Langit Serang malam itu mendung. Angin menggugurkan daun-daun kering, menampar jendela rumah Fara seperti ingin menyampaikan pesan yang tak bisa diucapkan.Di kamar, Sinta terbangun dari tidurnya. Napasnya memburu. Keringat membasahi pelipis. Mimpi itu lagi.Ia berada di lorong rumah sakit yang tak berujung. Lampu menyala satu per satu saat ia berjalan, dan dari balik tirai-tirai putih, suara rintihan anak-anak memanggil namanya.> “Sinta… tolong kami…”Tapi malam ini berbeda. Saat ia menoleh ke belakang, ia melihat bayangan tinggi besar, tubuh terbakar setengah, dengan wajah rusak menganga.Dr. Mardika.Masih hidup… atau lebih buruk—masih ada.Sinta duduk di tepi ranjang. Dari dapur, terdengar suara Fara berbicara pelan. Ia turun perlahan, dan mendapati sahabatnya itu menatap layar laptop dengan mata membelalak.“Far, kamu ngapain?” tanya Sinta.Fara menunjuk layar. Sebuah rekaman video dari kamera pengintai lama. Ia menemukannya di forum gelap—forum yang hanya bisa diakses dengan ko
Motor tua Pak Darmo meraung menembus jalanan kecil yang mengarah ke desa. Fara berpegangan erat pada sandaran belakang, sementara Sinta mendekap tubuh sendiri, matanya masih menyapu kabut tipis di belakang—tak percaya mereka berhasil keluar dari tempat itu.Tapi di dalam dada, ada yang belum tenang.Fara menoleh, napasnya belum stabil. “Pak… Bapak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana?”Pak Darmo tak menjawab langsung. Matanya lurus ke jalan, rahangnya mengeras.> “Kalian beruntung… bisa keluar. Banyak yang nggak sempat cerita. Banyak yang milih diam, atau… hilang waras.”Sinta memejamkan mata, bisikan suara anak-anak itu masih terngiang.> “Ibu… kenapa Ibu pergi…?”“Aku masih denger suara mereka…” gumamnya pelan.Pak Darmo melirik lewat kaca spion. “Wajar. Karena sebagian dari mereka mungkin… nyari kamu, Nduk.”Sinta tersentak. “Kenapa… aku?”Pak Darmo menarik napas panjang. Mereka berhenti di depan sebuah rumah kecil yang sepi, hanya diterangi lampu minyak. Di dalamnya, sudah men
Suara sirene ambulans masih terngiang samar di telinga Fara. Ia membuka mata perlahan, menatap langit-langit puskesmas yang putih kusam. Udara dingin menyentuh kulitnya, tapi tubuhnya tetap berkeringat. Sinta duduk di samping ranjang, memegang tangan Fara erat-erat. Matanya merah, wajahnya tampak lebih tua beberapa tahun hanya dalam semalam. "Lo sadar juga," bisik Sinta pelan, setengah lega, setengah takut. Fara menggeliat pelan, kepalanya berat. Ingatan tentang tubuh Dr. Mardika yang setengah robot, anak-anak dengan kabel di tubuh mereka, suara tangisan, semuanya masih jelas di kepalanya. Tapi kemudian perawat masuk ke ruangan, membawa hasil observasi sambil berkata datar, “Pasien mengalami halusinasi berat. Tidak ada bukti luka fisik. Tidak ditemukan sisa teknologi, kabel, atau kerusakan bangunan di Rumah Sakit Sumber Asih.” Fara dan Sinta saling tatap. “Apa maksudnya… gak ada kerusakan?” tanya Fara nyaris berbisik. “Rumah sakit itu sudah ditutup sejak 1998. Bangunannya dibia
Langkah kaki Fara dan Sinta menggema dalam ruang sempit tangga bawah tanah. Bau karat, debu, dan sesuatu yang seperti daging membusuk menusuk hidung mereka. Lampu di atas kepala terus berkedip, menciptakan ilusi bayangan bergerak di dinding beton yang lembap.Tangga berakhir di depan sebuah pintu besi besar, tertutup sistem keamanan manual dan kode digital yang sudah rusak sebagian. Di dinding, ada sidik jari terbakar... dan percikan darah hitam pekat, seolah seseorang memaksa masuk—atau mencoba keluar.Fara menekan panel, tapi tak merespons.Lalu dari dalam speaker tua di atas pintu, terdengar lagi suara itu. Lembut tapi menggema.> “Sudah terlalu lama kalian membiarkan kami menunggu... Saatnya kalian menyaksikan apa yang kalian sebut 'penemuan'.”Dengan bunyi dentingan keras, pintu terbuka perlahan. Asap putih tipis menyambut mereka, dan suhu udara langsung turun drastis. Di dalam... ruang besar seperti bunker dengan dinding logam berlapis kaca. Di tengah ruangan, ada satu tangki be
Setelah kejadian malam itu, Sinta dan Fara terus mencoba mencari jawaban di balik misteri rumah sakit tua itu. Meski sudah berjanji untuk menjaga rahasia lantai 13, rasa penasaran menggerogoti mereka perlahan.Di suatu sore yang kelabu, Fara kembali ke ruang kendali. Monitor-monitor di sana masih menyala samar, meski listrik sudah stabil. Ada satu layar yang tak pernah mati — menampilkan pintu terkunci dengan kode keamanan yang rumit.Sinta berdiri di sampingnya, menggenggam buku catatannya erat.“Jika kita bisa membuka pintu ini, mungkin kita bisa mengakhiri semuanya,” kata Fara penuh tekad.Namun, tiba-tiba terdengar suara berbisik dari balik dinding:> “Jangan buka... jangan buka...”Keduanya menoleh, tapi tak ada siapa-siapa.Jantung mereka berdetak makin cepat.“Ini belum selesai,” bisik Sinta.Dan bayangan di balik pintu itu, seakan menunggu mereka untuk datang kembali.Fara menatap layar yang menampilkan pintu besi besar dengan lampu indikator merah menyala. Kode akses yang mun
Cakar logam Dr. Mardika menghantam dinding, menciptakan percikan api dan debu beterbangan. Fara mendorong Sinta dan Hilda ke sisi lain lorong, mencari tempat berlindung. Nafas mereka memburu, keringat dan darah bercampur di wajah masing-masing. “Terus lari!” teriak Fara, meski lututnya hampir goyah. Tapi makhluk itu lebih cepat. Dr. Mardika melompat di dinding seperti laba-laba, berputar dan mendarat tepat di depan mereka. Wajahnya mengelupas, menampakkan tengkorak yang masih menyala dengan urat-urat mesin menyembul keluar. > “Kalian pikir bisa mematikan semua ini begitu saja?” suaranya terdengar dari berbagai speaker di sepanjang lorong, menggema seperti mimpi buruk. Lampu emergency di atas mulai padam satu per satu, menciptakan bayangan panjang dan pekat yang menggerayangi setiap sudut ruangan. Tiba-tiba, suara anak-anak terdengar lagi—kali ini bukan tangis... tapi nyanyian lirih. Nyanyian itu seolah mantra yang membekukan udara. Sinta memeluk Hilda lebih erat, merasakan haw