All Chapters of Dear Joy: Chapter 31 - Chapter 40
88 Chapters
30. Let's Go!
Singkat cerita ... aku sudah selesai dengan segala keperluan yang semestinya aku bawa. Muti juga sudah berpulang ke kediamannya, begitu pula Cintia. Kami masih memiliki kurang lebih tiga jam untuk mempersiapkan atau hanya sekedar melakukan pengecekkan terakhir. Kata orang, sesuatu yang terburu-buru itu tidak baik. Ya, aku percaya itu.  Aku mulai melihat detail kecil di kamar kosan. Memeriksa dan sekali lagi semua benda-benda yang akan kutinggal selama dua bulan itu akan baik-baik saja nantinya. Kalau seperti ini, apa baiknya kalau aku mengirim barang-barangku ke rumah saja? Ah, sudah terlambat rasanya. Sayang sekali bukan, bila harus membayar uang sewa selama dua bulan full namun tidak ditempati. Aku mengecek kembali ponselku lalu menghubungi Ibuku. Rasanya sedikit aneh, hari ini Ibu bahkan tidak menghubungiku.  Sekali, dua kali ... hingga panggilan ke tiga. Aku mulai gelisah. Ada apa gerangan? Tidak menyerah, aku putuskan untuk menghubungi Ayah. Sa
Read more
31. Kisah yang Tak Terucap
Bus kami berangkat begitu seluruh mahasiswa dan mahasiswi memenuhinya. Perlahan, kami meninggalkan kota ini. Setengah jam sudah perjalanan ini berlalu, Joy masih dalam tidurnya yang nyaman.  Bahkan saat tidur pun, ia masih sangat cantik. Jiwa iriku meningkat bila terus-terusan berada di sampingnya. Joy membuka matanya perlahan, aku lihat ia seperti sedang kehausan.  "Uhuk!"  "Mau minum?" tawarku sambil berusaha meraih sebotol air mineral dalam ranselku. "Ini." Aku lalu memberikan padanya.  "Terima kasih." Ia menegak minuman itu dan di akhiri dengan kata 'ah' sebagai pelengkap.  "Kalau masih mengantuk tidur lagi aja." Aku hanya sekadar basa-basi. Kenyataannya ialah aku hanya malas bila harus bercerita dengannya. Joy tiba-tiba meregangkan badannya. "Sudah cukup. Aku sudah bisa bangun sekarang." Kalau begitu aku saja yang tidur. "Amel bagaimana? Apa Amel juga tidur tadi?"
Read more
32. Menuju Tempat Baru
Enam jam telah berlalu. Perjalanan menuju lokasi KKN memang tidak main-main. Sebuah pengabdian sebagai salah satu tridarma perguruan tinggi yang harus dilaksanakan. Masih dalam posisi yang sama, aku duduk diam di kursi yang tidak telalu empuk untuk ukuran perjalanan jauh. Ingin rasanya aku bertanya mengapa tidak memilih bus dengan pelayanan ekstra seperti tempat tidur atau sejenisnya. Setelah dipikirkan lagi, kami tidak membayar untuk akomodasi jadi sangat wajar dengan fasititas seperti ini.  "Nanti kita istirahat singgah sekitar empat puluh menit ya. Jadi yang mau buang air atau singgah untuk makan boleh meninggalkan bus untuk sementara. Tapi ingat, jangan pergi sendirian dan juga saling mengingatkan satu sama lain, oke?"  Setidaknya pengumuman dari supervisor itu membuatku sedikit senang. Aku menanti saat-saat bus diberhentikan. Aku tahu, sang supir juga perlu beristirahat setelah perjalanan enam jam. Bayangkan saja, bila dipaksakan terus-menerus bisa saj
Read more
33. Menuju Tempat Baru (2)
"Bagaimana? Enak, kan?" tanya Joy yang terus memerhatikan ekspresi wajahku saat makan dengan lahapnya. "Hm m ... apalagi gratis." "Ini air minum, anggap saja aku ganti air minum punyamu." Joy lalu memberikanku sebotol air bermerek Kristalain. Aku memandanginya sebentar. Air minum kemasan ini sedikit mahal dari yang lain. Masalah pH atau apalah itu yang digadang-gadang sebagai keunggulan. "Air mineralmu harus yang merek ini ya, Joy?" "Kenapa?""Ini kan mahal ....""Aku sensitif terhadap air."Gila! Bahkan air pun harus yang mewah. Aku sekarang bagai itik buruk rupa yang sedang bersama seekor angsa. "Lalu sekarang apa perutmu baik-baik saja? Tadi aku memberimu air, aku jadi sedikit khawatir sekarang.""Sampai sekarang aku masih baik saja. Artinya aku masih cocok dengan merek yang kamu berikan.""Jadi Joy itu sedikit melelahkan ya? Harus serba cocok, kalau tidak men
Read more
34. Hampir Saja!
"Mut-" Ucapanku terhenti. "Tidak mungkin ini milik Joy." Muti lalu melanjutkan rasa penasarannya dengan menuju ke bagian paling depan. "Hm ... bus ini memang sedikit lebih luas, tapi fasilitasnya ... bagaimana ya mengatakannya?" Aku berjalan mendekati Muti dan melintasi tempat duduk Joy. Syukurlah ... Joy sedang tidak ada di sana. Tapi tunggu, ke mana gadis itu sekarang?"Masih penasaran dengan tempat ini?" tanyaku pada Muti. Sejujurnya, aku hanya sekadar basa-basi. "Enggak. Sini sini! Giliran kamu yang ke bus kami." Muti dengan mudahnya sudah memegang tanganku dan mengajakku keluar dari bus. "Eh? Sudah mau pergi? cegat Cintia yang baru saja mau masuk ke dalam bus. "Kamu jalannya terlalu lambat.""Ayo kita ke bus!" "Ha?" "Ajak Amel tour singkat."Tak berselang lama, banyak penumpang lainnya berdatangan. "Loh, loh, loh ... kok jad
Read more
35. Perasaan yang Tak enak
"Ayo lihat-lihat ke luar," ajaknya. "Aku juga mau keluar dari bus ini sedari tadi.""Lantas?""Kita belum boleh sebelum semua bus yang lain kumpul. Entah mengapa kadang menjadi yang pertama tidak mengenakkan. Seakan selalu dituntut untuk menunggu yang lain tiba di garis yang sama agar bisa berjalan bersama." "Dalam sekali kalimat itu. Aku tidak menyangka seorang Amel berpikiran sedalam itu." Kalimat Joy barusan sedikit menggelitik dan juga menyinggung. Apa selama ini Joy menganggapku seorang yang bodoh atau hanya seorang gadis yang jauh dari kata bijaksana dan sejenisnya. Aku memang tidak secerdas gadis ini, hanya saja ... aku lebih manusiawi, ya ... dalam pikiranku. I love my self.Meski sedikit kesal, pada akhirnya aku hanya bisa memberikan senyum palsu padanya. Untuk apa aku membuat diriku semakin terlihat menderita dengan membalasnya. Aku benar, bukan?"Bagaimana dengan yang kemarin?" Joy yang memberi ko
Read more
36. Awal Pengabdian
Kami dikumpulkan terlebih dahulu bersama di tengah lapangan, kemudian mendapatkan instruksi untuk masuk dalam sebuah gedung berwarna putih, aku lupa apa nama gedung itu ... biar aku coba ingat kembali ... balai Pertanian atau sejenisnya. Gedung yang bisa terbilang besar untuk berada di daerah kabupaten. Kami lalu diminta untuk mengisi kursi-kursi yang telah disediakan. Satu jam kemudian, datanglah para petinggi wilayah. Aku rasa akan ada penyambutan atau sejenisnya. Para supervisor kami juga sudah terlihat sangat rapi berbanding terbalik dengan para mahasiwa yang nampak kumuh dan dekil. "Sumpah, baru kali ini aku menghadiri rapat atau apalah itu dalam keadaan seperti ini. Benar-benar ya ... jangankan mandi, sikat gigi saja tidak." Muti terlihat sangat kasihan dengan kondisi ini. "Ini, makan ... setidaknya dengan mengunyah permen karet ini napas kita tidak bau naga." "Hahaha." Ocehan Muti membuatku tertawa dengan tidak tahu diri. "H
Read more
37. Rasa Tempat Baru
"Mel ... Mel ... Mel ..." Suara panggilan itu terus menggema dan mengganggu. Suara itu sedikit asing namun juga pernah aku dengar. Sumpah demi apapun, aku ingin sekali menghajar orang yang membangunkanku dari mimpi indahku. Bisa-bisanya ia menarikku dari dunia yang begitu indah. Aku bangkit dari tidur dan siap untuk memaki. "Si-""Akhirnya kamu bangun. Ibu Nini sudah memanggil kita," ucapnya lagi lalu pergi dari ruangan ini."Ibu? Ibu siapa?" Aku masih mencerna kata-kata gadis itu. Aku kemudian memandangi sekelilingku yang tampak sangat asing. "Kamar ini ...." Aku mengambil beberapa menit untuk mengingat kembali apa yang sudah aku lalui sebelumnya. "Astaga!" kataku sambil menepuk pelan dahi. "Aku tidur terlalu lama." Dan tanpa basa-basi aku segera keluar untuk menemui 'ibu' yang dimaksudkan Nita. Nita dan seorang wanita paruh baya memandangiku begitu aku tiba di dapur. Dengan senyum yang sangat ramah, wanita itu lalu
Read more
38. Mengejar Kembang Desa
Bagian manis lainnya bagi para mahasiswa saat sedang KKN tentu saja mencari pacar. Oh, aku sama sekali tidak menentang ataupun membenarkan kegiatan ini. Cinta adalah kebutuhan dasar manusia, asik! Sama seperti anak muda lainnya, Dito ketua posko kami juga sepertinya mulai tergoda untuk melirik seseorang di tempat ini. Ya, siapa yang bisa menduga kapan cinta itu bisa datang. Katanya sih ... cinta pada pandangan pertama. "Terus ... kenapa dengan kembang desa? Mereka terdengar seperti berbahaya," ucapku pada Bu Nini."Justru anak kota lah yang sangat berbahaya. Datang ke sini terus menebar cinta padahal mereka sudah tahu hanya akan menetap sebentar dan pergi. Apa memang anak kota seperti itu?" "Tidak juga, tergantung sifat masing-masing," sanggahku. Aku tentu tidak setuju dengan argumen itu. Mungkin ada beberapa yang seperti itu namun tidak semua."Semoga kalian tidak seperti itu. Hal seperti ini sudah terjadi berulang kali."
Read more
39. Salah Paham?
"Itu ... tidak ada apa-apa Kak Ayu. Kami hanya sedang berbicara santai." Dito segera meyakinkan Kak Ayu. Rasanya memang tidak enak, ketahuan sedang bertengkar."Aku kira kalian ada masalah apa ... kok tiba-tiba jadi ramai." Kak Ayu lalu tersenyum dan menambahkan, "Di sini dinding pun punya telinga," Ia memeragakan dengan menempelkan telinga pada permukaan dinding. "hati-hati jika berbicara." Kami berlima tak tahu harus bagaimana sekarang. Menyangkal pun sangat jelas bila kami berbohong. "Kalian adalah saudara sekarang. Memang kalian bahkan tidak saling mengenal, namun di tempat ini ... ya kalian adalah orang yang paling dekat. Kak Ayu yang cantik ini tidak mau banyak berbicara ... intinya kalau ada masalah jangan sampai ketahuan, oke?" ucapnya lagi sambil mengebaskan rambut dan kemudian pergi. "Bilang sama Ibu, aku pulang malam ya ... mau dugem!" Itu adalah kalimat terakhir yang kami dengar sebelum bunyi motor perlahan memudar dan membaw
Read more
PREV
1234569
DMCA.com Protection Status