Dara bersandar santai di kursi rotan depan rumah Leo. Memandang bebas ke hamparan bunga di halaman tepat di depannya. Hal yang paling menarik perhatian Dara adalah jalan kecil yang hanya seukuran dua orang dewasa bersisian di tengah taman itu, mengingatkannya akan bentuk halaman rumahnya di Kalimantan.
Rasa yang ia dapatpun sama persis seperti saat melewati halaman rumahnya sendiri. Berjalan di jalan kecil dengan kiri kanan berhias hijau rumput dan warna-warni bunga, Dara bagai merasa di negeri dongeng. Belum lagi di seberang jalan adalah area persawahan yang saat ini didominasi warna hijau. Membuat siapa saja yang duduk di tempat Dara sekarang betah berlama-lama.
Sejujurnya seperti inilah rumah impian Dara, walaupun sedikit berbeda dengan apa yang ia selalu ceritakan pada orang lain. Dulu Dara menginginkan rumah yang apabila ia membuka jendela, maka ia dapat hamparan tanah lapang luas berwarna hijau tanpa terganggu bangunan apapun. Saat itu, hal itulah yang paling indah menurut Dara. Hari ini, Dara mengakui rumah ini memiliki lebih daripada impiannya.
***
Leo menatap aneh ke arah Dara. Dara yang tersadar, membalas Leo dengan tatatapan yang aneh pula.
“Kenapa kau melihatku seperti itu?” Kata Dara masih dengan tatapannya yang bingung.
“Kau yang kenapa tersenyum sendiri?” Leo bertanya balik.
“Rumahmu indah sekali.”
“Kau boleh tinggal disini.” Tawar Leo. Dara hanya tersenyum, sadar bahwa itu adalah tawaran yang mustahil ia terima.
Sejenak hening. Namun Leo putuskan untuk mengalihkan Dara dari perhatiannya. Khawatir Dara bosan dengan pemandangan itu dan menjadi tidak tidak tertarik lagi datang ke rumahnya. Padahal tentu saja Dara tidak akan bosan.
“Dar.”
“Hmm?”
“Apa kenangan paling manismu bersama Kak Gio?” Kini wajah Leo sudah menghadap ke arah Dara. Dara berpikir sejenak.
“Ada momen yang paling kuingat tapi ini bukan kenangan manis, hanya hal biasa. Saat kami membicarakan suatu lombba yang kami ikuti. Di teras perpustakaan, saat itu hari sedang hujan.”
“Kenapa kau selalu mengingat peristiwa itu?”
“Entahlah, yang kuingat pembicaraan kami saat itu sangat tidak nyaman, kami bicara panjang lebar tapi tidak ada intinya. Dan aku ingat sekali aku bicara dengan posisi duduk dan dia berdiri dalam jarak yang dekat. Kalau sekarang kupikir-pikir, bukankah itu sangat tidak nyaman. Kenapa aku tidak mencoba berdiri atau dia mencoba duduk.”
“Lalu setiap hujan turun kau jadi mengingatnya?”
“Kadang ya, kadang tidak. Tapi sekadar ingat, bukan juga sesuatu yang spesial.”
“Berarti benar kataku, kau sudah tidak ada rasa?”
“Sepertinya memang tidak ada, hanya saja aku benci melihatnya berjalan seolah...”
“Seolah tidak ada yang terjadi? Bukankah memang tidak ada yang terjadi?” Potong Leo cepat.
“Entahlah.” Dara terlihat malas berbicara.
“Maksudku begini, kau sendiri sadar kan, tidak semua perasaan dapat kita balas?”
“Jadi maksudmu?”
“Aku juga tidak tahu. Tapi maksudku saat dia sama sekali tidak memberikan tanda bahkan di saat ia mengetahui perasaanmu, maka untuk apa kau selelah ini membencinya?” Suara Leo agak bergetar.
Sebaliknya Dara menjadi tersenyum melihat Leo yang berubah serius.
“Leo aku tidak benar-benar membencinya. Jangan terlalu khawatir.”
“Aku cuma tidak ingin kau menyia-nyiakan waktumu.”
“Apa aku terlihat menyedihkan?”
“Ya.” Jawab Leo dengan suara lelah.
Dara merengut mendengar jawaban Leo.
“Kenapa kau peduli padaku?” Tanya Dara lagi.
“Menurutmu kenapa? Karena kau temanku.”
