Rudi seorang lelaki kejam dan jahat menikahi Lisna yang lugu. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi tatkala Rudi dihasut oleh ibu dan selingkuhannya. Mungkinkah rumah tangga mereka baik-baik saja? Kala Lisna tahu Rudi berselingkuh dan mengguna-guna Lisna.
Lihat lebih banyakSemalaman aku bergadang karena putri kecil Rere badannya demam tinggi. Hidup di tengah kebun jauh dari bidan apalagi Puskesmas. Tetangga pun jauh hanya mertualah yang gubuknya di sebelah kami. Sebaik mereka padaku tapi lebih percaya akan ucapan dari anak laki-lakinya yang telah menjadi suamiku selama hampir dua tahun ini.
Penyesalanku kini telah tiada arti, larangan dari orang tua dan kakak tidak aku hiraukan. Diriku terbujuk dari gombalan manis yang berbuah penderitaan.
Rudi pria hitam manis berpawakan tinggi besar, yang aku kenal di dunia maya melalui aplikasi F*. Berawal dari like dan komentarnya yang menjadikan rasa di hati semakin akrab, pertemaan kami pun berlanjut ke messenger.
Aku Lisna seorang gadis berumur 20 tahun, anak dari keluarga biasa dan sederhana. Memiliki dua orang kakak perempuan dan satu orang adik perempuan.
Kedua kakakku sudah menikah mereka hidup bahagia. Aku bekerja sebagai baby sister di kota besar. Sedang adik bungsu masih sekolah di SMA.
Karena posisiku masih gadis, jadi berkewajiban membantu biaya adik sekolah.Libur hari raya Idul Fitri sudah tiba, begitu juga dengan kerjaku. Senanganya bisa pulang kampung berkumpul dengan keluarga, terutama bisa jumpa dengan Rudi tetangga desa.
Aku tidak pernah bergaul apalagi main ke desa sebelah. Jadi aku tidak mengenal siapa Rudi di kehidupan nyata.
Hari yang dinanti telah tiba, aku menuju ke tempat yang telah dijanjikan, di sebuah warung bakso yang jaraknya lumayan jauh dari rumahku, dengan menaiki ojek bergegas aku kesana.
Ternyata dia sudah sampai di sana, bahkan dia telah memesan bakso dan es campur.
"Hai. Sudah lama menunggu, Mas?" Sapaku, dengan dada berdegup kencang.
"Belum, mau makan apa? Pesanlah!" Perintahnya, yang aku jawab dengan anggukan.
Tanpa basa basi lagi aku pun memesan semangkuk bakso beranak tanpa mie, dan segelas jus alpukat, yang memang aku sengaja tidak makan dari tadi pagi.
Sambil ngobrol ngalor-ngidul, ludes tak tersisah makanan yang telah kami pesan.
"Berapa, Bu, baksonya?" tanya Mas Rudi pada ibu penjual.
"Semuanya apa, Mas? Ditambah dua bungkus yang dipesen sama Mbak yang cantik." Terang penjual bakso.
Aku memang pesan dua bungkus untuk keponakan dan adikku.
Dia bukannya langsung membayar malah seperti sedang mencari sesuatu.
"Dek, dompetku ketinggalan, bisa pinjem uangmu dulu, nanti aku ganti?" Pertanyaan yang tidak pernahku duga sebelumnya.
"Enggak papa, Mas, enggak diganti juga enggak apa, Mas, aku ikhlas." Jawabku disertai senyuman manis.Seusai membayar kami pun meninggalkan warung baso itu. Dia berencana mengantarku pulang, katanya ingin berkenalan dengan keluargaku itu alasannya.
Di tengah perjalanan katanya bensinnya habis. Dia kembali meminjam duit padaku untuk membeli bensin, dengan setengah tidak rida, aku menyerahkan selembar duit kertas kepadanya.
Sesampainya di rumah dia sangat sopan kepada kedua orang tuaku.
"Kok bawa pulang bakso segala?" Ibu bertanya padaku.
"Iya Bu, dibelikan oleh Mas Rudi." Jawabku mencoba memberikan pencitraan baik.
