Hagan tak sengaja bertemu Liara, secara sadar menjadikan perempuan itu partner one night stand. Lalu, di pagi harinya, menawarkan sepuluh juta seminggu asal Liara mau menjadi istri. Hagan tak berharap apa pun pada pernikahannya. Ia hanya membutuhkan Liara sebagai teman tidur. Lantas, apa yang akan Hagan lakukan saat status Liara diketahui oleh Redrick--si adik tiri--yang selalu berusaha melenyapkannya? Note: Mengandung unsur 18+
View MoreWarn! 18+
Mata Hagan melotot pada perempuan yang berlutut di depannya. Gegas lelaki bertubuh tinggi itu memundurkan langkah, menjauhkan asetnya dari wajah si perempuan. Lelaki itu hampir mati karena sebuah gigitan.
"Kau mau membunuhku?!"
Bentakan itu dibalas cengiran kaku oleh si perempuan. Ia mengusap mulut. "Biar kucoba lagi. Aku ini berpengalaman. Tadi itu aku cuma sedang ... gugup?"
Hagan berseringai. Mau coba menipuku sejauh apa lagi, pikirnya. Dilihat sekali saja, dari cara berjalannya di kelab tadi, perempuan itu sama sekali belum berpengalaman. Hagan bisa jamin.
"Dengar." Perempuan itu berdiri. Mengusap wajah frustrasi.
Di tempatnya, Hagan menelan saliva, tetapi mata tak mau berhenti menelusuri tiap lekuk di sana. Di kamar ini, pendingin ruangan menyala di pengaturan paling rendah. Satu-satunya yang menjadi sumber panas adalah perempuan di hadapan.
"Aku jamin bisa membuatmu senang malam ini. Kita langsung saja ke inti, hm?"
Tatapan Hagan semakin tajam. Ia merasa harga dirinya tengah diinjak-injak. Sebab ia merasa begitu terbakar, sementara perempuan di hadapan bicara dengan intonasi tenang. Seolah keadaan mereka sekarang bukan apa-apa.
Apa Hagan perlu mengingatkan perempuan itu bahwa mereka sama-sama tak berbalut sehelai benang sekarang?
"Tuan? Bagaimana? Kau mau membeli atau tidak? Cepatlah putuskan agar aku bisa mencari orang lain jika kau tidak setuju."
Enak saja. Sudah membuat Hagan begitu mendamba, perempuan itu malah berubah pikiran? Mengancam? Bukankah tadi perempuan itu yang mengajukan diri, menggoda Hagan lebih dulu.
"Tuan!"
Sialan. Malam ini agaknya akan Hagan ingat seumur hidup. Baru kali ini ada perempuan malam yang berani memanggilnya dengan nada tidak hormat begitu.
"Tiga puluh juta?" Hagan berjalan ke arah ranjang. Dengan satu gerakan mantap ia menjatuhkan perempuan tadi hingga berbaring di sana.
"Tidak bisa tiga puluh lima?" Perempuan itu melipat bibir ke dalam.
Hagan ikut merebahkan diri. Menatapi wajah santapannya malam ini, kemudian menyeringai. "Kita lihat nanti," ucapnya serak seraya memulai kegiatan bersenang-senang.
***
Pria itu mengamati sebentar punggung berbalut selimut di depannya, sebelum akhirnya bergerak. Hagan menyelipkan lengan di bawah kepala perempuan itu. Hati-hati si lelaki melakukannya.Perempuan itu bergerak mengubah posisi tidur, Hagan menahan napas. Mereka berhadapan sekarang. Satu senyum menghias wajah pualam si lelaki ketika satu tangan lainnnya mendarat mulus di pinggang si perempuan.
Terkaan Hagan benar. Malam tadi tidak akan pernah ia lupakan. Terutama apa yang sudah dialami bersama perempuan bernama Liara itu.
Menyenangkan. Begitu memuaskan. Bagi Hagan, Liara adalah wanita pertama yang memberikannya pengalaman semenarik beberapa jam lalu.
Seperti yang diduga, perempuan itu sangat tidak berpengalaman. Mengejutkannya lagi, Hagan adalah lelaki pertama bagi Liara.
"Katakan. Kau bukan seorang pro." Hagan mendesak perempuan itu berkata jujur di sela-sela kegiatan panas mereka tadi. "Kau menipuku?"
Di bawah kungkungan Hagan, Liara mengernyit tak nyaman di penyatuan pertamanya dengan seorang lawan jenis. "A--aku butuh uang."
"Lagu lama." Melihat raut kesakitan perempuan itu karena pergerakan pelannya, Hagan tiba-tiba saja merasa iba. Jadi, ia kecup kening Liara agak lama.
"Kau akan membayarku, 'kan? Kita sudah sejauh ini." Kesulitan bernapas karena sensasi aneh yang baru pertama dirasa, Liara berusaha tetap fokus.
Mengingat semua ekspresi Liara tadi, Hagan tanpa sadar melengkungkan bibir. Lelaki itu mengeratkan pelukan, sambil sesekali mencium pelipis si perempuan.
Berbagi ranjang dengan wanita cantik, bukan pertama ini Hagan lakoni. Sebagai pebisnis sukses yang masih melajang, ia butuh kesenangan seperti ini.
Paradise Club adalah tempat Hagan memilih teman tidurnya. Meski bisa membayar siapa saja, Hagan bukanlah tipe yang suka berganti-ganti partner. Ia masih sayang nyawa.
Hagan punya satu teman tidur tetap. Namanya Jesi. Sudah setahun Hagan hanya memakai jasa Jesi dan begitu pun sebaliknya.
Kemarin malam, Jesi sedang tidak ada. Entah ke mana perempuan itu pergi, Hagan tidak peduli.
Kebutuhan biologisnya menuntut harus segera dipenuhi, Hagan melihat Liara. Malam itu adalah hari pertama Liara bekerja sebagai pelayan di Paradise Club.
Di mata pria itu, Liara biasa saja. Tubuhnya tidak seperti gitar Spanyol. Cenderung rata bak papan tulis. Wajahnya juga biasa saja. Jenis perempuan-perempuan sederhana yang ke mana-mana tanpa riasan.
Tidak ada niat untuk bersama Liara, sampai tanpa sengaja Hagan melihat perempuan itu nyaris diganggu di toilet pria oleh seorang pelanggan kelab.
Menolak disentuh, tetapi Liara malah menawarkan jasa pada si pelaku.
"Boleh menyentuhku, tapi kau harus membayar. Tiga puluh juta untuk semalam? Kau punya uang?"
Tentu saja Hagan tertarik. Dia tidak pernah menemukan kejadian itu sebelumnya. Menolak disentuh, tetapi malah menawarkan diri untuk yang lain. Sungguh tidak biasa.
Liara tidak berhasil membuat kesepakatan dengan pria tadi, maka Hagan menghampiri. Menyambut tawaran tadi dan mereka berakhir di salah satu hotel seperti sekarang.
Dalam waktu beberapa jam, si lelaki sudah merasakan ada perubahan dalam diri. Ia tak lagi menginginkan Jesi. Hagan ingin Liara. Bukan hanya malam ini, tetapi malam-malam selanjutnya.
Tidak tahu apa yang berbeda. Hagan hanya merasa dirinya pas dalam diri Liara. Perempuan itu amatir. Membuat Hagan senang karena keinginannya untuk mendominasi akan terpenuhi. Liara juga terlalu sukar ditebak isi kepalanya. Membuat si lelaki semakin ingin menerka.
"Tiga puluh lima juta, 'kan?"
Suara serak itu membawa Hagan kembali pada kenyataan. Lelaki itu sedikit menunduk untuk bisa membingkai wajah Liara.
"Kau mengingau atau sudah bangun?" Ia bingung karena mata si perempuan masih tertutup rapat.
"Aku sadar. Tiga puluh lima juta, 'kan? Kau nyaris mematahkan tulang pahaku."
Di dini hari yang sepi, Hagan melepas tawa ringan. Sungguh sangat terus terang dan kasar, batinnnya. Tapi, ia suka, sambungnya lagi.
"Tiga puluh lima juta. Mana nomor rekeningmu?"
Secepat kilat perempuan itu duduk. Meski setelahnya harus meringis karena beberapa bagian tubuh yang luar biasa pegal. Ia bergerak untuk mengambil ponsel dari tas yang ada di nakas. Memberikan nomor rekening pada Hagan dan menatapi tak sabar pria yang juga tengah mengotak-atik ponsel di depannya.
"Sudah." Hagan menaruh ponsel.
"Sudah." Mata Liara berbinar melihat nominal di layar ponselnya. Perempuan itu segera menggerakkan jemari, mengirim pesan pada seseorang bahwa uangnya sudah bisa di ambil esok pagi.
Melihat Liara tersenyum-senyum pada layar, Hagan mendekat dan menunduk ke sana untuk bisa mengintip.
[Bayar uang sekolahmu besok. Beli juga keperluan rumah.]
Liara menjauhkan ponsel saat menyadari Hagan membaca pesan yang baru ia kirim.
"Siapa?"
"Adikku." Liara menyimpan ponsel di nakas. "Terima kasih," katanya dengan raut kelabu.
Si pria menggeleng. "Kita belum selesai." Ia membawa tubuh Liara ke pangkuan.
"Tentu. Matahari belum datang." Liara merapatkan tubuh, menyandarkan kepala di bahu lelaki itu. Membiarkannya melakukan apa pun, hingga langit di luar sana terang. Liara sudah tak peduli apa-apa lagi. Adiknya sudah bisa ikut ujian besok. Selesai.
"Aku bisa memberikan sepuluh juta setiap minggu. Menikah denganku."
Tersentak, si perempuan menegakkan tubuh. Matanya membola. "Jangan bercanda. Lebih masuk akal jika kau menawarkan posisi sebagai simpanan." Liara berusaha menanggapi dengan candaan juga.
Dua lengan Hagan membelit erat di pinggang Liara. "Aku tidak bercanda. Sepuluh juta seminggu, ayo menikah."
Liara tidak sengaja terjaga saat melihat Hagan akhirnya masuk ke ruangan mereka. Entah siapa yang memberikan ide agar ia dan si lelaki disatukan seperti ini. Benar kata Max, seolah mereka punya ikatan batin yang kuat, hingga sakit saja harus bersamaan. Hagan berjalan tertatih, membuat Liara mau tak mau menatap pria itu agak lama. Di saat itu ia melihat luka memar di sekitar wajah suaminya. Tadi, Hagan diajak keluar oleh Red, 'kan? Apa dua saudara beda ibu itu bertengkar? Karena apa? Penasaran, tapi Liara ingat dirinya sedang marah. Berusaha tidak peduli, Liara spontan turun dari ranjang rawatnya demi mencegah Hagan yang terhuyung jatuh ke lantai. Menopang tubuh pria itu, Liara bisa merasakan suhu di sana sedikit lebih tinggi dari harusnya. Mereka berpandangan. Entah apa arti sorot mata pria di sampingnya, Liara mengabaikan itu dan mulai memapah. membantu Hagan hingga naik ke atas ranjang. Berdiri di sana, Liara be
Susana rumah sore itu terasa mencekam bagi Hagan. Berjalan dengan langkah pelan dan hati-hati, laki-laki itu berharap semoga dirinya bisa lolos dari ini.Ruang tamu aman. Hanya ada Nia yang menyambutnya di sana."Tuan, di ruang TV." Nia memberitahu dengan suara pelan.Hagan menarik napas, membuangnya perlahan. Ia mengangguk lalu menuju ruangan yang Nia sebutkan tadi. Jantungnya mulai bertalu-talu. Perasaan cemas menyergap seketika. Tidak habis melakukan kejahatan, tetapi ia seolah akan menerima hukuman mati.Semua ini bermula tadi pagi. Liara yang resmi ia persunting dua minggu lalu meminta izin untuk jalan-jalan sendirian. Kebetulan, perempuan itu sudah mahir mengendarai motor. Hagan mengizinkan.Tanpa Liara ketahui, Hagan mengirim dua pengawal. Mengikuti Liara dan menjaga perempuan itu dari jauh. Sialnya, pengawal yang Hagan suruh terlalu ceroboh. Mungkin, karena takut melakukan kesalahan dan mendapat hukuman, mereka
Tak sabar menunggu lebih lama, Hagan akhirnya mengetuk pintu toilet di hadapannya. Tidak hanya sekali, tetapi berulang kali, lumayan keras. Lebih mirip gedoran daripada ketukan sepertinya. "Liara? Kau baik-baik saja? Kenapa lama sekali?" Hanya berselang sekitar beberapa sekon, pintu itu terbuka. Liara menampakkan diri. Sudah mengganti piyama rumah sakit dengan kemeja, ada kerutan tak senang di dahi perempuan itu. "Kenapa kau berisik sekali?" Liara hanya berganti baju dan buang air kecil sebentar. Apa Hagan harus menggedor-gedor pintu seperti tadi? "Kau lama dan tidak menyahut saat aku panggil. Aku kira terjadi sesuatu yang--" "Apa?" Liara memotong. Perempuan itu berjalan menuju ranjang. Duduk di tepiannya dan bersedekap. "Apa? Kali ini apa isi asumsimu?" Ini bukan pertama kalinya Hagan bersikap berlebihan begini. Pria itu semakin menjadi setelah Liara sadar dari koma. Bahkan untuk jalan-jalan saja Ha
Hagan tidak jadi menyebut dunia ini kejam dan keji. Liara sudah bangun dari tidur panjang dan dokter berkata, hasil pemeriksaan perempuan itu baik saja.Pagi ini, usai sarapan dan mengganti pakaian si mantan istri, Hagan mengajak Liara jalan-jalan ke taman. Sesuai dugaannya, perempuan itu senang karena akhirnya bisa menghirup udara di alam terbuka.Mereka duduk di salah satu bangku. Memandangi tumbuhan hijau dan beberapa bunga di sana. Tidak banyak bicara, hanya sesekali saling bertukar pandang dan senyuman.Sebenarnya, Hagan betah-betah saja dalam suasana hening demikian, Ia juga jadi lebih fokus memandangi wajah Liara. Namun, perempuan itu sepertinya ingin membicarakan beberapa hal.Liara membuka konversasi dengan topik yang serius. Anjani. Belum apa-apa, Hagan sudah melihat tangan perempuan itu bergetar.Pertama, Liara menceritakan mengapa Hagan tak bisa menemukan salah satu dari orang yang menyekap dan memukuli Lia
Hagan kembali ke rumah sakit sekitar pukul dua siang. Pria itu meninggalkan Liara beberapa jam untuk mengemasi barang-barang perempuan itu dari rumah sewa. Ia membawa semuanya ke rumah lama mereka.Apa pun yang terjadi nanti. Entah Liara akan setuju atau tidak, Hagan ingin perempuan itu tinggal bersamanya. Lebih bagus, jika mereka menikah lagi.Tidak langsung ke kamar rawat Liara, Hagan menyempatkan diri untuk duduk di taman rumah sakit. Menghirup udara bebas beberapa saat, kebetulan cuaca tidak terlalu terik hari ini."Paman pemarah!"SUara cempreng itu membuat Hagan menoleh ke kiri. Ada Liara, yang kecil. Tengah berlari ke arahnya dengan balon di tangan.Hagan mengulas senyum, tetapi sebisa mungkin memasang ekspresi garang."Namaku Hagan. Bukan Paman pemarah," protesnya seraya membantu Liara itu naik ke bangku."Paman dokter berkata, aku bisa memanggilnya paman pemarah." gadis itu tersenyum.
Orlando menghela napas. Ini yang kesepuluh kali. Pria tua itu menatapi mantan menantunya yang masih belum terjaga itu dengan bahu merosot.Hari ini ia berkunjung lagi. Menjenguk Liara, berharap kedatangannya kali ini disambut oleh perempuan yang pernah menjadi istri dari anaknya."Dia pasti sadar. Tidak lama lagi." Ia berusaha memberi semangat pada sang anak yang duduk di sisi ranjang satunya.Hagan yang meletakkan kepala di samping lengan Liara mengaminkan, tanpa suara. Pria itu lelah, bahkan untuk sekadar menegakkan punggung untuk bertatap muka dengan sang ayah.Hagan bicara parau. "Liara mencintaiku, Pa. Dia mencintaiku, ternyata."Orlando mengulas senyum sebisanya. Bukan hanya keadaan Liara yang belum kunjung sadar dari koma, situasi Hagan juga tak kalah menyedihkan sekarang ini.Anaknya itu kusut dan kacau. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas. Bukan hanya karena sering tidak tidur, tetapi j
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments