All Chapters of Liara : Chapter 41 - Chapter 50
60 Chapters
Bab 41
Liara ingin menangis, tetapi ia tak bisa. Duduk memeluk lutut di sebuah bangunan yang entah di mana dan milik siapa, ia terus menatapi sosok pria yang terikat di kursi pesakitan di depannya. Liara tak tahu apa nama benda itu. Yang jelas, bentuknya seperti senter. Benda itu yang diarahkan salah satu pria berkaus hitam ke leher Hagan, hingga berhasil membuat suaminya itu jatuh tak sadarkan diri hingga sekarang. Tadinya hanya ada dua orang yang memintanya masuk ke mobil. Mata Liara ditutup, baru diizinkan melihat lagi saat tiba di tempat ini. LIma pria bertubuh tegap lainnnya menyambut mereka. Hagan didudukkan di kursi, lalu tangan juga kakinya diikat. Denagn cepat Liara menyadari apa yang terjadi. Seperti yang terakhir kali, mereka diculik. Perempuan itu takut. Ia ingin menangis karena Hagan tak kunjung sadar dan membayangkan akan diapakan mereka nantinya. Namun, Lira tak mau membiarkan air mata jatuh. Itu hanya akan membuat orang-or
Read more
Bab 42
Mustahil jika Liara baik-baik saja setelah semua yang dialami. Perempuan itu babak belur. Memar menghuni nyaris seluruh badan. Bagian paling parah, perempuan itu keguguran. Dokter menjelaskan itu pada Hagan beberapa jam lalu, saat akan mengambil tindakan kuretase. Janin Liara tak bisa selamat. Dipastikan karena si calon ibu mengalami banyak pukulan di daerah peut bawah dan panggul. Juga beberapa kali terjatuh dalam posisi salah. Hilang akal, nyawa Hagan seolah raib saat mendengar semua itu. Pria itu hanya mampu terduduk lemas di ruang tunggu selama istrinya menjalani tindakan. Habis. Hancur. Lebur tak bersisa. Hagan kehilangan dunianya dalam waktu sekejap. Anak yang begitu ia dambakan harus pergi, tanpa sempat dilahirkan atau bahkan berkembang lebih besar lagi. Patah. Mendadak dunia yang sebelumnya terlihat indah itu menjadi sungguh suram dan hampa. Di tengah duka yang juga dibalut kemarahan itu, Hagan men
Read more
Bab 43
Hagan yang sedang asyik melampiaskan amarah pada salah satu orang suruhan, diinterupsi Biru. Orangnya Orlando itu menariknya menjauh dari seorang pria yang wajahnya sudah bersimbah darah. "Lakukan pekerjaanmu dengan baik, bajingan! Aku membayarmu bukan untuk melaporkan kegagalan!" Pria itu murka. Tak ada satu pun jejak yang bisa dipakai untuk menelusuri siapa dalang di balik apa yang menimpanya dan Liara kemarin. Hagan tak ingat nomor mobil yang mendatanginya dini hari itu. Ia tak ingat satu pun wajah mereka. Tempat yang dipakai untuk menyekap adalah bangunan lama yang sudah tidak digunakan dan tidak diketahui siapa pemiliknya. Hagan menyewa detektif. Yang paling andal katanya. Namun, dia tak mendengar satu pun kemajuan dari laporan orang itu. Padahal, ini sudah tiga hari berlalu. Sial. Sial. Sialan. "Dengan begini, masalah tidak akan selesai, Tuan." Biru mengingatkan, meski setelahnya harus mendapat lempa
Read more
Bab 44
Menatapi batu nisan di hadapannya, Liara tak mampu berkata-kata. Perempuan itu merasa kepalanya seketika kosong. Demi membuktikan kebenaran ucapan Max, sedikit memaksa, perempuan itu minta diantar ke tempat ini. Lokasi peristirahatan terakhir Redrick. Max ternyata tidak berbohong. Itu memang makan Redrick. Nama adik tiri Hagan itu tertulis di keramik hitam itu. Tanahnya masih basah dan masih terdapat bunga tabur yang kelihatan baru. "Kenapa bisa?" Liara bertanya lirih. Perempuan yang masih mengenakan pakaian rumah sakit itu mengusap nisan di sana. Wajahnya muram. Berjongkok di samping Liara, Max ikut-ikutan memasang ekspresi berduka. "Entah dari siapa, dia tahu di mana kau dan Hagan disekap. Dia sedang dalam perjalanan ke sana juga saat memberitahu aku dan Biru." Asumsi Max, mungkin, karena sagat kalut, Redrick mengemudikan mobilnya secepat yang dibisa dan karena kondisi emosinya itulah ia mengalami hilang kendali hing
Read more
Bab 45
"Kau sungguh akan melakukan ini?" Orlando penuh kemarahan sekarang. Laki-laki dewasa yang tertunduk di hadapan benar-benar membuatnya ingin meledak. Hanya karena takut Liara kembali menjadi sasaran orang-orang yang mengincar harta Arsenio, anaknya itu menceraikan Liara. Sudah sah, sebab saat ini Hagan sudah memegang surat pengesahan dari pengadilan. "Aku tidak habis pikir kau bisa sedungu ini, Hagan! Apa yang kau dapatkan bila berpisah dari Liara?" Orlando tak peduli beberapa pasien atau perawat yang lewat melempar tatapan aneh pada mereka. Pria itu hanya ingin fokus pada Hagan, menyadarkan anaknya itu. "Aku tahu seberapa besar kau membutuhkannya. Dan apa? Kau melepasnya? Sungguh bodoh! Jika kau tak ingin ia celaka oleh orang-orang yang mengincarmu, maka jaga dia. Tetap di sisinya." Orang yang ia ajak biara diam saja bagai patung, Orlando mengambil langah besar menuju ruangan Liara. Mungkin, ia bisa membujuk menantunya itu. 
Read more
Bab 46
Waktu tak pernah berhenti. Ia tak akan memberi jeda dan menunggumu pulih dari duka, sedalam apa pun luka yang kau miliki. Liara berusaha meyakini itu. Pagi ini, ia memulai pekerjaannya di salah satu toko kelontong. Liara diterima bekerja di sana sejak kemarin. Sudah pindah dari rumah Hagan, putus hubungan kerja sama dengan pria itu, artinya Liara harus mencari penghasilan untuk menutupi biaya hidup selanjutnya. Walau tabungan masih ada, ia juga tak boleh berleha-leha hingga uang itu habis. Di luar prediksi juga, keinginan Liara untuk mengakhiri hidup perlahan tak terlalu terasa lagi. Perempuan itu sudah lebih pasrah. Seperti kata Red, semua orang sudah punya jadwal masing-masing untuk mati. Liara berubah? Sebenarnya tidak banyak yang berubah, Kecuali, celah kecil di hati. Perempuan itu mendadak merasa seolah kehilangan sesuatu sejak meninggalkan rumah Hagan seminggu yang lalu. Hal lucunya, beberapa hari lalu, Liara yan
Read more
Bab 47
Itu dini hari saat Hagan yang tak dapat tidur memutuskan pergi ke gazebo di belakang. Pria itu duduk di sana. Menghela napas beberapa kali, kemudian menatapi kolam renang. Rasanya menyesakkan dan hampa. Itu baru seminggu dan Hagan sudah merasa tak sanggup melewati hari esok. Ia lelah. Rindu untuk Liara tak habis-habis, malah semakin banyak. Pria itu kesepian. Kamarnya tak lagi hangat. Rumah tak lagi nyaman. Semua hal tak lagi menarik usai perempuan itu pergi dari sisi. Orlando benar. Hagan benar-benar kalah setelah Liara pergi darinya. Menoleh ke sisi kiri Gazebo, Hagan tersenyum pahit. Itu posisi yang selalu Liara tempati. Perempuan itu selalu duduk di sana, tiap ke gazebo ini. "Hagan! Keluar dari ruang kerjamu sekarang juga! Kau mau aku seret?" Sebuah kenangan muncul di kepala. Kala itu Hagan yang sudah menghuni ruang kerja selama berjam-jam dipaksa Liara keluar. Awalnya menolak, tetapi teri
Read more
Bab 48
Hujan menampakkan diri malam ini. Menunda Liara untuk bisa segera pulang dan tahu apakah Naura sudah pergi dari rumahnya atau belum. Kemarin, usai sama-sama menangis banyak, naura limbung dan hampir pingsan. jadi, Liara menyarankan wanita itu menginap dulu. Tidak seperti sebelumnya, hari itu Naura datang sendirian tanpa supir. Liara sudah menitipkan kunci, jadi sepertinya Naura memang sudah pulang. Untuk apa juga ia tetap di sana? Berdiri di depan toko yang sudah tutup, Ayu yang melewatinya hanya melirik sekilas. Liara menatap minta pada payung yang wanita bawa. Berharap Ayu mengerti dan mau meminjmakn agar ia bisa berjalan ke depan untuk mengambil taksi atau bus. Namun, Ayu hanya pergi begitu saja. Cukup lama berdiri di sana, hawa dingin mulai mengsuik. Liara yang hanya mengenakan kaus polos memeluk dirinya sendiri. Tak ada tan hujan akan reda. Bulir yang menghantam tanah masih saja rapat dan deras. Tak lama, seorang
Read more
Bab 49
"Tunggu sebentar, Ibu akan bersiap sebentar." Melihat Naura pergi ke kamar, Liara hanya mengangguk dan menghela napas. Perempuan itu mengernyit, merasa aneh dengan dirinya sendiri. Ia berusaha bersikap dewasa. Naura sudah memulai, maka harusnya Liara tidak keras hati. Tawaran sang ibu kandung untuk tinggal bersama ia turuti. Sudah dua hari Liara hidup satu atap dengan Naura. Di sebuah rumah yang cukup mewah, tetapi berada di pinggir kota. Aneh. Sebab beberapa hari ini Liara merasa sangat gelisah. Bukannya senang, bahagia, karena akhirnya punya sosok seorang ibu yang bersedia mengurusi semua keperluannya, walau sedang sakit. Liara malah merasa kosong dan resah. Hari ini saja, ia sangat tak bersemangat ketika diajak berbelanja. Ia bersedia ikut hanya agar Naura tidak merasa kecewa. Liara kasihan. Beberapa kali ia melihat sang ibu nyaris pingsan. Mungkin, sakitnya makin parah. Ternyata tidak seen
Read more
Bab 50
Silau. Saat pertama kali terjaga,  Liara cukup terganggu dengan sinar yang mengenai mata. Perempuan itu mengerjap, lalu membawa tubuh untuk duduk. Ini di mana? Pertanyaan pertama yang muncul di benak. Namun, tak lama jawaban atas tanya itu segera terjawab. Ini rumah Hagan, kamar di mana ia dan si lelaki pernah tidur. Bersandar di kepala ranjang, Liara merajut memori. Hal terakhir yang diingat adalah ia menangis karena mengetahui siapa Anjani sebenarnya dan rencana buruk wanita itu. Lalu, Liara kabur dari rumah ibu kandungnya, berlari sejauh mungkin dan tanpa sadar datang ke rumah Hagan. Hal terakhir yang Liara lakukan adalah memeluk Hagan. Setelahnya tidak lagi ia ingat, termasuk bagaimana dirinya bisa sampai ada di kamar ini sekarang. "Kau sudah bangun?" Hagan terlihat melewati pintu. Membawa langkah masuk dan akhirnya duduk di tepian ranjang. Ia memeriksa suhu tubuh si mantan istri. "Ada yang sakit? Sebena
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status