All Chapters of 21 Days in Sukabumi: Chapter 11 - Chapter 20
29 Chapters
Mirip? (11)
Tak tau kenapa, tapi kurasa Angel agak aneh sekarang ini. Sedari tadi ekspresinya masam, gerak-geriknya lesu, biasanya dia ceria apalagi kalau sudah mendengar lagu dengan berbagai genre.  "Ngomong-ngomong, nanti kita bakal ketemu siapa lagi, ya? Aku pengen banget jalan-jalan sama Zaki, keinget terus waktu dia nerima hadiah itu. Kayak nggak pernah sebahagia itu, ibu bapaknya juga kelewat baik, sih," ungkapnya dengan bahasa tubuh yang sama.  "Bibi kamu? Mungkin, itu sentilan dari Tuhan buat kita karena kadang, orang yang hidupnya berkecukupan pun selalu merasa kurang. Beda lagi kalau dengan orang yang serba kekurangan, diberi segimana juga tetap ingat Tuhan." Aku diam sejenak mencari kata-kata estetik lain.  "Saya pikir, kelebihan dari orang yang serba kekurangan itu, dekat dengan Sang Pencipta."  Ingin tertawa juga sebenarnya habis bicara panjang lebar plus sok bijak seperti itu. Namun, memang rata-rata sesuai dengan realita, bukan?
Read more
Bukan Suami! (12A)
Pria yang kuberikan dua mi instan dan pasta gigi tersebut sangat berterima kasih, mulanya dia menolak diberikan itu. Namun, kupaksa dengan embel-embel kasihan anak-istri di rumah, beliau juga mendoakanku. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menuju desa Tenjolaut yang memakan waktu kurang lebih tiga puluh menit saja. Tak seperti kemarin-kemarin yang mesti menghabiskan berjam-jam untuk sampai di tempat tujuan. "Eh, uang kamu masih cukup buat berapa hari lagi?" tanya Angel menjeda kegiatan makannya. Kujawab kalau persediaan uang masih cukup untuk tiga minggu ke depan, bahkan mungkin lebih.  Dia melotot kaget, keripik kentangnya tumpah sebagian. "Hah?! Emang kamu bawa duit berapa? Terus mau berapa hari keliling kayak gini?" "Dua puluh satu hari, pengeluaran per hari satu juta. Kalau kurang, tinggal bilang Mama atau Papa." Bukan melotot lagi, kini dia tersedak.  "Orang kota banyak duitnya, bagi, dong!" ucapnya selepas meminum sebotol air min
Read more
Sensitif (12B)
Kami melahap penganan manis yang terbuat dari campuran gula merah, ketan hitam, parutan kelapa, juga durian: wajit. Saat kedatangan kami berdua, Bi Midah tengah memasak wajit ketan durian dan sekarang, aku membantu membungkusnya kecil-kecil. Memang sangat enak, tapi aroma durian yang menyengat menurutku kurang pas dipadukan dengan banyak kandungan gula. "Ini buat dijual, Bi?" Angel menanya, membuang pembungkus kudapan legit ini ke kantong kresek berisikan sampah. Wanita tersebut membenarkan pun berkata jika setengahnya disisakan untuk camilan di rumah. "Dijual di mana biasanya?" "Ya, di warung biasa kadang juga toko yang jajain oleh-oleh di persimpangan itu." Mengetahui hal itu, Angel mengias sepupu lelakinya dengan bertanya kenapa tidak membuka usaha sendiri? "Nah, iya. Si Epan juga lagi ngumpulin uang buat bangun toko khusus wajitnya bibi. Nanti kalau udah makin laku, pasti pake karyawan." Beliau tertawa kecil. Orang
Read more
Sensitif (12B)
Kami melahap penganan manis yang terbuat dari campuran gula merah, ketan hitam, parutan kelapa, juga durian: wajit. Saat kedatangan kami berdua, Bi Midah tengah memasak wajit ketan durian dan sekarang, aku membantu membungkusnya kecil-kecil. Memang sangat enak, tapi aroma durian yang menyengat menurutku kurang pas dipadukan dengan banyak kandungan gula. "Ini buat dijual, Bi?" Angel menanya, membuang pembungkus kudapan legit ini ke kantong kresek berisikan sampah. Wanita tersebut membenarkan pun berkata jika setengahnya disisakan untuk camilan di rumah. "Dijual di mana biasanya?" "Ya, di warung biasa kadang juga toko yang jajain oleh-oleh di persimpangan itu." Mengetahui hal itu, Angel mengias sepupu lelakinya dengan bertanya kenapa tidak membuka usaha sendiri? "Nah, iya. Si Epan juga lagi ngumpulin uang buat bangun toko khusus wajitnya bibi. Nanti kalau udah makin laku, pasti pake karyawan." Beliau tertawa kecil. Orang
Read more
Perihal Kemarin (13A
Ketika memasuki ruangan tamu, terdengar jelas Bi Midah sedang berbicara dengan suara keras dan membentak-bentak; memarahi sang anak yang terlambat bangun. Kulihat ponsel masih pukul tujuh kurang, bangun di pukul tujuh ini wajar saja bagiku ... kalau hari libur. Mungkin, disiplin bangun pagi mereka lebih ketat, tak kenal hari libur atau hari tertentu. Angel kembali menenangkan bibinya setelah menyimpan alat penyiram tanaman. Namun, amarah wanita itu justru semakin menjadi hingga sesuatu yang sering dilakukan orang tua di Indonesia tampak di depan mata. Apa lagi jika bukan membandingkan anaknya dengan anak orang lain. Terdengar lucu, kan?  Agaknya, kebanyakan dari mereka tidak memikirkan dampak buruk hal tersebut sehingga malah memperparah kebiasaan buruk si anak karena pola pikir tak sejalan.  "Sekarang cepet mandi! Habis itu siap-siap ke kebun cengkeh!" suruhnya masih tersulut emosi. Tak ada jawaban dari anak remaja itu selain berjalan gonta
Read more
Pamit Lebih Awal (13B)
"Emangnya kamu kelas berapa?" tanyaku pada Epan. "Udah lulus SMA dua bulan lalu," jawabnya lalu berdeham.  Agar perjalanan kami tak terasa sepi, aku mengajak bicara kedua orang ini termasuk menanyakan perihal keakraban mereka sebagai saudara. Ternyata, Epan memang sudah sangat dekat dengan Angel juga kembarannya sejak dia masih balita.  "Tapi paling deket sama Teh Njel, sih. Iya, kan?" Perempuan itu mengangguk kecil.  Percakapan berakhir ketika telah sampai di kebun cengkeh yang lebat ini. Udara di sini lebih dingin sebab cahaya matahari agak terhalang rimbunnya pohon. Sebenarnya tidak hanya ada pohon bernama ilmiah syzigium aromaticum saja, tapi tanaman lain seperti mangga yang berbuah lebat, cabe rawit, tomat juga semak-semak.  Kami istirahat sejenak, jalur setapak yang berkelok dan menanjak tadi lumayan menguras keringat. Beruntung, aku membekal sebotol air dingin begitu juga dengan Epan, cuma miliknya air teh. Gadis ber
Read more
Busuk! (14A)
Sebelum kami benar-benar pergi meninggalkan kediaman Bi Midah, dia mewanti-wanti agar aku menjaga Angel dan tidak melakukan perbuatan negatif. Bila dipikir kembali mengenai hal ini, sepertinya Papa kurang tepat merekomendasikan perempuan ini sebagai teman perjalanan. Pertama karena dia lawan jenis dan ya, aku memikirkan persepsi masyarakat di sini; takut terjadi sesuatu yang merugikan diri juga banyak orang tentang hubungan tidak resmi. Kedua, wanita itu ribet. Jujur, selama kegiatan bersama dia kadang aku merasa kurang nyaman karena tingkahnya. Walaupun memang akhirnya seru.  Terakhir, perempuan itu harus dilindungi, jadi selama perjalanan sampai dia benar-benar pulang ke rumahnya, menjadi tanggung jawabku juga. Kalau saja aku tak punya empati, pasti dia sudah pulang sendirian. "Angel, anak kampung namanya, kok, kayak anak kota?" kelakarku memecah keheningan antara kami. Dia menoleh. "Ya, aku emang lahirnya di kota." "Wah, ko
Read more
Maaf (14B)
Angel menjeda ucapannya. "Dia bangunin aku, kirain ada apa ternyata, ya .... Aku berontak, lah, dan coba kirim pesan ke kamu waktu dia liat Bi Midah ke kamar mandi. Habis itu, mulutku dibungkam dan nggak mainin HP lagi. Sampai Bi Midah liat dia lagi berdiri di sana, dia gelagapan. Ngebohong kalau lagi kasih krim anti nyamuk buatku." Aku memanggut-manggut, tampak raut frustrasi usai menjelaskan semuanya. Selain suka dimarahi, ternyata pemuda itu juga pandai berkilah.  "Jadi, kamu diem aja kemarin itu gara-gara itu?"  "Iya." "Terus tadi di kebun itu kamu pengen ikut gara-gara takut?"  Dia mengiakan. Kutanya lagi ketika datang ke kebun cengkeh bersama Bi Midah dia habis menangis atau tidak dan apakah anak itu berulah? "Iya. Aku udah ...."  Angel kembali sesenggukan, mengacak rambut yang semula memang tidak rapi. Lantas, aku beranjak dari tempat duduk, hendak menenangkan. Membantu merapikan rambutnya yang terger
Read more
Mimpi (15A)
"Habis ngapain? Kamu kebelet tadi?" tanyaku.  Angel menggeleng dengan pandangan fokus ke arah sabuk pengaman. Lantas, dia menyuruh untuk segera sampai ke penginapan. Daripada terus bosan dalam keheningan, kusuruh dia memutar lagu yang kemudian dituruti. "For  your info, makna lagu ini tuh tentang seseorang yang disakiti keadaan. Sedih banget." Dirinya berucap sembari melengkungkan bibir.  "Iya, lagunya juga enak didenger," jawabku. "Jadi keinget si br*ngs*k itu. Aku sumpahin dia sial seumur hidup," katanya disusul tawa paksa. Selama di dalam mobil, kami berbincang-bincang mengenai lagu tersebut hingga tak terasa kami sampai di temptelatakkami "Habis ini, kamu langsung istirahat. Jangan pikirin apa-apa, jangan melamun, jangan kelamaan main ponsel, mendingan tidur." Aku berujar panjang lebar memperingatinya.  "Iya, Abang Kota."****"Angel!" teriakku dari kejauhan. Kutarik pinggangnya hingga kami
Read more
Sambutan Pagi (15B)
"Jeno, keluar!" Angel berteriak dari dalam kamar mandi usai melihatku barusan.  Aku gelagapan, alhasil mengiakan permintaan tersebut, tapi yang kulakukan adalah mendekat ke arah kamar mandi. Bukan apa, cuma berniat memastikan gadis kampung itu baik-baik saja. Dirapatkannya telinga dan kedua telapak tangan ke pintu kamar mandi, menebak-nebak apa yang terjadi di dalam sana.  "Aaa, Jeno!" pekiknya panik. Gila! Aku nyaris mencium lantai ketika Angel tetiba membuka pintu. Beruntung, pelipisku terbentur ujung pintu. Sialnya lagi, Angel menyiram wajah ini dengan shower. Dengan susah payah tangan mengisyaratkan untuk berhenti, akhirnya berhenti juga.  "Ma-maaf, saya takut kamu kenapa-napa. Beneran nggak ada niat apa-apa, saya pergi dulu." Aku berucap sebelum lari terbirit-birit meninggalkan kamarnya. Singlet putih ini pun ikut kebasahan. Kuembuskan napas kasar, mengapa pagi ini harus kumulai dengan kekacauan?!  ****Tepa
Read more
PREV
123
DMCA.com Protection Status