Kami dikumpulkan terlebih dahulu bersama di tengah lapangan, kemudian mendapatkan instruksi untuk masuk dalam sebuah gedung berwarna putih, aku lupa apa nama gedung itu ... biar aku coba ingat kembali ... balai Pertanian atau sejenisnya. Gedung yang bisa terbilang besar untuk berada di daerah kabupaten. Kami lalu diminta untuk mengisi kursi-kursi yang telah disediakan.
Satu jam kemudian, datanglah para petinggi wilayah. Aku rasa akan ada penyambutan atau sejenisnya. Para supervisor kami juga sudah terlihat sangat rapi berbanding terbalik dengan para mahasiwa yang nampak kumuh dan dekil.
"Sumpah, baru kali ini aku menghadiri rapat atau apalah itu dalam keadaan seperti ini. Benar-benar ya ... jangankan mandi, sikat gigi saja tidak." Muti terlihat sangat kasihan dengan kondisi ini. "Ini, makan ... setidaknya dengan mengunyah permen karet ini napas kita tidak bau naga."
"Hahaha." Ocehan Muti membuatku tertawa dengan tidak tahu diri.
"H
"Mel ... Mel ... Mel ..." Suara panggilan itu terus menggema dan mengganggu. Suara itu sedikit asing namun juga pernah aku dengar. Sumpah demi apapun, aku ingin sekali menghajar orang yang membangunkanku dari mimpi indahku. Bisa-bisanya ia menarikku dari dunia yang begitu indah.Aku bangkit dari tidur dan siap untuk memaki. "Si-""Akhirnya kamu bangun. Ibu Nini sudah memanggil kita," ucapnya lagi lalu pergi dari ruangan ini."Ibu? Ibu siapa?" Aku masih mencerna kata-kata gadis itu. Aku kemudian memandangi sekelilingku yang tampak sangat asing. "Kamar ini ...."Aku mengambil beberapa menit untuk mengingat kembali apa yang sudah aku lalui sebelumnya."Astaga!" kataku sambil menepuk pelan dahi. "Aku tidur terlalu lama." Dan tanpa basa-basi aku segera keluar untuk menemui 'ibu' yang dimaksudkan Nita.Nita dan seorang wanita paruh baya memandangiku begitu aku tiba di dapur. Dengan senyum yang sangat ramah, wanita itu lalu
Bagian manis lainnya bagi para mahasiswa saat sedang KKN tentu saja mencari pacar. Oh, aku sama sekali tidak menentang ataupun membenarkan kegiatan ini. Cinta adalah kebutuhan dasar manusia, asik!Sama seperti anak muda lainnya, Dito ketua posko kami juga sepertinya mulai tergoda untuk melirik seseorang di tempat ini. Ya, siapa yang bisa menduga kapan cinta itu bisa datang. Katanya sih ... cinta pada pandangan pertama."Terus ... kenapa dengan kembang desa? Mereka terdengar seperti berbahaya," ucapku pada Bu Nini."Justru anak kota lah yang sangat berbahaya. Datang ke sini terus menebar cinta padahal mereka sudah tahu hanya akan menetap sebentar dan pergi. Apa memang anak kota seperti itu?""Tidak juga, tergantung sifat masing-masing," sanggahku. Aku tentu tidak setuju dengan argumen itu. Mungkin ada beberapa yang seperti itu namun tidak semua."Semoga kalian tidak seperti itu. Hal seperti ini sudah terjadi berulang kali."
"Itu ... tidak ada apa-apa Kak Ayu. Kami hanya sedang berbicara santai." Dito segera meyakinkan Kak Ayu. Rasanya memang tidak enak, ketahuan sedang bertengkar."Aku kira kalian ada masalah apa ... kok tiba-tiba jadi ramai." Kak Ayu lalu tersenyum dan menambahkan, "Di sini dinding pun punya telinga," Ia memeragakan dengan menempelkan telinga pada permukaan dinding. "hati-hati jika berbicara."Kami berlima tak tahu harus bagaimana sekarang. Menyangkal pun sangat jelas bila kami berbohong."Kalian adalah saudara sekarang. Memang kalian bahkan tidak saling mengenal, namun di tempat ini ... ya kalian adalah orang yang paling dekat. Kak Ayu yang cantik ini tidak mau banyak berbicara ... intinya kalau ada masalah jangan sampai ketahuan, oke?" ucapnya lagi sambil mengebaskan rambut dan kemudian pergi. "Bilang sama Ibu, aku pulang malam ya ... mau dugem!"Itu adalah kalimat terakhir yang kami dengar sebelum bunyi motor perlahan memudar dan membaw
"Jadi, bagaimana menurutmu sekarang, Mel?" Nita mulai lagi melanturkan pertanyaan."Apanya yang menurutku?" Aku sedikit bingung dengan pertanyaan Nita. Apa sekarang ia sedang meminta pendapatku atau meminta dukunganku untuk mencela Joy. Aku tidak akan memihak manapun sebelum aku mengetahui kejadian yang sebenarnya."Mel ... tanggapanmu tentang seorang gadis. Itu si Joy," katanya lagi. Kali ini sedikit memaksa. "Jangan katakan padaku kalau kamu tidak menyimak obrolan kita tadi. Aku akan sangat sedih."Aku melipat kedua tanganku di depan dada. Lalu aku menjawabnya, "Aku tidak bisa menghakimi orang tanpa tahu kejadian yang sebenarnya. Bagaimana kalau dugaanmu padanya salah. Bagaimana kalau ternyata Dito lah yang terlebih dahulu mendekati Joy?"Nita memicingkan matanya, ia tidak suka dengan tanggapanku. Bukannya aku tidak ingin membalasnya, aku ingin hidup dengan damai di tempat ini. Oh, sepertinya dua bulan ini akan menjadi masa hidupku yan
Tak bisa terhitung berapa banyaknya detakan yang aku alami. Seperti aritmia, jantungku dengan lancang memompa darah sangat cepat. Apa yang aku khawatirkan? Seketika, Ibu Nini bagai seorang pembunuh bayaran yang sedang mencari korban.Langkah Ibu Nini sangat tenang namun menegangkan. Aku hany mengintip dari jendela melihat gerak-geriknya. Jikalau saja aku menutup lemari ini dengan rapat, aku ragu apa aku bisa bernapas.Ibu Nini masih di sana, di depan jendela memandang ke arah luar. Ia sedang memeriksa sesuatu. Aku harap itu bukanlah kedatangan Farid. Lebih berbahaya lagi bila hal itu sampai terjadi."Aku yakin Amel belum bangun. Sendal maupun sepatunya masih ada di luar. Amel ke mana?" kata Bu Nini.Aku menyadari kekurangan dari karangan cerita kami. Sandal dan sepatuku masih berada di rak sepatu dan itu adalah kesalahan fatal.Ibu Nini lalu berbalik ke arah lemari. Demi Tuhan, aku sangat ketakutan. Ini adalah menit-menit me
Nita menahan tawanya sebisa mungkin. Aku rasa, ini adalah sebuah cerita yang spektakuler. Meski penasaran aku menunggu gadis itu menyelesaikan tawanya terlebih dahulu. "Sekarang aku sama sekali tidak bisa melihat wajah Arka. Aku sangat malu. Oh Tuhan ... sekarang bila waktu bisa diubah kembali aku ingin mengulang beberapa jam yang lalu." "Aku semakin penasaran jadi tolong ceritakan dengan jelas!" kataku yang sudah hampir mati dengan rasa ini. Nita melangkah kecil, ia mengintip dari pintu perbatasan dapur dan ruang tengah memastikan tidak ada seseorang di sana. "Baiklah dengarkan ini baik-baik." Ia mulai dengan kalimat itu dan menarik napas. Aku menatapnya intens. "Di pagi hari yang cerah, aku sudah kebelet pipis. Sudah tak bisa sekali aku menahannya. Jadi aku buru-buru menuju kamar mandi ...." "Terus, terus?" "Sebelum sampai, Farid dan Dito meneriakiku untuk berhenti. Ha ...." "Cepat selesaikan
Sembari menunggu Farid mengganti pakaian, sesuai instruksi Dito sang ketua, aku menuju rumah tetangga-Pak Dadang. Awalnya sama sekali tidak curiga kenapa harus aku yang melakukan ini. Ternyata sekarang aku tahu alasan paling tepat. Dito pernah mencoba meminjam motor Pak Dadang kemarin, sayangnya ia tidak mendapatkan ijin itu. Setidaknya itu info yang aku dengar dari bisikan Arfa saat aku melangkah keluar rumah. Pesannya lagi, jangan lupa senyum.Aku sudah tiba di depan rumahnya. Tamannya sangat asri lengkap dengan bunga-bunga yang sangat menawan hati. Dengan pintu ruang tamu yang selalu terbuka seolah siap menerima tamu kapan saja. Rumahnya terlihat sangat sepi atau mungkin orang yang tinggal di dalamnya yang tak berisik.Perlahan ku langkahkan kakiku semakin dekat lalu mengetuk pintu rumah itu, tak lupa dengan sebuah salam.“Selamat pagi,” ucapku dengan sopan. Tidak terlalu keras namun tidak kecil.Tidak ada tanggapan. Aku sedikit kecewa. Aku
Farid membalas dengan senyuman sebelum akhirnya ia menjawab, “Iya, iya … aku yang akan mengembalikkannya. Kamu pasti sedikit ketakutan di sana. Harusnya memang aku saja yang meminjam tadi.” Aku mulai memutar kepalaku dan mencerna perkataan Farid. Tingkahnya, Nita dan Arka semakin membuat penasaran. Sejelek apakah Pak Dadang di mata mereka hingga mereka sangat mengkhawatirkan aku. “Sebenarnya, apa kalian mengetahui sesuatu?” tanyaku penasaran. Aku melipat tangan di depan dada. “Jadi kalian menjadikanku tumbal untuk ke sana?” Nita terkekeh. “Hei … bukan kami, kalau mau protes, silakan saja katakan pada Dito. Tapi aku rasa Dito juga sama sekali tidak tahu soal ini.” “Sebenarnya ada apa?” Arka lalu menarik tanganku dan membawa ke ruang tengah. Kami akhirnya duduk bersila. “Jadi … ada gosip yang kurang mengenakkan. Pak Dadang itu … dia adalah duda yang kesepian.” “Ha?” Aku mulai bergidik ngeri mendengar penjelasan Arka. “Aku