All Chapters of Terpaksa Jadi Pacar: Chapter 111 - Chapter 120
146 Chapters
Gue Yang Sakit
Lebih dari dua jam Ari dan Tarissa berputar-putar, dibawa oleh Bus Surabaya. Meski hanya mengunjungi gedung-gedung penting yang beberapa di antaranya termasuk bangunan pemerintah, gadis dua puluh tahun itu merasa lebih dari bahagia. Usianya yang dua tahun lebih tua dari Eiffor, memang mengindikasikan hal lain. Selain kedatangannya yang tak disangka dan diduga, pun sikapnya yang ramah hanya sebagai pemanis saja. Tarissa mengakuinya sendiri. "Elu enggak mau tau tentang gue?" tanya Tarissa. Keduanya sudah hampir sampai ke gedung House of Sampoerna. Ari menggeleng, lalu memandangnya lekat. "Aku enggak mau tau tentangmu yang dulu. Karena yang kukenal sekarang ya kamu. Tarissa yang sekarang." Tarissa terdiam, lantas ia menggeleng sembari menarik keras kaus polo Ari untuk mengahadapnya. "Jadi, elu emang enggak punya rencana buat kenal gue lebih deket?" Ari tahu ini adalah kesalahpahaman
Read more
Cuma Sebatas Teman
"Sejak awal, aku enggak pernah ngomong apa pun ke kamu soal perasaan, Tar. Kita temen yang bener-bener temen. Mungkin, aku emang pernah ngancem Lara saat itu buat ngeduain dia. Emang ada rencana buat ngedeketin kamu biar dia ngerasa cemburu dan sadar kalo dia suka sama aku. Tapi sungguh, pertemuan kita enggak pernah kuduga, Tar. Semua terjadi gitu aja." Kini, tangis Tarissa telah pecah bersamaan dengan bus yang berhenti setelah sampai di kawasan gedung. Ari hendak menggamit lengan Tarissa, tapi urung dilakukan. Ia akan membatasi diri, agar Tarissa tak lagi berharap. "Ayo, ki--" Tarissa yang bangkit dan beranjak secara mendadak, sengaja menabrak bahu Ari. Semua penumpang telah turun kecuali mereka. Ari pun bergegas menyusul Tarissa, sayangnya gadis itu telah berlari ke luar dan menghentikan mobil angkutan. Ia tak yakin harus bagaimana, tetapi mungkin akan lebih baik situasinya jik
Read more
Rumah yang Direnovasi
Rendi masih mencoba menimbang-nimbang saat Lara mulai beranjak hendak menanyakan bagaimana progres hari itu. Tak banyak yang diucapkan Mandor Angga. Hanya sesekali menceritakan rintangan dan memberi masukan. Lara menyipit saat mendapati Rendi masih enggan pergi. Bahkan, adik tiri Ari itu malah tengah berkacak pinggang. Seolah-olah, ia juga tengah menikmati progres yang ada. Lara hampir terperanjat karena terlalu fokus pada Rendi saat ponselnya bergetar. Nama Tarissa muncul di layar ponselnya. Lekas, ia menjauh hendak menerima panggilan. Cepat ia mengusap ikon telepon berwarna hijau dan menyapa sang kawan. "Tumben?" tanyanya penuh penekanan. Alih-alih menjawab, Tarissa malah memaki Lara tanpa jeda. Ia bahkan menyumpahi ratu investor tentang hal yang bukan-bukan. "Elu brengsek! Gue bakal ngusir elu dari kepala Ari! Sampek kapan pun, gue bakal ngebuat Ari suka s
Read more
Kelas Kakap
Lara baru saja tiba di rest room dengan ranjang super mewah saat notifikasi pesan dari grup Asix membuatnya melongo heran. Beberapa kali Derisca mengirimkan potret tentang kebersamaan Tarissa dan Ari. Lalita yang muncul lebih dulu pun mulai ambil tindakan. Ia yang tahu Lara masih berduka sebab ditinggal Ari pun menyemprot ulah Derisca. "Der. Hapus, deh. Ada yang patah hati ntar. Gue susah loh kalo mesti ngebujuk dia lagi," gerutu Lalita. Alih-alih marah karena melihat potret gambar kebersamaan Tarissa dan Ari, ia malah mengulum senyum hingga mengembang sempurna. Disimpannya salah satu foto yang menampilkan sosok Ari tengah menatap mesin pembuat rokok. "Haa! Sorry, Ra. Gue hapus, dah." Tanpa menunggu lagi, belasna foto itu telah raib dari ruang obrolan grup. Ia hendak membalas, tetapi didahului oleh Lalita dba Derisca. "Sorry, Ra. Tadinya gue cuma mau ngasih t
Read more
Debar Tak Keruan
Rendi masih mencoba menimbang-nimbang saat Lara mulai beranjak hendak menanyakan bagaimana progres hari itu. Tak banyak yang diucapkan Mandor Angga. Hanya sesekali menceritakan rintangan dan memberi masukan. Lara menyipit saat mendapati Rendi masih enggan pergi. Bahkan, adik tiri Ari itu malah tengah berkacak pinggang. Seolah-olah, ia juga tengah menikmati progres yang ada. Lara hampir terperanjat karena terlalu fokus pada Rendi saat ponselnya bergetar. Nama Tarissa muncul di layar ponselnya. Lekas, ia menjauh hendak menerima panggilan. Cepat ia mengusap ikon telepon berwarna hijau dan menyapa sang kawan. "Tumben?" tanyanya penuh penekanan. Alih-alih menjawab, Tarissa malah memaki Lara tanpa jeda. Ia bahkan menyumpahi ratu investor tentang hal yang bukan-bukan. "Elu brengsek! Gue bakal ngusir elu dari kepala Ari! Sampek kapan pun, gue bakal ngebuat Ari suka s
Read more
Kabar
Ari baru usai menghabiskan sarapannya saat Tarissa datang ke restoran. Ia mencebik, kemudian menatap jalan raya. Bukan tanpa sebab, kemarin ia ditinggal pergi begitu saja. Bukannya mendekat, Tarissa malah mengambil duduk jauh dari jangkauan Ari. Sebenarnya ia ingin mendekati Ari lagi. Namun, kepergiannya kemarin seolah menjelma menjadi jarak yang membentangi keduanya. Jam sudah menunjuk ke angka sepuluh. Bukan lagi waktunya sarapan, tetapi Tarissa bersikukuh membeli makanan utama. Meksi sudah disarankan berbagai menu makanan ringan yang tinggi kalori, ia enggan mendengar. Sembari menunggu, ia terus menatap punggung Ari yang tampak teratur naik turun. Pandangannya mengedar, seolah-ah tengah mencari bahan perbincangan. Ari yang merasa mulai bebas pun akhirnya mengambil ponsel, mulai mengaktifkan. Hal pertama yang dilakukan adalah menghubungi Rendi. Ia sudah terlalu rindu meski hanya dua hari tak bertem
Read more
Rindu
"Sorry." "Buat apa elu minta maaf?" "Karena enggak bisa nerusin ngerenov rumah." "Elu sakit? Kan gue udah ngomong. Lara yang nerusin." Sontak Ari terperenyak. "Ma, maksudmu apa?" "Katanya buat hadiah karena kamu mau bikin Tarissa balik kek semula." Ari menoleh ke belakang, Tarissa sudah tak menelepon kembali. Tangannya sudah mulai sibuk dengan sendok dan garpu, sedangkan mulutnya komat-kamit seperti orang sedang merapal mantra. "Ya udah biarin. Toh, bukan aku yang minta," ujar Ari enteng. "Aku mau balik dulu." "Bentar!" "Apaan?" "Elu cinta sama Lara?" Ari terdiam. Ia enggan menanggapi pertanyaan itu. "Udah sana belajar. Habis itu lulus. Biar kita bisa balik lagi.* Usai berkata demikian, Ari langsung memutuskan sambungan telepon. Dengan
Read more
Mengusir Bayang
Hari sudah menjelang sore kala Ari memutuskan untuk berhenti. Peluh pada tubuhnya tak ubahnya air yang mengguyur tanpa jeda. Ia sudah amat kelelahan hingga harus mengistirahatkan badan. Perutnya terasa lapar bahkan dua botol air mineral berukuran besar sudah habis ditenggaknya sedari tadi. Demi mengusir bayangan Lara, ia rela meneruskan permainan. Diamati oleh banyak pasang mata. Pun menjadi tontonan para wanita. Pada restoran cepat saji di lantai Ground, Ari mendaratkan bokongnya. Ia telah memesan banyak makanan.  "Sajikan semua secara bersamaan," pinta Ari pada sang pramusaji. Ia sengaja meminta hal demikian agar ia bisa beristirahat barang sebentar. Matanya terasa berat untuk sekadar mengedar pandang. Tanpa ragu, ia merebah pada sofa di ujung restoran. Meski kakinya menggantung, yang dibutuhkan hanyalah meluruskan punggung. "Nyama
Read more
Emosi
Tarissa tak merasakan apa pun yang sama saat melihat Lara bersama Ari. Ia hanya sedikit merasa sepi saat tak ada Ari di sisi. Untuk kali pertamanya, Tarissa tak seceroboh seperti biasa. Ia malah terkesan begitu tak ada kawan bicara. Seolah-olah inilah dia apa adanya. Usai menyantap makan malam yang kesorean, ia hendak kembali ke kamar. Hingga saat Ari tiba, Tarissa baru sadar bahwa ia memang tak melihat Ari sejak kali terakhir sarapan yang kesiangan. "Dari mana?" Pertanyaan Tarissa mengambang di udara. Tak ada jawab atau bahkan tatapan yang memberinya isyarat untuk tak perlu banyak tanya. "Ri?" Sontak, Ari hanya melihatnya tanpa bicara. Wajahnya yang kusam dan sayu telah menjawab segalanya. Cepat ia masuk, membawa Ari ke dalam. Ari masih enggan bicara. Ia ingin ini menjadi moment untuk Tarissa mengetahui rasa apa yang terjadi dalam sanubari. 
Read more
Tiga Hari
Sudah tiga hari sejak Tarissa dan Ari saling diam, tak bertegur sapa. Meski Tarissa sudah meminta Ari untuk mengajaknya berkeliling kota, Ari tetap enggan buka suara. Ya, keduanya memang berkeliling kota. Menikmati senja yang indah, serta berbelanja, bahkan menonton film kesayangan. Bedanya, mereka melakukan hal itu tanpa percakapan. Pun jarak keduanya bak orang asing yang tengah kebetulan sekali bersama. Seperti kala itu. Malam baru saja datang saat Tarissa hendak mengetik pintu. Sayangnya, gengsinya terlalu tinggi untuk menelan ludahnya kembali. Namun, demi apa pun, ia tak bisa terus berdiam diri. Maka dari itu, disisihkannya sikap arogan dan mulai bertutur lembut meski melalui tulisan. Sebuah memo ia selipkan lewat lubang di bawah pintu. Tak ada debar bak genderang perang walau ia harus bertarung melawan ego-nya. Pun tak ada harap yang bisa dipintal selain agar Ari mau menerima ajakannya untuk men
Read more
PREV
1
...
101112131415
DMCA.com Protection Status