All Chapters of MADU Titipan: Chapter 11 - Chapter 17
17 Chapters
Ananknya Mirip Kamu Mas!
Kasih saran ya readers! Supaya ceritaku berkembang. Terima kasih~Happy reading~***"Engga. Aku ga mau masuk. Biarin aja! Toh biasanya juga ada perawat di sana," tolakku.Setahuku pasti selalu ada seorang asisten yang akan membantu Dokter atau Bidan untuk menghadapi proses persalinan.Pak Yanto menatapku dengan penuh kekecewaan. Alisnya turun. Matanya berkaca-kaca. Ia menghempaskan tanganku kasar."Ya Tuhan ... dasar wanita jahat!" katanya. Ia bisa dengan mudahnya menilai seseorang.“Kamu sampe ga mau nolongin kaya gitu. Kamu wanita! Tapi kamu ga ngerti keadaan mendesak kaya gini? Ga punya hati banget! Kenapa bisa Kamal sampe menikahi wanita sejahat dirimu? Kamu pasti maen pelet, kan?!” tuduh Pak Yanto.“Sembarangan! Maaf ya, Pak. Bapak memang boleh marah dan kecewa karena aku ga bantuin Bapak. Tapi, Bapak ga usah dan ga perlu ngomong kaya gitu. Nuduh kaya gitu!” berangku sambil menunjuk wajah Pak
Read more
Dilema
"Hahahahaha ...." Serentak semua tertawa. Ya, menertawakanku."Ya iyalah. Itu kan memang anaknya," ucap Pak Yanto."Mas??" Mataku berkaca-kaca dan segeralah aku berlari keluar. Kupinjam telepon rumah sakit dan mencoba menghubungi Mas Rendi."Mas jemput aku di rumah sakit Bintari!" ucapku di telepon.Setelahnya kututup sambungan telepon itu dan menunggu di bibir pintu masuk rumah sakit. Rasanya aku ingin segera pergi jauh dari tempat ini. Malu.Akan tetapi, tiba-tiba Mas Kamal memelukku dari belakang. "Percayalah! Dia bukan anakku," bisiknya.Aku terkejut. Sejenak aku terdiam. "Lepasin, Mas!" pekikku. Aku sudah menyingkirkan rasa malu ini. Aku berteriak.Namun, Mas Kamal tak menyerah. Ia tak hilang akal dan malah membawaku ke tempat parkir. Di sana memang agak sepi."Udah jelas-jelas wajahnya aja mirip kamu, Mas. Pokoknya aku minta kita cerai. Pisah!" tegasku."Ga. Ga akan. Mas ga mau, An!" Mas Kamal menarik pinggangku. Merangkul tubuhku. Kupaling
Read more
Pria Asing
Ceklek!"Wa'alaikum salam ...," jawab Mas Rendi sambil membuka pintu.Semua mata mengarah ke arah luar. Aku menatap aneh. "Syukurlah, kukira dia Mas Kamal. Tapi ... dia siapa?" batinku.Mbak Rina tersenyum padaku. Aku tak mengerti maksud dibalik senyum itu. Mas Rendi bergegas menghampiri tamu tersebut."Ah ... Mas Rido? Masuk!" Mas Rendi mempersilakan orang asing itu masuk.Kakakku menyebut pria asing itu dengan nama Rido. Kulihat wajahnya memang tampan. Seperti Mas Kamal, dia juga berjanggut dan berkumis tipis. Ia memakai kemeja putih, dengan jas menggantung di lengannya. "Apa dia seorang Bos?" pikirku."Silakan duduk!" titah Mas Rendi. Sementara itu, aku dan Mbak Rina masih berdiri berdampingan seperti sedang mengantre pembagian sembako."Terima kasih, Mas," sahut Rido. Ia pun duduk di sofa tempatku menangis dulu. Ya, tentu saja aku masih ingat.Mas Rendi menatap ke arah kami berdua. Katanya, "Kok malah bengong?! Ambilin air! Masa
Read more
Bayi yang Malang
Pria itu pun melenggang pergi. Ia pulang dan aku masih merasa jantungku belum bisa berdegup dengan normal. Kututup pintu dan kulihat sepasang suami-istri sudah menunggu. Bersiap untuk menggodaku."Cieeee ....," goda Mas Rendi."Ih, apa sih, Mas?" Aku tersipu malu. Pipiku sudah memerah seperti kepiting rebus.Kami bertiga tertawa bersama. Mbak Rina pun menepuk pundakku. "Mbak lihat ... mereka cocok," katanya."Hahaha. Maen cocok cocok aja si Mbak." Aku tertawa terbahak-bahak.Tok! Tok! Tok!Sekitar sepuluh menit, terdengarlah suara pintu diketuk lagi. "Masa dia balik lagi?" pikirku. Hatiku sudah merasa tak karuan.“Jangan-jangan dia balik lagi, An?!” Mbak Rina menyikut perutku pelan sambil terkikik. Begitu pun dengan suaminya. Mereka terlihat begitu kompak. Bahagia melihat penderitaanku."Cieee ... bukain sana!" suruh Mas Rendi. Ia bahkan sengaja mendorongku.Kurapikan rambutku dan dengan semangat kubuka pintu. Ternyata ...."Mas Kamal?"
