All Chapters of Noda Dalam Luka: Chapter 21 - Chapter 30
45 Chapters
Keputusan Rapat
Pagi berlalu dengan sangat cepat berganti siang. Begitu juga siang terasa sangat singkat hingga malam pun mulai menyapa.Dengan malas aku duduk di belakang Mas Rudi. Di motor gunung miliknya, untuk menuju ke rumah Mba Ayuk, yang letaknya tidak jauh dari rumah orang tua kami.Ayah membonceng Ibu dan Adik, mereka sampai terlebih dahulu. Karena Mas Rudi sangat lambat mengendarai motornya, jadi kami sampai terlambat. Seolah-olah dia mengatakan tidak mau datang ke rumah Mba Ayuku, dengan menggunakan bahasa tubuhnya.Mas Rudi memang tidak suka pada Mba Ayu terlebih lagi kepada Abang Ipar. Menurutnya Abang Ipar kurang tegas sebagai lelaki, tetapi jika menurutku sendiri Abang Ipar sosok suami idaman. Sangat beruntung sekali Mba Ayu punya suami seperti dia.Sesampainya di sana Ayah sedang minum kopi susu. Emang seperti ini jika Ayah ke rumah Mba Ayu selalu dibuatkan susu, walaupun dia datang tanpa membawa oleh-oleh. Wajar saja jika dia selalu membela Mba Ayu.
Read more
Musim jengkol
"Ada masalah apa? Kata lah, Rud!" selidik Mamak pada Mas Rudi. Mamak masuk ke gubuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Dia langsung menuju ke amben tempat Mas Rudi sedang berbaring. Untuk menumpahkan rasa lelah dan letihnya. Dari balik geribik, pembatas dapur terdengar pembicaraan mereka. Rupaya mereka tidak setuju akan keputusan yang diambil oleh keluargaku. Prihal Nas Rudi yang harus pergi bekerja ke luar negeri. Bahkan sumpah serampah keluar dari mulut Mas Rudi. Menghina dan mendoakan segala kejelekan untuk keluargaku. Hati dan jiwa terasa mendidih mendengar perbincangan mereka, tetapi hati ini harus tetap bersabar. Supaya tidak terluka lagi. Ketika Mamak beranjak dari tempat duduknya untuk menuju ke dapur. Aku langsung keluar dengan pelan-pelan meninggalkan ruang dapur dan segera menuju ke sungai. Untuk mandi. Setelah aku selesai mandi di sungai. Kembali masuk ke gubuk dari pintu dapur. Sampai
Read more
Mas Rudi Kembali Berselingkuh
Aku membiarkan Mamak yang sedang asik merayu Mas Rudi. Mengenai duit dari hasil penjualan jengkol. Rayu demi rayuan Mamak lontarkan, sehingga Mas Rudi berencana memberikan separuh uangnya untuk biaya sekolah adiknya.Rasa kantuk pun sudah tidak tertahankan lagi. Aku pun bergegas naik ke atas untuk merebahkan badan yang terasa remuk. Tanpa pamit terlebih dahulu kepada Mamak dan Mas Rudi. Dalam hati timbul perasaan yang sangat besar pada Mas Rudi, beserta keluarganya.Aku terjaga dari mimpi, ketika ada tangan kekar mengelus pipiku. Kemudian perlahan mata ini terbuka mata, walupun masih sangat mengantuk."Lisna, aku mau," ucap Mas Rudi pelan. Beberapa bulan yang lalu, aku merasa senang dengan setiap kali ajakannya untuk bercinta. Namun, kini aku merasa sangat jijik setiap membayangkannya hal itu."Aku sedang datang bulan, Mas," tolakku halus dengan suara  manja."Baiklah aku akan keluar dulu. Kunci pintunya!" perintah Mas Rudi, sambi
Read more
Duit Dari Saudagar Jengkol
