Pagi buta, Mentari sudah siap dan tampil cantik dengan seragam restonya. Gadis berlesung pipit itu melirik ke arah jam dinding beberapa kali.
"Kenapa, Neng, Nunggu Rangga ya? Udah cantik amat jam segini," ucap Emak berusaha menggoda anaknya.
"Ih, Emak, biasa aja," jawab Mentari ketus. Gadis itu mencoba menyembunyikan wajahnya yang mulai merona.
"Eh, kalau dipikir-pikir. Lu sama Rangga kan udah sahabatan dari piyik. Kalian juga sama-sama jomlo. Udeh, jadian aja sama Rangga. Ntar Emak yang ngomong ke orang tuanya."
"Jomlo dari mane? Si Rangga tuh kemarin udah dijodohin sama Dina-adiknya almarhum Dini."
"Telat dong, lu. Sabar aje, ye. Ntar Emak cariin jodoh yang baik buat lu."
"Udah ah, pagi-pagi udah ngomongin jodoh. Aye kan jadi badmood."
Mentari pun terdiam, menyadari bahwa Rangga akan segera ada yang memiliki. Itu artinya, ia harus mundur perlahan dan mengubur semua rasa yang terlanjur tumbuh di dalam hati.&nb
Matahari bersinar cerah hari ini tidak terik juga tidak mendung. kediaman Rangga sudah terlihat ramai. Para tetamu memenuhi bagian dalam dan luar rumah Rangga.Dina terlihat cantik berbalut kebaya warna merah muda. Gadis muda itu duduk diapit oleh kedua orang tuanya. Binar di matanya melukiskan kebahagiaan yang ada di dalam hatinya.Rangga pun terlihat tampan dengan setelan jas warna hitam, senada dengan celana kain hitam. Mereka tampak cocok berdampingan, bagai Romeo dan Juliet.Namun, lelaki berparas tampan itu terlihat agak murung. Seolah ada yang mengusik hatinya. Ia melihat ke sekeliling seperti mencari-cari seseorang.Para tetamu sudah mulai tidak sabar menunggu acara segera dimulai. Akan tetapi, belum sempat acara dimulai, Rangga meminta izin terlebih dahulu untuk berbicara dengan Dina.Mereka pun pergi ke arah belakang memilih tempat yang agak sepi. Halaman belakang rumah dipilih Rangga
Rangga masuk ke dalam kamar setelah menerima amukan dari kedua orang tuanya. Pria berhidung mancung Itu seolah tidak menghiraukan kata-kata pedas yang keluar dari mulut mereka.Rangga terlalu bahagia karena ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Di dalam benaknya saat ini hanya ada Mentari seorang.Malam itu Rangga tidak bisa tidur. Hatinya gelisah dan tidak sabar menunggu pagi. Ia berharap malam segera berlalu dan berganti siang agar ia bisa bertemu dengan pujaan hatinya.Di tempat lain keadaan Mentari tidak jauh berbeda dari keadaan Rangga. Gadis berparas ayu itu pun gelisah sepanjang malam.Namun, ada sedikit yang mengganjal hatinya yaitu keadaan Dina. Apa yang terjadi kepada gadis muda itu? Apa dia baik-baik saja?Mentari merasa sangat bersalah kepada Dina. Ia berharap, Dina dapat mengerti bahwa cinta tidak bisa dipaksakan dan sudi memaafkan dirinya dan Rangga.***Pagi itu,
Mentari termenung seorang diri di depan teras. Tidak pernah terbayang olehnya bahwa cintanya akan melukai orang lain.Entah ini salah siapa? Cintanya yang datang tidak pada waktunya atau takdir yang mempertemukan mereka bertiga.Mentari bertekad untuk keluar dari Resto. Ia tidak ingin menjadi bulan-bulanan Dini setiap hari. Ia pun bergegas untuk pergi ke Resto walaupun hari itu adalah jatah liburnya.Suasana Resto sudah tampak ramai. Hampir semua meja telah dipenuhi pengunjung. Semua karyawan terlihat sibuk. Mentari tidak sengaja melihat ke arah Dina. Gadis muda itu pun tampak sama sibuknya."Biarlah aku yang mengalah, biarkan Dina bekerja dengan tenang di sini," gumam Mentari pelan.Mentari melangkah pasti menuju kantor pak Andri. Jantungnya berdetak kencang ketika hendak masuk ke sebuah ruangan berpintu cokelat.Setelah mengetuk pintu beberapa kali akhirnya menteri masuk. tampak Pak And
Keesokan harinya, Mentari sudah bangun dari subuh. Gadis muda itu sedang membersihkan rumah di bantu oleh Jaka. Mentari bertugas menyapu lantai, sedangkan Jaka sedang asik menyapu halaman rumah sambil bersenandung.Keduanya tampak kompak saling membantu. Sungguh pemandangan yang jarang terjadi pada sepasang muda mudi.Selang beberapa menit, suara deru motor membuat keduanya menghentikan aktifitas mereka. Rangga tampak turun dari motor dan menatap lekat ke arah Jaka. Sosok pria asing yang baru pertama kali dilihatnya dan berada di rumah kekasih hatinya.Rangga pun bergegas menemui Mentari, keduanya saling bertatap penuh tanya. Kemudian duduk di kursi yang berada di teras rumah."Siapa tuh cowok? tanya Rangga penasaran." Nggak tahu, tanya aja sendiri," jawab Mentari ragu.Rangga tercenung untuk sesaat. Ia menatap lekat ke arah Mentari, kemudian beralih ke arah Jaka."Siapa, lu. Ngapain di
Mentari yang sedari tadi menunduk, akhirnya mengangkat kepalanya. Kemudian menatap satu persatu orang yang ada di depannya.Hatinya sedang berperang antara memilih Rangga dan Jaka. Gadis itu harus memilih antara cinta dan dan patuh kepada orang tua, apalagi perjodohan itu adalah wasiat dari almarhum Babe."Iya, saya mau mau," jawab Mentari ragu.Jauh didalam lubuk hatinya. Gadis itu masih berharap bisa bersatu dengan Rangga. Akan tetapi, jika dirinya egois dan memaksakan kehendak. Akan ada banyak pihak yang terluka. Mentari pun memilih untuk terluka seorang diri memendam cintanya sedalam mungkin.Namun, ia lupa bahwa bukan cuma dirinya yang terluka, tapi Rangga pun akan ikut terluka, karena pria itu sangat mencintai Mentari. Pria bendarah Arab itu tidak ingin kehilangan gadis pujaan hatinya."Alhamdulillah."Seisi rumah pun serempak mengucap hamdalah. Mereka tampak lega dan bahagia. Terlihat senyum lebar d
Keputusannya untuk keluar dari Resto, akhirnya, disesali Mentari. Sekarang, ia kebingungan mencari pekerjaan baru hanya berbekal ijazah SMA.Pencari kerja yang semakin banyak tidak sebanding dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Tanpa keahlian dan ijazah tinggi. Sulit untuk Mentari mendapatkan pekerjaan yang layak. Seperti mencari jarum di tumpukan jerami.Mentari menyusuri jalanan trotoar di pusat kota dengan membawa beberapa map berisi surat lamaran. Bukan karena ia kekurangan uang. Beberapa kontrakan yang ditinggalkan almarhum Babe sudah cukup menghidupinya dan Emak.Namun, rasa bosan dan ingin mandiri. Membuat gadis itu rela bersusah payah untuk mendapatkan pekerjaan.Panas terik matahari membuat peluh mengucur membasahi dahi dan kerah bajunya. Mentari berhenti di sebuah cafe kecil yang ia lewati untuk beristirahat sejenak.Suasana cafe yang hijau dengan aneka tanaman hias membuat Mentari tersenyum. Ia memilih duduk d
Semua seolah terjadi begitu cepat. Aroma masakan menguar ke seluruh ruangan. Sanak saudara dan tetangga dekat tampak sibuk memasak dan berbenah. Acara lsmaran, rencananya akan berlangsung hari itu. Semua orang nampak sibuk mempersiapkan acara tersebut.Kirana duduk di ujung ranjang, berbalut kebaya sederhana. Wajahnya semakin cantik dengan polesan make up natural. Ia tersenyum tipis saat melihat pantulan diri di dalam cermin. Hatinya berbunga-bunga, menantikan sang pujaan hati yang akan datang melamar. Dari luar terdengar suara riuh tanda rombongan telah datang."Mentari boleh masuk," ucap Emak dari balik pintu.Sesaat kemudian, Emak pun masuk dan duduk di dekat Mentari. Wanita paruh baya itu menatap lekat putri kesayangannya, kemudian membelai lembut rambut Mentari yang panjang terurai."Ayo keluar, rombongannya sudah datang!" ajak Emak dengan tersenyum lebar.Mentari menatap lurus kedepan, hatinya berbunga-bung
Setelah mendapat kabar baik dari Kirana. Rangga segera meminta orang tuanya untuk melamar sangat pujaan hati.Lelaki berdarah Arab itu tambak semringah sepanjang hari. Nyak dan Babe pun bergegas untuk menyiapkan hantaran yang akan di bawa.Beberapa keluarga inti turut membantu acara penting di dalam hidup Rangga. Sama halnya dengan Emak Kirana. Orang tua Rangga pun lebih mementingkan kebahagiaan anak lelaki satu-satunya itu.Mereka rela menanggung malu dan dicaci oleh keluarga Dina demi Rangga. Nasi sudah menjadi bubur. Hati memang tidak bisa diatur kemana akan berlabuh.Malam itu Rangga dan keluarganya tengah berkumpul di ruang keluarga. Berbincang sembari menikmati secangkir kopi dan pisang goreng kesukaan Babe."Udah matep, lu. Ngelamar Mentari, awas aja klo tiba-tiba dibatalin lagi di tengah acara," ucap Babe geram."Insya Allah, Be. Mentari itu ibarat matahari. Aye ngakak bisa hidup tanpa dia," sahut