author-banner
Kelaras ijo
Kelaras ijo
Author

Novels by Kelaras ijo

Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun

Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun

Di balik ketenangan sebuah desa terpencil, tersembunyi rahasia kelam yang tak boleh diganggu. Bukit kecil, dua pohon beringin tua, sumur peninggalan Belanda, dan rawa yang tampak biasa ternyata menjadi gerbang menuju dunia lain—kampung bangsa lelembut yang tak kasat mata. Reza, perantau yang pulang kampung, tak sengaja melanggar larangan tak tertulis: Jangan pernah ambil sesuatu dari tanah itu. Sejak saat itu, dunia sekitarnya berubah. Bayangan-bayangan muncul dari kabut, suara-suara dari sumur memanggil namanya, dan sosok yang menyerupai dirinya sendiri mulai menampakkan wujud... Tanah Larangan adalah novel horor berdasarkan kisah nyata dari sebuah desa wingit di Indonesia. Atmosfer mencekam, teror perlahan yang merayap, dan misteri gaib yang siap menarik pembaca ke dunia lain—ini bukan sekadar cerita, ini adalah peringatan. Apakah kamu cukup berani untuk masuk, dan keluar dengan selamat? ---
Read
Chapter: Bersih Desa, Persembahan untuk Penjaga Alam
Pagi setelah malam terakhir pertunjukan, suasana desa masih dipenuhi sisa-sisa kegembiraan. Namun kini, warga mulai bersiap untuk agenda penting selanjutnya: acara bersih desa.Matahari baru saja naik ketika dentang kentongan berbunyi tiga kali—tanda bagi seluruh warga untuk berkumpul. Dari berbagai penjuru, orang-orang datang membawa hasil panen: singkong, ketela, kelapa, labu, jagung, dan berbagai sayuran segar. Anak-anak membawa ayam kampung hidup-hidup, sementara para lelaki dewasa menggiring seekor kerbau besar yang akan dijadikan sesaji utama.Lapangan desa yang kemarin dipenuhi panggung dan penonton, kini berubah menjadi dapur raksasa. Warga perempuan sibuk menyiapkan bumbu dan alat masak. Periuk besar didirikan, dan api unggun menyala di beberapa titik. Bau rempah dan daging mulai menguar, membuat suasana hangat dan penuh kebersamaan.Semua sibuk tapi bahagia. Tak ada yang bersungut. Tak ada yang merasa diperintah. Hari itu, semua bekerja atas kesadaran dan tradisi yang sudah
Last Updated: 2025-05-01
Chapter: Menari di Ambang Dua Dunia
Malam ketujuh datang dengan gegap gempita yang belum pernah terjadi sebelumnya. Langit malam terang oleh cahaya lentera minyak dan obor yang berderet dari ujung desa sampai lapangan. Irama gamelan menggema lebih cepat dan meriah, pertanda bahwa pertunjukan terakhir akan segera dimulai. Warga desa dan pendatang makin memadati lapangan. Bahkan banyak yang duduk di atas pohon, pagar, dan atap rumah hanya untuk menyaksikan acara ini.Wayang kulit malam ini mengangkat lakon penutup: "Semar Bangun Kayangan", kisah tentang keharmonisan dunia manusia dan dunia gaib, yang diyakini sebagai simbol damai antara dua alam.Di tengah kemeriahan, para penari kuda lumping mulai melakukan tarian pembuka. Dentuman kendang dan suara gong semakin memicu semangat penonton. Namun tanpa diduga, salah satu penari perempuan—berparas ayu dan dikenal pendiam—mendadak jatuh terduduk. Tubuhnya bergetar, matanya menatap kosong ke langit.Orang-orang mulai berdesakan. Seorang sesepuh mendekat, hendak menolong, namun
Last Updated: 2025-05-01
Chapter: Tarian Dua Dunia
Malam keenam turun dengan hawa yang berbeda. Tidak lagi menakutkan atau penuh tekanan seperti malam-malam sebelumnya. Justru ada sesuatu yang terasa... hangat. Seperti desa kecil ini tengah berada di antara dua dunia yang berdamai sejenak.Pertunjukan kuda lumping baru saja dimulai. Musik kendang menghentak ritmis, membuat jantung para penonton berdetak seirama. Asap dupa mengepul dari berbagai sudut lapangan desa, menciptakan aroma yang membuat kepala sedikit ringan. Para penari mulai kerasukan satu per satu, melompat, mengunyah pecahan kaca, bahkan ada yang merangkak seperti kuda liar.Namun malam itu, sesuatu yang luar biasa terjadi.Di antara kerumunan penonton, sosok-sosok tak biasa mulai terlihat—berdiri di tempat yang tak seharusnya ada ruang. Mereka berpakaian seperti penari dari masa lampau, mengenakan baju tradisional berwarna redup, dan wajah mereka… samar, seolah berada dalam kabut. Tapi mereka tak menakuti. Warga yang hadir malam itu merasa tenang, damai.Tiba-tiba, salah
