Semua Bab Istri Kedua Untuk Suami: Bab 71 - Bab 80
148 Bab
Bab 71 Main Perasaan
  Berada berdua dengan Rayan dalam satu ruangan membuat tubuh Safiya seakan makin meriang. Meskipun dia sudah meminum obat yang diberikan Rayan, tetap saja, dia tak bisa baik-baik saja. Setelah menghabiskan teh buatan suami Allura itu, Safiya hendak pamit pulang. Namun, karena waktu sudah cukup malam, Rayan tak enak membiarkan Safiya pulang sendiri, maka tanpa basa-basi dia mengantarkan Safiya pulang. Awalnya tentu Safiya menolak, karena kasihan jika Rayan harus pulang naik taksi, tapi karena Rayan setengah memaksa Safiya jadi luluh juga. Saat sampai di depan rumahnya, Safiya menawarkan pada Rayan untuk masuk, mengingat sudah terlalu malam untuk bertamu, Rayan menolaknya halus. Dia menyarankan Safiya untuk segera istirahat saja agar tubuhnya besok lebih baik. Setelah itu Rayan langsung naik taksi untuk kembali ke rumahnya. Rumah yang sepi tanpa kehadiran dari istri tercintanya. Memasuki rumah kembali, Rayan bergegas membersihkan
Baca selengkapnya
Bab 72 Dia Berbohong
    Terbangun dalam keadaan lelah karena semalaman menangis, membuat kepala Allura pening. Dia segera bersandar di head board sambil mengurut pelipisnya. Matanya belum benar-benar terbuka, namun dia tahu ini sudah menjelang subuh, karena adzan dari masjid yang tak jauh dari hotel tempat dia menginap telah berkumandang. Mengusap kedua matanya yang terasa membengkak, Allura membawa langkah menuju kamar mandi, dia ingin membersihkan diri lalu menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim, yaitu salat subuh. Setelah bersujud dan meminta ketenangan hati pada Sang Pencipta akan semua yang terjadi pada hidupnya, Allura membereskan barangnya yang tak seberapa. Dia berniat untuk segera pulang, karena apa pun yang terjadi semalam, itu mungkin pertanda dari Tuhan, bahwa apa yang dia inginkan akan segera terwujud, dan Allura tak boleh bersedih untuk itu, dia harus baik-baik saja. Meski sudah merapikan penampilan, mata Allura tak bisa berbohong, ada gurat
Baca selengkapnya
Bab 73 Sebuah Tuduhan
    Sepanjang perjalanan, Allura hanya diam. Dia sedang menyusun kalimat untuk menghadapi amarah Rayan. Dia yakin suaminya itu pasti sudah menghubungi mamanya dan menanyakan keberadaannya. Ponselnya sengaja dimatikan, karena Allura belum siap jika dikonfrontasi melalui ponsel. "Mbak, kita sarapan dulu sebentar, mau?" Allura tersentak dari lamunannya dan menoleh pada Badai yang menatap lurus jalanan. "Sarapan?" tanyanya mengulang apa yang Badai tawarkan. "Iya. Di hotel tadi pasti Mbak belum sarapan, kan?" Benar. Jangankan sarapan, Allura bahkan tak ingat apa dia sempat menyentuh air putih yang disiapkan di meja kamarnya tadi. "Tidak, Badai. Aku belum lapar," jawabnya sambil membuang muka kembali ke jendela. Jangankan memikirkan perutnya, saat ini yang ada di benak Allura hanya Rayan, suaminya. Apa laki-laki itu sudah sarapan, atau justru sudah pergi ke kantor. Allura sangat penasaran. Karena penolakan A
Baca selengkapnya
Bab 74 Mabuk
    Mendapati kepergian Rayan dengan amarah, Allura langsung masuk ke kamar. Dia kembali menangis sambil berbaring di ranjangnya. Ternyata menangis semalaman belum cukup baginya, baru saja menginjakkan kakinya di rumah dia harus kembali menangis. Bahkan sekarang tubuhnya terasa sangat lemah. Dia memutuskan untuk tidur, karena dia benar-benar tak memiliki tenaga lagi. Bahkan Allura tak ingat jika dia belum sempat untuk mengisi perutnya. Karena tubuh yang begitu lemah, Allura butuh waktu untuk bangun dari tempat tidur, dia melihat ke arah jendela kamar, matahari sudah semakin meninggi. Perlahan namun pasti, dia membawa tubuhnya untuk ke kamar mandi sekadar mencuci muka. Setelah itu, Allura jadi kebingungan sendiri saat keluar dari kamarnya. Dia merasa tak tahu harus melakukan apa. Namun, suara dering ponselnya membuat Allura duduk di meja makan sambil mengangkat panggilan yang ternyata dari Badai. "Halo?" "Halo. Mbak, b
Baca selengkapnya
Bab 75 Sebuah Pemaksaan
    Suasana terasa sangat mencekam. Bagi Allura, Rayan terlihat seperti singa yang terluka, keganasan dan juga ketakutan, bahkan amarah dan kesedihan terlihat sangat jelas di matanya. "Kamu salah paham, Mas. Aku tidak melakukan apa pun yang kamu tuduhkan." Allura mencoba melepaskan diri, dia tak ingin apa yang akan Rayan lakukan membuatnya menyesal esok hari, namun, Allura tidak bisa. "Kamu bohong. Katakan padaku Allura, apa pria itu lebih gagah dariku? Apa dia sudah merasakan tubuhmu? Dan apa kau mendapatkan kepuasan darinya?" "Mas! Cukup! Tolong jangan tuduh aku!" Allura berusaha kembali membebaskan diri, dia mendorong dada Rayan sekuat tenaga agar menjauh. Namun, Rayan tetap teguh dengan posisi tubuhnya. Dia bahkan mengangkat kedua tangan Allura di atas kepala wanita itu hingga tubuhnya terkunci. Andai saat ini Allura tidak dalam posisi begini, dia akan melayangkan tamparan keras untuk menyadarkan suaminya itu. Allura sangat yakin
Baca selengkapnya
Bab 76 Tugas Dinas
    Semakin hari keadaan tidak menjadi lebih baik. Hubungan Rayan dan Allura benar-benar terasa dingin. Rayan terus mengabaikannya hingga berakhir selalu tidur di kamar tamu. Dan seperti hari-hari sebelumnya, Rayan tak bersedia memakai pakaian yang Allura siapkan, bahkan tak pernah sekalipun Rayan makan di rumah. Entah itu sarapan atau bahkan makan malam. Padahal Allura sudah menyiapkannya dengan setulus hati. Tentu saja Allura jadi semakin menderita. Dia tak mengira nasib pernikahannya akan jadi begini. Berusaha mencari cara, Allura ingin mengajak Rayan bicara. Dia benar-benar butuh berkomunikasi dengan suaminya itu agar masalah yang tengah mereka hadapi tidak semakin berlarut-larut. Baru saja Allura hendak menghubungi Rayan, dia mendapatkan panggilan lebih dulu, dan ternyata Safiya yang menghubunginya. "Assalamualaikum, Mbak," panggil Safiya di seberang sana. "Wa'alaikum salam, Safiya. Kenapa kau menghubungiku?" Allura bers
Baca selengkapnya
Bab 77 Bantuan Wanita Lain
    Perjalanan dari Jakarta ke Bandung lumayan lama, dan sepanjang jalan itu, Allura bercerita banyak hal tentang Rayan pada Safiya. Entah itu makanan favoritnya, kebiasaannya, keburukannya, hampir semua yang orang luar tak tahu. Allura melakukan itu tentu saja memiliki tujuan, agar saat Safiya bersama Rayan nanti, dia bisa mengambil hati Rayan. Namun, semakin membicarakan suaminya itu, Allura jadi semakin merindukannya. Andai dia bisa bicara sebentar dengan Rayan sebelum pergi tadi, tapi tentu saja hal itu tak mungkin. Suaminya masih marah padanya. Setelah menjelaskan pada Safiya jalan menuju rumah mertuanya, Allura tersenyum senang saat melihat pekarangan yang hijau penuh dengan bunga itu sudah terlihat. Safiya sampai terpukau melihat wajah Allura yang tadi mendung kini nampak bersinar. "Di sini ya, Mbak?" tanyanya sambil menginjak rem. Allura mengangguk dan segera melepas seatbelt. Dia keluar dan bergegas menuju ru
Baca selengkapnya
Bab 78 Yang Patut Disalahkan
    Sejak tadi Rayan bisa mendengar dengan jelas suara dari ponselnya yang ada di atas meja. Namun, nada itu hanya dia khususkan untuk satu orang, jadi meskipun dia tak melihatnya, Rayan tahu benar siapa yang sedang menghubunginya saat ini. Allura, istrinya. Rayan tahu, apa yang sudah dia lakukan beberapa waktu ini tidak bisa dibenarkan, mengabaikan Allura dengan sengaja, bahkan menganggapnya seakan tak ada. Tapi, egonya masih terluka, dia belum sembuh. Jika Allura tidak meminta maaf dan menjelaskan ke mana dia malam itu, maka Rayan tak akan pernah mau memperbaiki keadaan yang terlanjur dingin ini. Saat panggilan itu akhirnya berhenti, Rayan yang tengah berdiri di dekat dinding kaca segera berbalik dan berdecih. Dia tahu, Allura pasti sekarang sudah menyerah. Mengabaikan benda itu, Rayan segera menghampiri meja tamu yang berada di sebelah kanan ruangan, di atas meja itu sudah terhidang makan siang yang tadi ia minta OB untuk membawak
Baca selengkapnya
Bab 79 Kecemburuan Seorang Wanita
    Safiya yang baru saja keluar dari toilet merasa bingung sekarang, apakah dia harus masuk ke ruangan Allura dan bertemu kembali dengan Rayan, atau justru pergi begitu saja. Namun, kebimbangan itu akhirnya terpecahkan setelah dia memutuskan melangkah ke arah ruangan Allura. Dia harus meyakinkan diri bahwa sekarang Allura baik-baik saja. Jika tidak, pikirannya akan terus teringat di saat melihat Allura pingsan tadi. Keadaan itu benar-benar membuatnya syok berat. Berhenti tepat di depan pintu berwarna putih, Safiya memegang kenop dan hendak mendorongnya, tapi suara tangisan di dalam sana membuatnya terpaku. Dari celah pintu dia bisa melihat betapa Rayan sangat mencintai istrinya. Laki-laki itu bahkan mengucapkan kalimat maaf berkali-kali meskipun Allura sendiri belum sadar karena pengaruh obat. 'Kenapa semua semakin terasa berat," batin Safiya hendak berbalik. Dia sebaiknya pergi karena masuk ke dalam hanya akan membuat hatinya bimbang.
Baca selengkapnya
Bab 80 Apa Dia Ragu?
  Sudah tiga hari Allura dirawat di rumah sakit. Tiga hari pula dia berusaha terlihat baik-baik saja di depan Rayan. Dia tak mau kalau Rayan sampai curiga jika ada penyakit lain yang parah tengah dia derita. Karena itu, saat dokter sudah memastikan kandungannya baik-baik saja, Allura meminta Rayan untuk segera membawanya pulang. Sebagai suami yang baik, Rayan tak bisa menolak, dengan telaten dia membantu Allura bersiap untuk pulang bersamanya ke rumah mereka. Saat sampai di rumah, senyum Allura membuat Rayan memeluk tubuh istrinya itu. "Apa pun yang sudah aku lakukan kemarin padamu, tolong maafkan aku, Allura," bisik Rayan sambil mendekap hangat tubuh Allura. Mengangguk pasti, Allura pun berucap, "Semua sudah berlalu, Mas. Yang pasti jangan pernah abaikan aku lagi." Mendengar itu, Rayan langsung menarik mundur tubuhnya. Tanpa keraguan dia langsung setuju. "Tidak akan lagi. Berjauhan darimu terasa berat, Sayang," bisiknya sambil me
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
678910
...
15
DMCA.com Protection Status