Sinta, perawat magang di Rumah Sakit Umum Kartika, tak pernah menyangka bahwa panggilan telepon pertamanya akan datang dari lantai yang tak seharusnya ada—lantai tiga belas. Sejak malam itu, hidupnya berubah menjadi teror yang tak berkesudahan. Lorong-lorong sunyi, suara langkah di tengah malam, dan sosok perempuan yang menyerupainya—semuanya membawa Sinta semakin dekat pada rahasia kelam yang terkubur di rumah sakit tua itu. Namun semakin ia menggali, semakin ia sadar... mungkin lantai tiga belas bukan hanya bagian dari bangunan. Mungkin, lantai itu adalah pintu ke dunia yang tak bisa ia tinggalkan. “Jangan pernah naik ke lantai tiga belas... karena sekali kamu ke sana, kamu tak akan kembali sebagai dirimu yang dulu.”
View MoreSinta berdiri di depan gedung tua itu, napasnya menggumpal dalam udara pagi yang dingin. Rumah Sakit Umum Kartika menjulang di hadapannya, dindingnya kelabu kehijauan seperti lumut yang menempel pada ingatan masa lalu. Kota Salaka mungkin kecil dan tenang, tapi rumah sakit ini menyimpan sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang bahkan sebelum ia melangkah masuk.
Hari itu adalah hari pertamanya sebagai perawat magang. “Bismillah,” gumamnya, menarik napas panjang. Dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu kaca yang berat dan langsung disambut aroma khas antiseptik dan karbol yang menusuk hidung. Di dalam, suasana masih sepi. Jam dinding menunjuk pukul 06.30. Beberapa perawat senior lalu-lalang dengan tatapan lesu. Ada sesuatu yang terasa… berat. Seolah rumah sakit ini menahan napas, menyembunyikan sesuatu di balik lorong-lorong panjang dan lampu yang meredup setiap beberapa detik. “Perawat Sinta?” suara wanita paruh baya menyentaknya dari lamunan. “Saya Bu Rini. Kamu ikut saya ke ruang briefing, ya.” Sinta mengikuti wanita itu melewati koridor yang sepi, melewati ruang UGD, IGD, dan akhirnya masuk ke ruang kecil berisi lima kursi dan satu papan tulis. Di sana sudah ada dua perawat magang lain yang tampak sama gugupnya. Bu Rini menutup pintu, lalu berbicara dengan nada serius. “Saya nggak akan bertele-tele. Rumah sakit ini punya aturan sendiri. Di luar protokol medis, ada satu hal yang harus kalian tahu.” Ia menunjuk gambar denah rumah sakit yang tergantung di dinding. “Gedung ini punya dua belas lantai,” lanjutnya. “Tapi di lift kalian akan lihat ada tombol untuk lantai tiga belas.” Sinta saling pandang dengan perawat lain. “Itu… semacam kesalahan arsitek?” tanya salah satu dari mereka, seorang cowok bernama Iwan. Bu Rini menggeleng pelan. “Nggak. Itu lantai yang... tidak seharusnya ada. Dan kalian harus ingat: jangan pernah tekan tombol itu. Jangan sekalipun mencoba naik ke sana, apapun alasannya.” Sinta merinding. Tapi rasa penasarannya tumbuh liar. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi Bu Rini sudah beranjak dari kursi. “Mulai hari ini, kalian dibagi shift malam. Sinta, kamu di UGD. Iwan dan Mira di ruang isolasi lantai 5. Laporan mulai jam tujuh malam.” --- Malam pertamanya jaga datang lebih cepat dari yang ia harapkan. Sinta duduk sendirian di ruang UGD, hanya ditemani suara detak jam dinding dan dengung lampu neon yang kadang berderak. Pasien terakhir sudah tertidur, dan tak ada aktivitas berarti. Ia membuka jurnal kecil untuk mencatat shift pertamanya, ketika telepon meja tiba-tiba berdering. Tring… Tring… Sinta terlonjak. Ia meraih gagang telepon. “Halo, UGD?” Tak ada suara. “Halo?” Lalu terdengar suara perempuan. Pelan, serak, dan nyaris tak terdengar. “Tolong… ke lantai tiga belas… kamar 1313… pasiennya pendarahan…” Klik. Telepon mati. Sinta menatap gagang telepon seperti menatap bom waktu. Jantungnya berdegup keras. Ia meletakkannya perlahan, berharap itu cuma salah sambung. Tapi… dia jelas mendengar: lantai tiga belas. Ia berdiri, berjalan pelan ke arah lift. Lorong menuju lift gelap sebagian. Ia ragu. Tapi rasa penasaran lebih besar daripada ketakutannya. Lift terbuka dengan bunyi gemeretak besi tua. Ia masuk dan menatap tombol-tombol di dalam. Ada. Tombol 13 menyala samar merah di antara tombol 12 dan 14. Tidak mungkin. Tangannya bergerak sendiri, menekan tombol itu. Lift menutup. Bergerak naik dengan gerakan lambat dan berat. Sinta bisa mendengar tiap detik berlalu. 10… 11… 12… 13. Denting lift berbunyi. Pintu terbuka perlahan… Dan ia langsung disambut hawa dingin yang menusuk tulang. Lantai itu gelap. Tidak ada cahaya lampu, hanya bayangan panjang yang bergerak liar di dinding. Dindingnya penuh retakan, cat mengelupas, dan ada jejak tangan berdarah mengarah ke ujung lorong. Sinta melangkah masuk. Setiap langkahnya bergema. Bau karat, jamur, dan darah menyengat. Di ujung lorong ada pintu bertuliskan 1313. Terbuka sedikit. Ia mendorongnya pelan. Ranjang rumah sakit berdiri di tengah ruangan, dan di atasnya… ada sosok perempuan. Tubuhnya dipenuhi darah, rambut panjang menutupi sebagian wajah, dan... wajahnya mirip dirinya sendiri. Sinta terpaku. Sosok itu membuka mata. Hitam. Kosong. Senyum lebar muncul di wajahnya. “Akhirnya kamu datang juga.” Tiba-tiba, sosok itu menjerit. Telinga Sinta berdengung, matanya berkunang, dan pandangannya menggelap. --- Sinta terbangun di ruang UGD. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Jam menunjukkan pukul 05.45 pagi. Di hadapannya berdiri Bu Rini dan dua satpam. “Kamu pingsan di depan lift,” kata Bu Rini tegas. “Apa yang kamu lakukan?” Sinta membuka mulut, ingin menjelaskan, tapi kata-katanya tercekat. Ia hanya bisa menunjuk ke arah lift. “Tombol lantai 13,” katanya. “Aku ditelepon dari sana… kamar 1313…” Bu Rini menatapnya lama, lalu menghela napas. “Tidak ada tombol 13 di lift ini, Sinta.” Ia berbalik dan menekan tombol lift. Pintu terbuka. Sinta menatapnya. Tidak ada tombol 13. Hanya 1 sampai 12, dan tombol darurat. Sinta membeku. Ia tahu apa yang ia lihat semalam. Ia mendengarnya. Ia menyentuh tombolnya. Tapi sekarang… semuanya seolah tak pernah ada. Dan di saku bajunya, ia menemukan sesuatu. Secarik kertas kecil, basah oleh darah kering. Tertulis: "Kamu sudah membuka pintunya. Kami akan menjemputmu kembali." ---Langit pagi tampak tenang di kota. Burung-burung berkicau, udara dingin menyentuh dedaunan yang bergoyang perlahan. Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, seorang ibu duduk di ruang tamu dengan wajah pucat dan mata bengkak. Di pangkuannya, sebuah foto lama—foto Sinta.Sudah tiga hari sejak Sinta menghilang.Polisi, relawan, dan tim medis sudah menyisir rumah sakit tua itu, tapi tak ada satu pun jejaknya. Bahkan pintu ke ruang bawah tanah yang ditemukan oleh Fara—dan dulu sempat menjadi jalan keluar mereka—telah hilang. Tertutup tembok beton seolah tak pernah ada.Di sisi lain kota, Fara duduk terpaku di depan layar laptopnya. Matanya kosong, tangan gemetar, wajahnya pucat pasi. Di layar, muncul satu email misterius tanpa nama pengirim, hanya subjek: “Dia belum keluar.”Isi email hanya satu gambar:Sinta berdiri di lorong rumah sakit… dengan latar belakang yang gelap dan kabur. Di belakangnya, bayangan-bayangan samar anak-anak terlihat merangkak, tersenyum dengan wajah hancur.>
Langit masih gelap ketika Fara dan Sinta sampai di depan bangunan tua itu. Rumah Sakit Sumber Asih berdiri seperti bangkai raksasa yang sudah lama ditinggalkan, namun menyimpan sesuatu yang masih… hidup. Bau karbol busuk, darah kering, dan daging membusuk langsung menyambut begitu mereka melangkah masuk. Bangunan itu telah berubah. Bukan hanya karena waktu—tapi karena batas antara dunia nyata dan dunia lain sudah hancur. Dindingnya kini berdenyut pelan seperti kulit manusia. Lantai seakan bernapas. Dan di kejauhan, mereka bisa mendengar jeritan yang datang dari arah yang tidak jelas. > “Kita ke lantai bawah. Ruang isolasi,” kata Fara mantap. Sinta menggenggam salib kecil di lehernya. Mulutnya komat-kamit membaca doa, tapi suaranya makin hilang—karena suara tawa dari anak-anak kecil mulai terdengar menggema. > “Kita sudah kembali…” “Ibu bilang jangan bawa mereka…” “Sekarang kita bisa main selamanya…” Lampu senter yang mereka bawa mulai berkedip, lalu padam. Fara menyalakan kore
Pintu kamar Fara berderit tertutup rapat. Sinta berdiri mematung di tengah ruang tamu yang hanya disinari cahaya temaram dari lampu lorong. Udara berubah dingin, menusuk tulang, dan aroma menyengat dari alkohol rumah sakit mulai memenuhi ruangan. Suara itu terdengar lagi—lebih jelas, lebih dekat. > “Sinta… kenapa kamu tinggalkan aku…?” Ia menoleh perlahan. Di pojok ruangan, terlihat bayangan tubuh seseorang, membungkuk dan menggeliat tak wajar. Rambut panjang menutupi wajahnya. Seragam rumah sakit putih, lusuh dan bernoda, mengisyaratkan sosok itu bukan bagian dari dunia ini. Tubuh Sinta gemetar, matanya membelalak, dan napasnya tercekat. “Hi… Hilda?” gumamnya lirih. Tapi yang berdiri di sana bukan Hilda. Ketika sosok itu menegakkan tubuhnya, wajahnya perlahan terlihat—dan Sinta ingin menjerit. Bukan karena kengerian semata, tapi karena wajah itu seolah campuran dari banyak anak. Mata satu besar, satu kecil. Kulitnya tambal sulam, seperti bekas dijahit dari beberapa wajah yang
Petir terakhir yang menyambar langit menyisakan keheningan mencekam. Fara masih menggenggam tubuh Sinta yang kaku dan dingin. Ia panik, menepuk-nepuk pipi sahabatnya.> “Sinta! Bangun! Jangan tinggalin aku!”Sinta tiba-tiba terbatuk keras, lalu membuka mata dengan napas terengah-engah.> “Aku… aku melihat mereka, Fara… anak-anak itu… mereka… masih di sana…”Fara membantu Sinta berdiri, tapi tiba-tiba mereka melihat sesuatu di dinding ruang tamu. Sebuah pintu—padahal sebelumnya tak pernah ada.Pintu tua dengan angka 17 terpaku di bagian atasnya. Lukisan kayunya dipenuhi goresan seperti cakaran, dan dari balik celahnya, terdengar suara ketukan pelan… tok… tok… tok…Sinta memegang tangan Fara erat.> “Itu… kamar yang tidak pernah selesai dibuka di rumah sakit dulu… Kamar Tujuh Belas.”> “Tapi ini rumahku,” kata Fara lirih.> “Mereka bawa kamarnya ke sini,” bisik Sinta. “Kita belum selesai…”Tanpa sadar, pintu itu terbuka perlahan. Kabut tipis merambat keluar seperti napas dingin dari dun
Langit Serang malam itu mendung. Angin menggugurkan daun-daun kering, menampar jendela rumah Fara seperti ingin menyampaikan pesan yang tak bisa diucapkan.Di kamar, Sinta terbangun dari tidurnya. Napasnya memburu. Keringat membasahi pelipis. Mimpi itu lagi.Ia berada di lorong rumah sakit yang tak berujung. Lampu menyala satu per satu saat ia berjalan, dan dari balik tirai-tirai putih, suara rintihan anak-anak memanggil namanya.> “Sinta… tolong kami…”Tapi malam ini berbeda. Saat ia menoleh ke belakang, ia melihat bayangan tinggi besar, tubuh terbakar setengah, dengan wajah rusak menganga.Dr. Mardika.Masih hidup… atau lebih buruk—masih ada.Sinta duduk di tepi ranjang. Dari dapur, terdengar suara Fara berbicara pelan. Ia turun perlahan, dan mendapati sahabatnya itu menatap layar laptop dengan mata membelalak.“Far, kamu ngapain?” tanya Sinta.Fara menunjuk layar. Sebuah rekaman video dari kamera pengintai lama. Ia menemukannya di forum gelap—forum yang hanya bisa diakses dengan ko
Motor tua Pak Darmo meraung menembus jalanan kecil yang mengarah ke desa. Fara berpegangan erat pada sandaran belakang, sementara Sinta mendekap tubuh sendiri, matanya masih menyapu kabut tipis di belakang—tak percaya mereka berhasil keluar dari tempat itu.Tapi di dalam dada, ada yang belum tenang.Fara menoleh, napasnya belum stabil. “Pak… Bapak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana?”Pak Darmo tak menjawab langsung. Matanya lurus ke jalan, rahangnya mengeras.> “Kalian beruntung… bisa keluar. Banyak yang nggak sempat cerita. Banyak yang milih diam, atau… hilang waras.”Sinta memejamkan mata, bisikan suara anak-anak itu masih terngiang.> “Ibu… kenapa Ibu pergi…?”“Aku masih denger suara mereka…” gumamnya pelan.Pak Darmo melirik lewat kaca spion. “Wajar. Karena sebagian dari mereka mungkin… nyari kamu, Nduk.”Sinta tersentak. “Kenapa… aku?”Pak Darmo menarik napas panjang. Mereka berhenti di depan sebuah rumah kecil yang sepi, hanya diterangi lampu minyak. Di dalamnya, sudah men
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments