author-banner
Kelaras ijo
Kelaras ijo
Author

Novels by Kelaras ijo

Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun

Tanah Larangan: Jangan Bawa Pulang Apa pun

Di balik ketenangan sebuah desa terpencil, tersembunyi rahasia kelam yang tak boleh diganggu. Bukit kecil, dua pohon beringin tua, sumur peninggalan Belanda, dan rawa yang tampak biasa ternyata menjadi gerbang menuju dunia lain—kampung bangsa lelembut yang tak kasat mata. Reza, perantau yang pulang kampung, tak sengaja melanggar larangan tak tertulis: Jangan pernah ambil sesuatu dari tanah itu. Sejak saat itu, dunia sekitarnya berubah. Bayangan-bayangan muncul dari kabut, suara-suara dari sumur memanggil namanya, dan sosok yang menyerupai dirinya sendiri mulai menampakkan wujud... Tanah Larangan adalah novel horor berdasarkan kisah nyata dari sebuah desa wingit di Indonesia. Atmosfer mencekam, teror perlahan yang merayap, dan misteri gaib yang siap menarik pembaca ke dunia lain—ini bukan sekadar cerita, ini adalah peringatan. Apakah kamu cukup berani untuk masuk, dan keluar dengan selamat? ---
Read
Chapter: Penjaga yang Tak Terlihat
Meski salah satu pohon beringin telah tumbang, desa itu tak kembali dalam kegelapan seperti dulu. Tak ada jeritan tengah malam, tak ada bayangan hitam melayang di atap rumah warga, tak ada lagi tubuh-tubuh kaku dengan mata kosong. Kehidupan berjalan seperti biasa, seperti tak ada apa-apa yang pernah terjadi.Namun, mereka yang peka tahu: tempat itu tetap sakral. Rawa itu tetap angker. Aroma kemenyan masih sesekali terbawa angin. Dan suara-suara yang tak terlihat asalnya, kadang masih terdengar sayup dari balik pepohonan dan kabut dini hari.Warga desa telah belajar. Belajar dari masa lalu yang nyaris menenggelamkan mereka dalam ketakutan. Kini, mereka hidup berdampingan dengan yang tak kasat mata. Mereka tak menantang, tak mencari tahu terlalu dalam. Jika ada sesuatu yang terasa ganjil, mereka cukup menunduk dan berdoa. Jika ada kegiatan besar—hajatan, panen, atau acara adat—mereka akan kirim sesaji. Mengirim doa. Mengirim izin kepada Putri Tanjung Biru, sang penguasa rawa yang tak pe
Last Updated: 2025-05-04
Chapter: Tumbangnya Penjaga
Waktu terus berjalan. Desa kecil itu hidup dalam ketenangan dan kemakmuran. Tak banyak yang menyadari bahwa semua keseimbangan itu bukan hanya karena kerja keras manusia, melainkan juga karena perjanjian halus yang mengikat antara dunia nyata dan dunia tak kasatmata. Dua pohon beringin yang berdiri kokoh di tepi rawa menjadi simbol dari penjagaan itu—penjaga batas antara dua dunia.Namun pagi itu, awan hitam menyelimuti langit sejak dini hari. Kabut turun tebal, lebih pekat dari biasanya, menyusup ke setiap sudut desa. Angin berhembus dengan suara lirih yang menggigit, seolah membawa pesan yang tak bisa diucapkan.Saat matahari mulai naik perlahan di balik awan kelabu, terdengar suara keras dari arah rawa. Suara seperti benda besar yang tumbang menghantam tanah. Tanah desa bergetar, membuat para warga keluar rumah dengan panik.Mereka berlari ke arah sumber suara—dan di sanalah mereka melihatnya.Salah satu pohon beringin tumbang. Akarnya terangkat dari tanah, seperti dicabut paksa ol
Last Updated: 2025-05-04
Chapter: Kepergian yang Sunyi
Sore itu langit mendung menggantung, tapi tak satu pun hujan jatuh. Suasana terasa ganjil namun tenang. Di gubuk dekat pohon beringin, Reza duduk berdampingan dengan istrinya. Tak banyak kata, hanya tatapan yang berbicara. Ada yang akan pergi… dan hanya mereka berdua yang tahu pasti ke mana.Menjelang magrib, Reza mendatangi rumah Bu Darmi. Langkahnya pelan, tapi mantap. Istrinya menunggu di kejauhan, berdiri di bawah cahaya jingga senja.“Bu… kami pamit,” ucap Reza pelan. “Waktunya sudah tiba.”Bu Darmi menatapnya lama, seperti menimbang-nimbang rasa. “Kamu yakin, Za?”Reza mengangguk. “Kami tidak akan jauh, tapi juga tak bisa sering kembali. Desa ini sudah aman. Pohon itu sudah tenang. Rawa itu pun sudah hidup.”Bu Darmi menghela napas, lalu menggenggam tangan Reza erat. “Kalau suatu saat kembali… kau tahu ke mana pulang.”Tanpa banyak tanya, tanpa ramai berpamitan, Reza dan istrinya berjalan pelan menyusuri jalan setapak menuju arah rawa. Dan saat malam benar-benar turun, kabut tip
Last Updated: 2025-05-04
Chapter: Hujan dan Rahasia yang Terungkap
Siang itu langit menggantung kelabu, mendung menutup seluruh desa. Tak lama, hujan turun dengan derasnya, membasahi tanah, menenggelamkan suara-suara alam. Petir sesekali menyambar, membuat anak-anak kecil berlari masuk ke dalam rumah. Tak seperti hujan biasanya, kali ini seperti membawa hawa yang berbeda—dingin, lembap, dan menekan dada.Hujan baru mereda saat waktu Asar tiba. Azan menggema di udara yang masih lembab. Di sela gerimis kecil yang masih menetes dari langit, seorang perempuan terlihat berjalan pelan menuju ke arah gubuk Reza. Langkahnya ringan, seperti tak menyentuh tanah. Rambut panjangnya terurai, kain panjang yang dikenakannya basah menempel di tubuh, tapi tetap terlihat anggun.Seorang warga, Pak Midun, yang kebetulan sedang mengambil rumput untuk ternaknya, tanpa sengaja melihat perempuan itu. Ia tertegun, tak mampu berkata apa-apa. Bukan karena takut, tapi karena perempuan itu terlihat sangat cantik, sangat tenang, dan... bukan seperti perempuan biasa.Keesokan har
Last Updated: 2025-05-04
Chapter: Bayang di Antara Senja
Kehidupan desa perlahan kembali seperti sediakala. Sawah kembali ditanami, suara anak-anak bermain terdengar lagi di jalan tanah yang berdebu, dan aroma masakan ibu-ibu menyatu dengan semilir angin senja. Namun di balik kedamaian itu, satu hal mulai jadi buah bibir warga: keberadaan istri Reza yang misterius.Setiap sore, warga yang melewati gubuk tua dekat pohon beringin sering melihat Reza duduk bersama seorang perempuan berwajah rupawan. Mereka berbincang, tertawa pelan, atau sekadar duduk berdua memandang langit jingga. Siapa pun yang melihat, pasti setuju—wanita itu sungguh cantik, tidak seperti perempuan biasa.Namun yang membuat bingung, saat pagi hari tiba, sosok perempuan itu tak pernah tampak. Gubuk itu selalu terlihat hanya dihuni Reza seorang diri. Bahkan saat ada warga yang sengaja datang pagi-pagi untuk mengantarkan makanan atau sekadar menyapa, Reza selalu menjawab dengan tenang, “Istriku sudah pulang.”Lama-lama, rasa penasaran warga pun memuncak. Ada yang berbisik, mu
Last Updated: 2025-05-04
Chapter: Pusaka dari Rawa
Di tengah keheningan istana kristal yang berdiri anggun di jantung rawa, Putri Tanjung Biru membawa Reza dan Ayu menuju sebuah ruangan rahasia. Dindingnya berkilauan seperti permukaan air saat matahari terbit, dan di tengah ruangan, terdapat sebuah kotak kayu tua dengan ukiran bunga tanjung yang rumit. Dengan gerakan anggun, sang putri membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah pusaka: sebilah keris kecil bermata biru kehijauan, berkilau seperti embun pagi. Gagangnya dilapisi ukiran yang menggambarkan pohon beringin dan riak air. “Reza,” ucap Putri Tanjung Biru, “ini adalah Keris Tirta Banyu. Hanya orang yang memiliki hati bersih dan ikhlas melindungi yang lain yang dapat memilikinya. Pusaka ini bukan untuk bertarung, tapi untuk menjaga keseimbangan antara dunia kalian dan dunia kami.” Reza menerima keris itu dengan dua tangan, membungkuk dalam rasa hormat. Begitu pusaka itu berpindah tangan, udara di sekitar mereka terasa lebih hangat, lebih damai. Putri Tanjung Biru menatap k
Last Updated: 2025-05-03
Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain

Curug Kembar Pintu Gerbang Dunia Lain

Di sebuah desa di Jawa Tengah, tersembunyi sebuah curug (air terjun) kembar yang indah, menjadi surga wisata bagi warga sekitar. Airnya jernih, kolamnya dalam dan tenang, dikelilingi oleh perkebunan karet dan hutan kecil yang lebat. Setiap hari Minggu dan hari libur, tempat ini selalu ramai. Anak-anak berenang, keluarga piknik, remaja nongkrong sambil selfie. Namun di balik keindahan itu, Curug Kembar menyimpan misteri tua: sebuah pohon karet yang mengeluarkan darah jika disadap, dan pohon dadap besar yang diyakini menjadi tempat bersemayam pusaka gaib: besi kuning. Warga percaya, pusaka itu adalah penjaga keseimbangan antara dunia manusia dan dunia gaib di sekitar Curug Kembar. Tapi ketenangan itu hancur saat seseorang, demi pesugihan, nekat mengambil besi kuning dari akar pohon dadap. Setelah pusaka itu diambil, kejadian-kejadian mengerikan mulai terjadi: orang kerasukan, penampakan sosok wajah merah, suara gamelan saat hujan turun, bahkan ada yang menghilang setelah masuk hutan. Puncaknya, saat hujan deras turun selama berhari-hari, tanah di atas curug longsor, menimbun kolam di bawahnya dan menyapu habis tempat rekreasi tersebut. Kini, Curug Kembar ditinggalkan. Tak ada lagi yang berani datang. Warga percaya gerbang dunia lain telah terbuka. Dan sesuatu... telah lepas dari dalamnya.
Read
Chapter: Sunyi setelah Banjir
Setelah peristiwa longsor besar yang menutup akses ke Curug Kembar, suasana desa perlahan berubah. Bukan menjadi mencekam, melainkan… tenang. Terlalu tenang. Tidak ada lagi suara-suara aneh di malam hari, tidak ada lagi pengunjung yang kesurupan atau jatuh sakit tiba-tiba saat pulang dari curug.Curug Kembar seolah benar-benar terkubur dalam, bersama segala rahasianya.Arga tetap tinggal di desa itu. Ia tidak pergi ke mana-mana. Setiap hari, ia membantu warga yang sedang berkebun, sesekali menengok sawah, atau mengurus ladang kecil di belakang rumah neneknya yang kini telah menjadi rumah barunya bersama Ningsih.Besi kuning—yang menjadi kunci dari semua kekacauan itu—ia simpan baik-baik. Bukan untuk disembunyikan, tapi untuk dijaga. Tidak dalam lemari, tidak di tanah, tapi dibalut kain kafan tipis, diselipkan di ruang kecil bawah lantai kayu rumah, tempat hanya dia dan Dimas yang tahu.Beberapa warga masih membicarakan kejadian tempo hari. Tentang hujan deras, longsor besar, bahkan ad
Last Updated: 2025-08-01
Chapter: Sunyi Setelah Banjir
Beberapa minggu setelah longsor besar menelan Curug Kembar, desa mulai pulih. Air yang sempat meluap kini sudah kembali ke aliran semula. Sawah-sawah yang sempat tergenang mulai menghijau lagi, dan suara anak-anak kembali terdengar di pematang. Seolah-olah bencana itu hanya sebuah kenangan buruk yang perlahan ingin dilupakan orang-orang. Namun, ada satu tempat yang tetap sepi: Curug Kembar. Jalur setapak yang dulu ramai kini tertutup lumpur dan batang-batang pohon tumbang. Kolam air terjun hampir rata dengan tanah longsoran. Dua pohon dadap yang dahulu berdiri kokoh, penanda jalur menuju dunia lain, kini hanya tinggal batang patah yang separuh terbenam di air. Tak seorang pun berani mendekat. Arga berdiri di tepi jalur itu suatu pagi, menatap reruntuhan dari jauh. Ada rasa lega bercampur getir di dadanya. Ia tahu, apa pun yang bersembunyi di balik curug itu kini terkubur selamanya. Tak ada lagi pintu, tak ada lagi suara dari balik kabut, dan tak ada lagi bayangan yang membayangi ti
Last Updated: 2025-07-30
Chapter: Jejak yang Terikat Besi Kuning 2
Kabut pagi berubah jadi tirai putih tebal ketika Arga dan Ningsih memasuki jalur menuju Curug Kembar. Suara air terjun samar-samar terdengar, tapi di sela-selanya ada bisikan-bisikan asing yang terus menekan telinga mereka. > Ningsih: “Mas… kita diikutin.” Arga: “Aku tahu. Jangan berhenti.” Setiap langkah di tanah lembap meninggalkan jejak yang langsung hilang, seperti diserap oleh bumi. Di belakang, suara langkah itu tetap mengikuti, iramanya tidak pernah berubah: tap… tap… seret… tap… seret. Arga menggenggam besi kuning lebih erat. Semakin lama, benda itu terasa semakin panas, seolah bereaksi terhadap sesuatu yang mendekat. Dari balik kabut, bayangan-bayangan mulai muncul—bukan wujud jelas, tapi bentuk-bentuk samar yang bergerak mengikuti. Mereka akhirnya tiba di celah dua pohon dadap yang menjadi gerbang jalur gaib. Udara di sekitar terasa lebih berat, seperti ada lapisan tak kasat mata yang menahan mereka. > Arga: “Kita harus lewat sini. Kalau ragu, mereka dapat kita.”