Pagi ini, cuaca sangat cerah, burung-burung berkicau dengan merdu. Mentari pun menampakkan diri dengan penuh berani dari sela-sela dedaunan. Sinar keemasan yang indah membuat kesan tersendiri di hari ini. Pagi ini aku berencana pergi ke pasar, untuk menemui saudagar jengkol. Dengan tujuan meminta uang dari hasil penjualan jengkol Mas Rudi. Tentunya tanpa sepengetahuan dia. Biasanya Mas Rudi pulang di siang hari, jadi aku membawa serta Rere bersamaku. Sekalian akan membelikan bakso untuknya. Mungkin akan sangat merepotkan membawa kopi coklat, serta menggendong Rere yang sedang tertidur pulas. Namun, apalah daya. Seperti inilah perjuangan seorang ibu.Terdengar suara motor dari kejauhan. Suaranya sangat memekakkan telinga dan aku sangat yakin bahwa itu adalah raungan mesin motor gunung milik Mas Rudi. Jauh dari perkiraanku jika sepagi ini Mas Rudi akan pulang ke gubuk. Padahal biasanya dia akan pulang pada tengah hari atau sore hari.Mas Rudi pulang dengan m
Read more
Rere Jatuh Dari Amben
Rere yang malang"Rere . . . , Rere . . . ," panggilku setengah berteriak.Pandanganku menyapu seluruh ruangan gubuk yang sempit. Mulut mendadak berteriak histeris. Ketika mata menatap pada sosok kecil, yang tergeletak di pintu dapur sambil menangis parau karena kehabisan suara."Rereku, sayang," air mataku mulai membanjiri pipi.Aku memeluk dan mendekap hangat Rere dalam pangkuan. Tangan dan kaki kecilnya yang berkaus kaki telah kotor dan basah. Tanah merah bercampur air kencing menjadi satu mengotori seluruh tubuh Rere yang mungil.Wajahnya memerah dan memar. Berkali-kali ciumanku mendarat di pipi mungil. Sebagai tanda betapa besar cinta kepadanya, dengan lembut baju dan celana yang melekat di badanya kulepas perlahan. Kedua lutut memar juga siku tangan sebelah kiri.Air teremos bercampur dengan air dingin aku gunakan untuk membasuh badan Rere, yang kotor. Supaya bersih dan tidak berbau pesing lagi. Kemudian aku memandikannya, setelah itu
Read more
Lisna pergi
Dia datang ke arahku makin mendekat. Rere yang berada dalam gendonganku,  dipintanya dengan paksa, lalu dia gendong tanpa kasih sayang.Ti diba-tiba sebuah tendangan mendarat di perutku, tepatnya di bagian ulu hati. Rasa sakit teramat sakit, sehingga aku jatuh pingsan di lantai dapur yang kotor.***************Aroma kopi hitam menyeruak ke dalam hidungku. Membuat diri ini tersadar dari tidurku, yang disebut pingsan. Masih dalam keadaan sama perut yang sakit dan masih terbaring di ruang dapur, sebelah tungku.Rasa dingin menjalar ke seluruh tubuh. Ditambah rasa lapar yang meremas lambung. Aku mengigil dalam balutan luka.Dia si manusia monster sedang asik menikmati kopi hitamnya, duduk di ranjang bambu. Aku melirik sekilas ke arah Rere yang tertidur pulas di sebelanya. Entah Rere makan atau tidak selama seharian ini, dalam asuhan Mas Rudi."Aku tidak sanggup lagi menjadi istrimu! Kita cerai saja! Antarkan aku pulang ke rumah orang tuaku
Read more
Mencari Kontrakan
Aku terus berjalan menyusuri pasar. Setiap ada orang yang menyapa, maka aku berbalik bertanya kepadanya tentang kontrakkan yang ada di sekitar sini. Di ujung pasar ada lima buah rumah kontrakan yang berjejer rapih. Tiga rumah berpenghuni, mereka ialah pasangan suami istri yang datang merantau di kota ini. Kebanyakan mereka dari daerah plosok, yang sengaja mengadu nasib di kota kecil dengan membawa anak dan istrinya. Mereka kelihatannya keluarga kecil yang harmonis. Membuat rasa iri tumbuh di hatiku yang telah hancur."Neng, maaf ya! Mereka tidak mengizinkan Eneng ngontrak di sini, karena takut para suami kami ngelirik ke Eneng." Jawab seorang perempuan setengah baya itu.Rupanya dia ialah istri dari pemilik kontrakkan disini. "Baiklah, terima kasih Bu! Aku pamit dulu," ucapku dengan nada kecewa.Aku pun pergi meninggalkan kerumunan ibu-ibu mudah yang sedang asik menghibah. Mereka kelihatannya ramah kepadaku, karena membalas senyumku den
Read more
Mendapatkan Kontrakan
Istri pemilik warung bakso yang baik itu. Menjelaskan kepada perempuan berbadan besar dan tinggi itu, yang ternyata ialah pemilik kos.Ibu Edo, begitulah orang-orang memanggilnya. Ternyata dia sangat ramah dan baik hati. Hanya badannya saja kelihatan sangar, tetapi dia memiliki hati sebaik berlian.Atas izin Allah beserta kebaikkan orang-orang yang ada di sini, maka malam ini Rere bisa tidur dengan nyenyak. Beralaskan kasur lantai yang hangat. Aku merebahkan Rere yang sedang demam. Di kamar kos selebar empat meter persegi. Ruangannya sangat sempit karena harus dibagi dengan adanya  kamar mandi di dalam kamar kos.Rere panasnya mulai turun setelah aku membelikan obat penurun panas di apotik depan kos-kosan. Kos-kosan terletak di tengah-tengah jantung kota kecil. Walaupun lokasinya bukan di pinggir jalan lintas, tetapi jika kita keluar dari komplek rumah kos ini. Banyak tokoh-tokoh besar berderet-deret di pinggir jalan raya. Jadi dengan mudahnya kita bisa mem
Read more
Emosi Ayah
Siang itu Mas Rudi datang bersama Edi. Ibu menyambut kedatangan mereka dengan ramah.  Saat itu aku sedang mandi siang setelah mencuci baju. Kebetulan Rere sedang tidur nyeyak di kamarnya. Ayah baru saja pulang dari mencari rumput untuk memberi makan sapi putih peliharaannya, dan ayah pun belum mandi seharian.  Setelah Ibu mempersilakan mereka masuk dan duduk. Aku menemui mereka dengan senyum yang kubuat semanis mungkin. Tanpa menyuguhkan kopi pahit kesukaannya.  Ibu menyapa dan bertanya kepada Mas Rudi, namun dia tidak menjawab sepatah katapun. Wajah yang sudah hitam ditambah muka cemberut, itulah tatapan Mas Rudi kepada ibuku. Edi hanya nyengir kuda memamerkan gigi kuningnya yang gingsol.  "Eh, Mas Rudi. Kok tahu jika aku di sini?" Sapaku seramah mungkin.  Mendadak Mas Rudi dengan muka hitamnya yang bertambah
Read more
Menemui Rudi
 Kehidupanku selanjutnya berjalan dengan sempurna. Tanpa ada tangis yang menghiasi hariku. Jika Rere sesekali dia masih menangis karena meminta jajan dan ada sebab kecil lainnya.  Salat lima waktu tidak pernah aku tinggalkan, kecuali jika masih datang bulan. Hati menjadi tenang dan damai. Rezeki pun semakin lancar daganganku semakin laris. Walaupun upahnya tidak banyak, tetapi aku merasa lebih bahagia hidup di kontrakkan kecil seperti ini. Daripada tinggal di hutan bersama monster kejam. Sepuluh bulan berlalu dengan cepat sekali. Kabar berita yang aku dengar dari seseorang di media sosial, yang bernama Ida. Ida ialah tetangga dari Bik Sum di kampung. Dia mengabarkan bahwa Edi telah meninggal dunia. Karena disebabkan jatuh dari motor gunungnya ,saat sedang mengojek kayu di hutan.   Medan yang curam serta tanah yang licin. Mengakibatkan motornya oleng dan jatuh ke dalam jurang yang terja
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status