Semua Bab Pelabuhan terakhirku: Bab 51 - Bab 60
77 Bab
Bab 50
Tiar sedikit berpikir mendengar anjuran  Rindi. Anjuran Rindi ada benarnya. Kalau ia yang harus mengunjungi basecamp, mungkin saja ia akan dicegat oleh Dexlicas dan anak buahnya.  Tentu itu bukan ide yang bagus. Percuma saja mereka bersusah payah menyita barang penting itu jika tak mendapatkan apa-apa dari sana."Ok. Nanti gue kabari anak-anak yang lain. Loh tunggu saja di rumah.  Ingat kita datang kamar itu sudah harus rapi," tegas Tiar yang tampak prihatin dengan kamar yang pernah dikunjunginya dulu, sebelum ia koma dan harus rawat di luar negeri.Rindi sedikit lega beban otaknya berkurang satu. Ia beranjak dari kursi putar itu, dan membuka pintu di arah kiri dari posisinya sekarang. Sebuah kamar mandi yang tak beda jauh dengan kamar tidur. Bedanya cuman di sini ada airnya. Kalau untuk baju dan barang yang berserakan mungkin tidak jauh berbeda. Sebelum mandi ia memungut baju itu dan menghubungi loundry langganannya. Ia mengemas semua pakaia
Baca selengkapnya
Bab 51
Sepasang kakek dan Nenek itu tampak berpikir-pikir menerima undangan dari Binar. Bisa mendampingi Binar semasa sisa hidup mereka adalah kebahagiaan hakiki yang mereka dambahkan sejak awal pernikahan. Mereka tidak dikaruniai anak, namun kehadiran Binar ke tengah hidup mereka membuat mereka merasa mendapatkan karunia terbesar Tuhan itu. Di sisi lain, mereka tak tegah meninggalkan rumah sederhana ini. Di sini separuh hidup telah mereka habiskan dan lalui bersama. Bersama hangatnya pantai, lezatnya binatang laut, kicauan burung dan juga derunya ombak. Rasanya hal itu telah melekat dalam nadi mereka.  Meskipun rumah itu tidak begitu megah dan mewah seperti kebanyakan rumah orang diluar sana, tetapi mereka menganggapnya  istana. “Bagaimana Kek?” tanya Irishena memastikan.Binar sangat menaruh harapan besar akan jawaban yang akan keluar dari mulut mereka.“Demi Non, Binar,” jawab Kakek mantap.Binar berhamburan, meme
Baca selengkapnya
Bab 52
Suasana nampak tegang. Kedua kubu tampak saling tidak percaya.“Bagaimana bisa kami percaya, kalau kalian tidak punya maksud lain?” tanya Ziyo yang masih terdiam di tempatnya.“Loh boleh call salah satu penghianat Raygem,” tegas Aras tenang.Ziyo menghubungi kontak Dexlicas, ponsel yang baru saja Jaya letakan tadi pun berbunyi.“Percayakan sama kita?” ujar Aras.“Its ok. Cuma itu?” balas Ziyo.“Iya,” lanjut Aras.“Apa sudah ada kemajuan?” tanya Ziyo lagi.“Gak. Dia sudah delete semua riwayat kegiatan operasi ponselnya,” jawab Aras.“Apa yang perlu kami bantu?” potong Ziyo.“Sebelumnya gue ucapkan terima kasih kalian sudah membiarkan kami berada di sini sekarang, tetapi tenang saja biar ini jadi urusan kita saja. Gue saranin tolong loh beri pelajaran bangsat satu itu,” kali ini Rindi yang angkat bicara.
Baca selengkapnya
Bab 53
Ishad dan semua penghuni Rumah Ketan menunggu Binar dan Amaz pulang.  Mereka sangat tidak sabar mendengarkan kabar terbaru soal gedung itu.Beberapa detik kemudian suara motor Amaz membuat mereka segera berlari keluar rumah. "Panjang umur, baru juga tadi diomongin, " ujar Ishad bersemangat. "Ehh bukan baru diomongin tapi emang dari tadi," sergah Prank.Mereka semua tertawa mendengar Prank yang berani membalas Ishad. "Ada apa sih ramai benar?" Ujar Binar setelah turun dari motor. "Gak kok kak," ujar Prank yang takut Ishad akan marah besar karena canda nya. "Sudah pada masuk gih, ada berita besar," ujar Binar kemudian. "Ada apa? Gimana? Jadi gak belinya?" tanya Ishad bertubi-tubi sudah tidak sabar lagi. "Santai. Semuanya saya minta diam dulu. Biar tidak salah paham," sergah Amaz yang tidak tahan mendengar riuh teriakan mereka.Beberap
Baca selengkapnya
Bab 54
“Aku desa di pantai utara sana,” jawab Binar berusaha mengendalikan bicaranya. Ia sedang minum.“Wah kayaknya dekat,” balas Amaz.“Kapan-kapan aku ajak ke sana deh,” canda Amaz. Binar menanggapinya biasa. Itu adalah kalimat hoaks yang ia temui dalam hidupnya. Tidak jauh berbeda dengan orang mengucapkan selamat ulang tahun, kadonya nyusul. Itu adalah kalimat terfiktif di dunia pertemanan. “Oh, ayahku nelayan, namun ia tidak sering melaut,” ujar Amaz kemudian.“Sama. Papaku juga. Cuman beliau sering melaut. Mengarungi lautan itu adalah hobinya. Ia mendapatkan kebahagiaan yang sempurna dengan berada di tengah air asin itu,” balas Binar yang ingin mengulas soal ayahnya.“Dia galak?” canda Amaz sekaligus menyipkan mental untuk bertemu calon mertuanya.“Papaku itu orang yang sangat pendiam. Tidak banyak ngomong, kalau bicara sama dia itu harus bicara yang pen
Baca selengkapnya
Bab 55
          Ziyo dan Amaz sudah bersahabat sejak memasuki kelas satu sekolah menengah pertama. Mereka satu klub tim bola kaki. Makanya mereka menjadi dekat. Dan ketika masuk sekolah menengah pertama  mereka satu sekolah. Hubungan keduanya sudah seperti saudara kembar. Jika sebelun berangakt sekolah Amaz sarapan di rumah Ziyo berarti pulangnya Ziyo yang makan siang di rumah Amaz. Begitu terus setiap hari.           Mereka juga punya seorang sahabat lagi. Namun usianya dua tahun diatas mereka. Mereka sangat akrab meski beda usia dan juga beda sekolah. Dia adalah Afra Konath, kapten tim bola kaki mereka. Afra menjadi panutan bagi Amaz dan Ziyo kecil. Afra seorang yang sangat perfeksionis. Ia selau menjadi juara kelas di sekolahnya. Selain itu juga ia seorang kapten tim bola kaki remaja SMP yang terkenal pada masa itu. Afra juga seorang idola di sekolahnya. Namun ia tidak memperkenalkan pacarnya kepada dua orang sahab
Baca selengkapnya
Bab 56
   Ok, Tan. Kita ketemuan dimana?, balas Binar.Sebuah alamat tertera di ponsel Binar. Venya yang menentukkan tempatnya. “Maaf ya, Binar gak bisa ikut lama-lama. Soalnya ada meeteng dadakan,” ujar Binar kecewa.“Oh gak apa,” balas Kakek santai.Mereka terdiam tanpa banyak tanya lagi. Sebenarnya ada yang ingin mereka tanyakan. Apa itu meeting? Namun tidak mereka tanyakan. Mereka mengira meeteng itu adalah kuliah, karena sekarang memang Binar lagi kuliah. Mereka tak sempat memikirkan hal lain.Binar menghabiskan waktu satu jamnya untuk membantu Kakek mengurus kebun. Setelah itu ia bersiap-siap untuk menemui Venya yang telah mengajaknya ketemuan.Binar pergi dengan motornya. Belakangan ini ia lebih sering menghabiskan perjalanannya dengan motor.  Nyanan aja. Venya keluar dengan mobil kuningnya. Ia melaju dengan kecepatan sedang. Dalam perjalan ia merasa a
Baca selengkapnya
Bab 57
 Rindi pergi ke rumah sakit dengan mengendarai motor milik Aras.  Setelah memarkirkan motornya dia mendatangi petugas bagian resepsionis. Ia terlibat beberapa percakapan kecil yang alhasil ia pun memperoleh alamat kamar Aras  dirawat.  Ia melirik  jam tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas  malam.  Rindi masuk ke dalam ruangan tempat Aras dirawat tanpa mengetuk pintu. Dia mendapati Aras yang sedang terbaring di atas tempat tidur pasien sedangkan Venya tidur di sofa.  Rindi keluar dan mencari tandu yang tidak terpakai. Ia mendapatkannya dari seorang petugas di sana. Katanya, roda tandu itu sudah tidak berfungsi lagi, makanya tidak digunakan lagi.Rindi membawanya masuk ke dalam ruangan tempat Aras dirawat.Dengan pelan ia membangunkan Venya, agar Aras tidak terganggu."Tante ini saya, Rindi.  Tante tidur di atas saja, biar Rindi saja yang di sini," tawar Rindi berbisik."Kamu dapat
Baca selengkapnya
Bab 58
"Apa kita berteriak saja?  Siapa tahu mungkin nanti ada orang yang lewat," usul seorang anak buahnya. "Gak bakal ada yang mendengar," bantah Dexlicas. "Apa salahnya kita mencoba. Kita kan sepuluh orang, kalau suara kita digabungkan pasti ada yang mendengar," tambahnya lagi. Mereka pun menuruti sarannya. "Tolongggg....... tolong.... tolong...." Teriak mereka ramai-ramai.  Masih belum ada yang menyahut. Beberapa orang yang lewat mendengarkan suara mereka, namun enggan untuk mencari sumber suara itu. "Tolong....." teriak mereka sekali lagi. Beberapa orang warga berinisiatif untuk mencari tahu sumber suara itu. Mereka terus berteriak dan warga itu pun bisa mengetahui dari mana sumber suara itu.Mereka tiba di depan sebuah gedung yang mana gedung itu adalah markas baru Dexlicas. Beberapa orang warga itu akhirnya pulang setelah membaca sebuah tulisan yang ditempel di plang gerbang gedung itu.
Baca selengkapnya
Bab 59
“Kejadian apa?” Ziyo semakin tidak sabar menunggu Aras mengungkapkan kembali soal kejadian itu dari sudut pandangnya. “Mau pesan apa, Kak?” ujar seorang anak kecil yang bertugas melayani di warteg ini.“Pisang goreng dengan kopi aja, dua.” Balas Ziyo yang tidak ingin berlama-lama dengan bocah dua belas tahun itu.“Gimana tadi?” tutur Ziyo.“Jadi waktu itu sekitar dua tahun yang lalu  saat malam ketika gue baru pulang dari markas Raygem, saat itu loh belum bergabung dengan mereka, gue didatangi pria sebaya dengan gue,” Aras terjeda.“Loh ngapain di markas Raygem?” tanya Ziyo.“Gue waktu itu mau peringatin Dexlicas. Dia dan anak buahnya palak uang dari pedagang kecil di komplek perkantoran.  Saat gue samperin dia, anak buahnya bilang jika ia sedang keluar. Ada urusan katanya.  Dan malam itu, andai saja gue tidak tolongin tuh orang pas
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status