lantai tiga belas

lantai tiga belas

last updateLast Updated : 2025-05-10
By:  Kelaras ijo Updated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Not enough ratings
28Chapters
60views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Sinta, perawat magang di Rumah Sakit Umum Kartika, tak pernah menyangka bahwa panggilan telepon pertamanya akan datang dari lantai yang tak seharusnya ada—lantai tiga belas. Sejak malam itu, hidupnya berubah menjadi teror yang tak berkesudahan. Lorong-lorong sunyi, suara langkah di tengah malam, dan sosok perempuan yang menyerupainya—semuanya membawa Sinta semakin dekat pada rahasia kelam yang terkubur di rumah sakit tua itu. Namun semakin ia menggali, semakin ia sadar... mungkin lantai tiga belas bukan hanya bagian dari bangunan. Mungkin, lantai itu adalah pintu ke dunia yang tak bisa ia tinggalkan. “Jangan pernah naik ke lantai tiga belas... karena sekali kamu ke sana, kamu tak akan kembali sebagai dirimu yang dulu.”

View More

Chapter 1

panggilan pertama

Sinta berdiri di depan gedung tua itu, napasnya menggumpal dalam udara pagi yang dingin. Rumah Sakit Umum Kartika menjulang di hadapannya, dindingnya kelabu kehijauan seperti lumut yang menempel pada ingatan masa lalu. Kota Salaka mungkin kecil dan tenang, tapi rumah sakit ini menyimpan sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang bahkan sebelum ia melangkah masuk.

Hari itu adalah hari pertamanya sebagai perawat magang.

“Bismillah,” gumamnya, menarik napas panjang. Dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu kaca yang berat dan langsung disambut aroma khas antiseptik dan karbol yang menusuk hidung.

Di dalam, suasana masih sepi. Jam dinding menunjuk pukul 06.30. Beberapa perawat senior lalu-lalang dengan tatapan lesu. Ada sesuatu yang terasa… berat. Seolah rumah sakit ini menahan napas, menyembunyikan sesuatu di balik lorong-lorong panjang dan lampu yang meredup setiap beberapa detik.

“Perawat Sinta?” suara wanita paruh baya menyentaknya dari lamunan. “Saya Bu Rini. Kamu ikut saya ke ruang briefing, ya.”

Sinta mengikuti wanita itu melewati koridor yang sepi, melewati ruang UGD, IGD, dan akhirnya masuk ke ruang kecil berisi lima kursi dan satu papan tulis. Di sana sudah ada dua perawat magang lain yang tampak sama gugupnya.

Bu Rini menutup pintu, lalu berbicara dengan nada serius. “Saya nggak akan bertele-tele. Rumah sakit ini punya aturan sendiri. Di luar protokol medis, ada satu hal yang harus kalian tahu.”

Ia menunjuk gambar denah rumah sakit yang tergantung di dinding.

“Gedung ini punya dua belas lantai,” lanjutnya. “Tapi di lift kalian akan lihat ada tombol untuk lantai tiga belas.”

Sinta saling pandang dengan perawat lain.

“Itu… semacam kesalahan arsitek?” tanya salah satu dari mereka, seorang cowok bernama Iwan.

Bu Rini menggeleng pelan. “Nggak. Itu lantai yang... tidak seharusnya ada. Dan kalian harus ingat: jangan pernah tekan tombol itu. Jangan sekalipun mencoba naik ke sana, apapun alasannya.”

Sinta merinding. Tapi rasa penasarannya tumbuh liar. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi Bu Rini sudah beranjak dari kursi.

“Mulai hari ini, kalian dibagi shift malam. Sinta, kamu di UGD. Iwan dan Mira di ruang isolasi lantai 5. Laporan mulai jam tujuh malam.”

---

Malam pertamanya jaga datang lebih cepat dari yang ia harapkan. Sinta duduk sendirian di ruang UGD, hanya ditemani suara detak jam dinding dan dengung lampu neon yang kadang berderak. Pasien terakhir sudah tertidur, dan tak ada aktivitas berarti. Ia membuka jurnal kecil untuk mencatat shift pertamanya, ketika telepon meja tiba-tiba berdering.

Tring… Tring…

Sinta terlonjak. Ia meraih gagang telepon. “Halo, UGD?”

Tak ada suara.

“Halo?”

Lalu terdengar suara perempuan. Pelan, serak, dan nyaris tak terdengar.

“Tolong… ke lantai tiga belas… kamar 1313… pasiennya pendarahan…”

Klik.

Telepon mati.

Sinta menatap gagang telepon seperti menatap bom waktu. Jantungnya berdegup keras. Ia meletakkannya perlahan, berharap itu cuma salah sambung. Tapi… dia jelas mendengar: lantai tiga belas.

Ia berdiri, berjalan pelan ke arah lift. Lorong menuju lift gelap sebagian. Ia ragu. Tapi rasa penasaran lebih besar daripada ketakutannya. Lift terbuka dengan bunyi gemeretak besi tua. Ia masuk dan menatap tombol-tombol di dalam.

Ada.

Tombol 13 menyala samar merah di antara tombol 12 dan 14. Tidak mungkin.

Tangannya bergerak sendiri, menekan tombol itu.

Lift menutup. Bergerak naik dengan gerakan lambat dan berat. Sinta bisa mendengar tiap detik berlalu. 10… 11… 12…

13.

Denting lift berbunyi. Pintu terbuka perlahan…

Dan ia langsung disambut hawa dingin yang menusuk tulang. Lantai itu gelap. Tidak ada cahaya lampu, hanya bayangan panjang yang bergerak liar di dinding. Dindingnya penuh retakan, cat mengelupas, dan ada jejak tangan berdarah mengarah ke ujung lorong.

Sinta melangkah masuk. Setiap langkahnya bergema. Bau karat, jamur, dan darah menyengat.

Di ujung lorong ada pintu bertuliskan 1313. Terbuka sedikit.

Ia mendorongnya pelan.

Ranjang rumah sakit berdiri di tengah ruangan, dan di atasnya… ada sosok perempuan. Tubuhnya dipenuhi darah, rambut panjang menutupi sebagian wajah, dan... wajahnya mirip dirinya sendiri.

Sinta terpaku.

Sosok itu membuka mata. Hitam. Kosong.

Senyum lebar muncul di wajahnya. “Akhirnya kamu datang juga.”

Tiba-tiba, sosok itu menjerit. Telinga Sinta berdengung, matanya berkunang, dan pandangannya menggelap.

---

Sinta terbangun di ruang UGD. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Jam menunjukkan pukul 05.45 pagi. Di hadapannya berdiri Bu Rini dan dua satpam.

“Kamu pingsan di depan lift,” kata Bu Rini tegas. “Apa yang kamu lakukan?”

Sinta membuka mulut, ingin menjelaskan, tapi kata-katanya tercekat. Ia hanya bisa menunjuk ke arah lift.

“Tombol lantai 13,” katanya. “Aku ditelepon dari sana… kamar 1313…”

Bu Rini menatapnya lama, lalu menghela napas.

“Tidak ada tombol 13 di lift ini, Sinta.”

Ia berbalik dan menekan tombol lift. Pintu terbuka. Sinta menatapnya. Tidak ada tombol 13. Hanya 1 sampai 12, dan tombol darurat.

Sinta membeku. Ia tahu apa yang ia lihat semalam. Ia mendengarnya. Ia menyentuh tombolnya.

Tapi sekarang… semuanya seolah tak pernah ada.

Dan di saku bajunya, ia menemukan sesuatu. Secarik kertas kecil, basah oleh darah kering.

Tertulis:

"Kamu sudah membuka pintunya. Kami akan menjemputmu kembali."

---

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
28 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status