Semua Bab Noda Dalam Luka: Bab 11 - Bab 20
45 Bab
Bakso
  Aku berjalan ke dapur mengambil enam buah mangkuk dan sendok, berserta sendok garbunya juga. Kuletakkan di meja ruang tamu berserta air putih dalam teko dan gelas kaca, yang dibawa oleh adikku. Tanpa menghiraukan Mas Rudi dan Andi, yang saling menatap sinis. Kutuang bakso dan mie ayam ke mangkuknya masing-masing. Aku lebih milih bakso supaya bisa berbagi dengan Rere, yang sudah mulai tumbuh gigi. "Jangan dimakan itu! Ada guna-gunanya," ujar Mas Rudi, setengah teriak kepadaku. Aku pun menjadi terkejut, hingga kuah bakso sedang kutuang ke mangkok pun tumpah sedikit. "Aah, benarkah? sahutku, sambil melihat Andi. "Aku tidak gila! Seperti Rudi," kilah Andi, yang melirik ke arah Mas Rudi.  Jemudian dia menatapku tajam. "Biar kubaca Al-fatihah dulu jika mienya berubah warna berarti ada guna-gunanya," terang Adikku, penuh percaya diri.  "Iya," kami menjawab dengan serempak. "Tidak berubah warna, bisa di
Baca selengkapnya
Kembali ke Hutan
 Kupandangi gubuk yang sudah rapi, seolah tidak terjadi apa pun. Bahkan sedikit abu dan arang pun tidak ada seolah tak pernah terjadi kebakaran.Orang tua Mas Rudi tersenyum saat melihatku. Mereka langsung meminta Rere dari gendonganku untuk ditimang-timang oleh mereka.Terkejutnya aku begitu masuk ke gubuk. Gubuk tampak bersih dan rapi di amben tertata rapih hidangan, yang aromanya menggugah perut sudah terasa lapar. Mas Rudi menerangkan jika ini masakan Mamak, yang sengaja untuk menantu kesayangannya, jadi aku harus makan sampai habis.Seusai makan, aku ke gubuk mertua untuk mengambil Rere, tetapi saat tiba di sana rupanya Rere masih tidur. Mamak pun menyuruhku untuk membantunya mengupas kulit jengkol, yang jumlahnya sangat banyak.Entah sampai berapa jam aku mengupas jengkol, sambil bermain dengan Rere yang sudah bangun dari tidurnya. Dia kelihatan sangat senang bermain kulit jengkol. Bapak dan Mas Rudi pun sudah pulang dari memetik jengkol
Baca selengkapnya
Terbongkar
  Selesai menikmati semangkuk mie ayam, yang kubagi dua dengan Rere. Segera membayar kepada pemilik warung, sambil mengambil HP yang dicas. Dengan menundukkan kepala, yang bermaksut menyembunyikan muka dari ramenya pelanggan di siang itu. Aku bergegas keluar meninggalkan warung mie ayam itu.    Aku berencana pulang ke desa. Meninggalkan gubuk derita milik monster keji itu. Tidak jauh dari warung mie ayam ada sebuah bangku panjang yang terbuat dari papan. Beratapkajn anyaman ilalang. Di sisi sampingnya ada tulisan pangkalan ojek.  'Kok sepi, mungkin karna siang hari.' Kataku dalam hati. Menunggu tukang ojek sambil menenangkan Rere, yang menangis lalu tertidur pulas. Kukecup penuh kasih kening Rere, yang tidur di pangkuan. Menunggu tukang ojek terduduk bersandar pada pohon jati di pangkalan ojek. Tidak terasa aku pun tertidur bahkan sempat bermimpi. "Neng, mau k
Baca selengkapnya
Tenaga Surya
  Senang rasanya sudah memiliki listrik sendiri biarpun masih tenaga Surya. Aku bisa leluasa ngecas HP, jika Mas Rudi keluar malam. Karena siang aku sudah mulai kehutan lagi. Untuk mencari kemiri dengan menggendong Rere. Hasil dari pencarian di hutan aku jual sendiri ke kampung tanpa membawa Rere. Karena sangat berat jika harus menggendong kemiri dan juga Rere. HP jika di gubuk tidak ada sinyal. Mungkin karena gubuk terletak di lembah, tetapi jika di atas gunung dan di kampung ada sinyalnya. Jadi aku bisa berkomunikasi dengan Andi dan beberapa temanku. Soal pulsa aku tidak pernah beli, bahkan nomernya sendiri aku tidak tahu. Aku pun mulai sering melaksanakan kewajiban Sholat, walaupun tidak lima waktu. Karena sepertinya Mas Rudi tidak senang jika melihatku sedang sholat. Jadi aku melakukannya secara sembunyi-sembunyi darinya. Keanehan pun selalu terjadi. Aku bisa sangat merindui jika jauh dariny
Baca selengkapnya
Musim Mangga
  "Eeee anuuu." Aku menjawab dengan gerogi yang bercampur terkejut. Sambil tangan kiriku menyembunyikan HP dan kemudian memasukan ke celana kolorku bagian belakang yang tidak berkantong. Tanpa memutuskan dan menutup panggilan terlebih dahulu. "Sama siapa? Apa jangan-jangan kamu sudah gila?" Mertuaku mengulangi pertanyaannya. "Itu, Mak! Monyet itu sedang ketawa denganku," sahutku sambil menujuk seekor monyet yang sedang menatap kami.  Di saat bingung mencari alasan, tampak olehku sekumpulan monyet yang sedang bergelanyut di pohon durian yang tidak berbuah dan salah satu dari mereka ada yang menatap ke arah kami sambil menggaruk-garuk kepala, yang tidak jauh dari tempat kami berdiri di bawah pohon mangga. Monyet- monyet itu datang diwaktu yang tepat, sebagai juru selamat.  'Mungkin Raja Hanoman datang menyelamatkanku,' ucapku dalam hati sambil te
Baca selengkapnya
Teman Baru
  Pada pagi hari yang cerah di sisi gubuk aku membuka kopi coklat, bersama dengan putri kecilku Rere yang sedang asik bermain buah kopi coklat yang kotor. Mengupas kopi coklat, aku sambil bersenandung riang dan membayangkan sedang bersama dengan Andi. Tiba-tiba saja tercium aroma wangi parfum menusuk hidung. Membuat aku harus mendongakkan kepala, karena rasa penasaran. Seorang perempuan semok berdiri tepat di depan sambil tersenyum manis. Dialah Sri gadis yang kemarin datang di gubukku. Tanpa di suruh dia pun segera membantu membuka kopi coklat. Sri sangat cekatan dan gesit, dia sama sekali tidak takut tangannya jadi kotor terkena getah kulit kopi coklat yang hitam dan berlendir. "Mak, apa kabar, sehat?" Sri menyapa Mamak yang tiba-tiba melintas hendak menuju sungai di belakang gubukku. Mamak hanya senyum menanggapi salam dari Sri. "Lisna sudah sore cepa
Baca selengkapnya
Digrebek
Aku pun segera beranjak dari pembaringan dan dengan pelan-pelan merangkak keluar dari kamar. Kemudian turun ke bawah, untuk melakukan aktivitas pagi, memasak dan berbenah. Pagi ini tidak ada sayuran, jadi terpaksa setelah mencuci piring langsung memetik kuncup pakis.Tidak biasanya rame sekali pada pagi hari ini, sekumpulan orang dari ujung tepi sungai berbondong-bondong mencari Sri. Termasuk suami Sri yang datang dari kota. Jika suaminya tidak datang sepagi ini mungkin tidak ada yang tahu jika Sri bermalam di gubukku."Lisna, Sriyanti ada di sini?" tanya ibu mertuaku  dengan nada marah."Iya, Mak," sahutku singkat sambil menyudahi kegiatanku yang sedang memetik kuncup pakis.Kaget rasanya baskom kecil tempat pakisku di rebut oleh Mamak. Entah dibawa ke bawah sana oleh Mamak untuk apa? Kuncup pakis pun tumpah ke tanah  dan berserakan, sehingga terinjak- injak oleh orang-orang yang berlalu lalang menuju gubuk, sambil menatapku tanpa sepatah
Baca selengkapnya
Pernikahan Kedua
Aku Merias diri dalam kamar dengan peralatan make-up alakadarnya. Sementara itu, Rere diam dalam dekapan Bik Ijah Jum, yang begitu sabarnya menyuapi Rere makan nasi sesuap demi sesuap. Suara ketukan pintu kamar terdengar. Sebelum aku menjawab, pintu kayu yang tidak terkunci itu pun terbuka. Mamak masuk ke dalam kamar, dia menghampiri diriku yang sedang duduk menatap ke cermin. Dia memakai baju gamis lengkap dengan jilbabnya, baju yang sama ketika pesta pernikahan dulu. "Lisna, mari keluar kamar!" ajak Mamak dengan senyuman. "Iya, Mak," jawabku dengan suara pelan dan sambil tersenyum. Kemudian aku berjalan pelan mengikuti Mamak dari belakang, menuju ruang tamu. Sampai di sana diriku sangat terkejut, karena mereka sudah menyusun rencana pernikahan aku dan Mas Rudi untuk yang kedua kalinya. Ritual ijab kabul pun berjalan dengan lancar dan sangat singkat. Tidak melakukan pembacaan ayat-ayat pendek sepert
Baca selengkapnya
Rapat Yang Tertunda
"Ibu, Ayah, Adik dan kamu Lisna ke marilah kita duduk bareng. Sekalian suamimu suruh ke sini. Kita adakan rapat keluarga," Mba Ayu langsung memerintah kami begitu masuk ke rumah. Layaknya seorang bos."Mas Rudi belum bangun Mba. Tunggu sebentar lagi," kilahku sedikit kesal."Suruh saja dia bangun! Aku sangat sibuk!" ucapnya dengan suara ketus, sambil matanya menatap tajam ke arahku.Dengan malas aku masuk ke dalam kamar membangunkan Mas Rudi, yang sedang terlena dalam mimpi indahnya di atas kasur busa empuk dan hangat.Dengan sedikit marah Mas Rudi, terpaksa bangun dari pembaringan. Karena sekarang sedang berada di rumah orang tuaku, jadi dia tidak berani untuk membentak apa lagi memukul diriku.Mas Rudi beranjak dari tempat tidur dengan malas, dia melangkahkan kaki menuju ke mandi. Untuk mencuci mukanya yang kusut. Sementara itu, aku menyeduh kopi panas dan pahit, untuk disajikan di depan Mas Rudi, yang akan duduk di ruang tamu. Setelah dia menyuc
Baca selengkapnya
Keputusan Rapat
Pagi berlalu dengan sangat cepat berganti siang. Begitu juga siang terasa sangat singkat hingga malam pun mulai menyapa.Dengan malas aku duduk di belakang Mas Rudi. Di motor gunung miliknya, untuk menuju ke rumah Mba Ayuk, yang letaknya tidak jauh dari rumah orang tua kami.Ayah membonceng Ibu dan Adik, mereka sampai terlebih dahulu. Karena Mas Rudi sangat lambat mengendarai motornya, jadi kami sampai terlambat. Seolah-olah dia mengatakan tidak mau datang ke rumah Mba Ayuku, dengan menggunakan bahasa tubuhnya.Mas Rudi memang tidak suka pada Mba Ayu terlebih lagi kepada Abang Ipar. Menurutnya Abang Ipar kurang tegas sebagai lelaki, tetapi jika menurutku sendiri Abang Ipar sosok suami idaman. Sangat beruntung sekali Mba Ayu punya suami seperti dia.Sesampainya di sana Ayah sedang minum kopi susu. Emang seperti ini jika Ayah ke rumah Mba Ayu selalu dibuatkan susu, walaupun dia datang tanpa membawa oleh-oleh. Wajar saja jika dia selalu membela Mba Ayu.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status