“Bukan karena kau teman Gio?” pertanyaan Dara lebih terdengar menggoda Leo. Leopun tak menjawab. Kini Leo telah menatap sawah di seberang jalan. Cukuplah untuk sekadar meredam emosinya tadi. Baik Dara maupun Leo sama-sama tidak tahu pasti kenapa Leo bisa tiba-tiba menjadi serius saat membicarakan Gio.
***
Langit sangat mendung. Rintik kecil masih jatuh pelan-pelan ke jalan yang sudah basah dan tampak lengang, namun tak menyurutkan niat Dara untuk pergi ke kafe seberang kantor. Ia tahu Leo ada disana.
“Boleh duduk disini?” Kata Dara formal, waspada kalau-kalau suasana hati Leo belum membaik.
“Tidak ada yang melarang.” Jawab Leo dengan sedikit tersenyum.”Kupikir kau selalu membawa bekal?”
“Tadi aku terburu-buru.” Jawab Dara sekenanya.
“Kau mau pesan makan?”
“Tidak. Aku cuma mau duduk disini.”
“Hah?” Leo bingung, merasa Dara terang-terangan mengatakan bahwa ia mengikutinya ke kafe itu.
“Ya. Aku hanya ingin bicara lebih banyak hari ini denganmu. Boleh, kan?” Ucap Dara, benar-benar berterus terang.
“Bicara apa? Kau mau bercerita atau bertanya?” Tanya Leo lagi, tak bisa menebak arah pembicaraan Dara.
“Aku juga bingung yang mana duluan.” Jawab Dara memanyunkan bibirnya. “Sepertinya bertanya,” katanya lagi lebih bersemangat. “Kenapa kau tidak pernah menanyakan bagaimana tepatnya hubunganku dengan Gio?”
“Bukankah jelas? Cinta bertepuk sebelah tangan.” Jawab Leo.
Seketika Dara bangkit dari kursinya, berpura-pura ingin pergi meninggalkan ruangan itu. Namun Leo dengan cepat meraih tangannya.
“Hey... hey... aku hanya bercanda.” Kata Leo. Kali ini sudah dengan senyumnya seperti biasa.
Dengan wajah masih merengut Dara kembali duduk di kursi. Namun di dalam hati Dara sangat lega. Fakta bahwa Leo sudah bisa menjahilinya berarti Leo sudah benar-benar dalam keadaan normal.
“Seberapa banyak Gio bercerita tentangku?”Tanya Dara lemah.
“Tidak banyak. Dia cuma bilang, dia sadar salah satu teman perempuannya memperhatikannya, dan dia tidak bisa membalas perempuan itu.” Jawab Leo sambil mengaduk-aduk es kopinya.
“Waktu itu kau bilang dia merasa bersalah padaku?” Tanya Dara menyelidik.
“Ya, merasa bersalah karena tidak bisa membalas, kan?” Jawab Leo mengelak tatapan Dara yang jelas mencurigainya berbohong.
Dara menarik sudut bibirnya ke samping, menghasilkan sebuah senyum. Bukan senyum tulus, melainkan senyum kelelahan.Tak tahu harus mencari apa lagi.
“Astaga! Hampir aku lupa.” Kata Leo tiba-tiba. “Dara, aku disini untuk bertemu klien. Sebentar lagi dia datang.” Ucapnya sambil menatap Dara, mengusirnya secara halus.
“Oke.” Jawab Dara mengerti.
Namun baru saja hendak bangkit dari kursinya, suara sepatu dari langkah seseorang terdengar menghampiri meja mereka. Leo yang melihat sumber suara itu langsung bangkit dan bersuara.
“Pak Firman!” Sapa Leo dengan tersenyum.
“Apa? Firman?” Kata Dara dalam hati sambil mengerutkan keningnya.
“Pak Leo!” Jawab orang itu membalas sapaan Leo.
Leo memperhatikan Dara yang tadinya siap pergi namun malah diam mematung membelakangi Firman. Namun Dara segera sadar dan berbalik. Dara tersenyum sebentar ke arah orang yang baru datang itu dan langsung pergi menuju pintu keluar.
Orang yang baru saja hendak membalas senyuman Dara itu terlihat berpikir sejenak, seperti mengenali Dara. Namun ia memilih mengabaikannya atau lebih tepatnya menunda untuk bertanya demi dilihatnya Leo yang di depannya telah siap untuk mendiskusikan banyak hal terkait novel barunya— Dua Hujan. Lagipula ia merasa tak nyaman dengan Leo karena harus telat 15 menit dari waktu pertemuan.
Dara yang tengah memasuki gerbang kantornya, telah berjalan dalam kecepatan yang lebih lambat.
