
Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain
Di sebuah desa di Jawa Tengah, tersembunyi sebuah curug (air terjun) kembar yang indah, menjadi surga wisata bagi warga sekitar. Airnya jernih, kolamnya dalam dan tenang, dikelilingi oleh perkebunan karet dan hutan kecil yang lebat. Setiap hari Minggu dan hari libur, tempat ini selalu ramai. Anak-anak berenang, keluarga piknik, remaja nongkrong sambil selfie.
Namun di balik keindahan itu, Curug Kembar menyimpan misteri tua: sebuah pohon karet yang mengeluarkan darah jika disadap, dan pohon dadap besar yang diyakini menjadi tempat bersemayam pusaka gaib: besi kuning.
Warga percaya, pusaka itu adalah penjaga keseimbangan antara dunia manusia dan dunia gaib di sekitar Curug Kembar. Tapi ketenangan itu hancur saat seseorang, demi pesugihan, nekat mengambil besi kuning dari akar pohon dadap.
Setelah pusaka itu diambil, kejadian-kejadian mengerikan mulai terjadi: orang kerasukan, penampakan sosok wajah merah, suara gamelan saat hujan turun, bahkan ada yang menghilang setelah masuk hutan. Puncaknya, saat hujan deras turun selama berhari-hari, tanah di atas curug longsor, menimbun kolam di bawahnya dan menyapu habis tempat rekreasi tersebut.
Kini, Curug Kembar ditinggalkan. Tak ada lagi yang berani datang. Warga percaya gerbang dunia lain telah terbuka. Dan sesuatu... telah lepas dari dalamnya.
อ่าน
Chapter: Warisan yang TerlupakanLangit sudah kelam saat makhluk bertanduk itu berdiri tegak di hadapan Arga. Kabut menggantung di sekitar kaki mereka, dan udara terasa lebih berat dari biasanya. Arga mencoba bicara, tapi suara tercekat di tenggorokannya. Makhluk itu melangkah lebih dekat, lalu berhenti hanya beberapa langkah darinya. > “Curug Kembar bukan milik dunia manusia. Tempat itu... adalah gerbang.” Arga menelan ludah. "Gerbang ke... mana?" > “Ke dunia yang pernah dilupakan. Dunia yang terbelah saat keserakahan dan ketakutan manusia memuncaknya.” Makhluk itu mengangkat tangannya. Kabut di sekeliling perlahan membuka, memperlihatkan bayangan samar: dua dunia yang hidup berdampingan tapi tak pernah bersentuhan. Yang satu terang dan damai, yang satunya gelap dan penuh jeritan. > “Kalian membukanya. Dan kini, keseimbangan hancur.” Arga menggeleng. “Kami... nggak tahu. Kami cuma—” > “Rino menutupnya dengan jiwanya. Tapi itu tak akan cukup lama.” Kalung di leher Arga kembali berdenyut. Kali ini lebih cepa
ปรับปรุงล่าสุด: 2025-06-19
Chapter: Tanpa Nama, Tanpa CeritaPagi itu, desa masih seperti biasa. Matahari bersinar, ayam berkokok, dan warga lalu-lalang membawa hasil kebun. Tapi bagi Arga, semuanya terasa asing. Terlalu damai, setelah malam penuh teror.Setelah sarapan, Arga duduk di serambi rumah nenek. Kalung Rino ia simpan dalam saku, hangat seperti baru dijemur. Ia termenung, memikirkan suara yang ia dengar semalam… dan sosok gelap yang mencoba masuk lewat pintu rumah."Curug Kembar…" gumamnya.Tak ada jawaban. Hanya suara angin menyapu daun.Di siang hari, Arga berkeliling desa. Ia mendatangi tetua-tetua, mencoba mencari tahu asal mula Curug Kembar. Tapi jawaban mereka selalu sama:> “Itu tempat lama. Sejak dulu memang gak pernah ada yang berani ke sana.”> “Curug itu… aneh. Gak masuk peta. Dulu pernah dicoba buat ditandai sama petugas, tapi hilang entah kemana.”> “Gak ada yang tahu, Le. Cuma mitos. Tapi mitos juga kadang benar.”Satu-satunya petunjuk datang dari seorang kakek tua yang tinggal di ujung desa, yang semua orang panggil Mbah
ปรับปรุงล่าสุด: 2025-06-18
Chapter: Malam-malam Sepi yang MembisikSejak malam itu, Arga tak pernah tidur nyenyak. Kalung peninggalan Rino—yang dulu biasa ia anggap sekadar kenang-kenangan—kini terasa seperti denyut kedua di dadanya. Kadang hangat, kadang bergetar pelan. Kadang... berdarah samar.Di rumah neneknya, suasana makin janggal. Ayam-ayam tak pernah berkokok, padahal pagi sudah tinggi. Nenek Arga pun mulai sering bicara sendiri. Katanya, “Pohon itu belum selesai, Ga… banyak yang belum pulang.”Arga diam saja. Matanya makin sayu, tubuhnya makin kurus. Tapi setiap malam, ia tetap tidur sambil menggenggam kalung Rino.Dan setiap malam… Rino memanggilnya dari dalam mimpi.> “Ga… pintunya belum rapet. Masih ada yang bocor…”> “Mereka nyari tubuh. Jangan sampai salah satu keluar…”Sampai suatu malam, Arga memutuskan untuk menulis semua yang ia alami. Ia tulis dengan tangan sendiri, di buku tulis bekas semasa sekolah dulu. Ia takut lupa. Atau lebih buruk: takut kelak ia sendiri tidak bisa membedakan apa yang nyata dan tidak.---Pagi harinya, sebua
ปรับปรุงล่าสุด: 2025-06-17
Chapter: Pintu TerakhirArga terbangun dengan napas memburu. Keringat membasahi pelipis dan lehernya. Tangannya gemetar menggenggam kalung Rino, yang kini menyala redup—seperti ada energi asing yang mengalir dari dalamnya.Ia menoleh pelan ke jendela.Dua ekor burung gagak masih bertengger di batang pohon pisang. Keduanya tidak bergerak, hanya menatap lurus ke arah Arga. Matanya merah menyala dalam gelap malam. Angin dingin masuk dari sela jendela yang sedikit terbuka, membawa suara sayup… seperti bisikan.> “Pintu akan terbuka lagi…”Arga menelan ludah. Ia berdiri pelan, menghampiri jendela. Tapi begitu ia membuka daun jendela lebih lebar, burung gagak itu mengepakkan sayap dan terbang menjauh… meninggalkan bulu hitam yang jatuh ke tanah.Arga mengambil bulu itu dan menggenggamnya. Tiba-tiba, dari dalam kalung Rino, cahaya menyemburat pelan membentuk simbol aneh—seperti dua daun pohon saling bersilang, dikelilingi lingkaran kecil.> “Jagain pintunya…”Kata-kata itu kembali terngiang di kepala Arga, makin je
ปรับปรุงล่าสุด: 2025-06-16
Chapter: Pulang Tanpa NisanLangit pagi tampak cerah, tapi suasana desa justru suram. Sudah seminggu Arga dan Rino dinyatakan hilang di Curug Kembar, dan pencarian besar-besaran tidak membuahkan hasil. Yang ditemukan hanya pakaian robek dan cincin Rino yang anehnya bersih, padahal sekitarnya berlumpur dan basah.Lalu pagi itu…Seorang warga melihat sosok familiar berjalan pelan dari arah hutan. Langkahnya pelan, matanya kosong, tubuhnya kurus dan lusuh.> “Itu… Arga?”“Gak mungkin… bukannya udah ilang?”“Apa itu arwahnya balik?”---Rumah NenekArga tidak langsung ke rumah ibunya.Ia berjalan lurus melewati gang kecil yang ditumbuhi semak liar, menuju rumah tua berdinding kayu — rumah neneknya, Mbah Sari, yang tinggal sendiri sejak suaminya meninggal.Pintu rumah berderit saat dibuka. Seorang wanita tua duduk di kursi goyang, matanya mulai kabur oleh usia. Tapi saat sosok Arga muncul di ambang pintu, tubuhnya langsung kaku.> “Arga…?”“Nek… ini Arga…”Mbah Sari menangis pelan, memeluk cucunya erat-erat, tapi waj
ปรับปรุงล่าสุด: 2025-06-15
Chapter: Perjamuan Para PenungguLangkah kaki mereka bergema di lantai batu. Udara di dalam “istana” itu seperti kabut yang menekan paru-paru. Langit-langit tinggi, dihiasi akar dan sulur yang menyala samar—seperti cahaya kunang-kunang yang dipaksa diam.Arga dan Rino berdiri di tengah aula raksasa.Di hadapan mereka, singgasana kayu tua menjulang. Duduk di sana, sosok perempuan berjubah hijau, kulitnya pucat seperti mayat yang belum sepenuhnya mati, tapi matanya lembut—bercahaya seperti embun pagi.> “Selamat datang, Penyeberang,” ucapnya. “Kalian terhisap ke dalam arus kuno... ke dalam rebutan antara penjaga dan perusak.”Rino menelan ludah.> “Kami gak ngerti, kami cuma mau balik—”> “Bukan kalian yang memilih. Tapi leluhur kalian. Desa kalian… berdiri di atas tanah perjanjian. Dua pohon dadap itu bukan pohon biasa, melainkan tiang pengikat antara dunia kami dan dunia kalian.”Arga menatap Rino. Matanya penuh amarah, kebingungan, dan… keputusasaan.> “Jadi semua ini… kutukan?!”> “Bukan kutukan,” jawab penjaga. “T
ปรับปรุงล่าสุด: 2025-06-14
Chapter: Dunia MerekaLangit pagi tampak tenang di kota. Burung-burung berkicau, udara dingin menyentuh dedaunan yang bergoyang perlahan. Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, seorang ibu duduk di ruang tamu dengan wajah pucat dan mata bengkak. Di pangkuannya, sebuah foto lama—foto Sinta.Sudah tiga hari sejak Sinta menghilang.Polisi, relawan, dan tim medis sudah menyisir rumah sakit tua itu, tapi tak ada satu pun jejaknya. Bahkan pintu ke ruang bawah tanah yang ditemukan oleh Fara—dan dulu sempat menjadi jalan keluar mereka—telah hilang. Tertutup tembok beton seolah tak pernah ada.Di sisi lain kota, Fara duduk terpaku di depan layar laptopnya. Matanya kosong, tangan gemetar, wajahnya pucat pasi. Di layar, muncul satu email misterius tanpa nama pengirim, hanya subjek: “Dia belum keluar.”Isi email hanya satu gambar:Sinta berdiri di lorong rumah sakit… dengan latar belakang yang gelap dan kabur. Di belakangnya, bayangan-bayangan samar anak-anak terlihat merangkak, tersenyum dengan wajah hancur.>
ปรับปรุงล่าสุด: 2025-06-03
Chapter: Dunia yang TerlupakanLangit masih gelap ketika Fara dan Sinta sampai di depan bangunan tua itu. Rumah Sakit Sumber Asih berdiri seperti bangkai raksasa yang sudah lama ditinggalkan, namun menyimpan sesuatu yang masih… hidup. Bau karbol busuk, darah kering, dan daging membusuk langsung menyambut begitu mereka melangkah masuk. Bangunan itu telah berubah. Bukan hanya karena waktu—tapi karena batas antara dunia nyata dan dunia lain sudah hancur. Dindingnya kini berdenyut pelan seperti kulit manusia. Lantai seakan bernapas. Dan di kejauhan, mereka bisa mendengar jeritan yang datang dari arah yang tidak jelas. > “Kita ke lantai bawah. Ruang isolasi,” kata Fara mantap. Sinta menggenggam salib kecil di lehernya. Mulutnya komat-kamit membaca doa, tapi suaranya makin hilang—karena suara tawa dari anak-anak kecil mulai terdengar menggema. > “Kita sudah kembali…” “Ibu bilang jangan bawa mereka…” “Sekarang kita bisa main selamanya…” Lampu senter yang mereka bawa mulai berkedip, lalu padam. Fara menyalakan kore
ปรับปรุงล่าสุด: 2025-06-03
Chapter: Menembus KegelapanPintu kamar Fara berderit tertutup rapat. Sinta berdiri mematung di tengah ruang tamu yang hanya disinari cahaya temaram dari lampu lorong. Udara berubah dingin, menusuk tulang, dan aroma menyengat dari alkohol rumah sakit mulai memenuhi ruangan. Suara itu terdengar lagi—lebih jelas, lebih dekat. > “Sinta… kenapa kamu tinggalkan aku…?” Ia menoleh perlahan. Di pojok ruangan, terlihat bayangan tubuh seseorang, membungkuk dan menggeliat tak wajar. Rambut panjang menutupi wajahnya. Seragam rumah sakit putih, lusuh dan bernoda, mengisyaratkan sosok itu bukan bagian dari dunia ini. Tubuh Sinta gemetar, matanya membelalak, dan napasnya tercekat. “Hi… Hilda?” gumamnya lirih. Tapi yang berdiri di sana bukan Hilda. Ketika sosok itu menegakkan tubuhnya, wajahnya perlahan terlihat—dan Sinta ingin menjerit. Bukan karena kengerian semata, tapi karena wajah itu seolah campuran dari banyak anak. Mata satu besar, satu kecil. Kulitnya tambal sulam, seperti bekas dijahit dari beberapa wajah yang
ปรับปรุงล่าสุด: 2025-06-03
Chapter: Kamar Tujuh BelasPetir terakhir yang menyambar langit menyisakan keheningan mencekam. Fara masih menggenggam tubuh Sinta yang kaku dan dingin. Ia panik, menepuk-nepuk pipi sahabatnya.> “Sinta! Bangun! Jangan tinggalin aku!”Sinta tiba-tiba terbatuk keras, lalu membuka mata dengan napas terengah-engah.> “Aku… aku melihat mereka, Fara… anak-anak itu… mereka… masih di sana…”Fara membantu Sinta berdiri, tapi tiba-tiba mereka melihat sesuatu di dinding ruang tamu. Sebuah pintu—padahal sebelumnya tak pernah ada.Pintu tua dengan angka 17 terpaku di bagian atasnya. Lukisan kayunya dipenuhi goresan seperti cakaran, dan dari balik celahnya, terdengar suara ketukan pelan… tok… tok… tok…Sinta memegang tangan Fara erat.> “Itu… kamar yang tidak pernah selesai dibuka di rumah sakit dulu… Kamar Tujuh Belas.”> “Tapi ini rumahku,” kata Fara lirih.> “Mereka bawa kamarnya ke sini,” bisik Sinta. “Kita belum selesai…”Tanpa sadar, pintu itu terbuka perlahan. Kabut tipis merambat keluar seperti napas dingin dari dun
ปรับปรุงล่าสุด: 2025-06-03
Chapter: Panggilan dari BawahLangit Serang malam itu mendung. Angin menggugurkan daun-daun kering, menampar jendela rumah Fara seperti ingin menyampaikan pesan yang tak bisa diucapkan.Di kamar, Sinta terbangun dari tidurnya. Napasnya memburu. Keringat membasahi pelipis. Mimpi itu lagi.Ia berada di lorong rumah sakit yang tak berujung. Lampu menyala satu per satu saat ia berjalan, dan dari balik tirai-tirai putih, suara rintihan anak-anak memanggil namanya.> “Sinta… tolong kami…”Tapi malam ini berbeda. Saat ia menoleh ke belakang, ia melihat bayangan tinggi besar, tubuh terbakar setengah, dengan wajah rusak menganga.Dr. Mardika.Masih hidup… atau lebih buruk—masih ada.Sinta duduk di tepi ranjang. Dari dapur, terdengar suara Fara berbicara pelan. Ia turun perlahan, dan mendapati sahabatnya itu menatap layar laptop dengan mata membelalak.“Far, kamu ngapain?” tanya Sinta.Fara menunjuk layar. Sebuah rekaman video dari kamera pengintai lama. Ia menemukannya di forum gelap—forum yang hanya bisa diakses dengan ko
ปรับปรุงล่าสุด: 2025-06-03
Chapter: Luka yang Belum KeringMotor tua Pak Darmo meraung menembus jalanan kecil yang mengarah ke desa. Fara berpegangan erat pada sandaran belakang, sementara Sinta mendekap tubuh sendiri, matanya masih menyapu kabut tipis di belakang—tak percaya mereka berhasil keluar dari tempat itu.Tapi di dalam dada, ada yang belum tenang.Fara menoleh, napasnya belum stabil. “Pak… Bapak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana?”Pak Darmo tak menjawab langsung. Matanya lurus ke jalan, rahangnya mengeras.> “Kalian beruntung… bisa keluar. Banyak yang nggak sempat cerita. Banyak yang milih diam, atau… hilang waras.”Sinta memejamkan mata, bisikan suara anak-anak itu masih terngiang.> “Ibu… kenapa Ibu pergi…?”“Aku masih denger suara mereka…” gumamnya pelan.Pak Darmo melirik lewat kaca spion. “Wajar. Karena sebagian dari mereka mungkin… nyari kamu, Nduk.”Sinta tersentak. “Kenapa… aku?”Pak Darmo menarik napas panjang. Mereka berhenti di depan sebuah rumah kecil yang sepi, hanya diterangi lampu minyak. Di dalamnya, sudah men
ปรับปรุงล่าสุด: 2025-06-03
Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun
Di balik ketenangan sebuah desa terpencil, tersembunyi rahasia kelam yang tak boleh diganggu. Bukit kecil, dua pohon beringin tua, sumur peninggalan Belanda, dan rawa yang tampak biasa ternyata menjadi gerbang menuju dunia lain—kampung bangsa lelembut yang tak kasat mata.
Reza, perantau yang pulang kampung, tak sengaja melanggar larangan tak tertulis: Jangan pernah ambil sesuatu dari tanah itu. Sejak saat itu, dunia sekitarnya berubah. Bayangan-bayangan muncul dari kabut, suara-suara dari sumur memanggil namanya, dan sosok yang menyerupai dirinya sendiri mulai menampakkan wujud...
Tanah Larangan adalah novel horor berdasarkan kisah nyata dari sebuah desa wingit di Indonesia. Atmosfer mencekam, teror perlahan yang merayap, dan misteri gaib yang siap menarik pembaca ke dunia lain—ini bukan sekadar cerita, ini adalah peringatan.
Apakah kamu cukup berani untuk masuk, dan keluar dengan selamat?
---
อ่าน
Chapter: Penjaga yang Tak TerlihatMeski salah satu pohon beringin telah tumbang, desa itu tak kembali dalam kegelapan seperti dulu. Tak ada jeritan tengah malam, tak ada bayangan hitam melayang di atap rumah warga, tak ada lagi tubuh-tubuh kaku dengan mata kosong. Kehidupan berjalan seperti biasa, seperti tak ada apa-apa yang pernah terjadi.Namun, mereka yang peka tahu: tempat itu tetap sakral. Rawa itu tetap angker. Aroma kemenyan masih sesekali terbawa angin. Dan suara-suara yang tak terlihat asalnya, kadang masih terdengar sayup dari balik pepohonan dan kabut dini hari.Warga desa telah belajar. Belajar dari masa lalu yang nyaris menenggelamkan mereka dalam ketakutan. Kini, mereka hidup berdampingan dengan yang tak kasat mata. Mereka tak menantang, tak mencari tahu terlalu dalam. Jika ada sesuatu yang terasa ganjil, mereka cukup menunduk dan berdoa. Jika ada kegiatan besar—hajatan, panen, atau acara adat—mereka akan kirim sesaji. Mengirim doa. Mengirim izin kepada Putri Tanjung Biru, sang penguasa rawa yang tak pe
ปรับปรุงล่าสุด: 2025-05-04
Chapter: Tumbangnya PenjagaWaktu terus berjalan. Desa kecil itu hidup dalam ketenangan dan kemakmuran. Tak banyak yang menyadari bahwa semua keseimbangan itu bukan hanya karena kerja keras manusia, melainkan juga karena perjanjian halus yang mengikat antara dunia nyata dan dunia tak kasatmata. Dua pohon beringin yang berdiri kokoh di tepi rawa menjadi simbol dari penjagaan itu—penjaga batas antara dua dunia.Namun pagi itu, awan hitam menyelimuti langit sejak dini hari. Kabut turun tebal, lebih pekat dari biasanya, menyusup ke setiap sudut desa. Angin berhembus dengan suara lirih yang menggigit, seolah membawa pesan yang tak bisa diucapkan.Saat matahari mulai naik perlahan di balik awan kelabu, terdengar suara keras dari arah rawa. Suara seperti benda besar yang tumbang menghantam tanah. Tanah desa bergetar, membuat para warga keluar rumah dengan panik.Mereka berlari ke arah sumber suara—dan di sanalah mereka melihatnya.Salah satu pohon beringin tumbang. Akarnya terangkat dari tanah, seperti dicabut paksa ol
ปรับปรุงล่าสุด: 2025-05-04
Chapter: Kepergian yang SunyiSore itu langit mendung menggantung, tapi tak satu pun hujan jatuh. Suasana terasa ganjil namun tenang. Di gubuk dekat pohon beringin, Reza duduk berdampingan dengan istrinya. Tak banyak kata, hanya tatapan yang berbicara. Ada yang akan pergi… dan hanya mereka berdua yang tahu pasti ke mana.Menjelang magrib, Reza mendatangi rumah Bu Darmi. Langkahnya pelan, tapi mantap. Istrinya menunggu di kejauhan, berdiri di bawah cahaya jingga senja.“Bu… kami pamit,” ucap Reza pelan. “Waktunya sudah tiba.”Bu Darmi menatapnya lama, seperti menimbang-nimbang rasa. “Kamu yakin, Za?”Reza mengangguk. “Kami tidak akan jauh, tapi juga tak bisa sering kembali. Desa ini sudah aman. Pohon itu sudah tenang. Rawa itu pun sudah hidup.”Bu Darmi menghela napas, lalu menggenggam tangan Reza erat. “Kalau suatu saat kembali… kau tahu ke mana pulang.”Tanpa banyak tanya, tanpa ramai berpamitan, Reza dan istrinya berjalan pelan menyusuri jalan setapak menuju arah rawa. Dan saat malam benar-benar turun, kabut tip
ปรับปรุงล่าสุด: 2025-05-04
Chapter: Hujan dan Rahasia yang TerungkapSiang itu langit menggantung kelabu, mendung menutup seluruh desa. Tak lama, hujan turun dengan derasnya, membasahi tanah, menenggelamkan suara-suara alam. Petir sesekali menyambar, membuat anak-anak kecil berlari masuk ke dalam rumah. Tak seperti hujan biasanya, kali ini seperti membawa hawa yang berbeda—dingin, lembap, dan menekan dada.Hujan baru mereda saat waktu Asar tiba. Azan menggema di udara yang masih lembab. Di sela gerimis kecil yang masih menetes dari langit, seorang perempuan terlihat berjalan pelan menuju ke arah gubuk Reza. Langkahnya ringan, seperti tak menyentuh tanah. Rambut panjangnya terurai, kain panjang yang dikenakannya basah menempel di tubuh, tapi tetap terlihat anggun.Seorang warga, Pak Midun, yang kebetulan sedang mengambil rumput untuk ternaknya, tanpa sengaja melihat perempuan itu. Ia tertegun, tak mampu berkata apa-apa. Bukan karena takut, tapi karena perempuan itu terlihat sangat cantik, sangat tenang, dan... bukan seperti perempuan biasa.Keesokan har
ปรับปรุงล่าสุด: 2025-05-04
Chapter: Bayang di Antara SenjaKehidupan desa perlahan kembali seperti sediakala. Sawah kembali ditanami, suara anak-anak bermain terdengar lagi di jalan tanah yang berdebu, dan aroma masakan ibu-ibu menyatu dengan semilir angin senja. Namun di balik kedamaian itu, satu hal mulai jadi buah bibir warga: keberadaan istri Reza yang misterius.Setiap sore, warga yang melewati gubuk tua dekat pohon beringin sering melihat Reza duduk bersama seorang perempuan berwajah rupawan. Mereka berbincang, tertawa pelan, atau sekadar duduk berdua memandang langit jingga. Siapa pun yang melihat, pasti setuju—wanita itu sungguh cantik, tidak seperti perempuan biasa.Namun yang membuat bingung, saat pagi hari tiba, sosok perempuan itu tak pernah tampak. Gubuk itu selalu terlihat hanya dihuni Reza seorang diri. Bahkan saat ada warga yang sengaja datang pagi-pagi untuk mengantarkan makanan atau sekadar menyapa, Reza selalu menjawab dengan tenang, “Istriku sudah pulang.”Lama-lama, rasa penasaran warga pun memuncak. Ada yang berbisik, mu
ปรับปรุงล่าสุด: 2025-05-04
Chapter: Pusaka dari RawaDi tengah keheningan istana kristal yang berdiri anggun di jantung rawa, Putri Tanjung Biru membawa Reza dan Ayu menuju sebuah ruangan rahasia. Dindingnya berkilauan seperti permukaan air saat matahari terbit, dan di tengah ruangan, terdapat sebuah kotak kayu tua dengan ukiran bunga tanjung yang rumit. Dengan gerakan anggun, sang putri membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah pusaka: sebilah keris kecil bermata biru kehijauan, berkilau seperti embun pagi. Gagangnya dilapisi ukiran yang menggambarkan pohon beringin dan riak air. “Reza,” ucap Putri Tanjung Biru, “ini adalah Keris Tirta Banyu. Hanya orang yang memiliki hati bersih dan ikhlas melindungi yang lain yang dapat memilikinya. Pusaka ini bukan untuk bertarung, tapi untuk menjaga keseimbangan antara dunia kalian dan dunia kami.” Reza menerima keris itu dengan dua tangan, membungkuk dalam rasa hormat. Begitu pusaka itu berpindah tangan, udara di sekitar mereka terasa lebih hangat, lebih damai. Putri Tanjung Biru menatap k
ปรับปรุงล่าสุด: 2025-05-03