratih berdiri memperhatikan sebuah peta yang Dean tunjukkan. Itu adalah peta digital dengan titik-titik bewarna sebagai penanda."Hijau adalah sekutu, dan merah itu musuh. Titik biru ini adalah tujuan kita, klien kita." Dean menunjuk titik yang tersebar di sekitar sana."Pergerakan mereka bisa hilang karena sinyal, yang merah ini adalah salah satu yang berhasil di lacak. Mereka juga bisa melacak di mana kita berada."Dean berjalan ke arah meja dan mengambil sebuah kotak, ia kembali ke Ratih dan menyerahkan kotak itu."Gunakan ini sebagai petunjuk, ini dibuat khusus untuk setiap anggota." Ratih memperhatikan kotak itu, isinya seperti ponsel. Bentuknya balok tipis, lengkap dengan kameranya dan juga pengunci layar sentuh dengan sidik jari di tengah bagian belakangnya."Baik, lalu?" Ratih masih belum paham."Arthur akan melatih mu, misi pertama kalian adalah ini." Dean menunjuk salah satu titik biru, lokasinya tak jauh dari sini."Antarkan ini ke alamat itu,"

  • Weningratih (Balas Dendam Si Putri Tersayang)   Chapter 17

    Dean membawa Ratih ke ruang senjata, tempatnya berada di depan ruang tadi. Ia tunjuk dan jelaskan alat-alat itu."Ini adalah Z30FX, buatan Inggris," ucap Dean menunjuk senapan bewarna hitam mengkilat dibalik balok kaca."Dan ini," ucap Dean kemudian beralih ke sebuah pistol kecil tampak sepanjang telapak tangan. "Ini SIU 40, melesat bagai angin tanpa suara. Ia bisa meretakkan kaca anti peluru," jelas Dean bangga."Di buat terbatas karena bahan-bahannya yang sulit untuk di cari. Aku memiliki ini pun harus mengorbankan koleksi mobil tua ku, huh tapi tak apa."Ratih hanya mendengarkan saja, ia tak tertarik untuk membicarakan hal-hal lain.Tok, tok, tok. "Masuk!" sahut Dean.Seorang wanita berpakaian ala pelayan pun membuka pintu, ia berjalan mendekat ke arah Ratih dan Dean."Makanannya sudah siap, Tuan."Dean mengangguk dan mengisyaratkan tangannya untuk pelayan itu pergi."Mari, Nona Ratih. Sepertinya kau sudah tampak kelaparan." Ratih diam tanpa menyahut, ia ikuti Dean yang berjalan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status