Last Updated: 2025-07-29
Chapter: Jejak yang Terikat Besi Kuning
Dimas mengatur napas, lalu duduk bersila di depan Arga dan Ningsih. Tatapan matanya tajam, namun ada sedikit keraguan yang tak bisa disembunyikan.> Dimas: “Sekarang kalian paham kenapa aku minta jangan buka mata? Di luar tadi… mereka bukan cuma sekadar gangguan. Itu para penjaga jalur keenam. Begitu mereka tahu keberadaan besi kuning ini, mereka akan terus mengejar.”Arga menatap benda itu. Besi kuning itu tak lebih besar dari kepalan tangan, bentuknya memanjang dengan permukaan kasar, tapi memancarkan cahaya keemasan samar yang terasa hidup.> Arga: “Kenapa… cuma aku yang bisa menyentuhnya, Mas?”Dimas menghela napas panjang, lalu menjawab lirih.> Dimas: “Karena jalur itu sudah memilihmu. Aku sendiri tak bisa memastikan kenapa, tapi setiap jalur memiliki penjaga kunci. Sejak kau kembali dari curug kembar… ada sesuatu yang tertinggal di tubuhmu. Energi dari sana menempel, membuatmu satu-satunya yang bisa mengangkat besi ini tanpa terbakar.”Ningsih menggenggam tangan Arga, wajahnya
Last Updated: 2025-07-26
Chapter: Besi Kuning dan Benteng Gaib
Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Kabut tipis menggantung di atas jalanan berbatu yang menuju bukit, membuat pandangan Arga dan Ningsih terbatas hanya beberapa meter ke depan. Mereka berjalan beriringan, Arga membawa sebuah tas kain yang berisi besi kuning, sedangkan Ningsih sesekali menoleh ke belakang, merasa ada sesuatu yang mengikuti. > Ningsih: “Ga, rasanya kayak ada yang ngikutin…” Arga: “Aku juga ngerasain. Jangan berhenti jalan, Nis. Kita harus cepat sampai ke gubuk Dimas.” Suara hutan pagi itu aneh—tak ada kicau burung, hanya suara langkah kaki mereka yang menginjak dedaunan basah. Beberapa kali, Arga merasa tanah di bawahnya bergetar pelan, seperti ada sesuatu yang bergerak jauh di bawah permukaan. Di tikungan terakhir sebelum bukit, angin tiba-tiba bertiup kencang, membawa aroma anyir yang membuat mereka spontan berhenti. Dari balik kabut, samar-samar terlihat bayangan sosok tinggi berdiri diam di tengah jalan. Bayangan itu tidak bergerak, tapi Arga mera
Last Updated: 2025-07-25
Chapter: Jejak Menuju Jalur Keenam
Sejak malam itu, Arga tak pernah benar-benar tidur nyenyak. Setiap kali memejamkan mata, ia melihat siluet pintu yang sama—dua pohon dadap yang berdiri tegak, dan di antaranya sebuah celah gelap yang tampak berdenyut, seperti napas makhluk hidup. Pagi harinya, ia pergi ke rumah Dimas. Gubuk itu berdiri di bukit hutan karet, di bawah dua pohon beringin kembar yang seakan menjadi gerbang dunia sendiri. Dimas sudah menunggunya di serambi, seperti tahu Arga akan datang. > Arga: “Mas… makhluk itu bilang pintu berikutnya sudah menunggu. Maksudnya apa? Jalur keenam?” Dimas: “Semua jalur saling terhubung. Menutup satu bukan berarti akhir. Jalur keenam berbeda—lebih tua, lebih berbahaya. Kau tak bisa menutupnya dengan keris lagi.” Arga: “Lalu apa yang harus aku lakukan?” Dimas: “Cari sumbernya. Jalur keenam punya penjaga, dan penjaga itu tidak bisa dilawan dengan senjata biasa.” Arga mengernyit. > Arga: “Siapa penjaganya?” Dimas tidak menjawab. Ia hanya menatap jauh ke arah hutan, waja
Last Updated: 2025-07-24
lantai tiga belas

lantai tiga belas

Sinta, perawat magang di Rumah Sakit Umum Kartika, tak pernah menyangka bahwa panggilan telepon pertamanya akan datang dari lantai yang tak seharusnya ada—lantai tiga belas. Sejak malam itu, hidupnya berubah menjadi teror yang tak berkesudahan. Lorong-lorong sunyi, suara langkah di tengah malam, dan sosok perempuan yang menyerupainya—semuanya membawa Sinta semakin dekat pada rahasia kelam yang terkubur di rumah sakit tua itu. Namun semakin ia menggali, semakin ia sadar... mungkin lantai tiga belas bukan hanya bagian dari bangunan. Mungkin, lantai itu adalah pintu ke dunia yang tak bisa ia tinggalkan. “Jangan pernah naik ke lantai tiga belas... karena sekali kamu ke sana, kamu tak akan kembali sebagai dirimu yang dulu.”
Read
Chapter: Dunia Mereka
Langit pagi tampak tenang di kota. Burung-burung berkicau, udara dingin menyentuh dedaunan yang bergoyang perlahan. Di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota, seorang ibu duduk di ruang tamu dengan wajah pucat dan mata bengkak. Di pangkuannya, sebuah foto lama—foto Sinta.Sudah tiga hari sejak Sinta menghilang.Polisi, relawan, dan tim medis sudah menyisir rumah sakit tua itu, tapi tak ada satu pun jejaknya. Bahkan pintu ke ruang bawah tanah yang ditemukan oleh Fara—dan dulu sempat menjadi jalan keluar mereka—telah hilang. Tertutup tembok beton seolah tak pernah ada.Di sisi lain kota, Fara duduk terpaku di depan layar laptopnya. Matanya kosong, tangan gemetar, wajahnya pucat pasi. Di layar, muncul satu email misterius tanpa nama pengirim, hanya subjek: “Dia belum keluar.”Isi email hanya satu gambar:Sinta berdiri di lorong rumah sakit… dengan latar belakang yang gelap dan kabur. Di belakangnya, bayangan-bayangan samar anak-anak terlihat merangkak, tersenyum dengan wajah hancur.>
Last Updated: 2025-06-03
Chapter: Dunia yang Terlupakan
Langit masih gelap ketika Fara dan Sinta sampai di depan bangunan tua itu. Rumah Sakit Sumber Asih berdiri seperti bangkai raksasa yang sudah lama ditinggalkan, namun menyimpan sesuatu yang masih… hidup. Bau karbol busuk, darah kering, dan daging membusuk langsung menyambut begitu mereka melangkah masuk. Bangunan itu telah berubah. Bukan hanya karena waktu—tapi karena batas antara dunia nyata dan dunia lain sudah hancur. Dindingnya kini berdenyut pelan seperti kulit manusia. Lantai seakan bernapas. Dan di kejauhan, mereka bisa mendengar jeritan yang datang dari arah yang tidak jelas. > “Kita ke lantai bawah. Ruang isolasi,” kata Fara mantap. Sinta menggenggam salib kecil di lehernya. Mulutnya komat-kamit membaca doa, tapi suaranya makin hilang—karena suara tawa dari anak-anak kecil mulai terdengar menggema. > “Kita sudah kembali…” “Ibu bilang jangan bawa mereka…” “Sekarang kita bisa main selamanya…” Lampu senter yang mereka bawa mulai berkedip, lalu padam. Fara menyalakan kore
Last Updated: 2025-06-03
Chapter: Menembus Kegelapan
Pintu kamar Fara berderit tertutup rapat. Sinta berdiri mematung di tengah ruang tamu yang hanya disinari cahaya temaram dari lampu lorong. Udara berubah dingin, menusuk tulang, dan aroma menyengat dari alkohol rumah sakit mulai memenuhi ruangan. Suara itu terdengar lagi—lebih jelas, lebih dekat. > “Sinta… kenapa kamu tinggalkan aku…?” Ia menoleh perlahan. Di pojok ruangan, terlihat bayangan tubuh seseorang, membungkuk dan menggeliat tak wajar. Rambut panjang menutupi wajahnya. Seragam rumah sakit putih, lusuh dan bernoda, mengisyaratkan sosok itu bukan bagian dari dunia ini. Tubuh Sinta gemetar, matanya membelalak, dan napasnya tercekat. “Hi… Hilda?” gumamnya lirih. Tapi yang berdiri di sana bukan Hilda. Ketika sosok itu menegakkan tubuhnya, wajahnya perlahan terlihat—dan Sinta ingin menjerit. Bukan karena kengerian semata, tapi karena wajah itu seolah campuran dari banyak anak. Mata satu besar, satu kecil. Kulitnya tambal sulam, seperti bekas dijahit dari beberapa wajah yang
Last Updated: 2025-06-03
Chapter: Kamar Tujuh Belas
Petir terakhir yang menyambar langit menyisakan keheningan mencekam. Fara masih menggenggam tubuh Sinta yang kaku dan dingin. Ia panik, menepuk-nepuk pipi sahabatnya.> “Sinta! Bangun! Jangan tinggalin aku!”Sinta tiba-tiba terbatuk keras, lalu membuka mata dengan napas terengah-engah.> “Aku… aku melihat mereka, Fara… anak-anak itu… mereka… masih di sana…”Fara membantu Sinta berdiri, tapi tiba-tiba mereka melihat sesuatu di dinding ruang tamu. Sebuah pintu—padahal sebelumnya tak pernah ada.Pintu tua dengan angka 17 terpaku di bagian atasnya. Lukisan kayunya dipenuhi goresan seperti cakaran, dan dari balik celahnya, terdengar suara ketukan pelan… tok… tok… tok…Sinta memegang tangan Fara erat.> “Itu… kamar yang tidak pernah selesai dibuka di rumah sakit dulu… Kamar Tujuh Belas.”> “Tapi ini rumahku,” kata Fara lirih.> “Mereka bawa kamarnya ke sini,” bisik Sinta. “Kita belum selesai…”Tanpa sadar, pintu itu terbuka perlahan. Kabut tipis merambat keluar seperti napas dingin dari dun
Last Updated: 2025-06-03
Chapter: Panggilan dari Bawah
Langit Serang malam itu mendung. Angin menggugurkan daun-daun kering, menampar jendela rumah Fara seperti ingin menyampaikan pesan yang tak bisa diucapkan.Di kamar, Sinta terbangun dari tidurnya. Napasnya memburu. Keringat membasahi pelipis. Mimpi itu lagi.Ia berada di lorong rumah sakit yang tak berujung. Lampu menyala satu per satu saat ia berjalan, dan dari balik tirai-tirai putih, suara rintihan anak-anak memanggil namanya.> “Sinta… tolong kami…”Tapi malam ini berbeda. Saat ia menoleh ke belakang, ia melihat bayangan tinggi besar, tubuh terbakar setengah, dengan wajah rusak menganga.Dr. Mardika.Masih hidup… atau lebih buruk—masih ada.Sinta duduk di tepi ranjang. Dari dapur, terdengar suara Fara berbicara pelan. Ia turun perlahan, dan mendapati sahabatnya itu menatap layar laptop dengan mata membelalak.“Far, kamu ngapain?” tanya Sinta.Fara menunjuk layar. Sebuah rekaman video dari kamera pengintai lama. Ia menemukannya di forum gelap—forum yang hanya bisa diakses dengan ko
Last Updated: 2025-06-03
Chapter: Luka yang Belum Kering
Motor tua Pak Darmo meraung menembus jalanan kecil yang mengarah ke desa. Fara berpegangan erat pada sandaran belakang, sementara Sinta mendekap tubuh sendiri, matanya masih menyapu kabut tipis di belakang—tak percaya mereka berhasil keluar dari tempat itu.Tapi di dalam dada, ada yang belum tenang.Fara menoleh, napasnya belum stabil. “Pak… Bapak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana?”Pak Darmo tak menjawab langsung. Matanya lurus ke jalan, rahangnya mengeras.> “Kalian beruntung… bisa keluar. Banyak yang nggak sempat cerita. Banyak yang milih diam, atau… hilang waras.”Sinta memejamkan mata, bisikan suara anak-anak itu masih terngiang.> “Ibu… kenapa Ibu pergi…?”“Aku masih denger suara mereka…” gumamnya pelan.Pak Darmo melirik lewat kaca spion. “Wajar. Karena sebagian dari mereka mungkin… nyari kamu, Nduk.”Sinta tersentak. “Kenapa… aku?”Pak Darmo menarik napas panjang. Mereka berhenti di depan sebuah rumah kecil yang sepi, hanya diterangi lampu minyak. Di dalamnya, sudah men
Last Updated: 2025-06-03
Rumah nomer Tujuh

Rumah nomer Tujuh

Bertahun-tahun lalu, keluarga Pratama dibantai secara misterius di rumah besar mereka yang terletak di ujung gang. Mayat-mayat ditemukan seminggu kemudian—satu di kamar, satu di kamar mandi, dan dua lainnya tergeletak saling berpelukan di kamar utama. Kasus itu tak pernah terpecahkan. Rumah nomor tujuh dibiarkan kosong. Membusuk dalam sunyi. Hingga waktu perlahan menghapus ingatan warga… Tapi kejahatan tidak mati. Empat mahasiswa—dua di antaranya kakak beradik—menyewa rumah itu karena harganya murah. Mereka menganggap cerita seram sebagai bualan orang tua. Namun suara air tetes dari langit-langit, bau busuk yang tak pernah hilang, dan tangisan bocah tengah malam... menjadi sinyal pertama. Rumah ini tidak sekadar berhantu. Ia menyimpan kutukan. Dan rumah ini... tidak membiarkan siapa pun pergi tanpa membayar.
Read
Chapter: Rumah yang Lengkap
Zaki tidak bergerak. Ia hanya berdiri mematung di tengah kontrakan yang dingin dan sunyi. Pintu terbuka setengah, lorong gelap rumah nomor tujuh menganga seperti perut makhluk yang lapar.Dan di ujung lorong itu… Tiara berdiri.Rambutnya tergerai basah, wajahnya pucat, dan matanya tak lagi membawa kehidupan yang dikenalnya. Tapi yang paling membuat jantung Zaki nyaris berhenti—senyumnya.Senyum yang dulu hangat, kini tampak asing. Dingin. Seperti seseorang yang mengingat bagaimana caranya tersenyum, tapi lupa maknanya.> “Pulang, Zak…”“Di sini gak sakit lagi. Gak ada mimpi buruk lagi. Di sini kita bisa bareng terus…”Suara itu milik Tiara—tapi juga bukan. Ada gema aneh dalam ucapannya, seperti suara yang diulang dari mulut banyak orang.Zaki mundur satu langkah, tangannya gemetar hebat. “Kau… bukan Tiara.”Tiara tidak bergerak. Ia hanya berdiri di sana, di balik lorong. Di belakangnya, Zaki bisa melihat meja makan rumah nomor tujuh, kini lengkap. Lima kursi. Lima piring. Lima sosok d
Last Updated: 2025-08-01
Chapter: Pilihan Rumah
Pintu itu menganga lebar, memperlihatkan lorong rumah nomor tujuh yang berdenyut seperti organ hidup. Udara yang keluar dari dalamnya dingin dan lembap, membawa aroma besi dan busuk yang langsung memenuhi seluruh kontrakan. Zaki dan Tiara berdiri mematung, saling menggenggam tangan sekuat tenaga. Tiara bisa merasakan kuku Zaki menancap di kulitnya, tapi ia tak mengeluh. Dari dalam lorong, Raka muncul perlahan, wajahnya pucat dengan mata kosong yang berkilau samar. > “Rumah sudah memilih…” Di belakangnya, Anggi merayap di dinding, gerakannya patah-patah, kepalanya miring 90 derajat, tersenyum lebar hingga pipinya robek. > “Satu untuk tinggal… satu untuk bebas…” Tiara merasakan tarikan kuat di dadanya, seperti ada kait tak terlihat yang mencengkeram jantungnya dan menariknya ke dalam lorong. Ia menjerit, berusaha bertahan, tapi tubuhnya mulai terangkat dari lantai. “Tiara! Nggak!” Zaki menariknya dengan segenap tenaga, namun udara di sekeliling mereka berubah padat, seolah rumah
Last Updated: 2025-07-30
Chapter: Harga Kebebasan
Sejak malam mereka lolos, hidup Zaki dan Tiara tidak pernah lagi sama. Mereka mungkin sudah jauh dari gang itu, tapi bayangan rumah nomor tujuh selalu mengikuti—dalam mimpi, dalam pantulan kaca, bahkan di keramaian kota. Zaki mulai memperhatikan sesuatu yang aneh: setiap jam 03:33, ponselnya bergetar meski sudah mati total. Ketika ia menyalakannya, layar hanya menunjukkan satu pesan yang sama: > “Lengkapi rumah ini.” Tiara lebih buruk lagi. Ia sering terbangun dengan bekas tangan kecil berwarna hitam di lengan dan lehernya. Setiap kali ia mencuci bekas itu, muncul lagi di malam berikutnya. Pada hari ketiga setelah mereka lolos, Tiara duduk di ruang tamu kontrakan Zaki, wajahnya pucat. “Zak… aku nggak bisa tidur. Setiap kali merem, aku balik ke rumah itu. Raka dan Anggi ada di sana… mereka nggak pernah ngomong apa-apa, cuma nungguin aku duduk bareng mereka di meja makan.” Zaki memegang kepalanya, frustrasi. “Ini nggak mungkin terus kayak gini, Ti. Kita udah keluar. Seharusnya ini
Last Updated: 2025-07-29
Chapter: Rumah yang Memilih
Lorong yang terbuka di depan mereka tampak berdenyut, dindingnya seperti daging hidup yang mengisap cahaya dari senter Zaki. Di balik lorong, terdengar suara tangisan Kevin yang bergema panjang, bercampur bisikan-bisikan yang saling bertindihan: > “Masuklah… di sini kalian lengkap… di sini kalian pulang…” Zaki menarik Tiara mendekat, napasnya berat. “Ti, kalau kita masuk ke sana, mungkin nggak ada jalan balik.” Tiara menggenggam tangannya erat. “Zak, kalau kita tetap di sini, rumah ini bakal ngambil kita semua. Kita harus ambil risiko.” Dari belakang mereka, suara langkah kaki mendekat. Raka berdiri di ujung lorong, wajahnya pucat, mata merah berair. “Jangan lawan rumah ini. Semakin kalian melawan, semakin dia lapar…” > “Raka, ikut kami keluar!” Zaki berteriak, suaranya bergetar. Raka tersenyum samar, ada sedih di sana. “Aku nggak bisa. Aku udah jadi bagian dari rumah ini. Tapi kalian masih bisa keluar… kalau ada yang tinggal di sini sebagai gantinya.” --- Tiba-tiba, Anggi m
Last Updated: 2025-07-22
Chapter: Panggilan balik
Sejak malam terakhir itu, hidup Zaki terasa seperti menunggu sesuatu yang tak bisa dihindari. Setiap hari seperti berjalan di pinggir jurang; setiap malam, rumah nomor tujuh memanggilnya. Ia duduk di kamar kontrakannya, dikelilingi peta dan coretan di dinding: semua tentang lokasi rumah itu, struktur lantai, bahkan catatan tentang apa yang dia ingat dari malam mengerikan tersebut. Tapi semakin ia mencoba memahami, semakin pusing kepalanya — seolah rumah itu sendiri berubah setiap kali ia mengingatnya. Di meja, ponselnya bergetar. Pesan masuk. > Tiara: “Aku nggak bisa terus begini, Zak. Semalam Anggi duduk di ujung ranjangku lagi. Dia bilang kalau kita nggak balik, mereka bakal datang jemput kita sendiri.” Zaki mengetik cepat: > “Aku juga diganggu. Kita harus balik, Ti. Nggak ada jalan lain.” Balasan datang hampir instan: > “Kapan?” Zaki terdiam sejenak, lalu menulis: > “Besok malam.” --- Hari berikutnya terasa panjang. Zaki menghabiskan waktunya membeli perlengkapan seada
Last Updated: 2025-07-22
Chapter: Bekas Luka yang Mengikut.
Hujan rintik-rintik membasahi jalanan kota baru tempat Zaki tinggal. Sudah tiga bulan sejak malam itu, tapi tidur nyenyak jadi sesuatu yang asing. Ia sering terbangun basah kuyup keringat, seolah baru saja berlari dari sesuatu yang tidak bisa dilihat. Di kamar kontrakannya, ia menatap cermin. Matanya merah, wajahnya pucat. Setiap kali ia menutup mata, ia kembali berada di ruang tengah rumah nomor tujuh. Raka berdiri di ambang pintu, memanggil namanya tanpa suara. --- Tiara menjalani terapi di rumah sakit jiwa. Psikiaternya mencatat, “Subjek sering berbicara dengan entitas yang tidak terlihat. Mengaku mendengar suara ‘Raka’ setiap malam.” Malam itu, perawat mendapati Tiara duduk di pojok kamar, menggambar. Puluhan lembar kertas memenuhi lantai — semua gambar denah rumah nomor tujuh, detail demi detail, lengkap hingga goresan kecil di dinding. “Tiara?” Tiara mengangkat kepalanya. “Dia belum selesai di sana. Dia masih butuh kita…” --- Zaki mencoba mengabaikan semuanya. I
Last Updated: 2025-07-22
You may also like
BENDA PENGLARIS
BENDA PENGLARIS
Horor · Mimah Muzammil
2.4K views
Teror Ghaib
Teror Ghaib
Horor · Rani Giza
2.4K views
DOA KUBUR TAK SEMPURNA
DOA KUBUR TAK SEMPURNA
Horor · Citra Rahayu Bening
2.3K views
Supernatural Louva
Supernatural Louva
Horor · Aswa Antari
2.2K views
RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAM
RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAM
Horor · Adellin Nazura
2.2K views
Bayangan Dalam Pandang
Bayangan Dalam Pandang
Horor · Louisa Reign
2.2K views
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status