Pertemaan kami pun semakin akrab, tapi entah mengapa ayahku tidak setuju. Dalam pandangannya Mas Rudi bukan jodoh yang baik.
Aku pun diajak ke rumahnya yang megah dan besar. Orang tuanya pun ramah.
"Nanti jika kita sudah menikah, rumah ini untukmu, Dek Lisna, aku modalin buat usaha dagang. Aku ke kebun ngurusin kebun durian yang jumlahnya berhektar-hektar." Terang Mas Rudi, yang mejadikan kalbuku berhayal.
Singkat cerita kami pun bertunangan tentunya setelah restu dari orang tua. Dengan usaha membujuk rayu ayah siang malam, akhirnya dia menyetujuinya dengan berat hati. Namun, tidak aku hiraukan karena aku merasa sangat yakin, akan hidup seperti ratu dengan dinikahi olehnya.
Baru dua bulan kami bertunangan, dia memintaku untuk segera menikah dengannya.
"Berapa gajih mu, Dek?"
" Aku bisa memberimu lima kali lipat, jika kamu sudah menjadi istriku." Karena kata- kata inilah aku lekas pulang dari kota.
Kembali pulang membujuk rayu ayah agar kami segera menikah, dengan alasan aku sudah lelah jadi pembantunya orang. Ayah kembali luluh hatinya dan aku pun bersorak ria.
Pernikahan kami pun berlangsung sangat sederhana, bila dibandingkan dengan kakak pertamaku yang dipinang oleh petani sukses.
Seminggu setelah aku menikah diboyong ke rumah mertua yang megah.
Kenyataan jauh dari yang dibayangkan. Semua berbalik 100%, aku tidak tinggal di rumah megah itu, apalagi sampai diberi modal untuk dagang, seperti apa yang telah dia janjikan.
Aku dibawa ke kebun yang tepatnya disebut hutan, karena masih banyak binatang liar dan baru aku ketahui ternyata kebun yang luasnya berhektar itu, bukan miliknya melainkan milik negara (istilah kami masih kawasan), yang bisa kapan saja diusir dari kebun oleh pemerintah.
Tinggal di gubuk papan yang sempit, masak pun menggunakan tungku kayu. Semua berkakas tampak hitam, lebih parahnya lagi air yang dikonsumsi setiap harinya berasal dari sungai.
Beberapa bulan kemudian aku hamil, tetapi pekerjaan semakin berat dari besik rumput, sampai memunguti kemiri di hutan, aku lakukan untuk membantu suami, yang dulunya lembut berubah jadi tempra mental.
Neraka pun datang padaku setelah melahirkan. Aku yang dilarang menggunakan make-up, dan membeli baju baru, sehingga penampilanku kelihatannya lebih tua dari usia yang sebenarnya.Dia pun setiap malam selalu keluar rumah entah pergi ke mana. Teganya dia meninggalkan aku, dan seorang bayi merah, yang setiap malam menangis memecah sunyinya hutan yang mencekam.
Tengah malam Mas Rudi baru pulang, bahkan kadang subuh dia baru menampakkan batang hidungnya. Pulang marah-marah tidak jelas. Jika mengeluh beras dan bumbu dapur habis, aku pasti kena tampar sebelum dia memberikan duit kepadaku.Perjalanan dua jam dengan jalan kaki menyebrangi sungai jernih, berbatu dan dangkal, melewati hutan yang sesekali berpapasan dengan penduduk, yang mencari hasil hutan seperti kami.
Untuk menuju pasar tradisonal, yang hanya terdiri dari beberapa pedagang yang membuka kios. Mereka semua ialah sama orang perantauan, yang mencari rezky, cuma bedanya mereka memiliki modal jadi bisa membuka usaha.
Dalam keadaan perut yang sangat lapar aku berjalan naik turun bukit. Setengah berlari, walau kadang berhenti sejenak, untuk menarik nafas.
Segarnya air sungai yang jernih untuk mengusir haus dan dahagaku, sebagai bekal naik ke bukit, untuk pulang menuju gubuk derita, tempat sang buah hatiku sedang tertidur lelap saat ditinggalkan tadi.
Alangkah terkejutnya aku saat kudapati sang buah hati menangis terisak, dengan muka merah yang membiru, di depan pintu dapur yang jaraknya 2 meter dari amben.
Tangisku pecah, melihat entah bagaimana dia bisa jatuh dan sampai sejauh itu. Sepertinya dia sudah lama menangis, sehingga suaranya serak parau.
Kucari Mas Rudi di sudut ruangan, ternyata dia tidak ada. Mungkin seperti biasanya dia tidur di gubuk orang tuanya, yang gubuknya tepat di sebelahku, dengan alasan tidak mau tidurnya tergangu oleh suara tangis anaknya.
Ya, dia bisa tertidur lelap di sana karena sepi tiada orang. Pagi sekali kedua orang tuanya telah pergi ke kebun.
Basah dan kotor baju Rere, sambil terisak kuganti bajunya, lalu kususui dia supaya tertidur kembali.
"Plak."
Tamparan mendarat di pipiku.
"Apa yang kamu lakukan dari tadi, aku sudah lapar tahuuu!" Bentak suamiku, yang berubah menjadi monster.
"Jadi perempuan itu jangan pemalas, ngerjain apa-apa lama, kerjaan gak becus. Untung kamu menikah dengan aku coba jika dengan orang lain, belum tentu dia mau ngasih kamu duit." Mas Rudi terus saja memakiku.
Aku tidak berani menjawab, kemudian beranjak bangkit dari amben sambil menggendong buah hatiku yang menangis. Aku dan Rere menangis bersama sambil menyiapkan sarapan ala kadarnya.
Mengutuk diri, merenungi nasib tiada tempat untuk mengadu, yang jelas aku harus cepat memasak mie instan, yang kubeli di pasar tadi. Kayu bakar sepertinya tak bersahabat dengan diriku, menjadi sangat susah untuk dibakar.
Aku menikmati sarapan pagi seorang diri setiap kali Rere pergi ke sekolah. Setelah Mas Indra dan Mami Resti berada di rumah serambi. Mereka tidak lagi datang ke rumah utama untuk sekadar menikmati makanan bersama atau alasan apapun. Semua kebutuhan mereka hidup mereka ditanggung oleh Papa, tapi semua serba mentah. Sehingga tangan perempuan selembut mami Resti harus memasak dan mencuci baju. Sungguh kehidupan yang memprihatinkan.Hari berlalu begitu cepat, Minggu berganti bulan dan bulan pun berganti bulan, sampai tiba di suatu malam. Aku melahirkan seorang anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari keluarga Indra.Suara tangisannya memecahkan keheningan malam. Melukis sebuah rasa bahagia dalam hati kami, kecuali Mami Resti yang sudah menjabat sebagai istri sirih Mas Indra. Dunia memang sangat pelik. Dalam sekejap mata ibu mertua kini sudah menjadi adik maduku.Ayah tiada henti-hentinya mengucapkan terima k
Yanti berucap dengan suara tergesa-gesa. Suaranya terbata-bata dan napasnya tersengal sengal. Mendengar ucapan dari asisten rumah tangga berbaju kuning dan bercelana jeans hitam itu, Papa tampak matanya melotot. Seakan-akan kedua bola mata tajam ingin meloncat dari kelopaknya.Sementara itu, aku hanya mampu menelan ludah getir bercampur aduk dengan perasaan yang tidak menentu. Antara bahagia, takut, sakit hati dan cemburu. Bahagia sebab Mas Indra sudah pulang ke rumah, bisa melakukan makan malam bersama dan kegiatan lainnya layaknya seperti suami-istri.Rasa takut dan was-was bila sampai Mas Indra mengetahui semua harta kekayaan keluarganya sudah dihibahkan pada kedua anakku. Sakit hati setiap teringat malam itu, di mana aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Suami yang tercinta dan ibu mertua sedang bercumbu ria di kasur kamarnya. Masih terbayang kejadian menjijikan itu, mereka saling menjilat dan mengulum tubuh di depannya.
Hari berlalu begitu cepat, tak terasa sore pun segera menghampiri diriku yang masih bermalas-malasan di pembaringan.Rasa malas ini hadir begitu saja, setelah usia kehamilan memasuki lima bulan. Membuat aku menghabiskan sebagian hari di kamar tidur.Beberapa saat kemudian, Rere memasuki kamar. Dia memakai gaun putih berenda pink di bagian bawah gaunnya yang sepanjang lutut. Senyum manis mengembang di bibirnya mungilnya. Putriku Rere sungguh cantik sekali.Langkah kaki mungil perlahan mendekat tempat aku sedang merebahkan diri. Dia duduk di tepi ranjang, sambil kakinya menjuntai."Bunda, kok Papa Indra lebih sayang Oma Resti dari pada Bunda?" tanya Rere dengan begitu polosnya.Seakan-akan ada sebuah batu besar yang ditimpuk ke dadaku. Sangat sakit sekali mendengar ucapan Rere yang begitu polos."Tidak, Sayang. Oma Resti kan masih sakit,
Aku mengajak Rere meninggalkan kamar berbau obat itu, memegang tangan kirinya penuh kasih sayang. Melewati koridor yang ramai oleh perawat yang bertugas untuk membagi obat pada pasiennya.Sesekali tangan kiriku, mengapus air mata yang tidak berhenti berderai. Supaya Rere tidak melihat tangis yang tertahan, tetapi sangat menyakitkan.Sesampainya di luar rumah sakit Ibu dan Anak, kami segera menuju ke perhentian bus berbaur dengan calon penumpang lainnya.Cuaca mendung membuat aku menggigil, laksana hati ini yang kedinginan dan mendambakan pelukan seorang suami.Tidak berapa lama kemudian, mobil bus berhenti. Namun, ketika kaki ini melangkah maju. Tiba-tiba saja sebuah mobil berwarna hitam berhenti di belakang mobil bus. Terdengar suara panggilan yang begitu akrab di telinga."Nyonya Lisna!"Sopir pribadi Ayah mertua mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil mewah berwarna hitam. Tangannya melambai, bibirnya terse
"Apa yang sedang kalian lakukan?" bentak ayah mertua.Seketika kami terperanjat, ayah mertua yang tergeletak di dipannya, tiba-tiba keluar dari kamar dengan menaiki kursi roda, yang didorong oleh Bik Ijah.Sontak saja Mami Resti yang sedang merebahkan kepalanya di pangkuan Mas Indra, langsung beranjak bangkit dengan muka yang pucat pasi.'Yess,' hatiku bersorak kegirangan."Ayah sudah sehat? Kapan kok aku tidak tahu?" tanya Mas Indra, dengan muka pucat."Kenapa aku harus lapor sama kamu? Kamu saja tidur di kamar Ibu tirimu tidak pernah lapor padaku?" sergah Ayah mertua, yang membuat Mas Indra yang mukanya berubah merah padam. Seakan-akan dia baru saja ditampar."Berkat kecerdasan Lisna dan kerja sama dengan Bik Ijah, aku mendapatkan perawatan dari dokter yang bertanggung jawab," terang Ayah.Mas Indra dan penyihir itu menatapku dengan tajam, seolah-olah mereka akan me
Selama berada di puncak aku dan Rere mengisi waktu siang dengan mengelilingi kebun teh milik warga. Aku mencoba untuk tersenyum di depan putriku satu-satunya, agar dia tidak merasa curiga dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam rumah tangga kami. Walaupun terasa sangat menyakitkan. Namun, semua ini terpaksa dilakukan demi masa depan Rere dan juga calon bayi dalam rahim ini.Suasana yang teduh dan cuaca dingin, membuat aku teringat akan kebun kopi coklat milik mendiang mantan suami. Ah, aku mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskan dengan pelan, serta panjang.Tidak terasa mata ini pun berembun dan rintik-rintik hujan pun turun dari sela-sela mataku, yang mulai cekung."Bunda, kenapa menangis?" selidik Rere yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingku."Rere, mana jagung bakarnya?" tanyaku, sambil menyeka air mata."Ini,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen