All Chapters of Apa Warna Hatimu?: Chapter 1 - Chapter 10
151 Chapters
Chapter 1 : Lelaki Kurang Ajar
    "Sekali-sekali bawa pacarnya dong. Kenalin sama Ibu," goda Bu Ani, wanita paruh baya penjual makanan di pantai.    "Aku nggak punya pacar," sahutku sambil mengunyah tahu goreng.    "Buruan cari! Banyak kan di pantai sini. Mau yang kayak apa tinggal pilih aja. Ada yang hitam manis, ada yang putih bening. Asal jangan yang nggak kelihatan."    Aku tergelak. Gaya bicara Bu Ani sangat lucu tanpa dibuat-buat, "Nggak lah, Bu. Aku nggak--"    "Non, lihat tuh ada bule!" Bu Ani memotong kata-kataku dengan heboh. Tangannya menyikut rusukku dengan keras.    "Bu, ini orang loh, bukan balok kayu." Aku meringis kesakitan. Tanganku mendekap bagian yang terkena sikutan. Mudah-mudahan tidak terjadi keretakan pada tulang rusukku.    "Makanya lihat dulu sono! Tuh! Tuh!" Bu Ani menyorongkan bibirnya ke satu arah.    Aku melihat ke arah yang ditunjuk Bu Ani. Tampak dua orang lelak
Read more
Chapter 2 : Ternyata Dia!
    Di tengah keheningan mencekam di kantorku saat semua orang sedang sibuk dengan deadline masing-masing.     "Hazeeeeell!! Mana staples gueee??" seru Wahyu, teman akrab sekantorku.    "Gue nggak pinjam, Bro!" Aku balas berseru meskipun meja kami berhadapan dan hanya dipisahkan oleh partisi setinggi satu meter.    "Sial... Mana benda satu itu...," gerutu Wahyu.    Tanpa melihat pun aku tahu Wahyu sedang menggeledah setiap sudut di mejanya. Temanku ini memang selalu kehilangan barang padahal hanya lupa letaknya.    "Yes ketemu!" Wahyu mengangkat staples pink-nya tinggi-tinggi seolah merayakan kemenangan perang.    "Yeay, horeee," timpalku tanpa semangat.    "Kenapa gue selalu kehilangan barang ya, Bro? Apa gue harus melatih barang-barang gue supaya bisa nyahut kalau dipanggil?" cerocos Wahyu.    "Bukannya begitu, Bro. Lo aja yang pelupa." Aku
Read more
Chapter 3 : Proyek Dari Bos
    Kesialan telah menimpaku sejak aku bangun pagi. Air mandiku mendadak sangat dingin. Sepatu kets yang kupakai jogging terlepas dan membuatku jatuh mencium tanah. Ya Tuhan, apakah aku tanpa sengaja menginjakkan kaki di tempat angker?    Perjalanan menuju kantor tidak membuat mood-ku lebih baik. Aku nyaris tersandung sesuatu saat turun dari bis. Untung gerak reflekku bagus, kalau tidak bisa-bisa aku terjatuh ke pelukan kernet yang mendadak siap merentangkan tangan.    Maaf Bang, aku mengecewakanmu!    Aku melangkah gontai ke mejaku. Wahyu sudah berjoget sambil mendendangkan Terajana sepenuh hati.     "Hai, selamat pagi Bro!" sapa Wahyu. Dia terdiam sesaat, "Muka lo kayak habis dicopet?"    Aku mengerang. Tas kulempar begitu saja di atas meja, "Gue sial banget dari pagi. Belum pernah gue kayak begini."    "Makanya," cetus Wahyu.    "Makanya apa?" 
