All Chapters of Apa Warna Hatimu?: Chapter 61 - Chapter 70
151 Chapters
Chapter 61 : Pulang
    Aku duduk termenung menatap jendela kereta. Sebentar lagi aku akan tiba di stasiun kota B, kota tempat Elisabet tinggal. Barang bawaanku yang lumayan banyak kujejalkan dalam satu ransel gunung dan satu duffel bag.    Kereta berhenti. Aku pun berbaur dengan penumpang lain menuju gerbang. Angkutan umum aneka warna sudah berjejer manis. Kernet dan sopir berteriak sahut-sahutan untuk menarik penumpang. Aku memilih untuk naik angkutan umum di deretan terdepan.    Seperti biasa angkutan umum mungil ini kebut-kebutan di jalan raya tanpa peduli keadaan lalu-lintas sedang ramai. Aku duduk sambil memasang kuda-kuda supaya tidak terjungkal. Tidak sampai sepuluh menit aku sudah tiba di komplek perumahan tujuanku.    "Ma, aku pulang!" seruku saat sudah masuk gerbang.    Elisabet tergopoh-gopoh keluar. Tangannya masih menggenggam kuas dan palet.    "Ayo masuk, Nak!" Elisabet tersenyum cerah. "Kok nggak d
Read more
Chapter 62 : Asal-usul
    Aku mengubek-ubek dapur. Mataku berbinar saat menemukan mi instan. Segera saja aku merebus air di panci. Aku kelaparan jadi kubuat mi telur porsi dobel. Tiga menit kemudian sepanci mi telur sudah mengebulkan aroma sedap. Aku makan dengan kenikmatan tertinggi.    "Wah, wangi banget!" seru Elisabet.    "Makan, Ma...," kataku dengan mulut penuh.    "Kalau ngomong makanannya ditelan dulu. Kamu kayak baru keluar dari penjara," ledek Elisabet.    "Sorry...," ucapku tanpa benar-benar merasa menyesal.    Elisabet mencuci tangan, "Bagaimana hubunganmu dengan Richard? Kelihatannya ada kemajuan dan hambatan?"    "Ehmm...." Aku menelan mi terlebih dahulu. "Lumayan sih, cuma ayahnya nggak merestui."    "Oh, begitu." Elisabet duduk di sebelahku.    "Yang lebih parah ayah Richard malah tertarik padaku, Ma."    Elisabet mengangkat alis. Shock.
Read more
Chapter 63 : POV Bryan
    Satu bulan sudah Bryan berkeliling beberapa kota besar di Kalimantan Barat untuk meliput festival Imlek yang berlanjut hingga Cap Go Meh, antara lain Pontianak dan Singkawang. Banyak foto bagus yang dia dapat karena seisi kota benar-benar diliputi warna merah dekorasi Imlek.     Puncak perayaan Cap Go Meh begitu meriah. Bryan menuju kota Singkawang dan melihat festival Tatung yang menggetarkan nyali. Bagaimana tidak, dalam kondisi trans para peserta Tatung melakukan atraksi serupa debus tanpa merasa sakit sama sekali. Ada yang berkata bahwa itu adalah karena kekuatan dewa-dewa yang merasuki tubuh fana manusia, membuatnya menjadi kebal segala senjata tajam.    Bryan bukan lelaki penakut, tapi hatinya ngilu saat melihat pipi seorang gadis muda peserta Tatung ditembusi dua batang besi tajam sepanjang satu meter. Sayang sekali. Gadis itu sangat cantik dengan mata bulat dan kulit seputih porselen.    Ketika berada dalam p
Read more
Chapter 64 : Jalan Berdua
    Aku bersin tiga kali berturut-turut. Palet yang kupegang nyaris terjatuh. Elisabet menatapku dengan aneh.    "Pilek? Minum vitamin C," kata Elisabet seperti slogan iklan.    "Nggak tahu, kayak alergi." Aku melanjutkan melukis.    Elisabet terkekeh, "Ada yang ngomongin kamu kali."    "Siapa?"    "Siapa nanya."    Aku merengut. Kalah poin dengan Elisabet.    "Mama nih," gerutuku.    "Richard belum mampir?" tanya Elisabet.    "Belum ada kabar. Masih sibuk kali." Aku menggoreskan cat berwarna merah untuk langit senja yang sedang kulukis.    "Coba kamu telepon dia."    "Nggak ah. Biar aja."    "Hazel, aktif sedikit nggak apa kok."    "Nggak ah. Kami belum juga jadi pacar, masa udah suruh-suruh ke sini."    Elisabet tidak memperpanjang perkara lagi. Dia t
Read more
Chapter 65 : Kincir Ria
    Aku mencari info tempat wisata yang asyik di kota ini. Kebanyakan wisata alam bebas. Saat ini aku sedang tidak ingin bermain di alam.    "Oh, ada pasar malam!" Aku memekik senang.    "Di mana?"    "Nggak jauh, cuma agak ke pinggir kota."    "Pasar malam? Bukannya sore baru buka?"    "Oh ya, benar juga. Sekarang masih siang." Kegembiraanku sedikit surut.    "Setidaknya kita udah ada tempat tujuan," hibur Richard.    Aku meringis.    "Aku tahu rumah makan yang bagus di atas gunung. Agak jauh sedikit. Kamu mau?" tanya Richard.    "Mau dong! Mumpung lagi di luar!"    "Kita bisa duduk agak lama di sana. Kamu pasti suka pemandangannya."    "Ayo!"    Jalur menuju kawasan Puncak ramai lancar. Richard mengemudi dengan tangkas di jalur yang berkelok-kelok serta menanjak. Aku memang tidak bi
Read more
Chapter 66 : Gerak Cepat Bryan