Sempit sekali dunia ini. Keluhnya dalam hati dan langsung mempercepat langkah menuju ruangannya.
Leo mencoba membuka matanya dengan susah payah. Ia melihat sekeliling. “Kau tidak menutup jendela tadi malam? Tapi rasanya sudah kututup,” ucapnya bingung. “Aku yang membukanya,” ucap Dara sambil terus memandangi Leo yang sebagian tubuhnya dikenai hangatnya sinar matahari. “Panas, Dara,” Leo tidak mengerti pikiran Dara. “Itu sehat. Matahari pagi. Hangat, kan? ” balas Dara sambil meraih handphonenya. Dan... Ckrekk... Leo geleng-g
Lelaki tinggi berhoodie putih itu berjalan mendekati Dara. Menarik kursi dan segera duduk. Ia tersenyum lebar menampakkan sumringahnya. “Kenapa disini?” Ia membuka percakapan dengan melihat sekeliling, bagai baru pertama duduk disana. “Kau bawa barangnya?” Alih-alih menjawab, Dara malah balik bertanya. “Bawa.” Leo mengangguk. “Memang mau kau tukar dengan apa? Awas saja kalau tidak sepadan,” ancam Leo. Dara telah menggenggam barang yang di bawanya, begitu pula dengan Leo. Namun keduanya sama-sama enggan meletakkannya di atas meja. “Untuk apa disembunyikan?” Dara
Untung saja belum jauh. Leo sadar handphonenya tertinggal di dalam cafe, yang mana Dara masih ada disitu. “Berarti Dara juga tidak sadar,” pikir Leo. Tinggal beberapa langkah jarak Leo ke meja Dara. Leo penasaran, apa yang membuat Dara termenung seperti itu. Benda apa yang sedang ditatap Dara? Langkah Leo semakin dekat. Ia tak lagi peduli dengan handphonenya di atas meja. Dara tersenyum lalu berkata, “Teruntuk kau yang duduk tengadah. Bergembiralah, walau itu membuatku patah.” DEG! Leo mematung. Ia berpikir, memastikan bahwa kalimat itu adalah miliknya. “Lalu, kenapa bisa Dara memiliki benda itu?” Rutuk Leo dengan gigi tertutup. Leo duduk di depan Dar
“Waowh..!” Pekik Leo melihat orang yang berdiri di pintu kamarnya. “Kakak bilang tidak akan pulang malam ini?” Wajah Leo terlihat bingung. “Mandilah. Aku sudah buatkan sarapan.” Balas Gio tanpa menjawab pertanyaan Leo. Leo yang merasa suasana itu agak aneh segera menuruti perintah kakaknya. Leo tahu ada yang ingin disampaikan kakaknya itu. Ia takut kalau-kalau dirinya ada berbuat salah. Maka tak lebih dari sepuluh menit, Leo sudah siap di meja makan. “Makanlah dulu.” Gio menyodorkan sepiring nasi goreng pada Leo. “Langsung saja. Kakak ingin bicara apa?” &
“Melamar? Omong kosong dari mana itu?” Kening Dara berkerut mengingat ucapan Anton tempo hari. Namun tiba-tiba ia menyadari sesautu, ucapan Anton sangat perlu dipertanyakan. Sedang Gio tak pernah menunjukkan tanda apapun. Atau jangan-jangan selama ini Gio memang telah banyak membahas Dara bersama Anton? “Mungkin aku terlalu percaya diri.” Dara mengakhiri pikirannya yang mulai melanglang buana. *** Langkah Dara seketika terhenti begitu membuka pintu ruang divisi mereka. Di ujung sana Gio jug
Masa kini... Leo memperhatikan sebuah foto yang disodorkan Dara. Hanya melihatnya sebentar, kepalanya telah mengangguk-angguk menjawab pertanyaan Dara tentang keindahan tempat itu. “Oke. Jadi akhir pekan ini kita akan camping disitu,” sorak Dara. “Kau harus ikut, ya!” Tambah Dara lagi sambil berlalu. Leo hanya diam. Sebenarnya ia ingin, namun ia merasa akhir-akhir ini terlalu banyak bergabung pada lingkaran kakaknya. Memang tidak ada yang melarang ataupun keberatan. Namun, tetap saja membuatnya bimbang.*** Bukan tempat yang terlalu terkenal di kota ini, tapi keindahannya tak kalah memanjakan mata. Sebab tak banyak dikenal orang, maka menjadi keuntungan tersendiri. Mereka jadi bisa menikmati pemandangan dengan lebih