Read more
Chapter 4 : Kesibukan Luar Biasa
    Langit sudah gelap. Seisi kantor masih berkutat di laptop masing-masing. Kata orang pekerjaan desainer grafis memang akrab dengan lembur, overtime, atau apa pun istilahnya yang mengisahkan kerja rodi bak jaman penjajahan. Itulah kenyataannya. Meskipun lembur tapi bonus oke dong.    Aku menggosok mata yang perih karena terlalu lama menatap layar laptop. Teman-teman di sekitar mejaku juga masih bekerja dengan rajin.     Hening. Menyenangkan juga sekali-sekali bekerja dalam suasana tenang. Mungkin Wahyu sedang serius mengejar deadline.    "Woi!"     Aku terlompat kaget dengan kemunculan wajah Wahyu di atas partisi. Sial.    "Apaan??" bentakku kesal.    "Pulang yuk?" ajak Wahyu.    "Kerjaan lo udah selesai?"    "Kepala gue udah mumet! Dipaksain kerja juga nggak bisa. Mending gue pulang."    "Emang jam berapa sih sekarang?
Read more
Chapter 5 : I Will Survive
    Mataku berkunang-kunang. Untung Wahyu menyeretku untuk makan siang, kalau tidak aku pasti melewatkan jam istirahat lagi. Wahyu memesankan makanan untukku yang sedang klenger.    "Bro, baru kali ini gue lihat elo kerja ngebut banget? Ngejar komisi apa gimana?" Wahyu kembali ke meja dengan dua piring nasi Padang.    "Biar cepat selesai Bro, jadi gue nggak usah ketemu-ketemu Richard lagi." Aku langsung menyuap nasi. Aroma gulai kikil membuat cacing perutku mengganas.    "Ooo pantasan. Gue pikir lo membabi-buta karena komisinya cukup untuk beli mobil. Rupanya begitu. Baiklah. Bisa dimengerti."    Aku tertawa, "Gue nggak butuh mobil dari Richard."    Wahyu tersedak. Matanya mendelik.    "Kenapa lo? Masa gitu aja tersedak? Nggak mungkin kan Richard mendadak nongol di belakang gue?"    Wahyu meringis sambil mengangguk samar.    Sejuta topan badai! Ak
Read more
Chapter 6 : Kerjasama Yang Baik
    Sesi foto-foto hari ini berjalan lancar. Aku bekerja dengan cepat di tiga perusahaan tujuan. Semua orang tampak memberi jalan kepadaku karena kehadiran Richard. Enak juga nih punya beking petinggi perusahaan.    Di mobil aku melihat kembali foto-foto yang tadi kuambil. Bagus. Sesuai bayanganku untuk buku company profile. Aku tersenyum puas.    "Bagaimana? Semuanya oke?" Richard melirikku sekilas.    "Oke. Bagus." Aku masih fokus pada detil foto di kamera DSLR milik Richard. Kamera milik kantor kebetulan sedang dipinjam orang lain.    "Kamu pegang saja kameraku, siapa tahu masih dibutuhkan. Aku juga jarang pakai."    "Yang benar??" Mataku berbinar. Aku paling tidak bisa menolak barang bagus.    "Sepertinya kamu lebih sering pakai kamera. Tapi simpan baik-baik ya. Lecet sedikit kamu ganti yang baru." Richard tersenyum.    "Aduh, nggak jadi deh."  &nb
Read more
Chapter 7 : Melampiaskan Emosi
    Tanpa perlu berkaca pun aku tahu wajahku sekeruh air selokan. Aku masih tidak terima usulan Richard untuk memindahkanku ke lantai duapuluh. Meskipun dia bersikap baik mengantarku pulang dan membelikan ketoprak beserta gerobaknya, aku menolak untuk goyah!    "Hazel, besok kamu pindah ke lantai duapuluh." Daniel menjatuhkan bom di pagi hari.    "Apa?? Siapa yang suruh??" tanyaku dengan sengit, beda tipis dengan membentak.    Daniel mundur sejauh lima sentimeter, "Hei, saya cuma pembawa pesan. Ini perintah atasan."    "Wah, gue nggak punya teman rusuh dong?" timpal Wahyu.    "Lo ikut pindah aja?" usulku.    "Nggak, makasih. Gue masih cinta lantai limabelas, Bro." Wahyu tertawa.    "Ide bagus. Gimana Wahyu? Saya tinggal usulkan ke atasan." Daniel memandang Wahyu penuh harap.    "Terima kasih banyak, tapi NO."    "Kamu okay, Hazel?