Read more
Biarkan Aku Memilih
Aku membawa bayi ini menuju ke rumah Mas Rendi. Dengan jantung yang dag-dig-dug tak karuan aku pun masuk. Ternyata Mas Rendi sudah menungguku sambil berkacak pinggang."Anita!" Tentu Mas Rendi akan membentakku seperti itu dan aku sudah sangat siap. Kusimpan tas besar milik bayi ini di atas meja. Tanganku mulai terasa kram."Kenapa kamu ini? Kenapa malah membawa anak itu ke rumah?" Begitupun dengan pertanyaan ini. Aku masih berdiri tak jauh dari pintu sambil mendengarkan apa-apa yang akan dikatakan Kakakku.Kutatap saja matanya. "Kenapa, Mas? Apa tidak boleh?" Padahal aku pun sudah sangat tahu apa yang akan dikatakannya."Sudah jelas tadi Mas ngelarang!" katanya masih dengan nada yang memekikkan telingaku."Tapi, Mas--" Pandangan mataku kini beralih pada si bayi. Kutatap nanarnya yang begitu berbinar. Menggoda dan menggelitik hatiku agar melindunginya."Udah, Mas ga mau ngurusin adik kaya kamu. Mas ga mau juga terbebani anak haram itu!” kata Ma
Read more
Berjualan
Rasa takut terus menghantui bahkan sampai mendatangiku di alam mimpi. Ya mimpi buruk tentunya. Mimpi di mana ketika aku sudah sangat mencintai dan menyayangi Indah, tiba-tiba saja Mawar mengambilnya. Sungguh jahat.“Untung cuman mimpi,” kataku yang sudah berkeringat panas dan dingin.Kutatap jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan aku baru ingat jika aku belum makan sejak tadi siang.Kutinggalkan Indah yang tertidur lelap, lalu kupergi ke dapur. Serangan malam seperti ini memang sering terjadi dan aku pun untungnya selalu menyediakan mie instan sebagai ‘jalan jinjaku’.Mie hangat dengan telur. Sebenarnya makanan itu adalah memang makanan favoritku. Ya, itu jadi favorit sesaat setelah Mas Kamal sering pergi. Pergi meninggalkanku tanpa uang sepeser pun. Makanya aku harus irit dan jarang makan royal.Setelah kurasa perutku kenyang, aku pun menonton TV. Sengaja volume-nya pun tak begitu besar karena takut membangunkan Inda
Read more
Perang Dingin Masih Berlanjut
Setelah mendapatkan uang, aku pun segera pergi. Rasanya aku benar-benar ingin terbang menjauh dari orang yang selalu membuatku naik darah itu.Keringat mulai bercucuran. Ya, mungkin ini akibat dari jarangnya aku berolahraga hingga baru berjalan beberapa meter saja, aku sudah terasa sangat kelelahan.“Gorengan ...!”Suara ini begitu bergetar. Aku sempat minum sebelumnya tadi karena tenggorokan ini mulai kering. Indah tampak nyaman dalam gendongan.“Anak pintar,” ucapku sambil terus berjalan.Tanpa disadari, langkah ini ternyata membawaku ke sebuah tempat yang tak asing. Di sana ada mobil dan ada orang yang kini sangat membenciku.“Mas Rendi,” ucapku pelan. Aku berdiri mematung.Mas Rendi pun menghentikan aktivitasnya yang sedang mengelap kendaraan kesayangannya itu. Ia menatap ke arahku. Bukan, maksudku kepada kami, aku dan Indah.Entah kenapa, aku merasa jika hati ini seolah ingin sekali kembali menjalin hub
Read more
PREV
12
DMCA.com Protection Status