All Chapters of Dear Joy: Chapter 41 - Chapter 50
88 Chapters
40. Malam Panjang dan Pagi yang Tegang
"Jadi, bagaimana menurutmu sekarang, Mel?" Nita mulai lagi melanturkan pertanyaan."Apanya yang menurutku?" Aku sedikit bingung dengan pertanyaan Nita. Apa sekarang ia sedang meminta pendapatku atau meminta dukunganku untuk mencela Joy. Aku tidak akan memihak manapun sebelum aku mengetahui kejadian yang sebenarnya. "Mel ... tanggapanmu tentang seorang gadis. Itu si Joy," katanya lagi. Kali ini sedikit memaksa. "Jangan katakan padaku kalau kamu tidak menyimak obrolan kita tadi. Aku akan sangat sedih." Aku melipat kedua tanganku di depan dada. Lalu aku menjawabnya, "Aku tidak bisa menghakimi orang tanpa tahu kejadian yang sebenarnya. Bagaimana kalau dugaanmu padanya salah. Bagaimana kalau ternyata Dito lah yang terlebih dahulu mendekati Joy?" Nita memicingkan matanya, ia tidak suka dengan tanggapanku. Bukannya aku tidak ingin membalasnya, aku ingin hidup dengan damai di tempat ini. Oh, sepertinya dua bulan ini akan menjadi masa hidupku yan
Read more
41. Waktu yang Tepat
Tak bisa terhitung berapa banyaknya detakan yang aku alami. Seperti aritmia, jantungku dengan lancang memompa darah sangat cepat. Apa yang aku khawatirkan? Seketika, Ibu Nini bagai seorang pembunuh bayaran yang sedang mencari korban. Langkah Ibu Nini sangat tenang namun menegangkan. Aku hany mengintip dari jendela melihat gerak-geriknya. Jikalau saja aku menutup lemari ini dengan rapat, aku ragu apa aku bisa bernapas. Ibu Nini masih di sana, di depan jendela memandang ke arah luar. Ia sedang memeriksa sesuatu. Aku harap itu bukanlah kedatangan Farid. Lebih berbahaya lagi bila hal itu sampai terjadi. "Aku yakin Amel belum bangun. Sendal maupun sepatunya masih ada di luar. Amel ke mana?" kata Bu Nini. Aku menyadari kekurangan dari karangan cerita kami. Sandal dan sepatuku masih berada di rak sepatu dan itu adalah kesalahan fatal.Ibu Nini lalu berbalik ke arah lemari. Demi Tuhan, aku sangat ketakutan. Ini adalah menit-menit me
Read more
42. Arka dan Nita
Nita menahan tawanya sebisa mungkin. Aku rasa, ini adalah sebuah cerita yang spektakuler. Meski penasaran aku menunggu gadis itu menyelesaikan tawanya terlebih dahulu. "Sekarang aku sama sekali tidak bisa melihat wajah Arka. Aku sangat malu. Oh Tuhan ... sekarang bila waktu bisa diubah kembali aku ingin mengulang beberapa jam yang lalu." "Aku semakin penasaran jadi tolong ceritakan dengan jelas!" kataku yang sudah hampir mati dengan rasa ini.  Nita melangkah kecil, ia mengintip dari pintu perbatasan dapur dan ruang tengah memastikan tidak ada seseorang di sana.  "Baiklah dengarkan ini baik-baik." Ia mulai dengan kalimat itu dan menarik napas. Aku menatapnya intens. "Di pagi hari yang cerah, aku sudah kebelet pipis. Sudah tak bisa sekali aku menahannya. Jadi aku buru-buru menuju kamar mandi ...." "Terus, terus?" "Sebelum sampai, Farid dan Dito meneriakiku untuk berhenti. Ha ...."  "Cepat selesaikan
Read more
43. Pak Dadang
Sembari menunggu Farid mengganti pakaian, sesuai instruksi Dito sang ketua, aku menuju rumah tetangga-Pak Dadang. Awalnya sama sekali tidak curiga kenapa harus aku yang melakukan ini. Ternyata sekarang aku tahu alasan paling tepat. Dito pernah mencoba meminjam motor Pak Dadang kemarin, sayangnya ia tidak mendapatkan ijin itu. Setidaknya itu info yang aku dengar dari bisikan Arfa saat aku melangkah keluar rumah. Pesannya lagi, jangan lupa senyum.Aku sudah tiba di depan rumahnya. Tamannya sangat asri lengkap dengan bunga-bunga yang sangat menawan hati. Dengan pintu ruang tamu yang selalu terbuka seolah siap menerima tamu kapan saja. Rumahnya terlihat sangat sepi atau mungkin orang yang tinggal di dalamnya yang tak berisik.Perlahan ku langkahkan kakiku semakin dekat lalu mengetuk pintu rumah itu, tak lupa dengan sebuah salam.“Selamat pagi,” ucapku dengan sopan. Tidak terlalu keras namun tidak kecil.Tidak ada tanggapan. Aku sedikit kecewa. Aku
Read more
44. Perjalanan Menuju Kantor Camat yang Penuh Drama
Farid membalas dengan senyuman sebelum akhirnya ia menjawab, “Iya, iya … aku yang akan mengembalikkannya. Kamu pasti sedikit ketakutan di sana. Harusnya memang aku saja yang meminjam tadi.” Aku mulai memutar kepalaku dan mencerna perkataan Farid. Tingkahnya, Nita dan Arka semakin membuat penasaran. Sejelek apakah Pak Dadang di mata mereka hingga mereka sangat mengkhawatirkan aku. “Sebenarnya, apa kalian mengetahui sesuatu?” tanyaku penasaran. Aku melipat tangan di depan dada. “Jadi kalian menjadikanku tumbal untuk ke sana?” Nita terkekeh. “Hei … bukan kami, kalau mau protes, silakan saja katakan pada Dito. Tapi aku rasa Dito juga sama sekali tidak tahu soal ini.” “Sebenarnya ada apa?” Arka lalu menarik tanganku dan membawa ke ruang tengah. Kami akhirnya duduk bersila. “Jadi … ada gosip yang kurang mengenakkan. Pak Dadang itu … dia adalah duda yang kesepian.” “Ha?” Aku mulai bergidik ngeri mendengar penjelasan Arka. “Aku
Read more
45. Rapat Perdana
Meski sedikit terlambat, kami berhasil mendatangi Kantor Camat. Ferdi sang koordinasi kecamatan sudah menunggu. Teman-teman dari berbagai desa juga sudah datang.“Saya sangat menghargai kedatangan teman-teman di tempat ini. Saya mengerti beberapa kesulitan yang kita hadapi mengenai kendaraan dan lain sebagainya. Sebelum memulai, saya ingi memastikan perwakilan desa mana saja yang sudah hadir.”Ferdi lalu mengambil secarik kertas dan membaca nama desa demi desa. Setiap nama desa yang dibacakan, maka perwakilan desa tersebut harus mengangkat tangan.Ada beberapa desa yang belum hadir. Kemungkinan besar mereka juga menemui kendala yang sama seperti kami. Siapa yang tahu? Atau lebih parahnya, tidak ada transposrtasi yang bisa mereka gunakan.“Untunglah kita bisa tiba tepat waktu, ah … benar-benar … sekarang aku menjadi kesal dengan pak tua itu!”Farid menunjukkan senyum tipis. “Yang penting kita sudah tiba de
Read more
46. Menuju Desa Nirmala
bgh"Nyari siapa sih?!" Muti sudah mulai kesal karena aku tak kunjung menjawab dengan segera. Aku bukannya tak ingin menjawab, hanya saja aku tak yakin Muti akan senang dengan jawabnnya. "Itu ... pokoknya ada.""Joy ya?" "Hm ....""Ngapain amat cariin Joy? Kek enggak ada kerjaan aja." Wajah Muti sudah terlihat tak senang. "Aku hanya memastikan sesuatu. Ini tentang masa depan.""Buseeeet ... sebegitunya. Jadi penasaran aku ya ... ada apa dengan masa depan?" Tentu aku tak bisa mengatakannya. Biarlah itu menjadi rahasia besar untuk gadis ini. Muti juga tak perlu ikut campur dalam waktu ini. "Apa dia juga tidak datang?""Mungkin terlambat. Aku sangat yakin ia akan terpilih sebagai perwakilan dari desanya. Sumpah, aku yakin seribu persen dah." Muti terlalu yakin dengan ucapannya.Mataku masih mencari-cari keberadaan Joy. Hanya ada dua kemungkinan besar untuk hal ini. Pertama, J
Read more
47. Bagaimana Aku Bertindak Melawan Takdir
Akhirnya, aku bertemu dengan Joy. Ini adalah kesempatan yang sangat bagus untuk menyampaikan padanya untuk berhati-hati dan tak terlalu akrab dengan Bima. Oh ini gila sekali untuk dikatakan. Aku bahkan sempat ragu untuk mengatakannya. Apa ini benar atau tidak? Seseorang, siapa pun di sana tolong bantu aku. Joy menyambut kedatanganku dan juga Farid dengan sangat ramah. Setelah ia mempersilakan kami duduk di ruang tamu, ia menyediakan kudapan. Saat di sana juga, teman-teman satu poskonya menyambut kami. Itu memang tidak begitu lama karena setelahnya, mereka pergi dengan kegiatannya masing-masing. "Tumben sekali kamu mau datang berkunjung di sini. Apa ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan?" tanya Joy dengan penasaran. "Jangan bilang kamu gabut lalu menemuiku. Sumpah, itu akan jadi alasan yang sangat tidak masuk akal."Aku datang untuk menyelamatkanmu, Joy. Seandainya kamu tahu. Aku bahkan rela mengubah jalan cerita ini menjadi yang tak semestinya. K
Read more
48. Apa Kabar, Cintia?
Pagi-pagi sekali, Muti meneleponku. Firasatku sudah tidak enak. Itu masih jam setengah enam pagi. Nita yang mendengar ponselku berdering sedari tadi rupanya sudah berusaha membangunkanku. Mau bagaimana lagi, aku tipe orang yang akan tidur dengan sangat lelap.Dengan berat hati aku mengangkat telepon itu dan berharap bukan sebuah prank seperti yang suka dilakukan Muti padaku.“Halo,” sapaku seperti pada umumnya.Nyawaku belum terkumpul sepenuhnya. Ibarat kapal yang masih terombang-ambing di lautan. Sejujurnya, aku ingin sekali menutup saja panggilan itu. Untungnya, tidak aku lakukan.Dari seberang sana aku bisa mendengar Muti sedang terisak. Aku semakin khawatir.“Mut …,” panggilku pelan.“Cintia kecelakaan tadi malam … hiks.” Muti berusaha menjelaskan dengan singkat sambil menahan tangisnya. Dari suaranya saja, aku bisa merasakan getaran emosi yang sangat kuat. Ini tentang Cintia, ga
Read more
49. Menjenguk Cintia
Satu jam waktu yang diberikan Bu Nini. Ia tentu tak main-main dengan perkataannya. Siap atau tidak siap, kami harus tetap pergi sesuai waktu yang ditentukan. Kami juga hanya bisa pasrah kalau sekarang. Istilahnya harus banyak tahu diri di sini. Bu Nini sudah membantu kami menemukan kendaraan. Ya wajar saja bila ia menuntut hal lain.Seperti biasa, aku mencoba membiasakan diri dengan mandi air dingin. Pintu yang terbuat dari kain pun harus selalu aku awasi untuk berjaga-jaga dan mencegah hal yang tidak diinginkan. Coba bayangkan bila ada angin yang mengibarkannya begitu saja saat aku sedang telanjang, ah … rasanya aku tak sanggup lagi untuk tinggal di sini lebih lama.“Jangan masuk!” teriakku saat aku merasakan ada yang mendekati wilayah kamar mandi.Langkah kaki itu terdengar berhenti. “Oh, maaf … aku pikir tidak ada orang, soalnya terlalu sepi.”Aku menarik napasku dengan panjang. Syukur saja, Dito tidak lebih jauh m
Read more
PREV
1
...
34567
...
9
DMCA.com Protection Status