Read more
Chapter 8 : Lantai Duapuluh
    Keesokan hari...    Aku sengaja ke lantai limabelas untuk melihat keadaan. Pemandangannya membuatku shock. Mejaku benar-benar sudah dipindahkan.    "Hai Bro, penghuni lantai duapuluh!" Wahyu merangkulku, "I will miss you."    "Iya. Gue juga, Bro. Sering-sering main ke atas ya?"    "Nggak mungkin dan nggak mau."    "Teman macam apa lo?"    "Teman yang menyayangi nyawanya."    "Sial! Seolah-olah gue dikirim ke tengah medan peperangan."    Wahyu tertawa, "Dinikmati aja, Bro. Dia nggak seburuk itu kan?"    Aku memicingkan mata. Cakarku keluar seperti Wolverine. Wahyu yang merasa terancam bergegas duduk di mejanya.    Dering handphone membuyarkan imajinasiku sebagai salah satu tokoh X-Men. Aku menatap layar handphone dengan malas. Richard. Tidak usah kujawab. Toh sebentar lagi aku akan duduk manis di atas. 
Read more
Chapter 9 : Fokus Pada Pekerjaan
    Richard duduk di sebelahku. Maksudnya sih untuk merevisi desain, tapi aku jadi gerah. Maksudku, kenapa tidak membiarkan aku bekerja dengan tenang supaya dapat melapor dengan baik nanti sore?    "Kok panas ya?" cetusku.    "AC-nya dingin kok," jawab Richard.    Aku gemas dan mulai bergerak-gerak gelisah, bahkan mengipasi wajah dengan apa saja.    "Astaga Hazel, kamu seperti cacing kepanasan." Richard menahan senyum.    "Gerah. Panas. Jangan dekat-dekat ih." Akhirnya kukatakan juga.    "Apa? Ini sih nggak dekat. Kamu ukur, ada jarak limapuluh sentimeter di antara kita." Richard protes.    "Aku nggak nyaman kerja kalau ada yang mengamati."     "Bukannya di bawah lebih banyak yang memperhatikan?"    "Nggak kayak begini," gerutuku.    "Biar aku langsung bisa revisi pekerjaanmu, Hazel. Bukannya begini lebih cepat
Read more
Chapter 10 : Demi Sahabat
    Sabtu sore ini aku bersiap untuk kencan ganda dengan Wahyu dan gebetannya. Aku tidak berdandan, tidak pula berpakaian cantik. Tujuanku menemani Wahyu hanya untuk melihat warna hati lelaki yang mendekati.    Aku janjian dengan Wahyu di depan club malam. Begitu melihatku Wahyu melambaikan tangan. Jeritannya dapat terdengar dalam radius sepuluh meter.    "Hush, heboh amat sih. Ntar dikira gue selebriti lagi." Aku menghampiri Wahyu.    "Dia belum sampai, Bro. Aduh, gue tegang nih. Lo udah siap? Gimana penampilan gue?" Wahyu tampak cantik dengan dandanan dan pakaian maksimal.    "Siap apa? Tempur?" Aku tertawa, "Santai aja, Bro. Pasang tampang cool dong kayak biasa."    "Hih, mana bisa? Tangan gue dingin nih." Wahyu menggenggam tanganku.    "Buset, dingin banget!"    Tidak lama dua orang lelaki muda menghampiri kami. Meskipun belum berkenalan tapi aku tidak suka m
Read more
PREV
123456
...
16
DMCA.com Protection Status