Last Updated: 2025-05-01
Chapter: Di Balik Hiruk Pikuk
Hari kedua pertunjukan dibuka dengan iring-iringan kuda lumping dari arah barat desa. Debu beterbangan, langkah-langkah kaki para pemain menabuh tanah, diiringi suara kendang dan gong yang menghentak hati. Para pengunjung dari desa tetangga mulai berdatangan, memenuhi lapangan bahkan sampai ke gang pinggir jalan. Lapak-lapak dagangan berjejer, menjual jajanan pasar, mainan anak-anak, hingga pernak-pernik mistik seperti gelang akar bahar, tasbih dari batu akik, dan dupa khusus pemanggil energi leluhur. Warga desa sendiri sibuk melayani tamu-tamu yang datang. Rumah-rumah yang biasanya sepi kini ramai dengan keluarga jauh yang ingin menyaksikan acara langka ini. Banyak yang percaya bahwa pertunjukan ini bukan sekadar hiburan, tapi momen sakral yang hanya terjadi beberapa generasi sekali. Suara gamelan kembali menggema menjelang siang, menandakan kuda lumping dimulai. Para pemain tampak lebih liar dari hari pertama. Ada yang melompat tinggi, menggigit pecahan kaca, hingga menari di atas
Last Updated: 2025-05-01
Chapter: Hari Pertama Perjanjian
Pagi itu, kabut masih belum sepenuhnya mengangkat dari permukaan tanah. Aroma embun dan tanah basah menyeruak di sepanjang jalan desa yang mulai dipenuhi bisik-bisik warga. Malam sebelumnya, sebagian dari mereka memang sudah mendengar gamelan misterius dan suara angin mendesir seperti ratapan. Tapi tak ada yang benar-benar berani bicara—hingga hari ini.Bu Darmi berdiri di pelataran balai desa, mengenakan kebaya cokelat tua dan selendang hitam, wajahnya serius namun tenang. Di sampingnya, Reza berdiri diam. Tatapannya tajam menembus kerumunan, seolah mencari wajah-wajah yang masih ragu untuk percaya.Pak RT, lelaki paruh baya yang biasanya dikenal santai, kali ini bersuara lantang dan tegas.“Saudara-saudara…!” serunya sambil mengetuk kentongan kecil.Warga mulai berkumpul, beberapa masih dengan sarung dan kain lusuh, sebagian lain tampak penasaran dan khawatir.“Kami memanggil kalian semua bukan tanpa sebab,” lanjut Pak RT. “Tadi malam, sesuatu terjadi… sesuatu yang melibatkan alam y
Last Updated: 2025-04-30
Chapter: Duel Dua alam
Saat kabut mulai menipis dan udara kembali tenang, suara gamelan yang semula mencekam kini terdengar lirih, seperti sayup-sayup suara rintihan angin yang kelelahan. Sosok Putri Tanjung Biru perlahan kembali muncul dari bayang kabut, kali ini dalam wujud lamanya — sosok perempuan cantik berbalut gaun kabut biru yang telah sobek di beberapa bagian. Wajahnya pucat, penuh luka bercahaya, tapi matanya tak lagi menyala amarah, melainkan kelelahan dan… pengakuan.Ia menatap utusan dari Laut Kidul yang masih berdiri tegak, tak tersentuh sedikit pun.“Aku kalah…” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar, tapi seluruh alam seperti ikut mendengar dan diam menyimak.Langkahnya gontai. Ia menunduk dengan hormat, memberi penghormatan pada kekuatan yang lebih tua dan lebih agung.“Aku... akan menghentikan semua ini. Tak akan ada lagi penyerangan. Tak akan ada lagi pemaksaan wilayah. Tapi…” ia menatap Reza, Ki Harjo, dan Bu Darmi yang kini berdiri di tepian rawa. “Aku punya satu syarat.”Utusan Laut Kidu
Last Updated: 2025-04-30
lantai tiga belas

lantai tiga belas

Sinta, perawat magang di Rumah Sakit Umum Kartika, tak pernah menyangka bahwa panggilan telepon pertamanya akan datang dari lantai yang tak seharusnya ada—lantai tiga belas. Sejak malam itu, hidupnya berubah menjadi teror yang tak berkesudahan. Lorong-lorong sunyi, suara langkah di tengah malam, dan sosok perempuan yang menyerupainya—semuanya membawa Sinta semakin dekat pada rahasia kelam yang terkubur di rumah sakit tua itu. Namun semakin ia menggali, semakin ia sadar... mungkin lantai tiga belas bukan hanya bagian dari bangunan. Mungkin, lantai itu adalah pintu ke dunia yang tak bisa ia tinggalkan. “Jangan pernah naik ke lantai tiga belas... karena sekali kamu ke sana, kamu tak akan kembali sebagai dirimu yang dulu.”
Read
Chapter: jam tiga tiga belas
Pukul 03.13.Waktu terlarang. Waktu yang seharusnya tak pernah ada.Di rumah sakit ini, jam 03.13 bukan sekadar angka. Ia adalah jeda antara dunia, celah sempit tempat roh-roh tidak tahu mereka sudah mati, tempat lantai 13 menganga menunggu mangsanya.Dan malam ini... waktunya telah tiba.---Dimas duduk di ruang jaga. Tubuhnya lemas, keringat dingin membasahi punggung. Sejak kejadian semalam, ia tidak bisa tidur. Matanya merah, bibirnya kering, dan pikirannya... pecah.Ia tak tahu mana kenyataan, mana bayangan. Ia tak tahu apakah ia masih manusia, atau hanya refleksi yang belum sadar bahwa tubuhnya sudah digantikan.Karena sejak insiden di ruang pendingin itu, ia merasa ringan. Terlalu ringan.Seperti... ia bukan lagi dirinya.Dimas mengusap wajah. Lalu menatap cermin kecil di meja.Bayangannya... mengedipkan mata tanpa ia ikut mengedip.Jantungnya mencelos. Ia menjatuhkan cermin itu ke lantai—pecah berkeping-keping.Dan dari serpihannya, bayangannya muncul di setiap pecahan, semuany
Last Updated: 2025-04-10
Chapter: cermin ke dua
Sudah tiga hari sejak Dimas “keluar” dari lorong itu. Tapi ia tahu, dirinya tidak benar-benar kembali. Ada sesuatu yang tertinggal di sana. Atau lebih parah… ada sesuatu yang ikut dengannya ke dunia ini.Setiap malam, Dimas duduk di ruang jaga dengan pandangan kosong. Ia tidak tidur. Ia tak sanggup. Karena tiap kali ia memejamkan mata, ia kembali ke lorong itu. Kembali ke dinding yang bernafas, ke suara jeritan tanpa bentuk, ke cermin yang retak dan senyum miliknya yang bukan miliknya.Dan tiap kali ia bangun… sesuatu berubah.Pertama, bayangannya di cermin tak selalu mengikuti geraknya.Kedua, jam dinding di ruang jaga berhenti pada pukul 03:13 tiap malam, lalu bergerak kembali lima menit kemudian, seolah tak terjadi apa-apa.Ketiga, dan ini yang paling membuatnya takut—orang-orang mulai menghilang.Awalnya hanya rumor. Seorang pasien di lantai 3 yang kabur tanpa jejak. Lalu seorang perawat yang katanya tidak pulang sejak shift malam. Dan pagi ini, kabar terbaru: dr. Rendra, kepala r
Last Updated: 2025-04-10
Chapter: jangan menoleh
Dimas berdiri membeku di depan pintu besi besar bertuliskan “Ruang Pendingin”. Tangannya menggenggam erat tuas dingin yang berembun, tapi tubuhnya seolah tak sanggup bergerak. Nafasnya menggantung di udara, berasap, meski seharusnya ruangan itu belum terbuka.Di belakangnya, langkah itu kembali terdengar.Berat. Teratur. Menyeret. Makin dekat.Guguk… guguk… gukkk…Dimas memejamkan mata. Ia ingat pesan Sinta:“Jangan menoleh… apapun yang kamu dengar.”Tapi suara itu… kini bukan hanya langkah.Ada suara bisikan—tak jelas kata-katanya, seperti suara orang berbicara dalam mimpi buruk, berulang-ulang, makin cepat, makin bising. Seolah banyak mulut berteriak langsung ke telinganya.“JANGAN MENOLAK… JANGAN MENOLAK… JANGAN MENOLAK…”Ia hampir menoleh. Tapi gigi bawahnya menggigit bibir sampai darah merembes. Ia menahan.Dengan satu hentakan, Dimas memutar tuas. Suara logam tua berderit panjang, dan udara dingin seperti es menyembur keluar. Kabut tebal menyelimuti tubuhnya saat pintu membuka.
Last Updated: 2025-04-10
Chapter: lorong tak berujung
Dimas tak tahu sudah berapa lama ia berada di dalam.Lorong lantai tiga belas itu... tidak seperti lantai biasa. Panjangnya tidak masuk akal. Saat ia berjalan, langkahnya menggema, tapi dinding tak pernah mendekat. Setiap beberapa meter, cahaya lampu di atas berkedip—ritmis, seakan berdetak.Detak… yang perlahan menyerupai suara jantung. Bukan jantungnya.Seseorang… atau sesuatu… sedang hidup di lorong ini.Ia menoleh ke belakang—pintu masuk telah menghilang. Dinding di belakangnya kini menyatu seperti tak pernah ada pintu di sana.“Tenang... tenang... ini cuma... bangunan tua…” gumam Dimas, mencoba menenangkan diri.Tapi jantungnya justru berdebar lebih keras saat terdengar suara lain… langkah kaki yang bukan miliknya. Berat, lambat, berulang.Dimas berhenti. Langkah itu juga berhenti.Ia mulai berlari.Dan di tengah lari itu, ia melihatnya—ruang 1313.Pintu itu terbuka sedikit.Lampu di dalamnya berpendar merah. Tapi kali ini, ada suara dari dalam. Bukan jeritan. Bukan tawa.Doa.Se
Last Updated: 2025-04-10
Chapter: tanda yang tertinggal
Rumah Sakit Kartika mulai berubah.Bukan secara fisik—lantai, dinding, dan koridornya masih terlihat sama. Tapi ada sesuatu di udara, sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan logika. Bau obat-obatan digantikan aroma besi karat dan tanah basah. Cahaya matahari yang biasanya menyelinap melalui jendela pagi, kini terasa dingin. Redup.Dan yang paling terasa… adalah suasana. Ketegangan. Sunyi yang tidak wajar.Seluruh staf merasakannya, meskipun mereka tak mengatakannya secara langsung.Termasuk Dimas.Sudah tiga hari berlalu sejak Sinta menghilang. Tidak ada kabar, tidak ada laporan polisi, dan yang paling mengganggu: tidak ada yang mengingat keberadaan Sinta dengan pasti. Data dirinya seperti menguap. Beberapa orang bahkan bertanya, “Sinta siapa ya?”Dimas tahu dia tidak gila.Ia melihat sendiri wajah Sinta. Mendengar ceritanya. Membaca arsip dengan tangan sendiri. Tapi kini, semua itu seperti ilusi.Dan pagi itu, ia melihat sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.Di papan shift ruan
Last Updated: 2025-04-10
Chapter: cermin ke dua
Sinta tidak tahu di mana ia berada. Yang ia ingat hanya cahaya remang, suara detak jam yang menggaung tak henti, dan tubuhnya sendiri—atau setidaknya, sesuatu yang menyerupai tubuhnya—yang terbaring di ranjang ruang 1313.Sekarang, ia berdiri dalam ruangan serba abu-abu. Dinding-dinding kosong tanpa jendela, dan di setiap sisinya… cermin.Cermin yang memantulkan sosoknya, tapi tak seratus persen identik. Di salah satu cermin, ia tampak tersenyum—senyum yang menyeramkan. Di cermin lain, ia menangis darah. Dan di pojok kanan… ia melihat dirinya sendiri berdiri dengan kepala tertunduk dan rambut menutupi wajah, seperti mayat hidup.Sinta mundur, panik. Tapi lantai di bawahnya terasa seperti lumpur, setiap langkah terasa berat dan lengket. Suaranya menggema, dan untuk pertama kalinya, ia sadar...Ia bukan satu-satunya yang ada di sini.Seseorang—atau sesuatu—mengawasinya dari dalam cermin.Bukan bayangannya. Tapi makhluk lain.Makhluk itu tak berkedip, matanya hitam pekat seperti lubang t
Last Updated: 2025-04-10
You may also like
Pria Tak Kasat Mata
Pria Tak Kasat Mata
Horor · Moyna Pakhi
2.4K views
JERITAN HATI SANG KUNTILANAK
JERITAN HATI SANG KUNTILANAK
Horor · Triyuki Boyasithe
2.4K views
RANJANG BERDARAH
RANJANG BERDARAH
Horor · Dwrite
2.4K views
Putriku, Delia
Putriku, Delia
Horor · Shafitri Dumpaku
2.3K views
BENDA PENGLARIS
BENDA PENGLARIS
Horor · Mimah Muzammil
2.3K views
Ibu Susu untuk Bayi Gaib
Ibu Susu untuk Bayi Gaib
Horor · Hayisa Aaroon
2.2K views
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status