    Pagi-pagi sekali aku sudah merenggangkan tubuh di pekarangan. Sebuah mobil berhenti di depan rumah. Aku termenung, ini kok seperti bentuk mobil Richard? Masa dia kemari lagi? Si pengemudi mengklakson sekali. Aku melambai.    Senyumku sirna saat pengemudi mobil keluar. Bryan!! Mau apa dia??    "Hai, pagi Hazel," sapa Bryan.    "Mau apa?" tanyaku ketus.    "Ada yang ketinggalan semalam." Bryan belum menyadari kalau aku sudah bisa mengenalinya.    "Apa?"    "Kamu." Bryan tersenyum manis. Wajah tampannya memang identik dengan Richard, mirip sampai ke lesung pipi, namun warna hatinya sangat berbeda.    "Jangan macam-macam deh, Bryan."    Bryan tersentak, kaget karena aku mengenalinya.    "Mau apa? Menyamar jadi Richard?" ketusku.    Bryan terkekeh, "Mata lo jeli banget ya. Biasanya orang yang baru kenal nggak langsun
Read more
Chapter 67 : POV Bryan
    Bryan tidak menyangka bahwa Hazel akan segera mengenali dirinya, padahal dia berniat menyamar sebagai Richard untuk mengambil kesempatan saat wanita itu lengah. Siapa sangka dirinya malah dibanting ke tanah.    Sebagai lelaki harga dirinya turut terbanting. Namun lagi-lagi tidak disangka seorang wanita paruh baya keluar dari rumah dan berbicara dengan ramah. Bryan sempat terpana melihat Elisabet, dia langsung tahu kalau wanita ini adalah ibunda Hazel. Sudah paruh baya tapi masih cantik. Seandainya masih muda Bryan pasti tidak akan melepasnya.    Sekarang mereka sudah duduk berhadap-hadapan di ruang tamu. Elisabet menyajikan minuman untuk Bryan tanpa tatapan menghakimi sedikit pun. Dia merasa nyaman berada di dekat Elisabet. Sebuah perasaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya.    "Bryan? Kamu suka Hazel?" Elisabet memulai percakapan tanpa basa-basi. Dia tahu lelaki seperti Bryan butuh kata-kata yang lugas.  &
Read more
Chapter 68 : Masih Memikirkan
    Aku tidak menyangka Bryan pulang dengan patuh. Jangan kira aku tidak melihat tatapannya yang begitu dalam terhadap Elisabet. Awas saja kalau mengincar Mama!    "Kamu lihat apa sampai sengit begitu sih? Orangnya udah nyerah pulang juga," goda Elisabet.    "Mama nggak lihat? Itu orang jangan-jangan malah naksir Mama!" kataku super ketus sekaligus tidak rela dan posesif.    "Iya, tahu. Tapi dalam kondisi begitu dia nggak bisa mengendalikan dorongannya, Haze. Semoga dia dengarin nasihat Mama untuk cari pertolongan profesional."    Aku tertawa, "Kirain Mama nggak tahu."    "Hazel. Mama udah cukup pengalaman hidup. Lagian siapa yang mau?" Elisabet mendelik.    "Hehehe sori, Ma."    "Udah ah, lanjut kerja. Sini, kamu bantuin Mama bikin tiga lukisan! Temanmu itu menyita banyak waktu jadi Mama nggak bisa selesai target hari ini."    "Aaaahh lagi malas,
Read more
Chapter 69 : Pencuri Ciuman!
    "Aku cuma mau ambil barang-barang yang masih ketinggalan di apartemen kok. Habis itu langsung pulang." Aku bersiap pergi dengan ransel kosong.    "Oke, hati-hati di jalan," ujar Elisabet.    "Mama mau titip apa?"    "Ah, percuma titip sama kamu. Kalau baliknya sama Richard pasti lupa. Kayak tempo hari, Mama titip air mata pengantin aja nggak dibeliin."    "Nggak sengaja Ma, itu gara-gara...." Wajahku merona teringat saat berduaan dengan Richard di kincir ria. Tidak mungkin aku menceritakan alasanku kan?    "Sorry, Ma...," lirihku.    "Yang penting pulang dengan selamat. Dah sana, buruan pergi."    Aku pun memulai perjalananku menuju ibukota. Kemarin aku sudah janjian dengan Richard untuk bertemu di apartemenku. Kami akan menghabiskan hari Minggu ini bersama dan Richard bersedia mengantarku pulang.    Dua setengah jam kemudian aku tiba di apart
Read more
Chapter 70 : Dia Yang Pertama
    "Ini Ma, titipannya." Aku menyerahkan dua buah pot bibit air mata pengantin.    "Taruh aja di depan," sahut Elisabet tanpa menyentuh kedua pot itu. Kedengarannya dia sedang berada di halaman belakang.    "Oke deh." Aku meletakkan kedua pot di teras.    Richard membawakan ranselku yang penuh dengan pakaian, "Ini taruh di mana?" tanyanya.    "Di kamarku. Ayo." Aku berjalan mendahului ke kamar.    Richard meletakkan ransel di tempat tidur. Dia melihat sekeliling. Aku berlagak cuek. Kalau Richard mau melihat-lihat silakan saja, tidak ada yang melarang kok.    "Rapi juga," puji Richard.    "Iya dong. Aku kan cewek," sahutku.    "Aku lelaki pertama masuk kamarmu ya?"    "Iya," jawabku tanpa berpikir.    "Baguslah," desah Richard.    Aku menatapnya. Apa yang dia pikirkan? Lelaki pertama yang masuk ke ka
Read more
PREV
1
...
56789
...
16
DMCA.com Protection Status